PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI ABNORMAL
PERSPEKTIF DALAM
PSIKOLOGI ABNORMAL
A. PERSPEKTIF PSIKODINAMIKA
- Tokoh utama : SIGMUND FREUD
- Perilaku maladaptif disebabkan karena adanya konflik antara id, ego dan superego dalam alam bawah sadar individu.
- Perilaku manusia merupakan produk dari interaksi atau dinamika pikiran dan perasaan sadar dengan tidak sadar dalam diri individu.
- Perilaku juga disebabkan karena adanya kondisi saling mempengaruhi antara id, ego dan superego.
- Perkembangan kepribadian ditentukan oleh pengalaman-pengalaman awal pada usia 5 tahun pertama kehidupan.
I. STRUKTUR JIWA (PSYCHE)
1.
ID
- Ada sejak individu dilahirkan.
- Berisi sejumlah energi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi psyche.
- Terdiri dari dorongan-dorongan dasar seperti rasa lapar, haus, pembuangan/pengeluaran kotoran, kehangatan, afeksi, agresi dan seksual.
- Bekerja dengan menggunakan pleasure principle yaitu pencarian pemuasan kebutuhan dengan segera. Jika dorongan id tidak dipenuhi maka akan timbul ketegangan (tension) dalam diri individu. Pada kondisi itu, id akan berusaha untuk mengurangi ketegangan dengan sesegera mungkin.
- Cara memuaskan kebutuhan dengan segera:
a.
Berinteraksi dengan lingkungan.
Misalnya: bayi yang ingin menyusu pada ibunya akan berusaha untuk mencari tetek
ibunya dan kemudian menyusu.
b. Primary
process thinking, yaitu membayangkan/mengimajinasikan
keinginan-keinginannya. Misalnya: bayi yang ingin menyusu tadi akan
membayangkan tetek ibunya. Pada saat itu, si bayi akan mengalami pemuasan
sementara melalui wish-fulfilling fantasy.
2.
EGO
·
Berkembang selama 6 bulan kedua kehidupan (12 bulan).
·
Bertugas untuk berhubungan dengan realitas.
·
Bekerja dengan menggunakan reality principle, yang
merupakan cara ego untuk menunda pemuasan dorongan id dan menghubungkannya
dengan harapan lingkungan.
·
Primary process thinking tidak
selamanya bisa menjaga kehidupan individu, untuk itu ego kemudian menggunakan secondary
process sebagai cara yang memakai perencanaan dan pengambilan keputusan
dalam memenuhi suatu dorongan. Misal: bayi yang haus dan ingin menyusu pada
ibunya tadi menggunakan secondary process dengan memutuskan untuk
mencari perhatian ibunya, mungkin dengan menangis.
3.
SUPEREGO
·
Bagian jiwa yang bertindak selaku kesadaran dan
merefleksikan standar moral masyarakat, seperti benar-salah, baik-buruk.
·
Pada saat dorongan id muncul, ego tidak hanya
memuaskannya dengan menghubungkan pada realitas tapi juga dengan standar
benar-salah dari superego. Misal: saat ujian, tiba-tiba dosen keluar ruangan.
Saat itu mungkin berarti ada kesempatan untuk mencontek. Tapi individu tidak
melakukan itu karena dia merasa bersalah jika melakukannya atau dia merasa
tidak jujur, dsb.
II. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL
Individu berkembang melalui
serangkaian tahap psikoseksual. Dimana pada tiap tahap terdapat bagian tubuh
tertentu yang paling sensitif terhadap pembangkitan atau kegairahan seksual dan
merupakan bagian yang paling dapat memuaskan dorongan id.
1. TAHAP ORAL (< 2 TH)
·
Pemuasan berasal dari daerah mulut. Sumber kenikmatan
poko yang berasal dari mulut adalah makanan. Makan meliputi stimulasi sentuhan
terhadap bibir dan rongga mulut serta
menelan atau menghisap, dan jika makanan tidak menyenangkan, maka akan
memuntahkan keluar. Setelah gigi tumbuh
maka mulut dipakai untuk menggigit dan mengunyah.
·
Dua aktivitas oral ini yaitu menelan makanan dan
menggigit merupakan dasar bagi ciri karakter yang berkembang kemudian.
·
Contoh:
a.
