KODE ETIK PSIKOLOGI
BAB
I
PEDOMAN
UMUM
Pasal
1
(1)
KODE ETIK PSIKOLOGI adalah seperangkat nilai-nilai untuk
ditaati dan dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan
sebagai psikolog dan ilmuwan psikologi di Indonesia.
Contoh
kasus : Seorang psikolog tidak menggunakan kode etik
psikologi dalam menangani pasiennya.
Kesimpulan
:
seharusnya, seorang psikolog melakukan tindakan sesuai kode etik psikologi yang
berlaku.
(2)
PSIKOLOGI merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan
proses mental yang melatar-belakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia.
Ahli dalam ilmu Psikologi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu profesi atau yang
berkaitan dengan praktik psikologi dan ilmu psikologi termasuk dalam hal ini
ilmu murni atau terapan.
(3)
PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan
dengan praktik psikologi dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi
lulusan program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama
atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari
pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi
(Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan
psikologi yang meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian;
pengajaran; supervisi dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan
kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen
psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi organisasi;
aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program;
serta administrasi. Psi-kolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Contoh
Kasus : Seorang Psikolog membuka praktik tanpa mempunyai
izin praktik.
Kesimpulan
:
Seorang Psikolog harus lulusan S-1 dan untuk membuka praktek sendiri harus
lulusan S-2 serta diwajibkan memiliki izin praktik psikologi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
(4)
ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi
dengan latar belakang pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3
dalam bidang psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan
layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang pe-nelitian; pengajaran;
supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan;
intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen psikologi; pengadministrasian
asesmen; konseling sederhana;konsultasi organisasi; peran-cangan dan evaluasi
program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains) dan
terapan.
Contoh
Kasus :Seorang Psikolog menangani menangani gangguan syaraf
yang seharusnya ditangani oleh Psikiater
Kesimpulan
:Seorang
Psikolog tidak boleh menangani seorang pasien di luar kewenangan sesuai Pasal 1
Ayat 4.
(5)
LAYANAN PSIKOLOGI adalah segala aktifitas pemberian jasa
dan praktik psikologi dalam rangka menolong individu dan/atau kelompok yang
dimaksudkan untuk pencegahan, pengembangan dan penyelesaian masalah-masalah
psikologis. Layanan psikologi dapat berupa praktik konseling dan psikoterapi;
penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat;
pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen
asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling karir dan pendidikan;
konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang fo-rensik; perancangan
dan evaluasi program; dan administrasi.
Contoh
Kasus :Seorang Psikolog melakukan pelayanan terhadap pasien
tetapi tidak menyelesaikan atau mencegah masalah pasiennya melainkan malah
membuatnya semakin rumit.
Kesimpulan
:Seharusnya
seorang psikolog mencegah atau menyelesaikan masalah pasiennya.
Pasal 2
Prinsip Umum
Prinsip A: Penghormatan pada Harkat
Martabat Manusia
(1)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menekankan pada hak asasi manusia
dalam melaksanakan layanan psikologi.
Contoh Kasus :Seorang
psikolog melakukan pelecehan seksual terhadap pasiennya
Kesimpulan :Seharusnya
seorang psikolog yang baik mematuhi hak asasi manusia dalam melaksakan layanan
psikologi
(2)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi meng-hormati martabat setiap orang serta
hak-hak individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan dan pilihan pribadi
seseorang.
Contoh Kasus :Seorang
psikolog membocorkan masalah pasiennya kepada orang lain
Kesimpulan :Seharusnya
seorang psikolog menjaga rahasia pasiennya, sesuai perjanjian yang dibuat
psikolog dengan pasiennya
(3)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian
khusus untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang
karena keterbatasan yang ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan
keputusan
Contoh Kasus :Saat
psikolog sedang menangani sebuah komunitas
Kesimpulan :.
(4)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari dan menghormati perbedaan budaya,
individu dan peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa,
budaya, asal kebangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan
khusus), bahasa dan status sosial-ekonomi, serta mempertimbangkan faktor-faktor
tersebut pada saat bekerja dengan orang-orang dari kelompok tersebut.
