KODE ETIK PSIKOLOGI

by - 12:46 AM


BAB I
PEDOMAN UMUM
Pasal 1

(1) KODE ETIK PSIKOLOGI adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan psikologi di Indonesia.
Contoh kasus : Seorang psikolog tidak menggunakan kode etik psikologi dalam menangani pasiennya.
Kesimpulan : seharusnya, seorang psikolog melakukan tindakan sesuai kode etik psikologi yang berlaku.
(2) PSIKOLOGI merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses mental yang melatar-belakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Ahli dalam ilmu Psikologi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu profesi atau yang berkaitan dengan praktik psikologi dan ilmu psikologi termasuk dalam hal ini ilmu murni atau terapan.

(3) PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; serta administrasi. Psi-kolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Contoh Kasus : Seorang Psikolog membuka praktik tanpa mempunyai izin praktik.
Kesimpulan : Seorang Psikolog harus lulusan S-1 dan untuk membuka praktek sendiri harus lulusan S-2 serta diwajibkan memiliki izin praktik psikologi sesuai dengan ketentuan yang berlaku


(4) ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar belakang pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang pe-nelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen psikologi; pengadministrasian asesmen; konseling sederhana;konsultasi organisasi; peran-cangan dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains) dan terapan.
Contoh Kasus :Seorang Psikolog menangani menangani gangguan syaraf yang seharusnya ditangani oleh Psikiater
Kesimpulan :Seorang Psikolog tidak boleh menangani seorang pasien di luar kewenangan sesuai Pasal 1 Ayat 4.
(5) LAYANAN PSIKOLOGI adalah segala aktifitas pemberian jasa dan praktik psikologi dalam rangka menolong individu dan/atau kelompok yang dimaksudkan untuk pencegahan, pengembangan dan penyelesaian masalah-masalah psikologis. Layanan psikologi dapat berupa praktik konseling dan psikoterapi; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling karir dan pendidikan; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang fo-rensik; perancangan dan evaluasi program; dan administrasi.
Contoh Kasus :Seorang Psikolog melakukan pelayanan terhadap pasien tetapi tidak menyelesaikan atau mencegah masalah pasiennya melainkan malah membuatnya semakin rumit.
Kesimpulan :Seharusnya seorang psikolog mencegah atau menyelesaikan masalah pasiennya.




Pasal 2
Prinsip Umum
Prinsip A: Penghormatan pada Harkat Martabat Manusia
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menekankan pada hak asasi manusia dalam melaksanakan layanan psikologi.
Contoh Kasus :Seorang psikolog melakukan pelecehan seksual terhadap pasiennya
Kesimpulan :Seharusnya seorang psikolog yang baik mematuhi hak asasi manusia dalam melaksakan layanan psikologi
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi meng-hormati martabat setiap orang serta hak-hak individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan dan pilihan pribadi seseorang.
Contoh Kasus :Seorang psikolog membocorkan masalah pasiennya kepada orang lain
Kesimpulan :Seharusnya seorang psikolog menjaga rahasia pasiennya, sesuai perjanjian yang dibuat psikolog dengan pasiennya
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang karena keterbatasan yang ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan
Contoh Kasus :Saat psikolog sedang menangani sebuah komunitas
Kesimpulan :.
(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari dan menghormati perbedaan budaya, individu dan peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, asal kebangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), bahasa dan status sosial-ekonomi, serta mempertimbangkan faktor-faktor tersebut pada saat bekerja dengan orang-orang dari kelompok tersebut.
Contoh Kasus :Seorang psikolog tidak mau menerima pasien dari suku tertentu
Kesimpulan : Seharusnya seorang psikolog dapat menghormati pasien yang datang kepadanya tanpa membedakan suku-suku tertentu
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias faktor-faktor tersebut pada butir (3) dan menghindari keterlibatan baik yang disadari maupun tidak disadari dalam aktifitas-aktifitas yang didasari oleh prasangka

