Psikologi Seni

by - 9:44 PM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Psikologi seni, secara umum, adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip psikoanalisis Freudian dengan banyak psikolog seni mengkritisi, apa yang mereka ditafsirkan sebagai, aliran reduktifitasnya Sigmund Freud percaya bahwa proses kreatif adalah sebuah alternatif untuk neurosis. Dia merasa bahwa ia kemungkinan semacam mekanisme pertahanan terhadap efek negatif dari neurosis, cara untuk menerjemahkan energi itu menjadi sesuatu yang dapat diterima secara sosial, yang bisa menghibur dan menyenangkan orang lain. Tulisan-tulisan Carl Jung, bagaimanapun, memiliki menguntungkan penerimaan antara psikolog seni yang diberikan-Nya gambaran optimis tentang peran seni dan keyakinannya bahwa isi dari ketidaksadaran pribadi dan, lebih khusus, ketidaksadaran kolektif, dapat diakses oleh seni dan bentuk-bentuk ekspresi budaya.

Pada 1970-an, sentralitas seni psikologi di akademi mulai berkurang. Seniman menjadi lebih tertarik dalam psikoanalisis,  feminisme, dan arsitek dalam fenomenologi dan tulisan-tulisan Wittgenstein, Lyotard, dan Derrida. Adapun seni dan sejarawan arsitektur, mereka mengkritik psikologi karena anti-kontekstual dan budaya naif. Erwin Panofsky, yang memiliki dampak yang luar biasa pada bentuk sejarah seni di AS, berpendapat bahwa sejarawan harus fokus kurang pada apa yang dilihat dan lebih pada apa yang dianggap.  Hari ini, psikologi masih memainkan peran penting dalam wacana seni rupa, meskipun terutama di bidang apresiasi seni.

Karena meningkatnya minat dalam kepribadian teori-terutama sehubungan dengan karya Isabel Briggs Myers dan Katherine Briggs, Developers of the Myers-Briggs Type Indicator (pengembang Type Indicator Myers-Briggs) , ahli teori kontemporer sedang menyelidiki hubungan antara tipe kepribadian dan seni. Patricia Dinkelaker dan John Fudjack telah membahas hubungan antara tipe kepribadian seniman dan karya seni; pendekatan untuk seni sebagai refleksi dari preferensi fungsional yang berhubungan dengan tipe kepribadian  dan fungsi seni dalam masyarakat dalam terang teori kepribadian.

B.     PERUMUSAN MASALAH

1.      Apa Pengertian Seni ?
2.      Hubungan Antara Psikologi Dan Seni ?
3.      Bagaimana Terapi Seni Melalui Melukis ?

C.    TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Tujuan Penulisan makalah adalah untuk mengetahui tentang seni dan psikologi.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    SENI  
Pengalaman Estetika
Seni dianggap bidang subjektif, di mana menyusun dan memandang karya seni dengan cara yang unik yang mencerminkan pengalaman seseorang, pengetahuan, preferensi, dan emosi. Pengalaman estetika meliputi hubungan antara penampil dan obyek seni. Dalam hal artis, ada keterikatan emosional yang mendorong fokus seni. Seorang seniman harus benar-benar di-tune dengan objek seni untuk memperkaya penciptaannya. Sebagai karya seni berlangsung selama proses kreatif, begitu juga Seniman.  Keduanya tumbuh dan berubah untuk memperoleh makna baru. Jika seniman terlalu emosional atau kurang kompatibilitas emosional dengan sebuah karya seni, maka ini akan berdampak pada produk jadi negatif.  
Menurut Bosanquet (1892), Aesthetic attitude (sikap estetika) adalah penting dalam melihat seni karena memungkinkan seseorang untuk mempertimbangkan suatu objek dengan bunga siap untuk melihat apa itu menunjukkan. Namun, seni tidak menimbulkan pengalaman estetik kecuali penampil bersedia dan terbuka untuk itu. Tidak peduli seberapa menarik objek adalah, terserah kepada yang melihatnya untuk memungkinkan adanya pengalaman seperti itu. 
Di mata psikolog Gestalt Rudolf Arnheim, pengalaman estetika seni menekankan hubungan antara seluruh objek dan bagian individu. Ia dikenal luas untuk fokus pada pengalaman dan interpretasi karya seni, dan bagaimana mereka memberikan wawasan ke dalam kehidupan masyarakat. Ia kurang peduli dengan konteks budaya dan sosial dari pengalaman menciptakan dan melihat karya seni. Di matanya, sebuah objek secara keseluruhan dianggap kurang pengawasan dan kritik dari pertimbangan aspek tertentu dari entitas tersebut. Karya seni mencerminkan seseorang "Pengalaman hidup" dari / hidupnya. Arnheim percaya bahwa semua proses psikologis memiliki kognitif, emosional, dan motivasi kualitas, yang tercermin dalam komposisi setiap seniman 

Penelitian Psikologis

Psikolog kognitif mempertimbangkan baik "bottom-up" dan "top-down" pengolahan ketika mempertimbangkan hampir semua bidang penelitian, termasuk visi. Mirip dengan bagaimana istilah ini digunakan dalam desain perangkat lunak, "bottom- up "mengacu pada bagaimana informasi dalam stimulus diproses oleh sistem visual ke warna, bentuk, pola, dan lain-lain Top-down "mengacu pada pengetahuan konseptual dan pengalaman masa lalu individu tertentu faktor bottom-up diidentifikasi dalam bagaimana seni dihargai termasuk abstrak vs lukisan figuratif, bentuk, kompleksitas, simetri dan keseimbangan komposisi, lateralitas dan gerakan. pengaruh Top-down diidentifikasi sebagai terkait dengan apresiasi seni termasuk prototypicality, kebaruan , informasi tambahan seperti judul, dan keahlian.  

Abstrak Dibandingkan Seni Figuratif

Lukisan abstrak yang unik dalam meninggalkan eksplisit niat representasional. figuratif atau seni representasional digambarkan sebagai ambigu atau membutuhkan interpretasi ringan.