Contoh Kasus :Seorang
psikolog tidak mau menerima pasien dari suku tertentu
Kesimpulan :
Seharusnya seorang psikolog dapat menghormati pasien yang datang kepadanya
tanpa membedakan suku-suku tertentu
(5)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias
faktor-faktor tersebut pada butir (3) dan menghindari keterlibatan baik yang
disadari maupun tidak disadari dalam aktifitas-aktifitas yang didasari oleh
prasangka
.
Prinsip B: Integritas dan Sikap
Ilmiah
(1)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus mendasarkan pada dasar dan etika
ilmiah terutama pada pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya oleh
komunitas psikologi.
Contoh kasus :Seorang
psikolog sembarangan memberikan diagnosa kepada pasien
Kesimpulan :Seharusnya
psikolog memberikan diagnosa kepada psien secara ilmiahdan dengan pengetahuan
yang sudah diyakini kebenarannya. bukan sembarang, misalnya sesuai pendapatnya
sendiri yang tidak sesuai ilmiah psikologi
(2)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran,
kebenaran dalam keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi.
Contoh kasus: Psikolog
A yang membohongi paseinnya untuk mendapatkan honor yang lebih
Kesimpulan : Seharusnya
psikolog yang baik menjaga integritas diri demi kebaikan paseinnya
(3)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak mencuri, berbohong, terlibat
pemalsuan (fraud), tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja
memberikan fakta-fakta yang tidak benar.
Contoh kasus: Seorang
Psikolog memalsukan diagnosis untuk kepentingan pribadi.
Kesimpulan :
Seorang Psikolog tidak boleh memalsukan diagnosis untuk kepentingan pribadi.
Karena dapat membahayakan kejiwaan pasien.
(4)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berupaya untuk menepati janji tetapi dapat
mengambil keputusan tidak mengungkap fakta secara utuh atau lengkap HANYA dalam
situasi dimana tidak diungkapkannya fakta secara etis dapat
dipertanggungjawabkan untuk meminimalkan dampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi.
Contoh kasus :Psikolog
A membeberkan masalah pasien secara utuh sehingga membuat pasien semakin
tertekan
Kesimpulan :Seharusnya
seorang psikolog yang baik mengerti tahap-tahapan peenyampaian masalah yang
dialami pasiennya
(5)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan
kebu-tuhan, konsekuensi dan bertanggung jawab untuk memperbaiki
ketidakpercayaan atau akibat buruk yang muncul dari penggunaan teknik psikologi
yang digunakan.
Contoh kasus :Psikolog
A yang secara jelas melakukan kesalahn diagnosis tidak mau bertanggung jawab
terhadap paseinnya justru malah membiarkannya
Kesimpulan :Seharusnya
seorang psikolog yang baik saat dia sadar bahwa dia salah mendiagnosis
pasiennya berani bertanggung jawab atas kesalahannya
Prinsip
C : Profesional
(1)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memiliki kompetensi dalam
melaksanakan segala bentuk layanan psikologi, penelitian, pengajaran,
pelatihan, layanan psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab, kejujuran,
batasan kompetensi, obyektif dan integritas.
Contoh kasus : Seorang
psikolog kurang menguasai ilmu psikologi sehingga tidak bisa mengatasi masalah
pasien
Kesimpulan : Seharusnya
seorang psikolog harus kompeten dalam menangani pasien
(2)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membangun hubungan yang didasarkan pada
adanya saling percaya, menyadari tanggungjawab profesional dan ilmiah terhadap
pengguna layanan psikologi serta komunitas khusus lainnya.
Contoh kasus : Seorang
psikolog tidak bisa membangun komunikasi yang baik terhadap pasien sehingga tidak
ada saling percaya diantara keduanya
Kesimpulan :
seharusnya psikolog yang baik bisa membangun komunikasi yang baik dengan
pasienya
(3)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi kode etik, peran dan
kewajiban profesional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan
mereka, berupaya untuk mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat
mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk.
Contoh kasus :Seorang
psikolog menangani pasien yang depresi
justru malah membuatnya semakin depresi dan stress
Kesimpulan :Seharusnya
psikolog yang baik berusaha mengambil tanggung jawab secara tepat atas
tindakannya. Harus profesional
(4)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan/atau
merujuk pada teman sejawat, profesional lain dan/atau institusi-institusi lain
untuk memberikan layanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi.
