Psikologi Seni
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Psikologi
seni, secara umum, adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip psikoanalisis
Freudian dengan banyak psikolog seni mengkritisi, apa yang mereka ditafsirkan
sebagai, aliran reduktifitasnya Sigmund Freud percaya bahwa proses
kreatif adalah sebuah alternatif untuk neurosis. Dia merasa bahwa ia
kemungkinan semacam mekanisme pertahanan terhadap efek negatif dari neurosis,
cara untuk menerjemahkan energi itu menjadi sesuatu yang dapat diterima secara
sosial, yang bisa menghibur dan menyenangkan orang lain. Tulisan-tulisan Carl
Jung, bagaimanapun, memiliki menguntungkan penerimaan antara psikolog
seni yang diberikan-Nya gambaran optimis tentang peran seni dan keyakinannya
bahwa isi dari ketidaksadaran pribadi dan, lebih khusus, ketidaksadaran
kolektif, dapat diakses oleh seni dan bentuk-bentuk ekspresi budaya.
Pada
1970-an, sentralitas seni psikologi di akademi mulai berkurang. Seniman menjadi lebih tertarik dalam psikoanalisis, feminisme, dan arsitek dalam fenomenologi
dan tulisan-tulisan Wittgenstein, Lyotard, dan Derrida. Adapun seni
dan sejarawan arsitektur, mereka mengkritik psikologi karena anti-kontekstual
dan budaya naif. Erwin Panofsky, yang memiliki dampak yang luar biasa pada
bentuk sejarah seni di AS, berpendapat bahwa sejarawan harus fokus kurang pada
apa yang dilihat dan lebih pada apa yang dianggap. Hari ini, psikologi
masih memainkan peran penting dalam wacana seni rupa, meskipun terutama di
bidang apresiasi seni.
Karena
meningkatnya minat dalam kepribadian teori-terutama sehubungan dengan karya Isabel
Briggs Myers dan Katherine Briggs, Developers of the Myers-Briggs Type Indicator (pengembang Type
Indicator Myers-Briggs) , ahli teori kontemporer sedang menyelidiki hubungan
antara tipe kepribadian dan seni. Patricia Dinkelaker dan John Fudjack telah membahas hubungan antara tipe kepribadian
seniman dan karya seni; pendekatan untuk seni sebagai refleksi dari preferensi
fungsional yang berhubungan dengan tipe kepribadian dan fungsi seni dalam masyarakat dalam terang teori
kepribadian.
B.
PERUMUSAN
MASALAH
1. Apa
Pengertian Seni ?
2. Hubungan
Antara Psikologi Dan Seni ?
3. Bagaimana
Terapi Seni Melalui Melukis ?
C.
TUJUAN
PENULISAN MAKALAH
Tujuan Penulisan
makalah adalah untuk mengetahui tentang seni dan psikologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SENI
Pengalaman Estetika
Seni dianggap bidang
subjektif, di mana menyusun dan memandang karya seni dengan cara yang unik yang
mencerminkan pengalaman seseorang, pengetahuan, preferensi, dan emosi. Pengalaman estetika meliputi
hubungan antara penampil dan obyek seni. Dalam hal artis, ada keterikatan
emosional yang mendorong fokus seni. Seorang seniman harus benar-benar di-tune
dengan objek seni untuk memperkaya penciptaannya. Sebagai karya seni
berlangsung selama proses kreatif, begitu juga Seniman. Keduanya tumbuh dan berubah untuk memperoleh makna
baru. Jika seniman terlalu
emosional atau kurang kompatibilitas emosional dengan sebuah karya seni, maka
ini akan berdampak pada produk jadi negatif.
Menurut Bosanquet
(1892), Aesthetic
attitude (sikap estetika) adalah penting dalam melihat seni karena memungkinkan seseorang untuk mempertimbangkan suatu
objek dengan bunga siap untuk melihat apa itu menunjukkan. Namun, seni tidak
menimbulkan pengalaman estetik kecuali penampil bersedia dan terbuka untuk itu.
Tidak peduli seberapa menarik objek adalah, terserah kepada yang melihatnya
untuk memungkinkan adanya pengalaman seperti itu.
Di mata psikolog Gestalt Rudolf Arnheim, ”pengalaman estetika seni
menekankan hubungan antara seluruh objek dan bagian individu”. Ia dikenal luas untuk fokus pada pengalaman dan
interpretasi karya seni, dan bagaimana mereka memberikan wawasan ke dalam
kehidupan masyarakat. Ia kurang peduli dengan konteks budaya dan sosial dari
pengalaman menciptakan dan melihat karya seni. Di matanya, sebuah objek secara
keseluruhan dianggap kurang pengawasan dan kritik dari pertimbangan aspek
tertentu dari entitas tersebut. Karya seni mencerminkan seseorang "Pengalaman hidup"
dari / hidupnya. Arnheim percaya bahwa semua proses psikologis memiliki kognitif, emosional,
dan motivasi kualitas, yang tercermin dalam komposisi setiap seniman
Penelitian
Psikologis
Psikolog kognitif
mempertimbangkan baik "bottom-up" dan "top-down" pengolahan
ketika mempertimbangkan hampir semua bidang penelitian, termasuk visi. Mirip
dengan bagaimana istilah ini digunakan dalam desain perangkat lunak,
"bottom- up "mengacu pada bagaimana informasi dalam stimulus diproses
oleh sistem visual ke warna, bentuk, pola, dan lain-lain Top-down "mengacu
pada pengetahuan konseptual dan pengalaman masa lalu individu tertentu faktor
bottom-up diidentifikasi dalam bagaimana seni dihargai termasuk abstrak vs
lukisan figuratif, bentuk, kompleksitas, simetri dan keseimbangan komposisi,
lateralitas dan gerakan. pengaruh Top-down diidentifikasi sebagai terkait
dengan apresiasi seni termasuk prototypicality, kebaruan , informasi tambahan
seperti judul, dan keahlian.