Kompleksitas

Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika melihat seni abstrak, orang lebih suka kompleksitas dalam bekerja sampai batas tertentu. Ketika mengukur "interestingness" dan "pleasingness," pengamat seni dinilai bekerja lebih tinggi untuk karya-karya abstrak yang lebih kompleks. Dengan paparan ditambahkan ke pekerjaan abstrak, menyukai peringkat terus meningkat dengan baik kompleksitas subjektif (viewer dinilai) dan dinilai kompleksitas (artis dinilai). Ini hanya berlaku sampai titik tertentu. Ketika bekerja menjadi terlalu rumit, orang-orang mulai kurang tekun dalam berkarya.

Neural Evidence
           
Bukti neuroanatomical dari penelitian menggunakan fMRI scan menunjukkan preferensi estetika yang lukisan representasional lebih disukai daripada lukisan abstrak. Hal ini ditampilkan melalui aktivasi yang signifikan dari daerah otak yang berhubungan dengan peringkat preferensi. Untuk menguji ini, para peneliti telah peserta melihat lukisan yang bervariasi sesuai dengan jenis (representasional vs abstrak) dan format (original vs diubah vs disaring). Hasil perilaku menunjukkan preferensi yang lebih tinggi untuk lukisan representasional. Sebuah korelasi positif ada antara peringkat preferensi dan respon latency. Hasil FMRI mengungkapkan bahwa aktivitas di berekor inti yang tepat untuk memperluas putamen menurun dalam menanggapi penurunan preferensi untuk lukisan, sementara aktivitas di sulkus cingulate kiri, gyri bilateral occipital, fusiform gyri bilateral, fusiform kanan gyrus, dan cerebellum bilateral meningkat sebagai respons terhadap meningkatnya preferensi untuk lukisan.  perbedaan yang diamati adalah refleksi dari yang relatif meningkat aktivasi terkaitdengan preferensi yang lebih tinggi untuk lukisan representasional.

Studi gelombang otak juga telah dilakukan untuk melihat bagaimana seniman dan non-seniman bereaksi dengan cara yang berbeda untuk seni abstrak dan representasional. Scan otak EEG menunjukkan bahwa saat melihat seni abstrak, non-seniman menunjukkan gairah kurang dari seniman. Namun, saat melihat seni figuratif, kedua seniman dan non-seniman memiliki gairah yang sebanding dan kemampuan untuk memperhatikan dan mengevaluasi rangsangan seni. Hal ini menunjukkan seni abstrak membutuhkan keahlian lebih untuk menghargai daripada seni figuratif.   

Personality Type

Ciri-ciri kepribadian individu juga terkait dengan pengalaman estetis dan preferensi seni. Individu kronis dibuang untuk membersihkan, sederhana, dan pengetahuan jelas mengungkapkan pengalaman estetika sangat negatif terhadap seni abstrak, karena kekosongan konten yang bermakna. Penelitian telah membuktikan bahwa pilihan seseorang seni bisa menjadi ukuran yang berguna kepribadian. ciri-ciri kepribadian individu yang terkait dengan pengalaman estetis dan preferensi seni. Tes kepribadian setelah melihat seni abstrak dan representasi dilakukan pada Lima Faktor NEO Inventarisasi yang mengukur "lima besar" faktor kepribadian. Ketika referensi "Big Five" dimensi kepribadian, Thrill dan Petualangan mencari berkorelasi positif dengan keinginan seni representasional, sedangkan Disinhibition dikaitkan dengan penilaian positif dari seni abstrak. Neurotisme berkorelasi positif dengan penilaian positif dari seni abstrak, sementara Conscientiousness dikaitkan dengan keinginan seni representasional. Keterbukaan terhadap Pengalaman dikaitkan dengan peringkat positif seni abstrak dan representasi. 






Automatic Evaluation

Studi melihat implisit, evaluasi otomatis karya seni telah menyelidiki bagaimana orang bereaksi terhadap karya seni abstrak dan figuratif dalam sepersekian detik sebelum mereka punya waktu untuk berpikir tentang hal itu. Dalam evaluasi implisit, orang bereaksi lebih positif terhadap seni figuratif, di mana mereka setidaknya bisa melihat bentuk. Dalam hal evaluasi eksplisit, ketika orang harus berpikir tentang seni, tidak ada perbedaan yang nyata dalam penilaian antara seni abstrak dan representasi.

Lateralitas Dan Gerakan

Lateralitas dan gerakan dalam seni rupa meliputi aspek-aspek seperti bunga, berat badan, dan keseimbangan. Banyak penelitian telah dilakukan mengenai dampak wenangan dan membaca arah tentang bagaimana seseorang mempersepsi sebuah karya seni. Penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah spesialisasi atau membaca kebiasaan belahan otak mempengaruhi arah di mana peserta "membaca" sebuah lukisan. Hasil menunjukkan bahwa kedua faktor yang berkontribusi terhadap proses. Selain itu, spesialisasi belahan otak menyebabkan individu untuk membaca dari kiri ke kanan, memberikan para pembaca keuntungan.  Bangunan off dari temuan ini, peneliti lain mempelajari gagasan bahwa individu-individu yang terbiasa membaca arah tertentu (kanan ke kiri, dibandingkan kiri ke kanan) maka akan menampilkan bias dalam gambar representasional mereka sendiri yang mencerminkan arah kebiasaan membaca mereka. Hasil menunjukkan bahwa prediksi ini terbukti benar, dalam gambar peserta tercermin Bias membaca mereka.

Para peneliti juga melihat untuk melihat apakah seseorang arah membaca, kiri ke kanan atau kanan ke kiri mempengaruhi preferensi seseorang untuk baik kiri ke kanan atau directionality hak untuk directionality tersisa di gambar. Peserta ditunjukkan gambar serta bayangannya, dan diminta untuk menunjukkan yang mereka temukan lebih estetis. Secara keseluruhan, hasil menunjukkan bahwa membaca directionality dampak seseorang seseorang preferensi untuk gambar baik dengan kiri ke directionality kanan atau kanan ke kiri directionality.

