PERILAKU PROSOSIAL

by - 12:03 AM


PERILAKU PROSOSIAL 
Baron & Byrne (2003) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala tindakan apa pun yang menguntungkan orang lain. Secara umum, istilah ini diaplikasikan pada tindakan yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu. Dayakisni & Yuniardi (2004) mendefinisikan perilaku prososial merupakan kesediaan orang-orang untuk membantu atau menolong orang lain yang ada dalam kondisi distress (menderita) atau mengalami kesulitan. Faturochman (2006) juga menyatakan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi positif pada orang lain.
Staub (Basti, 2007) mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu perilaku yang memiliki konsekuensi sosial positif secara fisik maupun secara psikologis, dilakukan secara sukarela dan menguntungkan orang lain. Wrightsman dan Daux (Basti, 2007) mempertegas pendapat ini dengan mengatakan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan yang mempunyai akibat sosial secara positif, yang ditujukan bagi kesejahteraan orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis, dan perilaku tersebut merupakan perilaku yang lebih banyak memberikan keuntungan pada orang lain daripada dirinya sendiri.
Sears, Freedman, dan Peplau (1985) menjelaskan perilaku prososial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Menurut Rushton (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985) perilaku prososial berkisar dari tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri.
William (Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well being orang lain. Dayakisni & Hudaniah, (2006) menyimpulkan perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya. Bentuk yang paling jelas dari prososial adalah perilaku menolong (Faturochman, 2006).
Brigham (Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain, dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. Menurut Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2006) ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:
a. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku.
b. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela.
c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan.
Tahap-tahap dalam Perilaku Prososial
Ketika seseorang memberi pertolongan, maka hal itu didahului oleh adanya proses psikologis hingga pada keputusan menolong. Latane & Darley (Baron & Byrne, 2003; Faturochman, 2006) menemukan bahwa respons individu dalam situasi darurat meliputi lima langkah penting, yang dapat menimbulkan perilaku prososial atau tindakan berdiam diri saja. Tahap-tahap yang telah teruji bebeapa kali dan sampai saat ini masih banyak digunakan meliputi:
a. Menyadari adanya keadaan darurat, atau tahap perhatian.
Untuk sampai pada perhatian terkadang sering terganggu oleh adanya hal-hal lain seperti kesibukan, ketergesaan, mendesaknya kepentingan lain dan sebagainya (Faturochman, 2006).
b. Menginterpretasikan keadaan sebagai keadaan darurat.
Bila pemerhati menginterpretasi suatu kejadian sebagai sesuatu yang membuat orang membutuhkan pertolongan, maka kemungkinan besar akan diinterpretasikan sebagai korban yang perlu pertolongan.
c. Mengasumsikan bahwa adalah tanggung jawabnya untuk menolong.
Ketika individu memberi perhatian kepada beberapa kejadian eksternal dan menginterpretasikannya sebagai suatu situasi darurat, perilaku prososial akan dilakukan hanya jika orang tersebut mengambil tanggung jawab untuk menolong (Baron & Byrne, 2003). Apabila tidak muncul asumsi ini, maka korban akan dibiarkan saja, tanpa memberikan pertolongan (Faturochman, 2006). Baumeister dkk. (Baron & Byrne, 2003) menemukan ketika tanggung jawab tidak jelas, orang cenderung mengasumsikan bahwa siapa pun dengan peran pemimpin seharusnya bertanggung jawab.
d. Mengetahui apa yang harus dilakukan.
Bahkan individu yang sudah mengasumsikan adanya tanggung jawab, tidak ada hal berarti yang dapat dilakukan kecuali orang tersebut tahu bagaimana ia dapat menolong.
e. Mengambil keputusan untuk menolong.
Meskipun sudah sampai ke tahap dimana individu merasa bertanggung jawab memberi pertolongan pada korban, masih ada kemungkinan ia memutuskan tidak memberi pertolongan. Berbagai kekhawatiran bisa timbul yang menghambat terlaksananya pemberian pertolongan (Faturochman, 2006). Pertolongan pada tahap akhir ini dapat dihambat oleh rasa takut (sering kali merupakan rasa takut yang realistis) terhadap adanya konsekuensi negatif yang potensial (Baron & Byrne, 2003).
Menurut Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2006) terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu;
a. Self-gain: harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan.
b. Personal values and norms: adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.
c. Empathy: kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain.
Menurut Sears, Freedman & Peplau (1985) menerangkan bahwa perilaku prososial dipengaruhi oleh karakteristik situasi, karakteristik penolong, dan karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan.
a. Situasi; meliputi kehadiran orang lain, sifat lingkungan, fisik, dan tekanan keterbatasan waktu.
b. Penolong; meliputi karakteristik kepribadian, suasana hati, distres diri dan rasa empatik.
c. Orang yang membutuhkan pertolongan; meliputi adanya kecenderungan untuk menolong orang yang kita sukai, dan menolong orang yang pantas ditolong.
Sedangkan menurut Faturochman (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian pertolongan adalah:
a. Situasi sosial.
Adanya korelasi negatif antara pemberian pertolongan dengan jumlah pemerhati, makin banyak orang yang melihat suatu kejadian yang memerlukan pertolongan makin kecil munculnya dorongan untuk menolong.
b. Biaya menolong.
Dengan keputusan memberi pertolongan berarti akan ada cost tertentu yang harus dikeluarkan untuk menolong. Pengeluaran untuk menolong bisa berupa materi (biaya, barang), tetapi yang lebih sering adalah pengeluaran psikologis (memberi perhatian, ikut sedih dan lainnya).
c. Karakteristik orang-orang yang terlibat.
Kesamaan antara penolong dengan korban. Makin banyak kesamaan antara kedua belah pihak, makin besar peluang untuk munculnya pemberian pertolongan. Ada kecenderungan orang lebih senang memberi pertolongan pada orang yang disukai. Di samping hubungan yang tidak langsung tersebut, ada kecenderungan bahwa orang lebih suka memberi pertolongan pada orang yang memiliki daya tarik tinggi karena ada tujuan tertentu di balik pemberian pertolongan tersebut.
d. Mediator internal.
Mood. Ada kecenderungan bahwa orang yang baru melihat kesedihan lebih sedikit memberi bantuan daripada orang yang habis melihat hal-hal yang menyenangkan. Penelitian yang dilakukan Myers (Faturochman, 2006) menunjukkan adanya pengaruh mood terhadap perilaku membantu. Hal itu sesuai dengan penjelasan Forgas maupun Isen & Baron (Baron & Byrne, 2003), disebabkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara afek (suasana hati kita saat ini) dan kognisi (cara kita memproses, menyimpan, mengingat, dan menggunakan informasi sosial).
Empati. Ada hubungan antara besarnya empati dengan kecenderungan menolong. Hubungan antara empati dengan perilaku menolong secara konsisten ditemukan pada semua kelompok umur.
Arousal. Ketika melihat suatu kejadian yang membutuhkan pertolongan orang dihadapkan pada dilema menolong atau tidak menolong. Salah satu pertimbangan yang menjadi pertimbangan untuk menolong atau tidak menolong adalah biaya untuk menolong dibanding biaya tidak menolong. Pertimbangan ini meliputi situasi saat terjadinya peristiwa, karakteristik orang-orang yang ada di sekitar, karakteristik korban, dan kedekatan hubungan antar korban dengan penolong.
e. Latar belakang kepribadian.
Individu yang mempunyai orientasi sosial yang tinggi cenderung lebih mudah memberi pertolongan, demikian juga orang yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi.


You May Also Like

0 komentar