Abstrak
Dibandingkan Seni Figuratif
Lukisan abstrak yang unik
dalam meninggalkan eksplisit niat representasional. figuratif atau seni
representasional digambarkan sebagai ambigu atau membutuhkan interpretasi
ringan.
Kompleksitas
Penelitian telah
menunjukkan bahwa ketika melihat seni abstrak, orang lebih suka kompleksitas
dalam bekerja sampai batas tertentu. Ketika mengukur "interestingness" dan "pleasingness,"
pengamat seni dinilai bekerja lebih tinggi untuk karya-karya abstrak
yang lebih kompleks. Dengan
paparan ditambahkan ke pekerjaan abstrak, menyukai peringkat terus meningkat
dengan baik kompleksitas subjektif (viewer dinilai) dan dinilai kompleksitas
(artis dinilai). Ini hanya berlaku sampai titik tertentu. Ketika bekerja menjadi
terlalu rumit, orang-orang mulai kurang tekun dalam berkarya.
Neural Evidence
Bukti
neuroanatomical dari penelitian menggunakan fMRI scan menunjukkan preferensi
estetika yang lukisan representasional lebih disukai daripada lukisan abstrak.
Hal ini ditampilkan melalui aktivasi yang signifikan dari daerah otak yang
berhubungan dengan peringkat preferensi. Untuk menguji ini, para peneliti telah
peserta melihat lukisan yang bervariasi sesuai dengan jenis (representasional
vs abstrak) dan format (original vs diubah vs disaring). Hasil perilaku
menunjukkan preferensi yang lebih tinggi untuk lukisan representasional. Sebuah
korelasi positif ada antara peringkat preferensi dan respon latency. Hasil FMRI
mengungkapkan bahwa aktivitas di berekor inti yang tepat untuk memperluas
putamen menurun dalam menanggapi penurunan preferensi untuk lukisan, sementara
aktivitas di sulkus cingulate kiri, gyri bilateral occipital, fusiform gyri
bilateral, fusiform kanan gyrus, dan cerebellum bilateral meningkat sebagai
respons terhadap meningkatnya preferensi untuk lukisan. perbedaan yang
diamati adalah refleksi dari yang relatif meningkat aktivasi terkaitdengan
preferensi yang lebih tinggi untuk lukisan representasional.
Studi gelombang otak juga
telah dilakukan untuk melihat bagaimana seniman dan non-seniman bereaksi dengan
cara yang berbeda untuk seni abstrak dan representasional. Scan otak EEG menunjukkan
bahwa saat melihat seni abstrak, non-seniman menunjukkan gairah kurang dari
seniman. Namun, saat melihat seni figuratif, kedua seniman dan non-seniman
memiliki gairah yang sebanding dan kemampuan untuk memperhatikan dan
mengevaluasi rangsangan seni. Hal ini menunjukkan seni abstrak membutuhkan
keahlian lebih untuk menghargai daripada seni figuratif.
Personality Type
Ciri-ciri kepribadian
individu juga terkait dengan pengalaman estetis dan preferensi seni. Individu kronis dibuang untuk
membersihkan, sederhana, dan pengetahuan jelas mengungkapkan pengalaman
estetika sangat negatif terhadap seni abstrak, karena kekosongan konten yang
bermakna. Penelitian telah membuktikan bahwa pilihan seseorang seni bisa
menjadi ukuran yang berguna kepribadian. ciri-ciri kepribadian individu yang
terkait dengan pengalaman estetis dan preferensi seni. Tes kepribadian setelah
melihat seni abstrak dan representasi dilakukan pada Lima Faktor NEO
Inventarisasi yang mengukur "lima besar" faktor kepribadian. Ketika
referensi "Big Five" dimensi kepribadian, Thrill dan Petualangan
mencari berkorelasi positif dengan keinginan seni representasional, sedangkan
Disinhibition dikaitkan dengan penilaian positif dari seni abstrak. Neurotisme berkorelasi positif dengan
penilaian positif dari seni abstrak, sementara Conscientiousness dikaitkan dengan keinginan seni representasional.
Keterbukaan terhadap Pengalaman dikaitkan dengan peringkat positif seni abstrak
dan representasi.
Automatic Evaluation
Studi
melihat implisit, evaluasi otomatis karya seni telah menyelidiki bagaimana
orang bereaksi terhadap karya seni abstrak dan figuratif dalam sepersekian
detik sebelum mereka punya waktu untuk berpikir tentang hal itu. Dalam evaluasi
implisit, orang bereaksi lebih positif terhadap seni figuratif, di mana mereka
setidaknya bisa melihat bentuk. Dalam hal evaluasi eksplisit, ketika orang
harus berpikir tentang seni, tidak ada perbedaan yang nyata dalam penilaian
antara seni abstrak dan representasi.
Lateralitas Dan Gerakan
Lateralitas
dan gerakan dalam seni rupa meliputi aspek-aspek seperti bunga, berat badan,
dan keseimbangan. Banyak penelitian telah dilakukan mengenai dampak wenangan
dan membaca arah tentang bagaimana seseorang mempersepsi sebuah karya seni.
Penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah spesialisasi atau membaca
kebiasaan belahan otak mempengaruhi arah di mana peserta "membaca"
sebuah lukisan. Hasil menunjukkan bahwa kedua faktor yang berkontribusi
terhadap proses. Selain itu, spesialisasi belahan otak menyebabkan individu
untuk membaca dari kiri ke kanan, memberikan para pembaca keuntungan.
Bangunan off dari temuan ini, peneliti lain mempelajari gagasan bahwa
individu-individu yang terbiasa membaca arah tertentu (kanan ke kiri,
dibandingkan kiri ke kanan) maka akan menampilkan bias dalam gambar
representasional mereka sendiri yang mencerminkan arah kebiasaan membaca mereka.
Hasil menunjukkan bahwa prediksi ini terbukti benar, dalam gambar peserta
tercermin Bias membaca mereka.