Dalam studi lain, peneliti meneliti apakah bias sisi kanan dalam preferensi estetika dipengaruhi oleh wenangan atau membaca / menulis kebiasaan. Para peneliti melihat pembaca Rusia, pembaca Arab, dan pembaca Ibrani yang tangan kanan dan non-tangan kanan. Peserta melihat gambar yang diambil dari buku-buku seni yang profil atau wajah manusia dan tubuh dalam dua blok. Gambar yang ditampilkan kepada peserta sebagai ke dalam atau ke luar menghadapi pasangan dan kemudian dalam orientasi yang berlawanan. Setelah melihat masing-masing pasangan, peserta diminta gambar mana dari pasangan yang lebih estetis. Ketika melihat hasil untuk wenangan, peserta kidal memiliki "preferensi kiri" dan peserta non tangan kanan memiliki "preferensi yang tepat." Hasil ini menunjukkan bahwa "preferensi estetika untuk profil wajah dan tubuh berhubungan terutama dengan diarahkan pada bacaan yang diperoleh / menulis kebiasaan. "[27] Membaca arah tampaknya berdampak pada bagaimana orang-orang dari segala usia melihat karya seni. Menggunakan TK sampai perguruan tinggi peserta berusia, peneliti menguji preferensi estetika penonton ketika membandingkan karya asli seni dengan bayangannya. Lukisan-lukisan asli diikuti konvensi bahwa pemirsa "membaca" lukisan dari kiri ke kanan, sehingga pola cahaya diarahkan penonton untuk melihat lukisan dengan cara yang sama Temuan menunjukkan bahwa peserta lebih memilih lukisan asli, kemungkinan besar karena gaya barat melihat lukisan. dari kiri ke kanan.






Arah Pencahayaan

Arah pencahayaan ditempatkan pada lukisan juga tampaknya memiliki efek pada preferensi estetika. bias cahaya adalah kecenderungan untuk pemirsa untuk memilih karya seni yang menyala dengan pencahayaan yang datang dari sisi kiri lukisan itu. Para peneliti memperkirakan bahwa peserta akan lebih memilih karya seni yang menyala dari sisi kiri dan ketika diberi pilihan, mereka akan memilih untuk menempatkan lampu di sisi kiri atas sebuah karya seni. Peserta menemukan lukisan dengan pencahayaan di sebelah kiri menjadi lebih estetis daripada ketika itu lebih ringan di sisi kanan dan ketika diberi kesempatan untuk menciptakan cahaya pada lukisan yang sudah ada. 

Kiri Dan Kanan Bias Pipi

Bias pipi kiri terjadi ketika pemirsa lebih memilih potret dengan subjek menampilkan pipi kiri mereka, sementara mereka yang memegang bias pipi kanan lebih potret menampilkan pipi kanan. Penelitian telah menemukan hasil yang beragam mengenai bias pipi kiri dan bias pipi kanan. Peserta laki-laki dan perempuan menunjukkan potret laki-laki dan perempuan, masing-masing menampilkan jumlah yang sama posisi pipi kiri atau kanan. Peserta ditunjukkan setiap potret orientasi aslinya dan dalam orientasi terbalik dan bertanya yang potret mereka lebih suka lebih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar peserta memilih potret menampilkan pipi kanan subjek atas kiri.  Studi lain dieksplorasi yang orientasi berpose disampaikan pesan tertentu. Para ilmuwan di abad ke-18  Lebih sering ditampilkan bias pipi kanan, dan dinilai sebagai "lebih ilmiah." Menurut para peneliti, menunjukkan pipi kanan seseorang menyembunyikan emosi, sedangkan pipi kiri mengungkapkan itu. Pergeseran dari kanan ke kiri pipi Bias abad ke-18 pasca dapat mewakili karakteristik wajah yang lebih pribadi atau terbuka. 

Kompleksitas

Kompleksitas benar-benar dapat didefinisikan sebagai yang "terdiri dari sejumlah besar bagian-bagian yang memiliki banyak interaksi." Definisi ini telah diterapkan untuk berbagai mata pelajaran, seperti seni, musik, tari, dan sastra. Dalam penelitian estetika, kompleksitas telah dibagi menjadi tiga dimensi yang menjelaskan interaksi antara jumlah elemen, perbedaan unsur, dan pola dalam pengaturan mereka. Selain itu, karakteristik ini dalam estetika terdiri dari spektrum yang luas, mulai dari kompleksitas rendah kompleksitas yang tinggi. Studi telah menemukan kunci melalui respon kulit Galvanic yang lebih kompleks karya seni menghasilkan gairah fisiologis yang lebih besar dan peringkat hedonis yang lebih tinggi, yang konsisten dengan temuan lain yang mengklaim bahwa estetika keinginan meningkat dengan kompleksitas. Yang paling penting, beberapa studi telah menemukan bahwa ada hubungan U-bentuk antara preferensi estetika dan kompleksitas. 

Mengukur Kompleksitas

Secara umum, kompleksitas adalah sesuatu yang memiliki banyak bagian dalam kemajuan yang rumit. Beberapa peneliti memecah kompleksitas menjadi dua subparts yang berbeda: kompleksitas obyektif dan kompleksitas yang dirasakan. Kompleksitas tujuan adalah bagian dari seni yang bisa dimanipulasi. Untuk seni rupa yang mungkin ukuran bentuk, jumlah patters, atau jumlah warna yang digunakan. Untuk seni akustik yang dapat mencakup durasi, kenyaringan, jumlah harmoni yang berbeda, sejumlah perubahan dalam aktivitas berirama, dan tingkat aktivitas berirama. 
Bentuk lain dari kompleksitas yang dirasakan kompleksitas, atau kompleksitas subjektif. Dalam bentuk ini setiap individu tarif obyek pada kompleksitas yang mereka anggap. Oleh karena itu, kompleksitas subjektif mungkin menggambarkan pandangan kita tentang kompleksitas yang lebih akurat, namun ukuran dapat berubah dari orang ke orang.


Salah satu bentuk menggunakan teknologi komputer untuk menilai kompleksitas, adalah dengan menggunakan kecerdasan komputer ketika rating gambar. Dalam format ini, jumlah komputer yang digunakan intelijen dinilai saat membuat gambar digital. Kecerdasan komputer dinilai dengan merekam rumus matematika yang digunakan dalam menciptakan gambar. Keterlibatan manusia, menambahkan atau menghilangkan aspek gambar, juga bisa menambah atau mengambil dari kompleksitas gambar.
Salah satu cara untuk mengukur kompleksitas adalah untuk memanipulasi karya asli mengandung berbagai tingkat kepadatan. Proses ini dilakukan dengan mengurangi dan menambahkan piksel untuk mengubah kepadatan lukisan hitam dan putih. Teknik ini memungkinkan peneliti untuk menggunakan karya seni otentik, bukan menciptakan versi buatan karya seni, untuk mengontrol rangsangan.
           
