KASUS ECHO DAN KASUS KEPEMIMPINAN

by - 8:54 PM


A. KASUS ECHO
Pemecatan 5000 Pegawai dari Perusahaan Tri-Energi
         Perusahaan Tri-Energi sebuah perusahaan minyak mempunyai persediaan sekitar 5000 karyawan sebagai hasil kegiatan penarikan selama periode kekurangan tenaga kerja. Perusahaan mengantisipasikan bahwa pasar tenaga kerja akan semakin ketat. Oleh karenanya perusahaan memutuskan mempersiapkan diri dengan penarikan kelompok pekerja agar kebutuhan yang diantisipasi dapat terpenuhi.
         Setelah mempekerjakan karyawan ekstra, perusahaan pada dekade selanjutnya secara continue mengotomatisasikan fasilitas-fasilitas produksinya selama periode tersebut, meskipun kapasitas produksi berlipat ganda, perusahaan akibat otomatisasi hanya memerlukan jauh lebih sedikit karyawan untuk mengoperasikan fasilitas-fasilitas. Jadi keadaan menjadi berbalik dari antisipasi perusahaan yaitu bahwa 5000 karyawan yang telah terlanjur ditarik tak pernah lagi seluruhnya dibutuhkan.
         Perusahaan menganjurkan untuk mempekerjakan 5000 karyawan itu, dan membuat masyarakat berpendapat bahwa sekali diterima bekerja seorang karyawan yang melaksanakan pekerjaan dengan memuaskan dapat mengharapkan untuk tetap mempertahankan pekerjaannya, bagaimanapun juga Tri-Energi kemudian mengalami masalah dengan rendahnya harga dipasaran dan laba yang didapat turun sampai tingkat yang kurang memuaskan, direktur utama, Jhonny Bolang, mempertimbangkan pemberhentian 5000 karyawan yang tak pernah diperlukan, tak satupun memenuhi syarat atau perlu dipertahankan sampai pensiun, dia sadar bahwa banyak posisi manager dapat dihilangkan karena secara potensial angkatan kerja akan lebih kecil.
         Berdasarkan kutipan dari referensi di atas, menurut pendapat saya, Jhonny Bolang harus memberhentikan pegawainya yang memang tidak pantas dipertahankan, karena jika terus mempertahankan pegawainya yang sudah tak patut dipertahankan akan berdampak pada perusahaan yang semakin terpuruk oleh minimnya laba yang didapat atas hasilnya tersebut, namun beberapa karyawan harus dipertahankan, mengingat fasilitas otomatisasi tidak bisa berjalan sendiri tanpa adanya operator yang ahli mempergunakan fasilitas otomatisasi tersebut, sehingga beberapa pegawai yang masih layak untuk dipertahankan sebaiknya tidak untuk diberhentikan. Cara mencegah situasi ini sebaiknya perlu untuk menganalisa dan mengambil kebijakan lainnya, seperti diadakan sistem “Kontrak” dan bekerja sama dengan perusahaan lainnya untuk merekrut dan saling tukar pegawai yang dirasa cocok ataupun dengan pelatihan “Training” untuk para pegawai tersebut untuk bisa mengoperasikan fasilitas otomatisasi tersebut, agar ia bisa mencegah memberhentikan 5000 pegawainya, dan bisa memilah untuk yang bisa dipertahankan, karena jika seluruhnya pegawai tersebut diberhentikan mungkin berdampak pada ekonomi negara, dan angka pengangguran yang semakin tinggi.