Orang yang mudah ditipu menunjukkan adanya fiksasi dalam
tahap perkembangan fase oral. Individu ini akan menelan semua apa yang
dikatakan orang. Individu tersebut mengalami kepuasan pada saat fase oral
sehingga tidak mau berkembang ke fase berikutnya.
b.
Orang yang suka berdebat atau mengkritik orang, juga
mengalami gangguan dalam fase oralnya.
2.
TAHAP ANAL (2 – 3 TH)
·
Pemuasan berasal dari daerah anus, berhubungan dengan
aktifitas pembuangan atau pengeluaran kotoran (faeses). Setelah makanan
dicernakan, maka makanan menumpuk di ujung bawah dari usus dan secara refleks
akan dilepaskan keluar apabila tekanan pada otot lingkar dubur mencapai taraf
tertentu.
·
Pengeluaran fases menghilangkan sumber ketidaknyamanan
dan menimbulkan perasaan lega (kenikmatan).
·
Anak mendapatkan pembiasaan akan kebersihan (toilet
training) dan anak mendapatkan pengalaman pertama yang menentukan pengaturan
atas suatu impuls instingstual dari pihak luar. Ia belajar menunda kenikmatan
yang timbul dengan belajar menunda pengeluaran faeses tersebut.
·
Pengaruh ibu dalam memberikan toilet training cukup besar
dan hal itu berpengaruh pada munculnya sejumlah ciri kepribadian.
·
Contoh:
a.
Jika ibu sangat keras dan represif
dalam toilet training, si anak bisa sangat kuat menahan faeses dan bisa
sembelit. Kalau hal itu digeneralisasikan ke cara bertingkah laku yang lain,
mungkin ia bisa menjadi sangat kikir atau keras kepala. Atau sebaliknya karena
himpitan cara yang represif itu, anak bisa melampiaskan kemarahannya dengan
mengeluarkan faeses pada saat yang tidak tepat. Dan ini merupakan bentuk dari
segala macam sifat ekspulsif seperti kekejaman, anarkis, merusak membabi buta,
ledakan-ledakan amarah dan sifat jorok.
b. Jika ibu dengan sabar membujuk anak untuk buang air besar dan
memberikan pujian jika anak melakukan dengan benar, maka anak akan belajar
bahwa aktivitas membuang faeses adalah sangat penting. Ini bisa menjadi dasar
bagi munculnya kreativitas dan produktivitas.
3.
TAHAP PHALIC (3 – 5/6 TH)
·
Pemuasan berasal dari rangsangan terhadap alat kelamin.
Pusat dinamika dalam tahap perkembangan ini adalah perasaan seksual dan agresif
berkaitan dengan bekerjanya fungsi genital.
·
Merupakan tahap perkembangan yang paling krusial. Anak
mengembangkan suatu perasaan ketertarikan secara seksual terhadap orang tua
yang berlainan jenis dan permusuhan terhadap orang tua sejenis. Anak laki-laki
ingin memiliki ibunya dan menyingkirkan ayahnya, anak perempuan ingin memiliki
ayahnya dan mengenyahkan ibunya. Pada anak laki-laki keadaan tersebut mengacu
pada istilah oedipus complex dan
pada perempuan adalah electra complex.
·
Oedipus complex. Adanya
hasrat seks terhadap ibu dan kebencian terhadap ayah menyebabkan konflik anak
dengan orang tua. Ayah
dianggap sebagai saingan dalam mendapatkan cinta dari ibunya. Anak akan semakin
takut dan jika ayahnya adalah seorang yang keras dan otoriter. Anak takut bahwa
ayahnya akan menghilangkan organ genitalnya sebagai sumber dari kenikmatan. Pemikiran
itu muncul karena anak mengira bahwa ayahnya cemburu pada dirinya yang jatuh
cinta pada sang ibu. Ketakutan tersebut disebut castration anxiety,
yang menyebabkan si anak merepresikan hasrat seksnya pada ibu dan rasa
permusuhan pada ayah. Kecemasan itu juga membuat anak laki-laki
mengidentifikasikan diri dengan ayahnya. Dengan begitu, si anak secara tidak
langsung memperoleh pemuasan bagi impuls seksnya pada ibu. Pada saat yang sama,
perasaan erotisnya yang membahayakan ibunya dirubah menjadi sikap kasih sayang
yang lembut dan tidak membahayakan. Pada perkembangan Oedipus complex inilah
merupakan benteng pertahanan bagi munculnya incest dan agresi.