Contoh kasus :Psikolog
A memiliki pasien yang tidak bisa ditangani tetapi dia tidak merujukkan kepada
instansi lain yang lebih bisa menangani pasien tersebut
Kesimpulan :Seharusnya
psikolog harus memiliki relasi dengan lembaga instansi psikolog lainnya
(5)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu mempertimbangkan dan memperhatikan
kepatuhan etis dan profesional kolega-kolega dan/atau profesi lain.
Contoh kasus : Seorang
psikolog A justru menjelekan kemampuan seorang psikiater
Kesimpulan : seharusnya
seorang psikolog yang baik menghormati profesi lain
(6)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam situasi tertentu bersedia untuk
menyumbangkan sebagian waktu profesionalnya tanpa atau dengan sedikit
kompensasi keuntungan pribadi.
Contoh kasus : Seorang
psikolog A memiliki pasien yang datang bukan di saat jam praktek dan psikolog
tersebut tidak menerimanya
Kesimpulan :
sebagai psikolog yang baik seharusnya bersedia menyumbangkan sebagian waktunya
untuk pasien
Prinsip
D : Keadilan
(1)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memahami bahwa kejujuran dan
ketidakberpihakan adalah hak setiap orang. Oleh karena itu, pengguna layanan
psikologi tanpa dibedakan oleh latar-belakang dan karakteristik khususnya,
harus mendapatkan layanan dan memperoleh ke-untungan dalam kualitas yang setara
dalam hal proses, prosedur dan layanan yang dilakukan.
(2)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengguna-kan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan
secara profesional, waspada dalam memastikan kemungkinan bias-bias yang muncul,
mem-pertimbangkan batas dari kompetensi, dan keterbatasan keahlian sehingga
tidak mengabaikan atau mengarah kepada praktik-praktik yang menjamin ketidakberpihakan.
Contoh kasus : Seorang
psikolog A meminta honor yang berbeda dari setiap pasienya dengan melihat
profesinya
Kesimpulan :
Sebagai psikolog yang baik tidak boleh membedakan honor dari setiap pasienya
Prinsip
E : Manfaat
(1)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha maksimal memberikan manfaat pada
kesejah-teraan umat manusia, perlindungan hak dan meminimalkan resiko dampak
buruk pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait.
Contoh kasus : Seorang
psikolog tidak bisa memberikan manfaaat dari pelayananya
Kesimpulan :
Seharusnya psikolog yang baik bias memberikan manfaat terhadap pasienya
(2)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi apabila terjadi konflik perlu menghindari
serta memini-malkan akibat dampak buruk; karena keputusan dan tindakan-tindakan
ilmiah dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mempengaruhi kehidupan
pihak-pihak lain.
Contoh kasus : Seorang
psikolog A memiliki pasien yang sedang memiliki konflik dengan temanya tapi
justru psikolog tersebut malah makin memperumit masalahnya
Kesimpulan :
Sebagai psikolog yang baik harus bersikap netral terhadap masalah pasienya dan
tidak mempengaruhi pihak-pihak lain dari pasienya
(3)
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya faktor-faktor
pribadi, keuangan, sosial, organi-sasi maupun politik yang mengarah pada
pe-nyalahgunaan atas pengaruh mereka.
Contoh kasus : Seorang
psikolog disuap demi kepentingan pihak tertentu
Kesimpulan :
Seorang psikolog yang baik harus bias professional dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya
BAB II
Pasal
3 Majelis Psikologi Indonesia
1) Majelis
Psikologi adalah penyelenggara organi-sasi yang memberikan pertimbangan etis,
normatif maupun keorganisasian dalam kaitan dengan profesi psikologi baik
sebagai ilmuwan maupun praktik psikologi kepada anggota maupun organisasi.
Analisa : dalam pemahaman
diatas majelis psikologi turun tangan untuk memberikan pertimbangan dalam
penyeleksian tenaga kerja psikologi. Dengan hal ini maka indonesia bisa melahirkan
profesi dan tenaga kerja yang baik karena telah mendapatkan pertimbangan etis,
normatif maupun keorganisasian dari majelis psikologi. Contoh: suatu perusahaan
mengadakan rekrutme pegawai selain lolos secara akademis juga harus lolos uji
psikotes, maka calon pegawai harus lolos uji psikotes sebagai pertimbangan
rekrutme tersebut.