.
Prinsip B: Integritas dan Sikap Ilmiah
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus mendasarkan pada dasar dan etika ilmiah terutama pada pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya oleh komunitas psikologi.
Contoh kasus :Seorang psikolog sembarangan memberikan diagnosa kepada pasien
Kesimpulan :Seharusnya psikolog memberikan diagnosa kepada psien secara ilmiahdan dengan pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya. bukan sembarang, misalnya sesuai pendapatnya sendiri yang tidak sesuai ilmiah psikologi
(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran dalam keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi.
Contoh kasus: Psikolog A yang membohongi paseinnya untuk mendapatkan honor yang lebih
Kesimpulan : Seharusnya psikolog yang baik menjaga integritas diri demi kebaikan paseinnya
(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak mencuri, berbohong, terlibat pemalsuan (fraud), tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar.
Contoh kasus: Seorang Psikolog memalsukan diagnosis untuk kepentingan pribadi.
Kesimpulan : Seorang Psikolog tidak boleh memalsukan diagnosis untuk kepentingan pribadi. Karena dapat membahayakan kejiwaan pasien.

(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berupaya untuk menepati janji tetapi dapat mengambil keputusan tidak mengungkap fakta secara utuh atau lengkap HANYA dalam situasi dimana tidak diungkapkannya fakta secara etis dapat dipertanggungjawabkan untuk meminimalkan dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi.
Contoh kasus :Psikolog A membeberkan masalah pasien secara utuh sehingga membuat pasien semakin tertekan
Kesimpulan :Seharusnya seorang psikolog yang baik mengerti tahap-tahapan peenyampaian masalah yang dialami pasiennya
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kebu-tuhan, konsekuensi dan bertanggung jawab untuk memperbaiki ketidakpercayaan atau akibat buruk yang muncul dari penggunaan teknik psikologi yang digunakan.
Contoh kasus :Psikolog A yang secara jelas melakukan kesalahn diagnosis tidak mau bertanggung jawab terhadap paseinnya justru malah membiarkannya
Kesimpulan :Seharusnya seorang psikolog yang baik saat dia sadar bahwa dia salah mendiagnosis pasiennya berani bertanggung jawab atas kesalahannya

Prinsip C : Profesional
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk layanan psikologi, penelitian, pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas.
Contoh kasus : Seorang psikolog kurang menguasai ilmu psikologi sehingga tidak bisa mengatasi masalah pasien
Kesimpulan : Seharusnya seorang psikolog harus kompeten dalam menangani pasien

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membangun hubungan yang didasarkan pada adanya saling percaya, menyadari tanggungjawab profesional dan ilmiah terhadap pengguna layanan psikologi serta komunitas khusus lainnya.
Contoh kasus : Seorang psikolog tidak bisa membangun komunikasi yang baik terhadap pasien sehingga tidak ada saling percaya diantara keduanya
Kesimpulan : seharusnya psikolog yang baik bisa membangun komunikasi yang baik dengan pasienya

(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban profesional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk.
Contoh kasus :Seorang psikolog  menangani pasien yang depresi justru malah membuatnya semakin depresi dan stress
Kesimpulan :Seharusnya psikolog yang baik berusaha mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakannya. Harus profesional

(4) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan/atau merujuk pada teman sejawat, profesional lain dan/atau institusi-institusi lain untuk memberikan layanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi.
Contoh kasus :Psikolog A memiliki pasien yang tidak bisa ditangani tetapi dia tidak merujukkan kepada instansi lain yang lebih bisa menangani pasien tersebut
Kesimpulan :Seharusnya psikolog harus memiliki relasi dengan lembaga instansi psikolog lainnya
(5) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu mempertimbangkan dan memperhatikan kepatuhan etis dan profesional kolega-kolega dan/atau profesi lain.
Contoh kasus : Seorang psikolog A justru menjelekan kemampuan seorang psikiater
Kesimpulan : seharusnya seorang psikolog yang baik menghormati profesi lain

(6) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam situasi tertentu bersedia untuk menyumbangkan sebagian waktu profesionalnya tanpa atau dengan sedikit kompensasi keuntungan pribadi.
Contoh kasus : Seorang psikolog A memiliki pasien yang datang bukan di saat jam praktek dan psikolog tersebut tidak menerimanya
Kesimpulan : sebagai psikolog yang baik seharusnya bersedia menyumbangkan sebagian waktunya untuk pasien

Prinsip D : Keadilan
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memahami bahwa kejujuran dan ketidakberpihakan adalah hak setiap orang. Oleh karena itu, pengguna layanan psikologi tanpa dibedakan oleh latar-belakang dan karakteristik khususnya, harus mendapatkan layanan dan memperoleh ke-untungan dalam kualitas yang setara dalam hal proses, prosedur dan layanan yang dilakukan.