·
Electra complex. Pada
awalnya anak perempuan juga cinta pada ibunya, tapi kemudian dia mengganti
objek cintanya dengan yang baru yakni ayah. Hal itu terjadi sebagai reaksi
kekecewaannya ketika ia mengetahui bahwa anak laki-laki mempunyai alat kelamin
yang menonjol yaitu penis sedangkan ia hanya memiliki sejenis rongga. Penemuan
itu menimbulkan konsekuensi:
a.
Ia menganggap ibunya adalah penyebab keadaannya ini
sehingga cintanya pada ibu melemah.
b.
Ia mentransfer cintanya pada ayah, karena ayah memiliki
organ yang ingin dimilikinya.
Hal itu
menimbulkan suatu keadaan yang disebut penis envy (sejajar dengan
keadaan castration anxiety pada anak laki-laki. Anak perempuan
merasa iri soal penis terhadap laki-laki. Ia membayangkan bahwa ia kehilangan
sesuatu yang berharga sedangkan anak laki-laki takut kehilangan itu. Berbeda
seperti kompleks pada laki-laki yang direpresikan dan diubah, pada perempuan, kompleks ini bersifat menetap
dan tidak direpresikan kuat-kuat.
Dipercaya bahwa perbedaan hakikat kompleks ini menjadi dasar perbedaan
psikologis laki-laki dan perempuan.
4.
TAHAP LATENCY (6 – 12 TH)
·
Masa-masa penurunan dorongan id, anak-anak berperilaku
aseksual (tidak berhubungan dengan seksual). Anak kemudian menurunkan
kecemasannya dengan mengidentifikasikan pada orang tua yang sama. Mereka
kemudian berkembang menjadi lebih tenang, belajar sosialisasi, pengembangan
kemampuan, dan belajar banyak hal tentang diri dan lingkungan sosialnya.
5.
TAHAP GENITAL (> 12 TH)
·
Merupakan tanda pubertas dan kematangan seksual remaja.
Terdapat dominasi terhadap ketertarikan seksual pada lawan jenis.
·
Remaja mulai tertarik kepada orang lain bukan karena
cinta diri (narsisistik) seperti tahap pra genital, tapi karena daya tarik
seksual, sosialisasi, kegiatan kelompok, perencanaan karir dan muncul persiapan
untuk menikah serta membangun rumah tangga.
·
Pada akhir masa remaja, hal-hal tersebut sudah cukup
stabil dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan. Individu mengalami transformasi dari
bayi narsisistik serta memburu kenikmatan menjadi orang dewasa yang
memasyarakat dan berorientasi pada kenyataan.
·
Fungsi biologis dari tahap genital adalah reproduksi dan
aspek psikologis membantu mencapai tujuan ini dengan memberikan stabilitas dan
keamanan sampai batas tertentu.
·
Impuls pada tahap pra genital tidak digantikan oleh tahap
genital tapi disintesiskan menjadi satu pada tahap genital.
III. MEKANISME PERTAHANAN DIRI
·
Mekanisme pertahanan diri adalah cara yang ditempuh alam
bawah sadar untuk melindungi ego dari kecemasan.
·
Ada dua ciri umum yaitu:
a.
Mereka menyangkal, memalsukan dan
mendistorsikan kenyataan.
b. Mereka
bekerja secara tidak sadar sehingga kadang orangnya tidak mengetahui yang
sedang terjadi.
·
Macamnya:
Ø REPRESI:
Menekan kemunculan dorongan dan pikiran-pikiran yang
tidak dapat diterima ego ke alam bawah sadar. Biasanya berhubungan dengan suatu
objek atau pengalaman yang menimbulkan ketidaknyamanan. Secara tidak sadar
melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk diingat.
Ø PROYEKSI:
Menganggap orang lain memiliki perasaan terhadap dirinya yang sebenarnya
merepresentasikan dari perasaan sesungguhnya yang dia miliki terhadap orang
tersebut. Misalnya untuk mengatakan “Saya membenci dia”, diubah menjadi “Dia
membenci saya”.
Ø REAKSI
FORMASI: Menganggap memiliki perasaan terhadap orang lain yang
sebaliknya dari perasaan dirinya terhadap orang tersebut. Misalnya untuk
mengatakan “Saya suka dia” merubahnya menjadi “Saya benci dia”.