B. KASUS KEPEMIMPINAN
KASUS KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL
Susilo Bambang Yudhoyono
           Salah satu karakter kepemimpinan SBY yang paling dominan adalah the golden middle way: politik jalan tengah. Desain presidensial yang digabungkan dengan sistem multipartai memang sebuah kombinasi ganjil, sehingga menuntut SBY melakukan konsensus dan harmoni.
           Scott Mainwaring (1993) mendeteksi tiga implikasi dari kombinasi sistem presidensial-multipartai. Pertama, tiadanya kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen mengakibatkan deadlock. Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Kedua, dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai rentan melahirkan polarisasi ideologis. Ketiga, koalisi permanen antarpartai lebih sulit dibentuk dalam sistem presidensialisme ketimbang parlementer.
           Pada titik inilah, konsensus dan kompromi dalam sistem presidensial dengan citarasa parlemen rentan mengarah pada model kepemimpinan transaksional. Yakni kepemimpinan yang melibatkan hubungan pemimpin dengan elit politik lainnya maupun elit dengan pemilih yang dibangun di atas pondasi pragmatisme dan pertukaran kepentingan ekonomi-politik serta umpan balik negatif (Burns 1978).
           Lihatlah hubungan elit politik dengan konstituen yang dirusak oleh transaksi material, bukan pertukaran gagasan. Lihat pula hubungan antarelit politik yang didominasi nafsu purba Laswellian: “who gets what, when, and how.” Gaya politik transaksional bertumpu pada konsesi politik. Profesionalisme dan meritokrasi tak lagi menjadi acuan. Ketegasan menjadi barang mahal karena terlalu banyak pertimbangan dan kalkulasi politik yang dijadikan konsideran.
           Model kepemimpinan transaksional ini tumbuh subur dalam sistem politik kartel di mana APBN/APBD menjadi ajang bancakan dan lisensi diperjualbelikan untuk mengikat loyalitas politik. Rakyat menjadi yatim piatu. Yatim karena pemerintah jarang hadir dalam setiap permasalahan yang dihadapi publik, tapi begitu sigap menarik pajak. Piatu karena partai-partai politik hanya menyapa pemilih menjelang pemilu.
           Rakyat dihadiahi surplus politisi, tapi defisit negarawan. Politisi-par-excellence yang bersikap negarawan selalu memikirkan apa yang diwariskan bagi bangsanya ke depan. Politisi-negarawan berani bertindak tidak populer asalkan berdampak positif bagi rakyatnya. Dalam studi kepemimpinan, model transaksional selalu dibenturkan dengan kepemimpinan transformasional. Politisi-negarawan pasti menerapkan model kepemimpinan transformasional yang punya visi masa depan dan menolak transaksi politik jangka pendek. Tichy dan Devanna (1990) menyatakan pemimpin yang menerapkan model ini akan menularkan efek transformasi pada level individu dan organisasi. Bass dan Avolio (1994), dalam buku “Improving Organizational Efectiveness through Transformasional Leadership,” kepemimpinan transformasional dicirikan oleh “The four I’s (empat huruf ‘I’)”
           Pertama, pemimpin transformasional memiliki “idealized influence,” rakyat dibuat berdecak kagum, hormat dan percaya. Tak ada elemen masyarakat, apalagi tokoh-tokoh agama dan cendekiawan, yang menuduh pemimpinnya sedang melakukan politik kebohongan. Otentisitas menjadi mantra dan rakyatnya percaya bahwa para pemimpinnya sedang tidak bersandiwara.
           Kedua, kepemimpinan transformasional mampu menggelorakan “inspirational motivation,” menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan harapan menjadi kenyataan. Pemimpin tak hanya mengaum di atas podium dan tak hanya pintar berwacana, tapi juga cakap dalam bekerja. Pemimpin yang tak hanya pintar bersolek di depan kamera atau berdandan di baliho-baliho atau spanduk pada masa pemilukada.
           Ketiga, intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan transformasional kaya ide-ide baru dan terobosan. Pemimpin tak sekadar hadir pada setiap perayaan upacara, tapi hadir dalam setiap percakapan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Dia tak terjebak pada urusan business as usual dan berpikir out of the box untuk mengatasi kebuntuan. Pemimpin seharusnya tidak larut dalam kompromi politik. Pemimpin adalah leader, bukan dealer. Dimensi terakhir adalah “individualized consideration,” yang mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia dan apa adanya. Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membangun benteng pemisah dengan rakyatnya.
           Elit pemimpin kita tersandera kepemimpinan transaksional. Mereka lebih mengedepankan konstituen ketimbang konstitusi, memprioritaskan kepentingan jangka pendek dan politik barter untuk mengamankan posisi masing-masing. Saatnya kita memperbaiki jalur kaderisasi politik kita, menyiapkan supply-side politik yang bertumpu pada azas meritokrasi dan kompetensi

You May Also Like

0 komentar