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengguna-kan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional, waspada dalam memastikan kemungkinan bias-bias yang muncul, mem-pertimbangkan batas dari kompetensi, dan keterbatasan keahlian sehingga tidak mengabaikan atau mengarah kepada praktik-praktik yang menjamin ketidakberpihakan.
Contoh kasus : Seorang psikolog A meminta honor yang berbeda dari setiap pasienya dengan melihat profesinya
Kesimpulan : Sebagai psikolog yang baik tidak boleh membedakan honor dari setiap pasienya




Prinsip E : Manfaat
(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha maksimal memberikan manfaat pada kesejah-teraan umat manusia, perlindungan hak dan meminimalkan resiko dampak buruk pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait.
Contoh kasus : Seorang psikolog tidak bisa memberikan manfaaat dari pelayananya
Kesimpulan : Seharusnya psikolog yang baik bias memberikan manfaat terhadap pasienya

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi apabila terjadi konflik perlu menghindari serta memini-malkan akibat dampak buruk; karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak-pihak lain.
Contoh kasus : Seorang psikolog A memiliki pasien yang sedang memiliki konflik dengan temanya tapi justru psikolog tersebut malah makin memperumit masalahnya
Kesimpulan : Sebagai psikolog yang baik harus bersikap netral terhadap masalah pasienya dan tidak mempengaruhi pihak-pihak lain dari pasienya

(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial, organi-sasi maupun politik yang mengarah pada pe-nyalahgunaan atas pengaruh mereka.
Contoh kasus : Seorang psikolog disuap demi kepentingan pihak tertentu
Kesimpulan : Seorang psikolog yang baik harus bias professional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya







BAB II
Pasal 3 Majelis Psikologi Indonesia
                                                                               
1)    Majelis Psikologi adalah penyelenggara organi-sasi yang memberikan pertimbangan etis, normatif maupun keorganisasian dalam kaitan dengan profesi psikologi baik sebagai ilmuwan maupun praktik psikologi kepada anggota maupun organisasi.

Analisa : dalam pemahaman diatas majelis psikologi turun tangan untuk memberikan pertimbangan dalam penyeleksian tenaga kerja psikologi. Dengan hal ini maka indonesia bisa melahirkan profesi dan tenaga kerja yang baik karena telah mendapatkan pertimbangan etis, normatif maupun keorganisasian dari majelis psikologi. Contoh: suatu perusahaan mengadakan rekrutme pegawai selain lolos secara akademis juga harus lolos uji psikotes, maka calon pegawai harus lolos uji psikotes sebagai pertimbangan rekrutme tersebut.

2)    Penyelesaian masalah pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, dilakukan oleh Majelis Psikologi dengan memperhatikan laporan yang masuk akal dari berbagai pihak dan kesempatan untuk membela diri.

Analisa : pelanggaran kode etik psikologi bisa diproses hanya apabila terdapat laporan alasan yang masuk akal tentunya dengan bukti yang meyakinkan sebagai pendukung apakah pelaku pelanggaran tersebut benar-benar bersalah atau tidak, dan tentunya pelaku pelanggaran tersebut dapat membela diri dan pertimbangannya sesuai dengan laporan dan bukti yang telah terlapor dan bagaimana cara pelaku pelanggaran tersebut dapat membela dirinya. Contoh: apabila ada seorang psikolog terbukti bersalah maka ia tetap berhak membela dirinya dan pertimbangan dia bersalah atau tidak akan terlihat dalam seberapa kuat ia membela diri dan seberapa kuat info dan bukti yang ada bahwa ia bersalah.


3)    Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi telah melakukan layanan Psikologi sesuai prosedur yang diatur dalam Kode Etik dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmiah serta bukti-bukti empiris wajib mendapat perlindungan dari Himpunan Psikologi Indonesia dalam hal ini Majelis Psikologi Indonesia.

Analisa : dalam penjelasan diatas maka seorang psikolog harus melakukan layanan sebaik-baiknya. Apabila sampai lalai mendiagnosa dan menangani klien maka sudah jelas psikolog tersebut tidak berhak mendapatkan perlindungan dalam hal apapun dari pihak Majelis Psikologi Indonesia.