Para
peneliti juga melihat untuk melihat apakah seseorang arah membaca, kiri ke
kanan atau kanan ke kiri mempengaruhi preferensi seseorang untuk baik kiri ke
kanan atau directionality hak untuk directionality tersisa di gambar. Peserta
ditunjukkan gambar serta bayangannya, dan diminta untuk menunjukkan yang mereka
temukan lebih estetis. Secara keseluruhan, hasil menunjukkan bahwa membaca
directionality dampak seseorang seseorang preferensi untuk gambar baik dengan
kiri ke directionality kanan atau kanan ke kiri directionality.
Dalam
studi lain, peneliti meneliti apakah bias sisi kanan dalam preferensi estetika
dipengaruhi oleh wenangan atau membaca / menulis kebiasaan. Para peneliti
melihat pembaca Rusia, pembaca Arab, dan pembaca Ibrani yang tangan kanan dan
non-tangan kanan. Peserta melihat gambar yang diambil dari buku-buku seni yang
profil atau wajah manusia dan tubuh dalam dua blok. Gambar yang ditampilkan
kepada peserta sebagai ke dalam atau ke luar menghadapi pasangan dan kemudian
dalam orientasi yang berlawanan. Setelah melihat masing-masing pasangan,
peserta diminta gambar mana dari pasangan yang lebih estetis. Ketika melihat
hasil untuk wenangan, peserta kidal memiliki "preferensi kiri" dan
peserta non tangan kanan memiliki "preferensi yang tepat." Hasil ini
menunjukkan bahwa "preferensi estetika untuk profil wajah dan tubuh
berhubungan terutama dengan diarahkan pada bacaan yang diperoleh / menulis
kebiasaan. "[27] Membaca arah tampaknya berdampak pada bagaimana
orang-orang dari segala usia melihat karya seni. Menggunakan TK sampai
perguruan tinggi peserta berusia, peneliti menguji preferensi estetika penonton
ketika membandingkan karya asli seni dengan bayangannya. Lukisan-lukisan asli
diikuti konvensi bahwa pemirsa "membaca" lukisan dari kiri ke kanan,
sehingga pola cahaya diarahkan penonton untuk melihat lukisan dengan cara yang
sama Temuan menunjukkan bahwa peserta lebih memilih lukisan asli, kemungkinan
besar karena gaya barat melihat lukisan. dari kiri ke kanan.
Arah Pencahayaan
Arah
pencahayaan ditempatkan pada lukisan juga tampaknya memiliki efek pada
preferensi estetika. bias cahaya adalah kecenderungan untuk pemirsa untuk
memilih karya seni yang menyala dengan pencahayaan yang datang dari sisi kiri
lukisan itu. Para peneliti memperkirakan bahwa peserta akan lebih memilih karya
seni yang menyala dari sisi kiri dan ketika diberi pilihan, mereka akan memilih
untuk menempatkan lampu di sisi kiri atas sebuah karya seni. Peserta menemukan
lukisan dengan pencahayaan di sebelah kiri menjadi lebih estetis daripada
ketika itu lebih ringan di sisi kanan dan ketika diberi kesempatan untuk
menciptakan cahaya pada lukisan yang sudah ada.
Kiri Dan Kanan Bias Pipi
Bias
pipi kiri terjadi ketika pemirsa lebih memilih potret dengan subjek menampilkan
pipi kiri mereka, sementara mereka yang memegang bias pipi kanan lebih potret
menampilkan pipi kanan. Penelitian telah menemukan hasil yang beragam mengenai
bias pipi kiri dan bias pipi kanan. Peserta laki-laki dan perempuan menunjukkan
potret laki-laki dan perempuan, masing-masing menampilkan jumlah yang sama
posisi pipi kiri atau kanan. Peserta ditunjukkan setiap potret orientasi
aslinya dan dalam orientasi terbalik dan bertanya yang potret mereka lebih suka
lebih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar peserta memilih potret
menampilkan pipi kanan subjek atas kiri. Studi lain dieksplorasi yang
orientasi berpose disampaikan pesan tertentu. Para ilmuwan di abad ke-18
Lebih sering ditampilkan bias pipi kanan, dan dinilai sebagai "lebih
ilmiah." Menurut para peneliti, menunjukkan pipi kanan seseorang
menyembunyikan emosi, sedangkan pipi kiri mengungkapkan itu. Pergeseran dari
kanan ke kiri pipi Bias abad ke-18 pasca dapat mewakili karakteristik wajah
yang lebih pribadi atau terbuka.
Kompleksitas
Kompleksitas
benar-benar dapat didefinisikan sebagai yang "terdiri dari sejumlah besar
bagian-bagian yang memiliki banyak interaksi." Definisi ini telah
diterapkan untuk berbagai mata pelajaran, seperti seni, musik, tari, dan
sastra. Dalam penelitian estetika, kompleksitas telah dibagi menjadi tiga
dimensi yang menjelaskan interaksi antara jumlah elemen, perbedaan unsur, dan
pola dalam pengaturan mereka. Selain itu, karakteristik ini dalam estetika
terdiri dari spektrum yang luas, mulai dari kompleksitas rendah kompleksitas
yang tinggi. Studi telah menemukan kunci melalui respon kulit Galvanic yang
lebih kompleks karya seni menghasilkan gairah fisiologis yang lebih besar dan
peringkat hedonis yang lebih tinggi, yang konsisten dengan temuan lain yang
mengklaim bahwa estetika keinginan meningkat dengan kompleksitas. Yang paling
penting, beberapa studi telah menemukan bahwa ada hubungan U-bentuk antara preferensi
estetika dan kompleksitas.
Mengukur Kompleksitas
Secara
umum, kompleksitas adalah sesuatu yang memiliki banyak bagian dalam kemajuan
yang rumit. Beberapa peneliti memecah kompleksitas menjadi dua subparts yang
berbeda: kompleksitas obyektif dan kompleksitas yang dirasakan. Kompleksitas
tujuan adalah bagian dari seni yang bisa dimanipulasi. Untuk seni rupa yang
mungkin ukuran bentuk, jumlah patters, atau jumlah warna yang digunakan. Untuk
seni akustik yang dapat mencakup durasi, kenyaringan, jumlah harmoni yang
berbeda, sejumlah perubahan dalam aktivitas berirama, dan tingkat aktivitas
berirama.