2) Penyelesaian
masalah pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia oleh Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi, dilakukan oleh Majelis Psikologi dengan memperhatikan
laporan yang masuk akal dari berbagai pihak dan kesempatan untuk membela diri.
Analisa : pelanggaran
kode etik psikologi bisa diproses hanya apabila terdapat laporan alasan yang
masuk akal tentunya dengan bukti yang meyakinkan sebagai pendukung apakah
pelaku pelanggaran tersebut benar-benar bersalah atau tidak, dan tentunya
pelaku pelanggaran tersebut dapat membela diri dan pertimbangannya sesuai
dengan laporan dan bukti yang telah terlapor dan bagaimana cara pelaku
pelanggaran tersebut dapat membela dirinya. Contoh: apabila ada seorang
psikolog terbukti bersalah maka ia tetap berhak membela dirinya dan
pertimbangan dia bersalah atau tidak akan terlihat dalam seberapa kuat ia
membela diri dan seberapa kuat info dan bukti yang ada bahwa ia bersalah.
3) Apabila
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi telah melakukan layanan Psikologi sesuai
prosedur yang diatur dalam Kode Etik dan tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah ilmiah serta bukti-bukti empiris wajib mendapat perlindungan dari
Himpunan Psikologi Indonesia dalam hal ini Majelis Psikologi Indonesia.
Analisa : dalam
penjelasan diatas maka seorang psikolog harus melakukan layanan sebaik-baiknya.
Apabila sampai lalai mendiagnosa dan menangani klien maka sudah jelas psikolog
tersebut tidak berhak mendapatkan perlindungan dalam hal apapun dari pihak
Majelis Psikologi Indonesia.
4) Apabila
terdapat masalah etika dalam pemberian layanan psikologi yang belum diatur
dalam kode etik psikologi Indonesia maka Himpunan Psikologi Indonesia wajib
mengundang Majelis Psikologi untuk membahas dan merumuskannya, kemudian
disahkan dalam sebuah Rapat yang dimaksudkan untuk itu.
Analisa: dalam
penyelesaian masalah yang belum diatur akan diselesaikan secara bersama yang
melibatkan Himpunan Psiklogi Indonesia bersama dengan Majelis Psikologi untuk
merumuskan dan disahkan dalam rapat.
Kesimpulan
pasal 1 :
Segala penyimpangan,
kelalaian dan permasalahan akan ditangani oleh Majelis Psikologi dengan
disertakan laporan yang masuk akal serta bukti-bukti yang kuat. Psikolog yang
melakukan layanan sesuai kaidah akan mendapatkan perlindungan dari Himpunan
Psikologi Indonesia karena telah dianggap bekerja sesuai prosedur yang berlaku.
Selain itu psikolog juga harus teliti dalam menangani klien, jangan sampai
lalai atau malpraktek. Contohnya dilapangan adalah seorang psikolog yang
mendiagnosa klien nya autis tapi pada kenyataannya klien tersebut hanya
mengalami slow learned, psikolog tersebut tentu saja sudah menyalahi aturan
dalam prakteknya, dengan kata lain psikolog tersebut tidak teliti dalam
mendiagnosa apa yang terjadi pada klien
Pasal 4
Penyalahgunaan di bidang Psikologi
(1) Setiap
pelanggaran wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran
ter-hadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi
sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan
Psikologi Indonesia dan Kode Etik Psikologi Indonesia
Analisa: apabila
terdapat sorang psikolog melanggar wewenang di bidang keahlian psikologi dan
Kode Etik Psikologi baik itu bersifat ringan, sedang atau berat pelaku
pelanggaran tetap mendapatkan sanksi. Contoh: seorang psikolog mendiagnosa
seseorang bahwa orang tersebut autis, tapi pada kenyataan nya orang tersebut
hanya slow learned dan tidak autis. Maka sangat jelas bahwa psikolog tersebut
telah lalai dalam mendiagnosa dan menangani klien. Psikolog tersebut jelas akan
mendapatkan sanksi sebagaimana diatur dalam anggaran dasar, anggaran rumah
tangga himpunan psikologi indonesia dan kode etik psikologi indonesia.