4)    Apabila terdapat masalah etika dalam pemberian layanan psikologi yang belum diatur dalam kode etik psikologi Indonesia maka Himpunan Psikologi Indonesia wajib mengundang Majelis Psikologi untuk membahas dan merumuskannya, kemudian disahkan dalam sebuah Rapat yang dimaksudkan untuk itu.

Analisa: dalam penyelesaian masalah yang belum diatur akan diselesaikan secara bersama yang melibatkan Himpunan Psiklogi Indonesia bersama dengan Majelis Psikologi untuk merumuskan dan disahkan dalam rapat.
                                             
Kesimpulan pasal 1 :
Segala penyimpangan, kelalaian dan permasalahan akan ditangani oleh Majelis Psikologi dengan disertakan laporan yang masuk akal serta bukti-bukti yang kuat. Psikolog yang melakukan layanan sesuai kaidah akan mendapatkan perlindungan dari Himpunan Psikologi Indonesia karena telah dianggap bekerja sesuai prosedur yang berlaku. Selain itu psikolog juga harus teliti dalam menangani klien, jangan sampai lalai atau malpraktek. Contohnya dilapangan adalah seorang psikolog yang mendiagnosa klien nya autis tapi pada kenyataannya klien tersebut hanya mengalami slow learned, psikolog tersebut tentu saja sudah menyalahi aturan dalam prakteknya, dengan kata lain psikolog tersebut tidak teliti dalam mendiagnosa apa yang terjadi pada klien

Pasal 4 Penyalahgunaan di bidang Psikologi
(1) Setiap pelanggaran wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran ter-hadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia dan Kode Etik Psikologi Indonesia

Analisa: apabila terdapat sorang psikolog melanggar wewenang di bidang keahlian psikologi dan Kode Etik Psikologi baik itu bersifat ringan, sedang atau berat pelaku pelanggaran tetap mendapatkan sanksi. Contoh: seorang psikolog mendiagnosa seseorang bahwa orang tersebut autis, tapi pada kenyataan nya orang tersebut hanya slow learned dan tidak autis. Maka sangat jelas bahwa psikolog tersebut telah lalai dalam mendiagnosa dan menangani klien. Psikolog tersebut jelas akan mendapatkan sanksi sebagaimana diatur dalam anggaran dasar, anggaran rumah tangga himpunan psikologi indonesia dan kode etik psikologi indonesia.

(2) Apabila Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menemukan pelanggaran atau penilaian salah terhadap kerja mereka, mereka wajib me-ngambil langkah-langkah yang masuk akalsesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk memperbaiki atau mengurangi pelanggaran atau kesalahan yang terjadi.

Analisa: Pada dasarnya jika seorang psikolog melakukan kesalahan, maka mereka harus memperbaiki kesalahannya sehingga tidak merugikan pihak lain yang menggunakan teori dari psikolog tersebut. Psikolog tersebut harus melakukan kajian ulang dan merefisi atau meralat teori yang telah diasampaikan, kemudian mengganti teori baru yang sudah dia perbaiki.


(3) Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh Psikolog terhadap janji/sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh mereka yang bukan Psikolog, atau Psikolog yang tidak memiliki Ijin Praktik, serta layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas adalah:

a.     Pelanggaran ringan yaitu: Tindakan yang dilakukan oleh seorang Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang tidak dalam kondisi yang sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan, se-hingga mengakibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini:

i.                   Ilmu psikolog
ii.                 Profesi Psikolog
iii.              Pengguna Jasa layanan psikologi
iv.               Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v.                  Pihak-pihak yang terkait dan masyara-kat umumnya.


b.     Pelanggaran sedang yaitu: Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi karena kelalaiannya dalam melaksanakan proses maupun pe-nanganan yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan meng-akibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini:

i.                   Ilmu psikologi
ii.                 Profesi Psikologi
iii.              Pengguna Jasa layanan psikologi
iv.               Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v.                  Pihak-pihak yang terkait dan masya-rakat umumnya.

c.      Pelanggaran berat yaitu: Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang secara sengaja memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu di bawah ini:

i.                   Ilmu Psikologi
ii.                 Profesi Psikologi
iii.              Pengguna Jasa layanan psikologi
iv.               Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v.                  Pihak-pihak yang terkait dan masya-rakat umumnya


Analisa: seluruh hal-hal yang bersifat melanggar Kode Etik Psikologi dan suluruh hal-hal yang merugikan baik itu pelanggaran ringan, sedang maupun berat akan diproses dan dijatuhi sanksi sesuai pelanggaran apa yang telah dilakukan.