Bentuk
lain dari kompleksitas yang dirasakan kompleksitas, atau kompleksitas
subjektif. Dalam bentuk ini setiap individu tarif obyek pada kompleksitas yang
mereka anggap. Oleh karena itu, kompleksitas subjektif mungkin menggambarkan
pandangan kita tentang kompleksitas yang lebih akurat, namun ukuran dapat
berubah dari orang ke orang.
Salah
satu bentuk menggunakan teknologi komputer untuk menilai kompleksitas, adalah
dengan menggunakan kecerdasan komputer ketika rating gambar. Dalam format ini,
jumlah komputer yang digunakan intelijen dinilai saat membuat gambar digital.
Kecerdasan komputer dinilai dengan merekam rumus matematika yang digunakan
dalam menciptakan gambar. Keterlibatan manusia, menambahkan atau menghilangkan
aspek gambar, juga bisa menambah atau mengambil dari kompleksitas gambar.
Salah
satu cara untuk mengukur kompleksitas adalah untuk memanipulasi karya asli
mengandung berbagai tingkat kepadatan. Proses ini dilakukan dengan mengurangi
dan menambahkan piksel untuk mengubah kepadatan lukisan hitam dan putih. Teknik
ini memungkinkan peneliti untuk menggunakan karya seni otentik, bukan
menciptakan versi buatan karya seni, untuk mengontrol rangsangan.
Yang
lain merasa terbaik untuk mengukur kompleksitas berdasarkan jumlah bagian karya
seni memiliki. Lebih aspek seni, seperti warna yang lebih, detail, bentuk,
benda, suara, melodi, dan sejenisnya, membuat lebih kompleks karya seni. Namun,
ada penelitian yang terbatas dilakukan pada perbandingan antara bagian
kompleksitas berbasis dan persepsi manusia kompleksitas, sehingga tidak jelas
apakah orang melihat gambar dengan lebih banyak bagian sebagai lebih kompleks.
Inverse U-Shape Hipotesis Terbalik-U Grafik.
The
Inverted U-Shape Hipotesis menunjukkan bahwa tanggapan estetika dalam kaitannya
dengan kompleksitas akan menunjukkan distribusi terbalik-bentuk. Dengan kata
lain, peringkat terendah dalam tanggapan estetika berkorelasi dengan tingkat
tinggi dan rendah kompleksitas, yang menampilkan "menghindari ekstrem."
Selain itu, tingkat tertinggi respon estetika terjadi di tingkat menengah
kompleksitas. Penelitian sebelumnya telah menegaskan hipotesis U-Shape (lihat
Inverted U-grafik gambar). Misalnya, dalam sebuah studi dari peringkat
mahasiswa 'sesuai dengan keinginan dan kompleksitas musik pop kontemporer
melaporkan terbalik hubungan U-bentuk antara keinginan dan kompleksitas.
Penelitian
sebelumnya, menunjukkan bahwa kecenderungan ini kompleksitas juga dapat
dikaitkan dengan kemampuan untuk memahami, di mana obserevers lebih karya seni
yang tidak terlalu mudah atau terlalu sulit untuk dipahami. Lain penelitian
kedua menegaskan dan disconfirms prediksi yang menyatakan bahwa karakteristik
individu seperti keahlian artistik dan pelatihan dapat menghasilkan pergeseran
terbalik distribusi U-bentuk.
Aspek Seni
Seni Rupa
Sebuah kecenderungan umum
menunjukkan bahwa hubungan antara kompleksitas gambar dan peringkat kenikmatan
membentuk terbalik-bentuk U grafik (lihat bagian Keahlian untuk pengecualian).
Ini berarti bahwa orang-orang seperti semakin seperti seni seperti pergi dari
yang sangat sederhana sampai yang lebih kompleks, sampai puncak, ketika
peringkat kenikmatan yang jatuh lagi.
Sebuah studi baru-baru ini
juga telah menemukan bahwa kita cenderung untuk menilai lingkungan alam dan
gambar lanskap sebagai yang lebih kompleks, maka menyukai mereka lebih dari
gambar abstrak yang kita menilai kurang kompleks.
Musik Musik
Musik menunjukkan
kecenderungan yang sama dalam kompleksitas vs peringkat preferensi seperti
halnya seni rupa. Ketika membandingkan musik populer, untuk periode waktu, dan
dirasakan peringkat kompleksitas dikenal terbalik-U hubungan bentuk muncul,
menunjukkan bahwa umumnya kita suka musik cukup kompleks yang paling. Sebagai
pilihan musik akan lebih atau kurang kompleks, preferensi untuk musik yang
dips. Orang-orang yang memiliki lebih banyak pengalaman dan pelatihan dalam
musik populer, bagaimanapun, lebih suka musik yang sedikit lebih
kompleks. terbalik-U grafik bergeser The ke kanan untuk orang-orang
dengan latar belakang musik yang lebih kuat. Pola yang sama dapat dilihat untuk
jazz dan musik bluegrass. Mereka dengan pelatihan musik terbatas jazz dan bluegrass
menunjukkan khas terbalik-U ketika melihat kompleksitas dan preferensi,
bagaimanapun, para ahli di bidang tersebut tidak menunjukkan pola yang sama.
Berbeda dengan ahli musik populer, jazz dan bluegrass ahli tidak menunjukkan
hubungan yang jelas antara kompleksitas dan kenikmatan. Para ahli dalam dua
genre musik tampaknya seperti apa yang mereka suka, tanpa formula untuk
menggambarkan perilaku mereka. Karena gaya musik yang berbeda memiliki efek
yang berbeda pada preferensi bagi para ahli.
Tari
Studi psikologis telah menunjukkan bahwa kesukaan hedonis pertunjukan tari dapat dipengaruhi oleh kompleksitas. Salah satu eksperimen yang digunakan dua belas koreografi tari yang terdiri dari tiga tingkat kompleksitas yang dilakukan di empat tempo yang berbeda. Kompleksitas dalam urutan tari diciptakan memvariasikan urutan enam pola pergerakan (yaitu lingkaran searah jarum jam, lingkaran berlawanan, dan tahap pendekatan). Secara keseluruhan, ini diteliti menunjukkan bahwa pengamat lebih memilih koreografi dengan urutan tarian rumit dan tempo yang lebih cepat.