(2) Apabila
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menemukan pelanggaran atau penilaian salah
terhadap kerja mereka, mereka wajib me-ngambil langkah-langkah yang masuk
akalsesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk memperbaiki atau mengurangi
pelanggaran atau kesalahan yang terjadi.
Analisa: Pada dasarnya
jika seorang psikolog
melakukan kesalahan, maka mereka
harus memperbaiki kesalahannya
sehingga tidak merugikan
pihak lain yang menggunakan teori
dari psikolog tersebut. Psikolog
tersebut harus melakukan
kajian ulang dan
merefisi atau meralat
teori yang telah diasampaikan,
kemudian
mengganti teori baru yang sudah
dia perbaiki.
(3) Pelanggaran
kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi
yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan dalam Kode Etik Psikologi
Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh Psikolog terhadap
janji/sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh mereka yang bukan
Psikolog, atau Psikolog yang tidak memiliki Ijin Praktik, serta layanan
psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam Kode Etik Psikologi
Indonesia. Pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas adalah:
a.
Pelanggaran ringan yaitu: Tindakan yang
dilakukan oleh seorang Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang tidak dalam
kondisi yang sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan, se-hingga
mengakibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini:
i.
Ilmu psikolog
ii.
Profesi Psikolog
iii.
Pengguna Jasa layanan psikologi
iv.
Individu yang menjalani Pemeriksaan
Psikologi
v.
Pihak-pihak yang terkait dan masyara-kat
umumnya.
b.
Pelanggaran sedang yaitu: Tindakan yang
dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi karena kelalaiannya dalam
melaksanakan proses maupun pe-nanganan yang tidak sesuai dengan standar
prosedur yang telah ditetapkan meng-akibatkan kerugian bagi salah satu tersebut
di bawah ini:
i.
Ilmu psikologi
ii.
Profesi Psikologi
iii.
Pengguna Jasa layanan psikologi
iv.
Individu yang menjalani Pemeriksaan
Psikologi
v.
Pihak-pihak yang terkait dan masya-rakat
umumnya.
c.
Pelanggaran berat yaitu: Tindakan yang
dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang secara sengaja
memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan kerugian bagi salah
satu di bawah ini:
i.
Ilmu Psikologi
ii.
Profesi Psikologi
iii.
Pengguna Jasa layanan psikologi
iv.
Individu yang menjalani Pemeriksaan
Psikologi
v.
Pihak-pihak yang terkait dan masya-rakat
umumnya
Analisa: seluruh hal-hal
yang bersifat melanggar Kode Etik Psikologi dan suluruh hal-hal yang merugikan
baik itu pelanggaran ringan, sedang maupun berat akan diproses dan dijatuhi
sanksi sesuai pelanggaran apa yang telah dilakukan.
(4).
Penjelasan tentang jenis pelanggaran dan sanksi akan diatur dalam aturan
tersendiri.
Analisa: pelanggaran
kode etik psikologi
adalah tindakan menyimpang yang dilakukan oleh psikolog
dan / atau
ilmuan psikologi dari
ketentuan yang dirumuskan dalam
Kode Etik Psikologi Indonesia. Diantaranya: janji sumpah profesi, psikolog yang tidak memiliki ijin
praktik serta layanan
psikologi yang menyimpang. Pelanggaran ringan, pelanggaransedang dan pelanggaran
berat seperti menyalahi
standar proses, standar prosedur dan
manipulasi data yang merugikan banyak
pihak akan mendapatkan
sanksi yang akan diatur dalam
aturan tersendiri.
Kesimpulan pasal 4 : segala
sesuatu yang melanggar Kode Etik Psikologi akan di proses dan yang terbukti
bersalah akan diberi sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan baik itu
pelanggaan ringan, sedang ataupun berat. Apabila psikolog menemukan pelanggaran
salah terhadap kinerja nya maka mereka wajib memperbaiki kesalahan yang mereka
lakukan
Pasal 5
Penyelesaian Isu Etika
(1) Apabila
tanggungjawab etika psikologi bertentangan dengan peraturan hukum, hukum
pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus
menunjukkan komitmennya terhadap kode etik dan melakukan langkah-langkah untuk
penyelesaian konflik sesuai dengan yang diatur dalam Kode Etik Psikologi
Indonesia. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan dengan cara tersebut,
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi diharapkan patuh terhadap tuntutan hukum,
peraturan atau otoritas hukum lainnya yang berlaku
Analisa: dari penjelasan
diatas apabila seorang psikolog menyimpang dari peraturan hukum maka psikolog
tersebut harus memegang teguh kode etik. Jadi semua psikolog harus patuh pada
peraturan Kode Etik Psikologi dan harus memegang teguh Kode Etik Psikologi.