Ø RASIONALISASI:
Mencoba mengungkapkan alasan rasional yang dapat diterima secara sosial dan
menjadi percaya bahwa suatu kondisi yang bertentangan dengan apa yang
diinginkan sesungguhnya adalah hal yang memang diinginkannya. Misalnya karena
tidak berhasil mendapatkan tiket nonton sepakbola, lalu mengatakan bahwa
sebenarnya dia tidak tertarik untuk pergi.
Ø REGRESI:
Kembali kepada tahap perkembangan yang lebih awal. Misalnya anak yang takut
masuk sekolah di hari pertama bisa melakukan perilaku infantil seperti
menangis, mengisap ibu jari, berpegangan pada guru atau duduk di pojok kelas.
Regresi biasanya akan kembali pada tahap perkembangan yang mengalami fiksasi.
Ø FIKSASI:
Berhenti pada satu tahap perkembangan karena menganggap tahap berikutnya penuh
kecemasan. Misalnya anak yang sangat tergantung pada orang lain, kecemasan
menghambat untuk mandiri.
IV. NEO FREUDIAN
ERIK ERIKSON (TEORI PSIKOSIAL TENTANG PERKEMBANGAN)
·
Membagi tahap psikosial menjadi 8 tahap dimana
masing-masing tahap ditandai dengan suatu tantangan gan dan krisis yang jika
tidak dapat ditangani maka akan menghambat perkembangan selanjutnya.
·
Erikson menekankan pada masa adolesen karena merupakan
masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
·
Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Erikson:
1. Infancy (0 –1)
·
Trust
vs Mistrust (kepercayaan dasar vs kecurigaan dasar)
·
Mengembangkan sejumlah perasaan kepercayaan atau
kecurigaan terhadap kebutuhan dasar seperti pengasuhan, kehangatan, kebersihan
dan kontak fisik.
·
Ibu yang bersifat kelembutan melalui pandangannya,
belaiannya, senyumannya, sentuhannya, cara memanggilnya memberikan perasaan
diakui pada bayi, yang akan menimbulkan kepercayaan dasar.
·
Ketiadaan pengakuan pada bayi dapat menyebabkan
keterasingan, perasaan dipisahkan dan dibuang, menimbulkan kecurigaan dasar.
2. Early childhood (1 – 3)
·
Autonomy vs shame, doubt (otonomi vs perasaan malu,
ragu-ragu)
·
Anak belajar apa yang diharapkan dari dirinya, kewajiban
dan haknya serta pembatasan pada dirinya.
·
Tahap untuk berkembangnya pengungkapan diri dan sifat
penuh kasih sayang. Anak harus didorong untuk mengalami situasi yang menuntut
otonomi dalam melakukan pilihan bebas.
·
Penanaman rasa malu secara berlebihan akan menyebabkan
anak tidak memiliki rasa malu atau mencoba melarikan diri dari hal tersebut
dengan diam-diam, tidak suka berterus terang dan serba bertindak dengan
diam-diam, akhirnya menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang menetap.
3. Play age (3 – 6)
·
Initiative vs guilt (inisiatif vs kesalahan)
·
Masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab, anak
mempunyai tujuan dalam aktifitasnya.
·
Kegiatan utamanya adalah bermain. Tujuan berkembang dalam
kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha dan kegagalannya.
·
Bahayanya adalah muncul rasa bersalah pada diri anak
karena anak terlalu bergairah dalam mencapai tujuannya termasuk menggunakan
cara yang agresif dan manipulatif.
4. School age (7 – 11)
·
Industry vs inferiority (kerajinan vs
inferioritas)
·
Masa anak sekolah, mengembangkan kemampuan belajar, rasa
ingin tahu dan sekaligus mengembangkan perasaan rendah diri jika gagal (atau
merasa gagal) menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan guru.
5. Adolescence (12 – 20)
·
Identity vs identity confusion (identitas vs kekacauan
identitas)
·
Masa dimana remaja mulai merasakan suatu perasaan
identitasnya sendiri, merasa unik, siap untuk berperan dalam masyarakat. Mulai
menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri seperti kesukaan dan
ketidaksukaannya, tujuan yang dikejar di masa datang, kekuatan dan hasrat untuk
mengontrol nasibnya sendiri.
·
Merupakan masa peralihan dari anak ke dewasa. Menjadikan
kadang remaja berada pada kondisi kekacauan identitas. Mereka menjadi hampa,
terisolasi, cemas dan bimbang. Mereka menjadi kacau, tingkah lakunya tidak
konsisten. Ingin masuk dunia kehidupan dewasa tapi masyarakat menganggap belum
mampu dan mereka merasa sudah bukan anak-anak lagi. Terjadi suatu kekacauan.