Studi psikologis telah menunjukkan bahwa kesukaan hedonis pertunjukan tari dapat dipengaruhi oleh kompleksitas. Salah satu eksperimen yang digunakan dua belas koreografi tari yang terdiri dari tiga tingkat kompleksitas yang dilakukan di empat tempo yang berbeda. Kompleksitas dalam urutan tari diciptakan memvariasikan urutan enam pola pergerakan (yaitu lingkaran searah jarum jam, lingkaran berlawanan, dan tahap pendekatan). Secara keseluruhan, ini diteliti menunjukkan bahwa pengamat lebih memilih koreografi dengan urutan tarian rumit dan tempo yang lebih cepat.
Personal Differences
Telah
ditemukan bahwa perbedaan kepribadian dan perbedaan demografis dapat
menyebabkan preferensi seni yang berbeda juga. Satu studi yang diuji preferensi
masyarakat pada berbagai karya seni, dengan mempertimbangkan preferensi pribadi
mereka juga. Studi ini menemukan bahwa perbedaan gender ada dalam preferensi
seni. Wanita umumnya lebih bahagia, penuh warna, dan sederhana lukisan
sedangkan laki-laki umumnya lebih geometris, sedih, dan kompleks lukisan.
Perbedaan usia dalam preferensi kompleksitas ada juga, di mana preferensi untuk
lukisan yang kompleks meningkat dengan meningkatnya usia.
Ciri-ciri
kepribadian tertentu juga dapat memprediksi hubungan antara kompleksitas seni
dan preferensi. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa orang yang memiliki
skor tinggi pada kesadaran menyukai lukisan kompleks kurang dari orang yang
mencetak rendah pada kesadaran. Hal ini jatuh sejalan dengan gagasan bahwa
orang-orang yang teliti tidak suka bimbang dan menikmati kontrol, sehingga
tidak menyukai karya seni yang mungkin mengancam perasaan seperti itu. Di sisi
lain orang yang mencetak sangat keterbukaan pengalaman menyukai karya-karya
seni yang kompleks lebih dari mereka yang tidak mencapai nilai tinggi pada
keterbukaan terhadap pengalaman. Perbedaan individu adalah prediktor yang lebih
baik untuk preferensi seni kompleks daripada seni sederhana, di mana tidak ada
ciri-ciri kepribadian yang jelas memprediksi preferensi untuk seni sederhana.
Meskipun tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan langsung dengan
kompleksitas, tingkat pendidikan yang lebih tinggi menyebabkan kunjungan museum
lagi yang pada gilirannya menyebabkan apresiasi lebih seni yang kompleks.
Hal ini menunjukkan bahwa lebih mengekspos seni yang kompleks menyebabkan
preferensi yang lebih besar, di mana memang keakraban menyebabkan keinginan
yang lebih besar.
Symmetry
Simetri
dan keindahan memiliki link biologis yang kuat yang mempengaruhi preferensi
estetika. Telah terbukti bahwa manusia cenderung memilih seni yang mengandung
simetri, yang menganggap itu lebih indah.Selain itu, simetri langsung
berkorelasi dengan pemahaman wajah atau karya seni seindah. Semakin besar
simetri dalam pekerjaan atau wajah, umumnya lebih indah tampaknya menjadi.
Penelitian pada preferensi estetika untuk bentuk-bentuk geometris dan
pengolahan fasih simetri menyoroti peran yang simetri bermain dalam penilaian
estetika keseluruhan dan pengalaman.
B.
HUBUNGAN
ANTARA PSIKOLOGI DAN SENI
Psikologi adalah
sebuah disiplin ilmu yang bersifat akademis dan terapan yang melingkupi studi
mengenai proses mental dan perilaku. Bidang yang dipelajari oleh para psikolog
adalah perihal persepsi, kognisi (proses penyerapan pengetahuan), emosi,
kepribadian dan hubungan interpersonal. Psikologi juga dikenal akan terapan
pada aktivitas kehidupan manusia sehari-hari seperti: keluarga, pendidikan dan
pekerjaan, juga perlakuan terhadap permasalahan kejiwaan manusia. Beberapa sub
bidang psikologi diantaranya psikologi pengembangan sumber daya manusia,
psikologi olahraga, psikologi kesehatan, psikologi industri, psikologi media
dan psikologi hukum.
Psikologi seni adalah
bidang interdisipliner yang mempelajari persepsi, kognisi dan karakteristik
seni dan produksi. Psikologi seni berhubungan dengan psikologi arsitektur dan psikologi
lingkungan.Pembahasan tentang hubungan antara psikologi dan seni, telah
memunculkan sebuah disiplin yang disebut psikologi seni (psychology of art).
Pembahasan
tentang hubungan antara psikologi dan seni telah memunculkan sebuah disiplin
yang disebut psikologi seni (psychology of art). Disiplin ini membahas
konsep-konsep psikologi yang bisa diterapkan dalam kesenian, jadi merupakan
sebentuk ilmu terapan (applied science) dari psikologi terhadap bidang seni.
Tetapi disiplin ini hanya dibahas di fakultas atau jurusan kesenian, bukan
jurusan psikologi. Hal ini analog dengan penerapan psikologi dalam
bidang-bidang lainnya seperti pendidikan (melahirkan disiplin psikologi
pendidikan), bidang industri (melahirkan psikologi industri), bidang dakwah
(melahirkan psikologi dakwah), dan sebagainya.
Saat
berbicara tentang psikologi dan sastra, Rene Wellek dan Austin Warren menulis
bahwa istilah “psikologi sastra” memunyai empat kemungkinan pengertian.