Yang lain merasa terbaik untuk mengukur kompleksitas berdasarkan jumlah bagian karya seni memiliki. Lebih aspek seni, seperti warna yang lebih, detail, bentuk, benda, suara, melodi, dan sejenisnya, membuat lebih kompleks karya seni. Namun, ada penelitian yang terbatas dilakukan pada perbandingan antara bagian kompleksitas berbasis dan persepsi manusia kompleksitas, sehingga tidak jelas apakah orang melihat gambar dengan lebih banyak bagian sebagai lebih kompleks.

Inverse U-Shape Hipotesis Terbalik-U Grafik. 

The Inverted U-Shape Hipotesis menunjukkan bahwa tanggapan estetika dalam kaitannya dengan kompleksitas akan menunjukkan distribusi terbalik-bentuk. Dengan kata lain, peringkat terendah dalam tanggapan estetika berkorelasi dengan tingkat tinggi dan rendah kompleksitas, yang menampilkan "menghindari ekstrem." Selain itu, tingkat tertinggi respon estetika terjadi di tingkat menengah kompleksitas. Penelitian sebelumnya telah menegaskan hipotesis U-Shape (lihat Inverted U-grafik gambar). Misalnya, dalam sebuah studi dari peringkat mahasiswa 'sesuai dengan keinginan dan kompleksitas musik pop kontemporer melaporkan terbalik hubungan U-bentuk antara keinginan dan kompleksitas.

Penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa kecenderungan ini kompleksitas juga dapat dikaitkan dengan kemampuan untuk memahami, di mana obserevers lebih karya seni yang tidak terlalu mudah atau terlalu sulit untuk dipahami. Lain penelitian kedua menegaskan dan disconfirms prediksi yang menyatakan bahwa karakteristik individu seperti keahlian artistik dan pelatihan dapat menghasilkan pergeseran terbalik distribusi U-bentuk. 

Aspek Seni

Seni Rupa

Sebuah kecenderungan umum menunjukkan bahwa hubungan antara kompleksitas gambar dan peringkat kenikmatan membentuk terbalik-bentuk U grafik (lihat bagian Keahlian untuk pengecualian). Ini berarti bahwa orang-orang seperti semakin seperti seni seperti pergi dari yang sangat sederhana sampai yang lebih kompleks, sampai puncak, ketika peringkat kenikmatan yang jatuh lagi.
Sebuah studi baru-baru ini juga telah menemukan bahwa kita cenderung untuk menilai lingkungan alam dan gambar lanskap sebagai yang lebih kompleks, maka menyukai mereka lebih dari gambar abstrak yang kita menilai kurang kompleks.





Musik Musik

Musik menunjukkan kecenderungan yang sama dalam kompleksitas vs peringkat preferensi seperti halnya seni rupa. Ketika membandingkan musik populer, untuk periode waktu, dan dirasakan peringkat kompleksitas dikenal terbalik-U hubungan bentuk muncul, menunjukkan bahwa umumnya kita suka musik cukup kompleks yang paling. Sebagai pilihan musik akan lebih atau kurang kompleks, preferensi untuk musik yang dips. Orang-orang yang memiliki lebih banyak pengalaman dan pelatihan dalam musik populer, bagaimanapun, lebih suka musik yang sedikit lebih kompleks.  terbalik-U grafik bergeser The ke kanan untuk orang-orang dengan latar belakang musik yang lebih kuat. Pola yang sama dapat dilihat untuk jazz dan musik bluegrass. Mereka dengan pelatihan musik terbatas jazz dan bluegrass menunjukkan khas terbalik-U ketika melihat kompleksitas dan preferensi, bagaimanapun, para ahli di bidang tersebut tidak menunjukkan pola yang sama. Berbeda dengan ahli musik populer, jazz dan bluegrass ahli tidak menunjukkan hubungan yang jelas antara kompleksitas dan kenikmatan. Para ahli dalam dua genre musik tampaknya seperti apa yang mereka suka, tanpa formula untuk menggambarkan perilaku mereka. Karena gaya musik yang berbeda memiliki efek yang berbeda pada preferensi bagi para ahli.

Tari

Studi psikologis telah menunjukkan bahwa kesukaan hedonis pertunjukan tari dapat dipengaruhi oleh kompleksitas. Salah satu eksperimen yang digunakan dua belas koreografi tari yang terdiri dari tiga tingkat kompleksitas yang dilakukan di empat tempo yang berbeda. Kompleksitas dalam urutan tari diciptakan memvariasikan urutan enam pola pergerakan (yaitu lingkaran searah jarum jam, lingkaran berlawanan, dan tahap pendekatan). Secara keseluruhan, ini diteliti menunjukkan bahwa pengamat lebih memilih koreografi dengan urutan tarian rumit dan tempo yang lebih cepat. 

Personal Differences

Telah ditemukan bahwa perbedaan kepribadian dan perbedaan demografis dapat menyebabkan preferensi seni yang berbeda juga. Satu studi yang diuji preferensi masyarakat pada berbagai karya seni, dengan mempertimbangkan preferensi pribadi mereka juga. Studi ini menemukan bahwa perbedaan gender ada dalam preferensi seni. Wanita umumnya lebih bahagia, penuh warna, dan sederhana lukisan sedangkan laki-laki umumnya lebih geometris, sedih, dan kompleks lukisan. Perbedaan usia dalam preferensi kompleksitas ada juga, di mana preferensi untuk lukisan yang kompleks meningkat dengan meningkatnya usia.