(2) Apabila
tuntutan organisasi dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berafiliasi atau
bekerja bertentangan dengan Kode Etik Psikologi Indonesia, Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik, memberitahu
komitmennya terhadap kode etik dan jika memungkinkan menye-lesaikan konflik
tersebut dengan berbagai cara sebagai bentuk tanggung jawab dan kepatuhan
terhadap kode etik.
Analisa: segala sesuatu
yang terjadi khususnya yang melanggar Kode Etik Psikologi, psikolog dan/atau
ilmuwan wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik atau alasan mengapa ia
melakukan pelanggaran. Dan psikolog tersebut harus menyelesaikan nya untuk
membuktikan bahwa ia bertanggung jawab terhadap kesalahan nya dan patuh
terhadap Kode Etik Psikologi
(3)
Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi dapat dilakukan oleh Psikolog
dan/atau Ilmu-wan Psikologi, perorangan, organisasi pe-ngguna layanan psikologi
serta pihak-pihak lain. Pelaporan pelanggaran dibuat secara tertulis dan
disertai bukti terkait ditujukan kepada Himpunan Psikologi Indonesia untuk
nantinya diserahkan kepada Majelis Psikologi Indonesia. Mekanisme pelaporan
secara detail akan diatur dalam mekanisme tersendiri.
Analisa: apabila
terdapat psikologi yang terbukti bersalah maka pelapor wajib menyerahkan bukti
yang kuat serta penjelasan yang detail secara tertulis, dengan kata lain
apabila penjelasan secara lisan maka tidak akan diproses dan bukti tidak
lengkap akan diproses lebih lama. Diharap kan para psikolog yang melanggar
harus berpegang teguh Kode Etik Psikologi supaya tidak terjadi
pelanggaran-pelangaran yang merugikan.
(4)Kerjasama
antara Pengurus Himpsi dan Ma-jelis Psikologi Indonesia menjadi bahan
pertim-bangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode Etik. Kerjasama
tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan tindakan investigasi, ng teguh
proses penyidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil
yang diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam orga-nisasi yang ada. Dalam
pelaksanaannya di-usahakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan
tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.
Analisa: penyelesaian
masalah akan dilakukan dengan melakukan investigasi untuk mencapai hasil yang
diharapkan dengan tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.
(5)
Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus Pusat
bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat memberi ma-sukan kepada
Majelis Psikologi Wilayah atau Pusat dengan prosedur sebagai berikut:
a.
Mengadakan pertemuan guna membahas masalah tersebut
b.
Meminta klarifikasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran
c.
Berdasarkan klarifikasi menentukan jenis pelanggaran
Analisa: seluruh
pelanggaran Kode Etik Psikologi akan diproses lebih lanjut dan akan dibahas
secara mendetail serta akan dicari jalan keluarnya. Dengan kata lain seluruh
pelanggaan Kode Etik Psikologi akan diselesaikan sampai tuntas.
(6)
Majelis Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang dipandang
melakukan pelanggaran. Berdasarkan keterangan ang-gota yang bersangkutan dan
data-data lain yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis Psikologi akan mengambil
keputusan tentang permasalahan pelanggaran tersebut.
Analisa: majelis
psikologi tidak akan seenaknya menuduh bahwa psikolog perilaku pelanggaran
tersebut bersalah, tetapi akan menampung seluruh laporan dan keterangan dan
akan memproses sampai tuntas. Dari seluruh data yang masuk maka majelis
psikologi akan mengambil keputusan atas permasalahan tersebut.
(7) Jika
anggota yang diputuskan melakukan pelanggaran oleh majelis psikologi tidak puas
dengan keputusan yang dibuat majelis, apabila dipandang perlu, Pengurus Pusat
bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat mendampingi Majelis Psikologi
untuk membahas masalah tersebut, baik kepada anggota yang bersangkutan maupun
untuk diumumkan sesuai dengan kepentingan.