·
Jika tidak terselesaikan anak akan berada pada kondisi
krisis identitas yang akan mengembangkan identitas negatif pada dirinya yaitu
dirinya hanya memiliki sifat yang potensial buruk atau tidak berharga.
6. Young adulthood (20 – 30)
·
Intimacy vs isolation (keintiman vs isolasi)
·
Siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain,
mendambakan hubungan akrab dengan lawan jenis dalam percintaan. Mengembangkan
persaudaran,menyiapkan daya untuk membina komitmen dan siap berkorban.
·
Bahayanya adalah muncul isolasi, kecenderungan untuk
menghindari hubungan karena tidak mau terlibat atau melibatkan diri dalam
keintiman.
7. Adulthood (30 – 65)
·
Generativity vs stagnation (generativitas vs stagnasi)
·
Perhatian terhadap apa yang dihasilkan – keturunan,
produk, ide, dsb – serta penetapan dan pembentukan pedoman untuk generasi
mendatang.
·
Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka
kepribadian akan mundur dan mengalami stagnasi.
8. Mature age (> 65)
·
Integrity vs despair (integritas vs putus asa)
·
Masa dimana individu melihat kembali tentang hasil yang
dicapai aik ide, produk dan suatu refleksi setelah berhasil menyesuaikan diri
dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya.
·
Gaya hidupnya dipertahankan untuk menghindari dari
ancaman.
·
Lawannya adalah kondisi putus asa,merasa hiduop tidak
berguna dan pasrah pada keadaan menunggu ajal.
B. PERSPEKTIF HUMANISTIK
- Tokoh utama: Carl Rogers
- Memandang bahwa semua manusia pada dasarnya baik, mempunyai potensi untuk menjadi sehat dan kreatif. Gangguan mental dapat berkembang akibat tekanan sosial.
- Menerapkan pentingnya pemberian cinta dan penerimaan dari orang tua atau orang terdekat lainnya terhadap perkembangan kepribadian.
- Rogers menciptakan teori yang terpusat pada individu (person-centered theory). Prinsip-prinsipnya:
Ø Untuk
memahami seseorang, kita harus melihat dari cara mereka mengalami peristiwa
tersebut daripada terhadap peristiwanya itu sendiri.
Ø Setiap
individu itu unik, perbedaan persepsi dan perasaan pada tiap individu
menentukan perilaku mereka.
Ø Motif
utama yang selalu menggerakkan individu untuk maju adalah self
actualization, merupakan perwujudan dari seluruh potensi yang dimiliki
individu.
Ø Mereka
mempunyai tujuan yang sudah ditentukan. Adanya pengaruh dari luar dirinya
(orang tua, teman sebaya, sosial atau tekanan lingkungan) mengakibatkan
individu kehilangan arah yang sudah ditentukan.
C. PERSPEKTIF BEHAVIORAL
·
Perilaku, dalam pandangan ini sangatlah ditentukan oleh
pengaruh lingkungannya.
·
John B Watson
menekankan betapa dibutuhkannya suatu
observasi dan eksperimen yang sitematis untuk mempelajari perilaku.
Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya.
·
Segenap perilaku manusia itu dipelajari, termasuk juga
perilaku abnormalnya yang dipelajari dengan cara yang sama pada individu lain.
·
Pendekatan ini lebih tertarik pada perilaku-perilaku yang
dapat diamati daripada kondisi-kondisi abstrak atau bawah sadar yang merupakan
tema pokok psikoanalisa.
·
Ivan Pavlov (classical conditioning)
Ø Menggunakan
Pavlov’s dog.
Ø CS (bel)
tidak keluar saliva
UCS (daging) keluar saliva
CS diikuti UCS (berulang-ulang) keluar saliva
CS keluar saliva
·
BF Skinner (operant conditioning)
Ø Menggunakan
Skinner’s box (merpati)
·
Bandura (modelling)
Ø Individu
mengamati model untuk kemudian menirukan perilaku tersebut.
Ø Misalnya
anak kecil akan menunjukkan perilaku jongkok saat berjumpa dengan anjing,
karena dia mengamati orang tuanya berperilaku tersebut saat berjumpa dengan
anjing.