Pertama, studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Kedua, studi
proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan
pada karya sastra. Keempat, studi tentang dampak sastra pada pembaca (psikologi
pembaca). Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Dari empat macam hubungan
di atas, hubungan pertama, kedua, dan keempat bisa terjadi pada segala bentuk
seni. Yang khas sastra mungkin hanya hubungan ketiga, itu pun sastra yang
berupa cerita (prosa dan drama).
Di
antara berbagai aliran dalam psikologi, psikoanalisis adalah aliran yang paling
akrab dengan seni. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, adalah seorang yang
menghargai kebudayaan, menyukai seni, dan gemar membaca sastra sejak muda.
Tidak heran kalau kemudian ia menjadikan sastra sebagai medan penelitian
sekaligus ilustrasi untuk membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Dalam
karya-karya sastra besar, misalnya Oedipus (Sophokles), Hamlet (Shakespeare),
dan The Brother Karamazov (Dostoyevsky), Freud menemukan tipe-tipe manusia yang
menyerupai dan sesuai dengan pemikirannya.
Psikologi Persepsi dan Desain Komunikasi Visual
Desain Komunikasi Visual bisa dikatakan adalah seni
menyampaikan pesan (arts of commmunication) dengan menggunakan bahasa
rupa (visual language) yang disampaikan melalui media berupa desain.
Dengan tujuan menginformasikan, mempengaruhi hingga merubah perilaku target
audience sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Bahasa rupa yang dipakai
berbentuk grafis, tanda, simbol, ilustrasi gambar/foto, tipografi/huruf dan
sebagainya yang disusun berdasarkan khaidah bahasa visual yang khas. Isi pesan
diungkapkan secara kreatif dan komunikatif serta mengandung solusi
untuk permasalahan yang hendak disampaikan (sosial maupun komersial ataupun
berupa informasi, identifikasi maupun persuasi).
C.
TERAPI
SENI MELALUI MELUKIS
Terapi seni
secara harafiah dapat diartikan sebagai penggabungan dua buah disiplin ilmu,
yaitu antara ilmu seni dan psikologi. Dengan demikian, istilah terapi seni,
yang secara verbal terdiri dari kata Terapi dan Seni, secara nyata
menggabungkan dua jenis disiplin ilmu, yaitu Seni (Art) dan Psikologi.
Melukis
Sebagai Sebuah Bentuk Terapi
Melukis sebagai terapi, berkaitan dengan aspek
kontemplatif atau sublimasi. Kontemplatif atau sublimasi merupakan suatu cara
atau proses yang bersifat menyalurkan atau mengeluarkan segala sesuatu yang
bersifat kejiwaan, seperti perasaan, memori, pada saat kegiatan berkarya seni
berlangsung. Aspek ini merupakan salah satu fungsi seni yang dimanfaatkan
secara optimal pada setiap sesi terapi. Kontemplatif dalam arti, berbagai
endapan batin yang ditumpuk, baik itu berupa memori, perasaan, dan berbagai
gangguan persepsi visual dan auditorial, diusahakan untuk dikeluarkan atau
disampaikan. Dengan demikian pasien tidak terjebak pada suatu situasi dimana
hanya diri sendiri terjebak pada realitas imajiner yang diciptakan oleh diri
sendiri. Aspek kontemplatif atau sublimasi inilah yang kemudian dikenal dengan
istilah katarsis dalam dunia psikoanalisa.
Hal tersebut, juga sekaligus dapat menjadi media
untuk mencari pemicu atau akar permasalahan melalui berbagai visualisasi atau
simbol-simbol yang muncul selama terapi berlangsung. Berdasar visualisasi yang
tercurah selama terapi berlangsung, seringkali tampak gambar beberapa image yang
merupakan simbolisasi dari ekspresi bawah sadar dari pasien. Kemudian bagi
terapis, beragam visualisasi inilah yang menjadi perangkat untuk menentukan
diagnosa sampai sejauh apakah kerusakan kondisi kejiwaan pasien, dan pengobatan
jenis apakah yang sesuai bagi pasien.
Paparan ini untuk mengungkap aspek penyembuhan
gangguan mental melalui seni yaitu melukis, dan untuk mengetahui lebih jauh
mengenai penelitian ini, yakni bagaimana aspek seni rupa, dapat membawa dan
memberikan gambaran mengenai perubahan bagi kesehatan mental penderita. Penulis
juga bermaksud menjelaskan fungsi senirupa sebagai elemen katarsis. Untuk
mengetahui bagaimana aspek seni rupa, dapat membawa perubahan bagi kesehatan
mental penderita. Tidak kalah pentingnya adalah kemajuan apapun dalam bidang
terapi seni ini dapat menjadi sumbangan besar bagi kemajuan kedua disiplin
ilmu, baik ilmu seni dan psikologi.
Penelitian dilakukan meliputi observasi lapangan
melalui pengalaman berinteraksi langsung dengan penderita gangguan mental dan
mencatat dan menganalisis segala bentuk perubahan yang terlihat pada saat
proses berlangsung, studi pustaka mengenai terapi seni dan aspek-aspek lainnya
yang terkait seperti teori tentang gangguan mental, teori terapi seni, kreativitas,
dan sebagainya, wawancara dengan pakar dan ahli psikologi serta terapi seni
untuk menunjang keabsahan data agar lebih akurat, selain itu, penulis juga
melakukan pendekatan dari sudut pandang Psikoanalisa dan Kritik Seni dalam
menganalisis sampel gambar karya pasien Skizofrenia dan pengguna narkoba.
Gambar
Sebagai Sebuah Diagnosa
Pada kaitannya dengan aspek penyembuhan, seni
memiliki kemampuan agar apa yang tidak mampu dikatakan dengan bahasa verbal
pada umumnya, dapat dikomunikasikan dengan bahasa rupa. Dengan demikian, apa
yang selama ini tak dapat dikatakan, menjadi terkatakan. Ungkapan ini senada
dengan apa yang dikatakan oleh Margaret Naumburg, yaitu mengenai pernyataannya
yang menilai bahwa terapi seni dapat diibaratkan sebagai “Pembicaraan Simbolik”
atau Symbolic Speech. Dalam artian, melalui karya seni, apa yang tidak
dapat dikatakan melalui kata-kata serumit dan sekompleks apapun akan dapat
tersalurkan melalui kegiatan menggambar atau melukis. Pendekatan ini, yang
seringkali disebut “Art Psychotherapy”.