Analisa: majelis
psikologi memberikan kesempatan kepada pelaku pelanggaran apabila tidak puas
dengan keputusan majelis psikologi maka dapat membawa masalah tersebut ke
pengurus wilayah untuk ditindak lanjuti.
Kesimpulan pasal 5:
apabila terjadi pertentangan etika psikologi dengan hukum yang berlaku, psikolog dan/atau ilmuan psikologi harus menunjukan
komitmennya, kemudian mencari jalan keluar atas konflik yang terjadi. Jika
mengalami kebuntuan, sebaiknya psikolog dan/atau ilmuan psikologi sebaiknya
mengikuti peraturan hukum yang berlaku diwilayah
tersebut.Dalam pelaksanaannya diusahakan untuk tetap memegang teguh prinsib
kerahasiaan.
Pasal 6 Diskriminasi yang Tidak Adil terhadap
Keluhan
Himpunan Psikologi Indonesia dan Majelis
Psikologi tidak menolak siapapun yang mengajukan keluhan karena terkena
pelanggaran etika.Keluhan harus di dasarkan pada fakta-fakta yang jelas dan
masuk akal.
Analisa: Himpunan psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi akan menindak
lanjuti keluhan atas pelanggaran etika yang terjadi, namun harus disertai fakta
atau bukti yang jelas dan masuk akal
Kesimpulan
pasal 6:
Pelanggaran
apapun tidak akan diterima oleh Majelis Psikologi apabila pelapor tidak
menyertakan bukti dan penjelasan yang jelas dan masuk akal. Dalam hal ini
pelaporan pelanggaran lebih baik bersifat tertulis karena dirasa lebih akurat
dan bukti-bukti yang ada harus kuat agar Majelis Psikologi bisa memproses
masalah dengan baik.
BAB III
KOMPETENSI
Pasal 7
RUANG LINGKUP
KOMPETENSI
(1) Ilmuwan
Psikologi memberikan jasa dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan atau
intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan,
pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(2) Psikolog dapat
memberikan jasa sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi serta secara
khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan dengan
psikoterapi setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan
pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan atau
pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isue atau cakupan kasus-kasus
khusus, misalnya terkait penanganan HIV / AIDS, kekerasan berbasis gender,
orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan
khusus), atau yang terkait dengan kekhususan ras, suku, budaya, asli
kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok marginal, penting untuk mengupayakan
penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara seperti pelatihan,
pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan
kompetensi dalam memberikan pelayanan
jasa dan atau praktik psikologi yang dilakukan kecuali dalam situasi darurat
sesuai dengan pasal yang membahas tentang itu.
(4) Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar baku
penanganan, guna melindungi pengguna jasa dan atau praktik psikologi serta
pihak lain yang terkait.
(5) Dalam
menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi praktik psikologi
sebagaimana tersebut di atas, Psikolog perlu mengenali peraturan-peraturan
hukum sehubungan dengan kasus yang ditangani dan peran yang dijalankan.
Pasal 8
PENINGKATAN
KOMPETENSI
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan
upaya-upaya yang berkesinambungan guna mempertahankan dan meningkatkan
kompetensi mereka.
Contoh Kasus : Seorang
Psikolog setelah mendapatkan gelarnya dan membuka praktik tidak mau menambah
pengetahuannya. Jadi, psikolog tersebut hanya mendapatkan ilmunya hanya dari
tempat di mana ia mendapatkkan gelarnya tersebut.
Kesimpulan : Psikologi
merupakan ilmu yang terus berkembang dari masa ke masa seiring dengan
modernitas yang terjadi, oleh karena itu untuk melayani pasien psikolog juga
arus menambah ilmunya sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Pasal 9
DASAR-DASAR
PENGETAHUAN ILMIAH dan SIKAP PROFESIONAL
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam pengambilan
keputusan harus berdasar pada pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang
sudah teruji dan diterima secara luas atau universaldalam disiplin ilmu psikologi.
Contoh Kasus : Seorang
Psikolog memberikan diagnosa dan saran berdasarkan keinginannya bukan sesuai
dengan disiplin ilmu psikologi.