(4). Penjelasan tentang jenis pelanggaran dan sanksi akan diatur dalam aturan tersendiri.

Analisa: pelanggaran kode etik psikologi adalah tindakan menyimpang yang dilakukan oleh psikolog dan / atau ilmuan psikologi dari ketentuan yang dirumuskan dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Diantaranya: janji sumpah profesi, psikolog yang tidak memiliki ijin praktik serta layanan psikologi yang menyimpang. Pelanggaran ringan, pelanggaransedang dan pelanggaran berat seperti menyalahi standar proses, standar prosedur dan manipulasi data yang merugikan banyak pihak akan mendapatkan sanksi yang akan diatur dalam aturan tersendiri.


Kesimpulan pasal 4 : segala sesuatu yang melanggar Kode Etik Psikologi akan di proses dan yang terbukti bersalah akan diberi sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan baik itu pelanggaan ringan, sedang ataupun berat. Apabila psikolog menemukan pelanggaran salah terhadap kinerja nya maka mereka wajib memperbaiki kesalahan yang mereka lakukan

Pasal 5 Penyelesaian Isu Etika
(1) Apabila tanggungjawab etika psikologi bertentangan dengan peraturan hukum, hukum pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menunjukkan komitmennya terhadap kode etik dan melakukan langkah-langkah untuk penyelesaian konflik sesuai dengan yang diatur dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan dengan cara tersebut, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi diharapkan patuh terhadap tuntutan hukum, peraturan atau otoritas hukum lainnya yang berlaku

Analisa: dari penjelasan diatas apabila seorang psikolog menyimpang dari peraturan hukum maka psikolog tersebut harus memegang teguh kode etik. Jadi semua psikolog harus patuh pada peraturan Kode Etik Psikologi dan harus memegang teguh Kode Etik Psikologi.

(2) Apabila tuntutan organisasi dimana Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berafiliasi atau bekerja bertentangan dengan Kode Etik Psikologi Indonesia, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik, memberitahu komitmennya terhadap kode etik dan jika memungkinkan menye-lesaikan konflik tersebut dengan berbagai cara sebagai bentuk tanggung jawab dan kepatuhan terhadap kode etik.

Analisa: segala sesuatu yang terjadi khususnya yang melanggar Kode Etik Psikologi, psikolog dan/atau ilmuwan wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik atau alasan mengapa ia melakukan pelanggaran. Dan psikolog tersebut harus menyelesaikan nya untuk membuktikan bahwa ia bertanggung jawab terhadap kesalahan nya dan patuh terhadap Kode Etik Psikologi



(3) Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi dapat dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmu-wan Psikologi, perorangan, organisasi pe-ngguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain. Pelaporan pelanggaran dibuat secara tertulis dan disertai bukti terkait ditujukan kepada Himpunan Psikologi Indonesia untuk nantinya diserahkan kepada Majelis Psikologi Indonesia. Mekanisme pelaporan secara detail akan diatur dalam mekanisme tersendiri.

Analisa: apabila terdapat psikologi yang terbukti bersalah maka pelapor wajib menyerahkan bukti yang kuat serta penjelasan yang detail secara tertulis, dengan kata lain apabila penjelasan secara lisan maka tidak akan diproses dan bukti tidak lengkap akan diproses lebih lama. Diharap kan para psikolog yang melanggar harus berpegang teguh Kode Etik Psikologi supaya tidak terjadi pelanggaran-pelangaran yang merugikan.

(4)Kerjasama antara Pengurus Himpsi dan Ma-jelis Psikologi Indonesia menjadi bahan pertim-bangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode Etik. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan tindakan investigasi, ng teguh proses penyidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam orga-nisasi yang ada. Dalam pelaksanaannya di-usahakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.

Analisa: penyelesaian masalah akan dilakukan dengan melakukan investigasi untuk mencapai hasil yang diharapkan dengan tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.

(5) Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat memberi ma-sukan kepada Majelis Psikologi Wilayah atau Pusat dengan prosedur sebagai berikut:
a. Mengadakan pertemuan guna membahas masalah tersebut
b. Meminta klarifikasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran
c. Berdasarkan klarifikasi menentukan jenis pelanggaran

Analisa: seluruh pelanggaran Kode Etik Psikologi akan diproses lebih lanjut dan akan dibahas secara mendetail serta akan dicari jalan keluarnya. Dengan kata lain seluruh pelanggaan Kode Etik Psikologi akan diselesaikan sampai tuntas.