Ciri-ciri kepribadian tertentu juga dapat memprediksi hubungan antara kompleksitas seni dan preferensi. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa orang yang memiliki skor tinggi pada kesadaran menyukai lukisan kompleks kurang dari orang yang mencetak rendah pada kesadaran. Hal ini jatuh sejalan dengan gagasan bahwa orang-orang yang teliti tidak suka bimbang dan menikmati kontrol, sehingga tidak menyukai karya seni yang mungkin mengancam perasaan seperti itu. Di sisi lain orang yang mencetak sangat keterbukaan pengalaman menyukai karya-karya seni yang kompleks lebih dari mereka yang tidak mencapai nilai tinggi pada keterbukaan terhadap pengalaman. Perbedaan individu adalah prediktor yang lebih baik untuk preferensi seni kompleks daripada seni sederhana, di mana tidak ada ciri-ciri kepribadian yang jelas memprediksi preferensi untuk seni sederhana. Meskipun tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan langsung dengan kompleksitas, tingkat pendidikan yang lebih tinggi menyebabkan kunjungan museum lagi yang pada gilirannya menyebabkan apresiasi lebih seni yang kompleks.  Hal ini menunjukkan bahwa lebih mengekspos seni yang kompleks menyebabkan preferensi yang lebih besar, di mana memang keakraban menyebabkan keinginan yang lebih besar.
Symmetry

Simetri dan keindahan memiliki link biologis yang kuat yang mempengaruhi preferensi estetika. Telah terbukti bahwa manusia cenderung memilih seni yang mengandung simetri, yang menganggap itu lebih indah.Selain itu, simetri langsung berkorelasi dengan pemahaman wajah atau karya seni seindah. Semakin besar simetri dalam pekerjaan atau wajah, umumnya lebih indah tampaknya menjadi. Penelitian pada preferensi estetika untuk bentuk-bentuk geometris dan pengolahan fasih simetri menyoroti peran yang simetri bermain dalam penilaian estetika keseluruhan dan pengalaman.

B.     HUBUNGAN ANTARA PSIKOLOGI DAN SENI

Psikologi adalah sebuah disiplin ilmu yang bersifat akademis dan terapan yang melingkupi studi mengenai proses mental dan perilaku. Bidang yang dipelajari oleh para psikolog adalah perihal persepsi, kognisi (proses penyerapan pengetahuan), emosi, kepribadian dan hubungan interpersonal. Psikologi juga dikenal akan terapan pada aktivitas kehidupan manusia sehari-hari seperti: keluarga, pendidikan dan pekerjaan, juga perlakuan terhadap permasalahan kejiwaan manusia. Beberapa sub bidang psikologi diantaranya psikologi pengembangan sumber daya manusia, psikologi olahraga, psikologi kesehatan, psikologi industri, psikologi media dan psikologi hukum.

Psikologi seni adalah bidang interdisipliner yang mempelajari persepsi, kognisi dan karakteristik seni dan produksi. Psikologi seni berhubungan dengan psikologi arsitektur dan psikologi lingkungan.Pembahasan tentang hubungan antara psikologi dan seni, telah memunculkan sebuah disiplin yang disebut psikologi seni (psychology of art).
Pembahasan tentang hubungan antara psikologi dan seni telah memunculkan sebuah disiplin yang disebut psikologi seni (psychology of art). Disiplin ini membahas konsep-konsep psikologi yang bisa diterapkan dalam kesenian, jadi merupakan sebentuk ilmu terapan (applied science) dari psikologi terhadap bidang seni. Tetapi disiplin ini hanya dibahas di fakultas atau jurusan kesenian, bukan jurusan psikologi. Hal ini analog dengan penerapan psikologi dalam bidang-bidang lainnya seperti pendidikan (melahirkan disiplin psikologi pendidikan), bidang industri (melahirkan psikologi industri), bidang dakwah (melahirkan psikologi dakwah), dan sebagainya.
Saat berbicara tentang psikologi dan sastra, Rene Wellek dan Austin Warren menulis bahwa istilah “psikologi sastra” memunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Kedua, studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, studi tentang dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Dari empat macam hubungan di atas, hubungan pertama, kedua, dan keempat bisa terjadi pada segala bentuk seni. Yang khas sastra mungkin hanya hubungan ketiga, itu pun sastra yang berupa cerita (prosa dan drama).
Di antara berbagai aliran dalam psikologi, psikoanalisis adalah aliran yang paling akrab dengan seni. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, adalah seorang yang menghargai kebudayaan, menyukai seni, dan gemar membaca sastra sejak muda. Tidak heran kalau kemudian ia menjadikan sastra sebagai medan penelitian sekaligus ilustrasi untuk membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Dalam karya-karya sastra besar, misalnya Oedipus (Sophokles), Hamlet (Shakespeare), dan The Brother Karamazov (Dostoyevsky), Freud menemukan tipe-tipe manusia yang menyerupai dan sesuai dengan pemikirannya.
Psikologi Persepsi dan Desain Komunikasi Visual
Desain Komunikasi Visual bisa dikatakan adalah seni menyampaikan pesan (arts of commmunication) dengan menggunakan bahasa rupa (visual language) yang disampaikan melalui media berupa desain. Dengan tujuan menginformasikan, mempengaruhi hingga merubah perilaku target audience sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Bahasa rupa yang dipakai berbentuk grafis, tanda, simbol, ilustrasi gambar/foto, tipografi/huruf dan sebagainya yang disusun berdasarkan khaidah bahasa visual yang khas. Isi pesan diungkapkan secara kreatif dan komunikatif serta  mengandung solusi untuk permasalahan yang hendak disampaikan (sosial maupun komersial ataupun berupa informasi, identifikasi maupun persuasi).

C.    TERAPI SENI MELALUI MELUKIS

Terapi seni secara harafiah dapat diartikan sebagai penggabungan dua buah disiplin ilmu, yaitu antara ilmu seni dan psikologi. Dengan demikian, istilah terapi seni, yang secara verbal terdiri dari kata Terapi dan Seni, secara nyata menggabungkan dua jenis disiplin ilmu, yaitu Seni (Art) dan Psikologi.