Maka endapan batin yang selama ini membludak dalam
aspek ketidaksadaran, di keluarkan dalam bentuk karya visual. Maka hal ini
dapat menjadi sebuah jalan agar keseimbangan dalam aspek ketidaksadaran menjadi
seimbang atau stabil kembali, sedikit demi sedikit. Sehingga pada saat terapi
berlangsung, pasien sebisa mungkin dicegah untuk kembali menumpuk endapan emosi
dalam batinnya. Agar keseimbangan dalam aspek ketidaksadaran yang telah
tercapai tidak kembali mengalami overloading.
Selain itu pula, perbaikan-perbaikan dalam aspek
ruhaniah, fungsi kreatif, kognitif, dan afektif dan psikomotorik juga diasah
dalam terapi melukis. Karena, berkesenian adalah suatu jalan agar, koordinasi
antara otak, hati, pikiran, dan aktifitas fisik kembali berjalan dengan selaras
dan bekerja bersamaan. Dalam pengertian, saat seorang pasien merespon suatu
perintah, dari terapisnya, maka otak secara otomatis akan segera memproses
perintah tersebut, yang dominannya dalam bentuk image visual dalam
otaknya. Kemudian, otak sebagai pusat koordinasi dari tubuh manusia, akan
memberi suatu perintah bagi otot-otot yang bekerja pada sekitar tangan untuk
segera merealisasikan image visual yang telah diprosesnya.
Pada saat inilah akan tampak, sampai sejauh manakah
kerusakan fungsi otak itu terjadi karena ia akan mencerminkan sejauh mana
koordinasi kerja otak-otot itu berlangsung, dengan luweskah atau dengan
terpatah-patah. Maka yang tampak adalah, apakah gambar itu tampak overlapping,
apakah sapuan kuasnya terpatah-patah, apakah akan tampak tekanan kuasnya akibat
agresifitas yang meluap, atau apakah pasien bersangkutan akan sangat sering
membagi-bagi bidang?. Maka tidak jarang penulis mempertanyakan kenapa seseorang
sangat sering menumpuk bentuk dan warna, sedangkan pada pasien yang lain, ia
cenderung membagi-bagi bidang, atau mengapa pasien yang satu sangat ekspresif
dalam menyapukan kuasnya, dan sedangkan pada pasien yang lain tampak bersusah
payah dan terpatah-patah.
Pada saat yang sama, kita telah mengetahui lazimnya
dalam kegiatan berkarya seni, kondisi psikologis manusia akan secara spontan
terkondisikan untuk mencurahkan segala aspek emosionalnya pada saat berkarya.
Maka kemudian, pada saat yang bersamaan pula aspek afektif yang terkait dengan
emosi akan terstimulasi, sehingga seiring berjalannya terapi, kebekuan
emosional itu mencair, dan berfungsi seperti sediakala. Sedangkan aspek
kognitif, distimulasi dalam bentuk upaya pasien agar, berbagai image dalam
pikiran, divisualisasikan pada bidang gambar.
Untuk membuat visualisasi itu menjadi sesuatu dalam
bidang gambar, dibutuhkan kemampuan kerja otak untuk mengorganisir kerja otot
tangan sehingga sesuai dengan apa yang inginkan dalam image tersebut,
ketika fungsi kerja otak telah membaik, maka otak akan memiliki kemampuan lebih
untuk merespon bentuk sesuai dengan apa yang ada dalam realitas. Maka
visualisasi pada gambar akan menampakkan sejauh mana terapi melukis telah
memepengaruhi berbagai aspek yang mengalami kerusakan agar kembali
menyeimbangkan fungsinya, yakni dalam berpikir (sinkronisasi kerja otak untuk
mengorganisasi, memproses dan merealisasikan perintah yang masuk ke otak),
berperasaan, (stimuli emosi dalam beraktivitas seni), dan psikomotorik
(korelasi antara kerja otak dan kerja otot).
Kemampuan berpikir, emosional, kemampuan psikomotorik,
akan berjalan, atau katakanlah semua aspek tersebut akan secara spontan
berfungsi secara serempak pada saat proses berkarya seni terjadi. Disini, seni
memainkan fungsi sesungguhnya sebagai mediator, bukan sebagai agen utama
penyembuh, dalam arti ia bersifat reflektif, memberi gambaran sampai sejauh
manakah kerusakan aspek kejiwaan pada pasien, dan merekamnya. Sehingga terapis
dapat menentukan pengobatan yang bagaimanakah yang sesuai bagi pasien yang
dapat menghasilkan visualisasi tersebut. Dengan demikian, penulis memandang
bahwa image-image yang tampak dapat pula berfungsi sebagai sebuah
diagnosa. Seperti halnya pada ilmu kedokteran, ataupun psikologi.
Perbedaan antara kreativitas pada seniman kreatif
dan pasien neurotik antara lain pada seniman kreatif, aspek berkarya, umumnya
dikaitkan dengan aspek-aspek artistik, intelek, konseptual, dll. Sedangkan pada
pasien neurotik, aspek berkarya umumnya dikaitkan dengan aspek spontanitas,
aspek reflektif, rekreatif, refreshing, terutama terkait dengan aspek
kontemplatif, atau penyaluran. Aspek kontemplatif atau sublimasi inilah yang
pada prosesnya amat berperan dalam memposisikan seni sebagai media penyembuh.
Selain hal tersebut juga terdapat warna, pada aspek
pemilihan warna apakah seseorang, akan memilih misalkan warna biru atau kuning,
hal tersebut berhubungan erat dengan emosi. Pada pengamatan penulis, warna juga
turut memberi informasi tentang keadaan mental pasien. Umumnya, pada tahap awal
terapi pasien cenderung memilih warna-warna yang mengarah ke warna-warna gelap,
seperti misalkan pada warna biru dan hijau yang paling sering tampak pada
gambar tahap awal pasien.