Kesimpulan : Disiplin ilmu
psikologi penting untuk dipatuhi karena merupakan hasil pemikiran orang yang
sudah ahli dan merupakan ilmu yang sudah universal. Dan
Pasal 10
PENDELEGASIAN
PEKERJAAN PADA ORANG LAIN
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan
pekerjaan pada asisten, mahasiswa, mahasiswa yang disupervisi, asisten
penelitian, asisten pengajaran, atau kepada jasa orang lain seperti penterjemah
perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:
a)
menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang
yang memiliki hubungan ganda dengan yang diberikan jasa dan atau praktik
psikologi, yang mungkin akan mengarah pada eksploitasi atau hilangnya
objektivitas
b)
memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana
orang yang diberikan pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten
atas dasar pendidikan, pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau
dengan pemberian supervisi hingga level tertentu; dan
c)
memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan
psikologi secara kompeten.
Contoh Kasus : Seorang
Psikolog menyerahkan tugas Psikotest untuk siswa ke guru Bimbingan Konseling
yang notabene bukan merupakan Sarjana Psikologi yang tidak berkompeten dalam
hal tersebut.
Kesimpulan : Seorang
Psikolog harus mengerjakan tugas yang yang diembannya sendiri dan tidak boleh
menugaskannya kepada seorang yang bukan merupakan sarjana psikologi. Karena
dalam pengerjaan psikotest seorang psikolog siswa diharuskan dalam keadaan yang
kondusif dan BETAH (Bersih, Transparan, Akuntabel, Humanis).
Pasal 11
MASALAH DAN
KONFLIK PERSONAL
(1) Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa
masalah dan konflik pribadi mereka akan dapat mempengaruhi efektifitas
kerja. Dalam hal ini Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mampu menahan diri
dari tindakan yang dapat merugikan pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak
lain, sebagai akibat dari masalah dan atau konflik pribadi tersebut.
(2) Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi berkewajiban untuk waspada terhadap tanda-tanda adanya
masalah dan konflik pribadi, bila hal ini terjadi sesegera mungkin mencari
bantuan atau melakukan konsultasi profesional untuk dapat kembali menjalankan pekerjaannya secara profesional.
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus menentukan akan membatasi,
menangguhkan, atau menghentikan kewajiban layanan psikologi tersebut.
Contoh Kasus : Psikolog A
tidak mau melayani klien B karena mempunyai masalah pribadi terhadap klien
tersebut.
Kesimpulan : Seorang
Psikolog tidak boleh membawa urusan pribadi dalam konsultasi. Seorang psikolog harus profesional dalam melayani
klien atau kalau tidak memungkinkan psikolog tersebut dapat merekomendasikan ke
psikolog lain.
Pasal 12
PEMBERIAN
LAYANAN PSIKOLOGI DALAM KEADAAN
DARURAT
(1) Keadaan
darurat adalah suatu kondisi di mana
layanan kesehatan mental dan atau psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi
tidak tersedia tenaga Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang memiliki
kompetensi untuk memberikan layanan psikologi yang dibutuhkan.
(2) Dalam kondisi
sebagaimana tersebut dalam poin (1) pasal ini, kebutuhan yang ada tetap harus
dilayani. Karenanya Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki
kompetensi dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi untuk memastikan
bahwa kebutuhanlayanan psikologi tersebut tidak ditolak.
(3) Selama
memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat, psikolog yang belum memiliki
kompetensi yang dibutuhkan dan atau Ilmuwan Psikologi perlu segera mencari
psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan
psikologi tersebut.
(4) Bila Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia atau kondisi
darurat telah selesai, maka pemberian layanan psikologi tersebut harus
dialihkan kepada yang lebih kompeten atau dihentikan segera.
Contoh Kasus : Seorang
Psikolog melayani seorang klien yang mempunyai yang mempunyai penyakit dalam
dan mengobati penyakit dalam tersebtu.
Kesimpulan : Seorang
Psikolog tidak boleh malayani hal yang bukan merupakan bagiannya. Psikolog
tersebut harus merujuknya terlebih dahulu ke tempat di mana pasien tersebut
mendapatkan pengobatan yang sesuai.
0 komentar