Melukis Sebagai Sebuah Bentuk Terapi
Melukis sebagai terapi, berkaitan dengan aspek kontemplatif atau sublimasi. Kontemplatif atau sublimasi merupakan suatu cara atau proses yang bersifat menyalurkan atau mengeluarkan segala sesuatu yang bersifat kejiwaan, seperti perasaan, memori, pada saat kegiatan berkarya seni berlangsung. Aspek ini merupakan salah satu fungsi seni yang dimanfaatkan secara optimal pada setiap sesi terapi. Kontemplatif dalam arti, berbagai endapan batin yang ditumpuk, baik itu berupa memori, perasaan, dan berbagai gangguan persepsi visual dan auditorial, diusahakan untuk dikeluarkan atau disampaikan. Dengan demikian pasien tidak terjebak pada suatu situasi dimana hanya diri sendiri terjebak pada realitas imajiner yang diciptakan oleh diri sendiri. Aspek kontemplatif atau sublimasi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah katarsis dalam dunia psikoanalisa.  
Hal tersebut, juga sekaligus dapat menjadi media untuk mencari pemicu atau akar permasalahan melalui berbagai visualisasi atau simbol-simbol yang muncul selama terapi berlangsung. Berdasar visualisasi yang tercurah selama terapi berlangsung, seringkali tampak gambar beberapa image yang merupakan simbolisasi dari ekspresi bawah sadar dari pasien. Kemudian bagi terapis, beragam visualisasi inilah yang menjadi perangkat untuk menentukan diagnosa sampai sejauh apakah kerusakan kondisi kejiwaan pasien, dan pengobatan jenis apakah yang sesuai bagi pasien.   
Paparan ini untuk mengungkap aspek penyembuhan gangguan mental melalui seni yaitu melukis, dan untuk mengetahui lebih jauh mengenai penelitian ini, yakni bagaimana aspek seni rupa, dapat membawa dan memberikan gambaran mengenai perubahan bagi kesehatan mental penderita. Penulis juga bermaksud menjelaskan fungsi senirupa sebagai elemen katarsis. Untuk mengetahui bagaimana aspek seni rupa, dapat membawa perubahan bagi kesehatan mental penderita. Tidak kalah pentingnya adalah kemajuan apapun dalam bidang terapi seni ini dapat menjadi sumbangan besar bagi kemajuan kedua disiplin ilmu, baik ilmu seni dan psikologi.  

Penelitian dilakukan meliputi observasi lapangan melalui pengalaman berinteraksi langsung dengan penderita gangguan mental dan mencatat dan menganalisis segala bentuk perubahan yang terlihat pada saat proses berlangsung, studi pustaka mengenai terapi seni dan aspek-aspek lainnya yang terkait seperti teori tentang gangguan mental, teori terapi seni, kreativitas, dan sebagainya, wawancara dengan pakar dan ahli psikologi serta terapi seni untuk menunjang keabsahan data agar lebih akurat, selain itu, penulis juga melakukan pendekatan dari sudut pandang Psikoanalisa dan Kritik Seni dalam menganalisis sampel gambar karya pasien Skizofrenia dan pengguna narkoba.

Gambar Sebagai Sebuah Diagnosa
Pada kaitannya dengan aspek penyembuhan, seni memiliki kemampuan agar apa yang tidak mampu dikatakan dengan bahasa verbal pada umumnya, dapat dikomunikasikan dengan bahasa rupa. Dengan demikian, apa yang selama ini tak dapat dikatakan, menjadi terkatakan. Ungkapan ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Margaret Naumburg, yaitu mengenai pernyataannya yang menilai bahwa terapi seni dapat diibaratkan sebagai “Pembicaraan Simbolik” atau Symbolic Speech. Dalam artian, melalui karya seni, apa yang tidak dapat dikatakan melalui kata-kata serumit dan sekompleks apapun akan dapat tersalurkan melalui kegiatan menggambar atau melukis. Pendekatan ini, yang seringkali disebut “Art Psychotherapy”.
Maka endapan batin yang selama ini membludak dalam aspek ketidaksadaran, di keluarkan dalam bentuk karya visual. Maka hal ini dapat menjadi sebuah jalan agar keseimbangan dalam aspek ketidaksadaran menjadi seimbang atau stabil kembali, sedikit demi sedikit. Sehingga pada saat terapi berlangsung, pasien sebisa mungkin dicegah untuk kembali menumpuk endapan emosi dalam batinnya. Agar keseimbangan dalam aspek ketidaksadaran yang telah tercapai tidak kembali mengalami overloading.
Selain itu pula, perbaikan-perbaikan dalam aspek ruhaniah, fungsi kreatif, kognitif, dan afektif dan psikomotorik juga diasah dalam terapi melukis. Karena, berkesenian adalah suatu jalan agar, koordinasi antara otak, hati, pikiran, dan aktifitas fisik kembali berjalan dengan selaras dan bekerja bersamaan. Dalam pengertian, saat seorang pasien merespon suatu perintah, dari terapisnya, maka otak secara otomatis akan segera memproses perintah tersebut, yang dominannya dalam bentuk image visual dalam otaknya. Kemudian, otak sebagai pusat koordinasi dari tubuh manusia, akan memberi suatu perintah bagi otot-otot yang bekerja pada sekitar tangan untuk segera merealisasikan image visual yang telah diprosesnya.
Pada saat inilah akan tampak, sampai sejauh manakah kerusakan fungsi otak itu terjadi karena ia akan mencerminkan sejauh mana koordinasi kerja otak-otot itu berlangsung, dengan luweskah atau dengan terpatah-patah. Maka yang tampak adalah, apakah gambar itu tampak overlapping, apakah sapuan kuasnya terpatah-patah, apakah akan tampak tekanan kuasnya akibat agresifitas yang meluap, atau apakah pasien bersangkutan akan sangat sering membagi-bagi bidang?. Maka tidak jarang penulis mempertanyakan kenapa seseorang sangat sering menumpuk bentuk dan warna, sedangkan pada pasien yang lain, ia cenderung membagi-bagi bidang, atau mengapa pasien yang satu sangat ekspresif dalam menyapukan kuasnya, dan sedangkan pada pasien yang lain tampak bersusah payah dan terpatah-patah.