(6) Majelis Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang dipandang melakukan pelanggaran. Berdasarkan keterangan ang-gota yang bersangkutan dan data-data lain yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis Psikologi akan mengambil keputusan tentang permasalahan pelanggaran tersebut.

Analisa: majelis psikologi tidak akan seenaknya menuduh bahwa psikolog perilaku pelanggaran tersebut bersalah, tetapi akan menampung seluruh laporan dan keterangan dan akan memproses sampai tuntas. Dari seluruh data yang masuk maka majelis psikologi akan mengambil keputusan atas permasalahan tersebut.




(7) Jika anggota yang diputuskan melakukan pelanggaran oleh majelis psikologi tidak puas dengan keputusan yang dibuat majelis, apabila dipandang perlu, Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat mendampingi Majelis Psikologi untuk membahas masalah tersebut, baik kepada anggota yang bersangkutan maupun untuk diumumkan sesuai dengan kepentingan.

Analisa: majelis psikologi memberikan kesempatan kepada pelaku pelanggaran apabila tidak puas dengan keputusan majelis psikologi maka dapat membawa masalah tersebut ke pengurus wilayah untuk ditindak lanjuti.

Kesimpulan pasal 5:
apabila terjadi pertentangan etika psikologi dengan hukum yang berlaku, psikolog dan/atau ilmuan psikologi harus menunjukan komitmennya, kemudian mencari jalan keluar atas konflik yang terjadi. Jika mengalami kebuntuan, sebaiknya psikolog dan/atau ilmuan psikologi sebaiknya mengikuti peraturan hukum yang berlaku diwilayah tersebut.Dalam pelaksanaannya diusahakan untuk tetap memegang teguh prinsib kerahasiaan.

Pasal 6 Diskriminasi yang Tidak Adil terhadap Keluhan
Himpunan Psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi tidak menolak siapapun yang mengajukan keluhan karena terkena pelanggaran etika.Keluhan harus di dasarkan pada fakta-fakta yang jelas dan masuk akal.
Analisa: Himpunan psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi akan menindak lanjuti keluhan atas pelanggaran etika yang terjadi, namun harus disertai fakta atau bukti yang jelas dan masuk akal


Kesimpulan pasal 6:
Pelanggaran apapun tidak akan diterima oleh Majelis Psikologi apabila pelapor tidak menyertakan bukti dan penjelasan yang jelas dan masuk akal. Dalam hal ini pelaporan pelanggaran lebih baik bersifat tertulis karena dirasa lebih akurat dan bukti-bukti yang ada harus kuat agar Majelis Psikologi bisa memproses masalah dengan baik.






BAB  III
KOMPETENSI

Pasal 7
RUANG LINGKUP KOMPETENSI

(1) Ilmuwan Psikologi memberikan jasa dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Psikolog dapat memberikan jasa sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan dengan psikoterapi setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan atau pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

(3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isue atau cakupan kasus-kasus khusus, misalnya terkait penanganan HIV / AIDS, kekerasan berbasis gender, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), atau yang terkait dengan kekhususan ras, suku, budaya, asli kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok marginal, penting untuk mengupayakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara seperti pelatihan, pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan kompetensi  dalam memberikan pelayanan jasa dan atau praktik psikologi yang dilakukan kecuali dalam situasi darurat sesuai dengan pasal yang membahas tentang itu.

(4) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar baku penanganan, guna melindungi pengguna jasa dan atau praktik psikologi serta pihak lain yang terkait.

(5) Dalam menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi praktik psikologi sebagaimana tersebut di atas, Psikolog perlu mengenali peraturan-peraturan hukum sehubungan dengan kasus yang ditangani dan peran yang dijalankan.






Pasal  8
PENINGKATAN KOMPETENSI

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang berkesinambungan guna mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka.

Contoh Kasus : Seorang Psikolog setelah mendapatkan gelarnya dan membuka praktik tidak mau menambah pengetahuannya. Jadi, psikolog tersebut hanya mendapatkan ilmunya hanya dari tempat di mana ia mendapatkkan gelarnya tersebut.