D. PERSPEKTIF KOGNITIF
·
Pendekatan kognitif memusatkan perhatiaannya tentang
bagaimana manusia (bahkan hewan sekalipun) melakukan strukturisasi terhadap
pengalaman, bagaimana mereka membuat suatu sense terhadap
pengalaman-pengalaman tersebut kemudian mentransformasi stimulus-stimulus
lingkungan menjadi informasi yang siap digunakan.
·
Didalamnya terdapat juga tentang bagaimana seharusnya
proses-proses mental seperti pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan
masalah dan penggunaan bahasa dipelajari untuk memahami suatu perilaku.
·
Albert Ellis mengemukakan Rational-emotive theory.
·
Menurut teori ini individu yang memiliki rational
beliefes, pada saat mengalami kejadian negatif akan menunjukkan emosi
negatif seperti sedih dan frustrasi. Tapi individu dengan irrational
beliefes akan berubah menjadi depresi, cemas atau marah.
·
Menurut Allbert Ellis manusia itu mempunyai potensi baik
untuk berpikiran baik dan rasional maupun buruk dan irasional. Manusia memiliki
kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan
berkata, mencintai, bergabung dengan orang lain serta tumbuh dan
mengaktualisasikan diri. Akan tetapi manusia juga mempunyai
kecenderungan-kecenderungan untuk menghancurkan diri, menghindari pemikiran,
berlambat-lambat, menyesali kesalahan sampai berlarut-larut, intoleransi,
perfeksionis dan mencela diri serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi
diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku
lama yang disfunction.
·
Abnormalitas terjadi karena adanya penimbunan
keyakinan-keyakinan irasional yang berpengaruh pada masa kanak-kanak. Ellis
mengatakan “gangguan emosi pada dasarnya merupakan terdiri atas
kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa
disahihkan, yang oleh orang terganggu diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik
dan terhadapnya dia beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah”.
·
Ada tiga kategori utama irrational beliefes, dimana
masing-masing membawa konsekuensi terhadap kekalahan diri yaitu:
a.
Gagasan bahwa seseorang harus benar-benar kompeten,
layak, berprestasi dalam segala hal dan dicintai sepanjang waktu atau gagasan
bahwa seseorang merasa tidak mampu dan
tidak berharga. Gagasan ini bisa menyebabkan panik dan depresi.
b.
Gagasan bahwa semua orang harus memperlakukannya dengan
baik dan jujur atau gagasan bahwa orang-orang tertentu buruk, keji, atau jahat
dan harus dikutuk atas kejahatannya. Gagasan ini dapat mengembangkan perasaan
marah dan agresif.
c.
Gagasan bahwa segala sesuatu harus mengikuti kehendaknya,
tidak terlalu sukar dikerjakan dan tidak membuat frustrasi atau gagasan bahwa
hidup adalah mengerikan, buruk, sangat menyakitkan dan malapetaka. Gagasan ini
dapat menciptakan kondisi mengasihani diri sendiri dan toleransi yang rendah
terhadap frustrasi juga prokrastinasi.
E. PERSPEKTIF VULNERABILITY – STRESS
- Perspektif ini menghubungkan antara faktor biologis, psikologis dan lingkungan.
- Vulnerability mengacu pada satu atau sejumlah karakteristik individu yang meningkatkan peluang bagi berkembangnya suatu gangguan. Dapat berupa biologis atau psikologis. Biologis misalnya adanya kerentanan secara genetis dari orang tua, adanya abnormalitas yang diturunkan. Psikologis misalnya, orang-orang yang mempunyai keyakinan lemah terhadap agama lebih rentan terhadap munculnya depresi.
- Stress mengacu pada suatu kondisi lingkungan individu yang menyebabkan kesulitan. Hal itu disebut stressor. Stressor dapat berupa biologis dan psikologis. Biologis misalnya kekurangan oksigen saat kelahiran atau gizi yang buruk selama kanak-kanak dapat menyebabkan disfungsi otak. Psikologis misalnya masalah kuliah, bencana banjir, tindak kekerasan orang lain, gagal tes kerja, kematian pasangan hidup, dsb.
- Interaksi antara Vulnerability dan Stress dapat menyebabkan munculnya gangguan. Misalnya individu yang secara biologis rentan terhadap skizofrenia, jika diberi stressor yang tepat, maka kemungkinan untuk menjadi skizofrenia makin besar.
0 komentar