Pada saat yang sama, kita telah mengetahui lazimnya dalam kegiatan berkarya seni, kondisi psikologis manusia akan secara spontan terkondisikan untuk mencurahkan segala aspek emosionalnya pada saat berkarya. Maka kemudian, pada saat yang bersamaan pula aspek afektif yang terkait dengan emosi akan terstimulasi, sehingga seiring berjalannya terapi, kebekuan emosional itu mencair, dan berfungsi seperti sediakala. Sedangkan aspek kognitif, distimulasi dalam bentuk upaya pasien agar, berbagai image dalam pikiran, divisualisasikan pada bidang gambar.
Untuk membuat visualisasi itu menjadi sesuatu dalam bidang gambar, dibutuhkan kemampuan kerja otak untuk mengorganisir kerja otot tangan sehingga sesuai dengan apa yang inginkan dalam image tersebut, ketika fungsi kerja otak telah membaik, maka otak akan memiliki kemampuan lebih untuk merespon bentuk sesuai dengan apa yang ada dalam realitas. Maka visualisasi pada gambar akan menampakkan sejauh mana terapi melukis telah memepengaruhi berbagai aspek yang mengalami kerusakan agar kembali menyeimbangkan fungsinya, yakni dalam berpikir (sinkronisasi kerja otak untuk mengorganisasi, memproses dan merealisasikan perintah yang masuk ke otak), berperasaan, (stimuli emosi dalam beraktivitas seni), dan psikomotorik (korelasi antara kerja otak dan kerja otot).
Kemampuan berpikir, emosional, kemampuan psikomotorik, akan berjalan, atau katakanlah semua aspek tersebut akan secara spontan berfungsi secara serempak pada saat proses berkarya seni terjadi. Disini, seni memainkan fungsi sesungguhnya sebagai mediator, bukan sebagai agen utama penyembuh, dalam arti ia bersifat reflektif, memberi gambaran sampai sejauh manakah kerusakan aspek kejiwaan pada pasien, dan merekamnya. Sehingga terapis dapat menentukan pengobatan yang bagaimanakah yang sesuai bagi pasien yang dapat menghasilkan visualisasi tersebut. Dengan demikian, penulis memandang bahwa image-image yang tampak dapat pula berfungsi sebagai sebuah diagnosa. Seperti halnya pada ilmu kedokteran, ataupun psikologi.
Perbedaan antara kreativitas pada seniman kreatif dan pasien neurotik antara lain pada seniman kreatif, aspek berkarya, umumnya dikaitkan dengan aspek-aspek artistik, intelek, konseptual, dll. Sedangkan pada pasien neurotik, aspek berkarya umumnya dikaitkan dengan aspek spontanitas, aspek reflektif, rekreatif, refreshing, terutama terkait dengan aspek kontemplatif, atau penyaluran. Aspek kontemplatif atau sublimasi inilah yang pada prosesnya amat berperan dalam memposisikan seni sebagai media penyembuh.
Selain hal tersebut juga terdapat warna, pada aspek pemilihan warna apakah seseorang, akan memilih misalkan warna biru atau kuning, hal tersebut berhubungan erat dengan emosi. Pada pengamatan penulis, warna juga turut memberi informasi tentang keadaan mental pasien. Umumnya, pada tahap awal terapi pasien cenderung memilih warna-warna yang mengarah ke warna-warna gelap, seperti misalkan pada warna biru dan hijau yang paling sering tampak pada gambar tahap awal pasien.
Kemudian, berangsur-angsur, apabila proses terapi berjalan dengan lancar, maka akan tampak pula perubahan pada warna-warna yang digunakan, dengan kata lain apabila terjadi perbaikan, maka kualitas kondisi kejiwaan pun kan semakin membaik, hal ini akan direspon oleh sisi kejiwaan manusia dan direpresentasikan melalui warna.
Tampak pada gambar tahap akhir warna-warna yang digunakan adalah warna-warna yang tampak cerah. Berikut ini adalah perbandingan visualisasi antara pasien neurotik dan pasien yang telah dikatakan sembuh atau telah kembali normal.

Tabel 2 Perbandingan visualisasi antara pasien Neurotik dan pasien yang telah dapat dikatakan sembuh atau normal.

Ciri-Ciri Pada Gambar Pasien Neurotik
Ciri-Ciri Pada Gambar Normal
1. Warna dan bentuk divisualisasikan tumpang tindih (overlapping)
1. Warna dan bentuk divisualisasikan dengan teratur
2. Bentuk dan komposisi absurd
2. Bentuk dan komposisi tampak harmonis
3. Pemilihan warna cenderung ke warna- warna gelap dan suram
3. Pemilihan warna cenderung pada warna-warna cerah, dan terdapat keselaran antara terang dan gelap
4. Tidak terdapat objek real (nyata)
4. Terdapat dominasi bentuk-bentuk real (nyata)
5. Terdapat visualisasi bentuk-bentuk dasar seperti segitiga, lingkaran persegi
5. Pembagian bidang tampak teratur
6. Pembagian bidang tampak kacau
6. Brush strokes terlihat tenang, teratur dan solid
7. Brush stokes tampak kasar, tak terkendali dan kacau
7. Warna tampak terorganisir dengan rapi tampak solid dan rapi
8. Warna terkadang tampak samar



Metode penyembuhan total pada kejiwaan, tidak dapat bergantung pada terapi seni belaka. Namun terapi seni hanyalah salah satu aspek yang mendukung penyembuhan mental tersebut. Karena aspek kejiwaan manusia tidak begitu saja dapat mengandalkan aspek kreativitas belaka sebagai aspek yang dapat menyembuhkan, namun aspek fisik, ruhaniah, sosial, dan aspek kreatif harus berjalan secara seimbang. Maka dapat penulis katakan penyembuhan itu melibatkan keseluruhan aspek tersebut, dapat dikatakan terapi kejiwaan seharusnya berjalan secara holistik atau menyeluruh. Penyembuhan tidak dapat berjalan dengan timpang, dalam arti salah satu aspek lebih diutamakan dan aspek lainnya diabaikan. Jika demikian yang terjadi adalah penyembuhan yang bersifat parsial, sekalipun pasien pada akhirnya sembuh, namun penulis asumsikan akan menempuh waktu yang lebih lama.
Seni tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan lainnya, yang berbasis pada penelitian dan pembuktian hipotesis. Saat ini banyak orang yang memiliki pemikiran bahwa seni hanyalah untuk seni, ”art for art sake’s”. Tapi berdasarkan riset yang penulis lakukan, seni sama halnya dengan ilmu pengetahuan lainnya, hanya objek yang menjadi kajiannya berbeda. Seni juga merupakan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Terapi seni adalah salah satu cara untuk menyampaikan fungsi ini, yang telah terabaikan setelah sekian lama. Mengapa seni? Karena seni adalah salah satu kajian ilmu yang mempelajari korelasi antara tubuh, jiwa, dan hati, dan pikiran -selain ilmu psikologi tentunya- suatu ilmu yang memahami hakikat penciptaan suatu karya, serta memahami sisi keindahan dalam berbagai bentuk dari yang nyata hingga yang tak kasat mata.