Kesimpulan : Psikologi merupakan ilmu yang terus berkembang dari masa ke masa seiring dengan modernitas yang terjadi, oleh karena itu untuk melayani pasien psikolog juga arus menambah ilmunya sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.


Pasal 9
DASAR-DASAR PENGETAHUAN ILMIAH dan SIKAP PROFESIONAL

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam pengambilan keputusan harus berdasar pada pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji dan diterima secara luas atau universaldalam  disiplin ilmu psikologi.

Contoh Kasus : Seorang Psikolog memberikan diagnosa dan saran berdasarkan keinginannya bukan sesuai dengan disiplin ilmu psikologi.

Kesimpulan : Disiplin ilmu psikologi penting untuk dipatuhi karena merupakan hasil pemikiran orang yang sudah ahli dan merupakan ilmu yang sudah universal. Dan


Pasal 10
PENDELEGASIAN PEKERJAAN PADA ORANG LAIN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan pekerjaan pada asisten, mahasiswa, mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian, asisten pengajaran, atau kepada jasa orang lain seperti penterjemah perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:
a)     menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki hubungan ganda dengan yang diberikan jasa dan atau praktik psikologi, yang mungkin akan mengarah pada eksploitasi atau hilangnya objektivitas
b)    memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan, pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan pemberian supervisi hingga level tertentu; dan
c)     memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara kompeten.


Contoh Kasus : Seorang Psikolog menyerahkan tugas Psikotest untuk siswa ke guru Bimbingan Konseling yang notabene bukan merupakan Sarjana Psikologi yang tidak berkompeten dalam hal tersebut.
Kesimpulan : Seorang Psikolog harus mengerjakan tugas yang yang diembannya sendiri dan tidak boleh menugaskannya kepada seorang yang bukan merupakan sarjana psikologi. Karena dalam pengerjaan psikotest seorang psikolog siswa diharuskan dalam keadaan yang kondusif dan BETAH (Bersih, Transparan, Akuntabel, Humanis).


Pasal  11
MASALAH DAN KONFLIK PERSONAL

(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa  masalah dan konflik pribadi mereka akan dapat mempengaruhi efektifitas kerja. Dalam hal ini Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mampu menahan diri dari tindakan yang dapat merugikan pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain, sebagai akibat dari masalah dan atau konflik pribadi tersebut.

(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berkewajiban untuk waspada terhadap tanda-tanda adanya masalah dan konflik pribadi, bila hal ini terjadi sesegera mungkin mencari bantuan atau melakukan konsultasi profesional untuk dapat kembali  menjalankan pekerjaannya secara profesional. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus menentukan akan membatasi, menangguhkan, atau menghentikan kewajiban layanan psikologi tersebut.

Contoh Kasus : Psikolog A tidak mau melayani klien B karena mempunyai masalah pribadi terhadap klien tersebut.

Kesimpulan : Seorang Psikolog tidak boleh membawa urusan pribadi dalam konsultasi. Seorang  psikolog harus profesional dalam melayani klien atau kalau tidak memungkinkan psikolog tersebut dapat merekomendasikan ke psikolog lain.


Pasal  12
PEMBERIAN LAYANAN PSIKOLOGI DALAM KEADAAN DARURAT

(1) Keadaan darurat  adalah suatu kondisi di mana layanan kesehatan mental dan atau psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak tersedia tenaga Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang memiliki kompetensi untuk memberikan layanan psikologi yang dibutuhkan.

(2) Dalam kondisi sebagaimana tersebut dalam poin (1) pasal ini, kebutuhan yang ada tetap harus dilayani. Karenanya Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi untuk memastikan bahwa kebutuhanlayanan psikologi tersebut tidak ditolak.

(3) Selama memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat, psikolog yang belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan dan atau Ilmuwan Psikologi perlu segera mencari psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut.

(4) Bila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia atau kondisi darurat telah selesai, maka pemberian layanan psikologi tersebut harus dialihkan kepada yang lebih kompeten atau dihentikan segera.

Contoh Kasus : Seorang Psikolog melayani seorang klien yang mempunyai yang mempunyai penyakit dalam dan mengobati penyakit dalam tersebtu.

Kesimpulan : Seorang Psikolog tidak boleh malayani hal yang bukan merupakan bagiannya. Psikolog tersebut harus merujuknya terlebih dahulu ke tempat di mana pasien tersebut mendapatkan pengobatan yang sesuai.

You May Also Like

0 komentar