KASUS ECHO DAN KASUS KEPEMIMPINAN
A.
KASUS ECHO
Pemecatan 5000
Pegawai dari Perusahaan Tri-Energi
Perusahaan Tri-Energi sebuah perusahaan minyak mempunyai
persediaan sekitar 5000 karyawan sebagai hasil kegiatan penarikan selama
periode kekurangan tenaga kerja. Perusahaan mengantisipasikan bahwa pasar
tenaga kerja akan semakin ketat. Oleh karenanya perusahaan memutuskan
mempersiapkan diri dengan penarikan kelompok pekerja agar kebutuhan yang
diantisipasi dapat terpenuhi.
Setelah mempekerjakan karyawan ekstra, perusahaan pada
dekade selanjutnya secara continue mengotomatisasikan fasilitas-fasilitas
produksinya selama periode tersebut, meskipun kapasitas produksi berlipat
ganda, perusahaan akibat otomatisasi hanya memerlukan jauh lebih sedikit
karyawan untuk mengoperasikan fasilitas-fasilitas. Jadi keadaan menjadi berbalik
dari antisipasi perusahaan yaitu bahwa 5000 karyawan yang telah terlanjur
ditarik tak pernah lagi seluruhnya dibutuhkan.
Perusahaan menganjurkan untuk mempekerjakan 5000 karyawan
itu, dan membuat masyarakat berpendapat bahwa sekali diterima bekerja seorang
karyawan yang melaksanakan pekerjaan dengan memuaskan dapat mengharapkan untuk
tetap mempertahankan pekerjaannya, bagaimanapun juga Tri-Energi kemudian
mengalami masalah dengan rendahnya harga dipasaran dan laba yang didapat turun
sampai tingkat yang kurang memuaskan, direktur utama, Jhonny Bolang,
mempertimbangkan pemberhentian 5000 karyawan yang tak pernah diperlukan, tak
satupun memenuhi syarat atau perlu dipertahankan sampai pensiun, dia sadar
bahwa banyak posisi manager dapat dihilangkan karena secara potensial angkatan
kerja akan lebih kecil.
Berdasarkan kutipan dari referensi di atas, menurut pendapat
saya, Jhonny Bolang harus memberhentikan pegawainya yang memang tidak pantas
dipertahankan, karena jika terus mempertahankan pegawainya yang sudah tak patut
dipertahankan akan berdampak pada perusahaan yang semakin terpuruk oleh
minimnya laba yang didapat atas hasilnya tersebut, namun beberapa karyawan
harus dipertahankan, mengingat fasilitas otomatisasi tidak bisa berjalan
sendiri tanpa adanya operator yang ahli mempergunakan fasilitas otomatisasi
tersebut, sehingga beberapa pegawai yang masih layak untuk dipertahankan
sebaiknya tidak untuk diberhentikan. Cara mencegah situasi ini sebaiknya perlu
untuk menganalisa dan mengambil kebijakan lainnya, seperti diadakan sistem
“Kontrak” dan bekerja sama dengan perusahaan lainnya untuk merekrut dan saling
tukar pegawai yang dirasa cocok ataupun dengan pelatihan “Training” untuk para
pegawai tersebut untuk bisa mengoperasikan fasilitas otomatisasi tersebut, agar
ia bisa mencegah memberhentikan 5000 pegawainya, dan bisa memilah untuk yang
bisa dipertahankan, karena jika seluruhnya pegawai tersebut diberhentikan
mungkin berdampak pada ekonomi negara, dan angka pengangguran yang semakin
tinggi.
B.
KASUS KEPEMIMPINAN
KASUS
KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL
Susilo Bambang
Yudhoyono
Salah satu karakter kepemimpinan SBY yang paling dominan
adalah the golden middle way: politik jalan tengah. Desain presidensial yang
digabungkan dengan sistem multipartai memang sebuah kombinasi ganjil, sehingga
menuntut SBY melakukan konsensus dan harmoni.
Scott Mainwaring (1993) mendeteksi tiga implikasi dari
kombinasi sistem presidensial-multipartai. Pertama, tiadanya kekuatan mayoritas
partai yang menguasai parlemen mengakibatkan deadlock. Realitas ini memberi
peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik
Presiden-DPR. Kedua, dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai
rentan melahirkan polarisasi ideologis. Ketiga, koalisi permanen antarpartai
lebih sulit dibentuk dalam sistem presidensialisme ketimbang parlementer.