Kemampuan ini diperlukan bagi jiwa manusia, karena selama beribu-ribu tahun seni telah menjadi mediator ulung bagi peradaban manusia tanpa mengenal institusi, dan berdasarkan fakta yang ada, seni tak pernah gagal dalam menjalankan fungsi ini. Kebanyakan manusia justru mengabaikan anugrah Ilahiah ini, dan tak memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin. Segala hal tersebut adalah sesuatu yang fitriah dan naluriah. Yang membedakan seni dengan ilmu alam lainnya adalah, seni mempelajari segala sesuatu yang pada hakikatnya hanya dapat dirasakan, bukan disentuh.
Aktifitas berkesenian telah melatih manusia untuk mengeksplorasi kedalaman jiwa, serta memaksimalkan aspek intuitif. Seni adalah media yang tepat sebagai salah satu media untuk merekonstruksi aspek kejiwaan manusia. Dengan cara inilah penulis rasa, seni dapat menyumbangkan fungsinya dalam masyarakat. Dan mendobrak dinding yang membatasi antara masyarakat awam dan masyarakat seni.
Karena itulah seni juga dapat menjembatani orang-orang dengan berbagai keterbatasan, dan dapat menjadi penyambung lidah bagi orang-orang yang tersisih dari masyarakat karena keterbatasan mereka. Dengan seni pula kita dapat memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan cara berpikir mereka, atau bagaimana cara mereka memandang dunia dari sudut pandang mereka, ataupun untuk mengetahui ketakutan dan kesedihan apa yang mereka alami. Untuk membuat orang dapat melihat dari visi mereka, mendengar dari pendengaran mereka, dan berbicara dengan bahasa mereka. Seni dapat memberikan suatu lahan bagi mereka yang ”unspoken”, suatu lahan yang tak dapat diberikan oleh ilmu pengetahuan lainnya.
Seni, seringkali dipandang sebagai suatu aktifitas yang murni berkitan dengan bakat, hal ini tidak sepenuhnya salah. Namun seni juga merupakan suatu ilmu pengetahuan yang juga memerlukan ketelitian yang luar biasa, terkait pada eksperimen dan observasi, serta tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari keterkaitannya dengan ilmu pengetahuan lainnya Hal ini tentunya, tanpa mengabaikan aspek logis, intelektualitas, berbasis pada penelitian yang juga tidak beranjak dari kaidah ilmu pengetahuan. Seperti halnya Leonardo da Vinci yang menemukan pembagian proporsional tubuh manusia dengan jalan membedah mayat, yang mana hal ini dekat sekali dengan ilmu biologi dan kedokteran. Kemudian ia menemukan perhitungan yang akurat dalam skala tubuh manusia, yang kemudian diaplikasikan kedalam gambar yang memenuhi kaidah naturalis dalam mengambar proporsi tubuh manusia dalam image dua dimensional.
Seni merupakan suatu anugrah yang perlu disyukuri dengan sebaik-baiknya karena tidak semua manusia dapat terlahir dengan anugrah tersebut. Sehingga dapat menghasilkan seseorang yang dapat memaksimalkan daya intuitif, dan ketajaman insting dan nalurinya.

 


BAB III
PENUTUP


Seni dapat menjadi sebuah jalan bagi kesembuhan mental manusia, melalui sebuah unsur yang dikenal dengan istilah Katarasis. Melalui aspek ini pula, dapat kita ketahui, seperti apakah visualisasi dari alam bawah sadar manusia. Serta terdapat pola-pola yang menandakan adanya alur yan dapat dijadikan tolak ukur kesembuhan pasien Skizofrenia dan Narkoba. Selain itu terdapat visualisasi dari bentuk-bentuk dasar seperti segitiga, lingkaran dan persegi secara terus menerus, terutama ketika pasien masih dalam tahap awal terapi
Setelah meneliti berbagai aspek yang berkaitan dengan terapi seni, penulis ingin menyarankan agar baik itu kepada peneliti seni maupun psikolog agar saling mempertukarkan ilmu dibidangnya masing-masing dengan maksud agar ilmu terapi seni dapat lebih berkembang dan lebih dikenal oleh masyarakat, baik itu oleh masyarakat seni, psikologi, maupun oleh masyarakat awam. di Indonesia. Selain itu agar kedua ilmu tersebut, yakni psikologi dan seni, saling berkorelasi satu sama lain, yang mana penulis telah melihat beberapa kesamaan antara kedua disiplin ilmu tersebut, meskipun pada kenyataannya masih terdapat jarak dan perbedaan sudut pandang yang tajam antara peneliti seni dan psikologi.

 


DAFTAR PUSTAKA

Danah Zohar dan Ian Marshall (terj.), SQ – Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam
Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, Penerbit Mizan, Bandung,
2000



Alhazen atau Alhacen (965-1039) seorang polymath (orang yang ahli dalam banyak bidang).
Seorang Arab Persia dengan nama asli Ibn al Haytham. Lahir di Basra, Irak sehingga            sering   dipanggil juga sebagai al-Basri.

Malchiodi,Cathy. 1998, The Art Therapy Sourcebook, New York, Lowell House Book, hal. 3-
4.

Simon, R.M., 1997, Symbolic Images In Art As Therapy, London, Routledge.

Anwar, Anisa, 2002, Aspek Terapi Seni Pada Upacara Adat di Indonesia, Bandung, ITB.

Http:// www.Healingthroughcreativity.org



You May Also Like

0 komentar