Pada titik inilah, konsensus dan kompromi dalam sistem
presidensial dengan citarasa parlemen rentan mengarah pada model kepemimpinan
transaksional. Yakni kepemimpinan yang melibatkan hubungan pemimpin dengan elit
politik lainnya maupun elit dengan pemilih yang dibangun di atas pondasi
pragmatisme dan pertukaran kepentingan ekonomi-politik serta umpan balik
negatif (Burns 1978).
Lihatlah hubungan elit politik dengan konstituen yang
dirusak oleh transaksi material, bukan pertukaran gagasan. Lihat pula hubungan
antarelit politik yang didominasi nafsu purba Laswellian: “who gets what, when,
and how.” Gaya politik transaksional bertumpu pada konsesi politik.
Profesionalisme dan meritokrasi tak lagi menjadi acuan. Ketegasan menjadi
barang mahal karena terlalu banyak pertimbangan dan kalkulasi politik yang
dijadikan konsideran.
Model kepemimpinan transaksional ini tumbuh subur dalam
sistem politik kartel di mana APBN/APBD menjadi ajang bancakan dan lisensi
diperjualbelikan untuk mengikat loyalitas politik. Rakyat menjadi yatim piatu.
Yatim karena pemerintah jarang hadir dalam setiap permasalahan yang dihadapi
publik, tapi begitu sigap menarik pajak. Piatu karena partai-partai politik
hanya menyapa pemilih menjelang pemilu.
Rakyat dihadiahi surplus politisi, tapi defisit negarawan.
Politisi-par-excellence yang bersikap negarawan selalu memikirkan apa yang
diwariskan bagi bangsanya ke depan. Politisi-negarawan berani bertindak tidak
populer asalkan berdampak positif bagi rakyatnya. Dalam studi kepemimpinan,
model transaksional selalu dibenturkan dengan kepemimpinan transformasional.
Politisi-negarawan pasti menerapkan model kepemimpinan transformasional yang
punya visi masa depan dan menolak transaksi politik jangka pendek. Tichy dan
Devanna (1990) menyatakan pemimpin yang menerapkan model ini akan menularkan
efek transformasi pada level individu dan organisasi. Bass dan Avolio (1994),
dalam buku “Improving Organizational Efectiveness through Transformasional
Leadership,” kepemimpinan transformasional dicirikan oleh “The four I’s (empat
huruf ‘I’)”
Pertama, pemimpin transformasional memiliki “idealized
influence,” rakyat dibuat berdecak kagum, hormat dan percaya. Tak ada elemen
masyarakat, apalagi tokoh-tokoh agama dan cendekiawan, yang menuduh pemimpinnya
sedang melakukan politik kebohongan. Otentisitas menjadi mantra dan rakyatnya
percaya bahwa para pemimpinnya sedang tidak bersandiwara.
Kedua, kepemimpinan transformasional mampu menggelorakan
“inspirational motivation,” menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta
mampu merealisasikan harapan menjadi kenyataan. Pemimpin tak hanya mengaum di
atas podium dan tak hanya pintar berwacana, tapi juga cakap dalam bekerja.
Pemimpin yang tak hanya pintar bersolek di depan kamera atau berdandan di
baliho-baliho atau spanduk pada masa pemilukada.
Ketiga, intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan
transformasional kaya ide-ide baru dan terobosan. Pemimpin tak sekadar hadir
pada setiap perayaan upacara, tapi hadir dalam setiap percakapan dan persoalan
yang dihadapi rakyatnya. Dia tak terjebak pada urusan business as usual dan
berpikir out of the box untuk mengatasi kebuntuan. Pemimpin seharusnya tidak
larut dalam kompromi politik. Pemimpin adalah leader, bukan dealer. Dimensi
terakhir adalah “individualized consideration,” yang mau mendengar keluhan
bawahan, bersikap layaknya manusia dan apa adanya. Dalam arti yang luas,
pemimpin tidak membangun benteng pemisah dengan rakyatnya.
Elit pemimpin kita tersandera kepemimpinan transaksional.
Mereka lebih mengedepankan konstituen ketimbang konstitusi, memprioritaskan
kepentingan jangka pendek dan politik barter untuk mengamankan posisi
masing-masing. Saatnya kita memperbaiki jalur kaderisasi politik kita,
menyiapkan supply-side politik yang bertumpu pada azas meritokrasi dan
kompetensi
0 komentar