Kemudian, berangsur-angsur, apabila proses terapi
berjalan dengan lancar, maka akan tampak pula perubahan pada warna-warna yang
digunakan, dengan kata lain apabila terjadi perbaikan, maka kualitas kondisi
kejiwaan pun kan semakin membaik, hal ini akan direspon oleh sisi kejiwaan
manusia dan direpresentasikan melalui warna.
Tampak pada gambar tahap akhir warna-warna yang
digunakan adalah warna-warna yang tampak cerah. Berikut ini adalah perbandingan
visualisasi antara pasien neurotik dan pasien yang telah dikatakan sembuh atau
telah kembali normal.
Tabel
2 Perbandingan visualisasi antara pasien Neurotik dan
pasien yang telah dapat dikatakan sembuh atau normal.
Ciri-Ciri Pada Gambar
Pasien Neurotik
|
Ciri-Ciri Pada Gambar
Normal
|
1. Warna dan bentuk
divisualisasikan tumpang tindih (overlapping)
|
1. Warna dan bentuk divisualisasikan dengan
teratur
|
2. Bentuk dan
komposisi absurd
|
2. Bentuk dan komposisi tampak harmonis
|
3. Pemilihan warna
cenderung ke warna- warna gelap dan suram
|
3. Pemilihan warna cenderung pada warna-warna
cerah, dan terdapat keselaran antara terang dan gelap
|
4. Tidak terdapat
objek real (nyata)
|
4. Terdapat dominasi bentuk-bentuk real (nyata)
|
5. Terdapat
visualisasi bentuk-bentuk dasar seperti segitiga, lingkaran persegi
|
5. Pembagian bidang tampak teratur
|
6. Pembagian bidang
tampak kacau
|
6. Brush strokes terlihat tenang, teratur dan
solid
|
7. Brush stokes tampak
kasar, tak terkendali dan kacau
|
7. Warna tampak terorganisir dengan rapi tampak
solid dan rapi
|
8. Warna terkadang
tampak samar
|
Metode penyembuhan total pada kejiwaan, tidak dapat
bergantung pada terapi seni belaka. Namun terapi seni hanyalah salah satu aspek
yang mendukung penyembuhan mental tersebut. Karena aspek kejiwaan manusia tidak
begitu saja dapat mengandalkan aspek kreativitas belaka sebagai aspek yang
dapat menyembuhkan, namun aspek fisik, ruhaniah, sosial, dan aspek kreatif
harus berjalan secara seimbang. Maka dapat penulis katakan penyembuhan itu
melibatkan keseluruhan aspek tersebut, dapat dikatakan terapi kejiwaan
seharusnya berjalan secara holistik atau menyeluruh. Penyembuhan tidak dapat
berjalan dengan timpang, dalam arti salah satu aspek lebih diutamakan dan aspek
lainnya diabaikan. Jika demikian yang terjadi adalah penyembuhan yang bersifat
parsial, sekalipun pasien pada akhirnya sembuh, namun penulis asumsikan akan
menempuh waktu yang lebih lama.
Seni tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan lainnya,
yang berbasis pada penelitian dan pembuktian hipotesis. Saat ini banyak orang
yang memiliki pemikiran bahwa seni hanyalah untuk seni, ”art for art sake’s”.
Tapi berdasarkan riset yang penulis lakukan, seni sama halnya dengan ilmu
pengetahuan lainnya, hanya objek yang menjadi kajiannya berbeda. Seni juga
merupakan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk kemaslahatan orang
banyak. Terapi seni adalah salah satu cara untuk menyampaikan fungsi ini, yang
telah terabaikan setelah sekian lama. Mengapa seni? Karena seni adalah salah
satu kajian ilmu yang mempelajari korelasi antara tubuh, jiwa, dan hati, dan
pikiran -selain ilmu psikologi tentunya- suatu ilmu yang memahami hakikat
penciptaan suatu karya, serta memahami sisi keindahan dalam berbagai bentuk
dari yang nyata hingga yang tak kasat mata.
Kemampuan ini diperlukan bagi jiwa manusia, karena
selama beribu-ribu tahun seni telah menjadi mediator ulung bagi peradaban
manusia tanpa mengenal institusi, dan berdasarkan fakta yang ada, seni tak
pernah gagal dalam menjalankan fungsi ini. Kebanyakan manusia justru
mengabaikan anugrah Ilahiah ini, dan tak memanfaatkannya dengan semaksimal
mungkin. Segala hal tersebut adalah sesuatu yang fitriah dan naluriah. Yang
membedakan seni dengan ilmu alam lainnya adalah, seni mempelajari segala
sesuatu yang pada hakikatnya hanya dapat dirasakan, bukan disentuh.
Aktifitas
berkesenian telah melatih manusia untuk mengeksplorasi kedalaman jiwa, serta
memaksimalkan aspek intuitif. Seni adalah media yang tepat sebagai salah satu
media untuk merekonstruksi aspek kejiwaan manusia. Dengan cara inilah penulis
rasa, seni dapat menyumbangkan fungsinya dalam masyarakat. Dan mendobrak
dinding yang membatasi antara masyarakat awam dan masyarakat seni.
Karena itulah seni juga dapat menjembatani
orang-orang dengan berbagai keterbatasan, dan dapat menjadi penyambung lidah
bagi orang-orang yang tersisih dari masyarakat karena keterbatasan mereka.
Dengan seni pula kita dapat memberikan kesempatan bagi mereka untuk
mengungkapkan cara berpikir mereka, atau bagaimana cara mereka memandang dunia
dari sudut pandang mereka, ataupun untuk mengetahui ketakutan dan kesedihan apa
yang mereka alami. Untuk membuat orang dapat melihat dari visi mereka,
mendengar dari pendengaran mereka, dan berbicara dengan bahasa mereka. Seni
dapat memberikan suatu lahan bagi mereka yang ”unspoken”, suatu lahan yang
tak dapat diberikan oleh ilmu pengetahuan lainnya.
Seni, seringkali dipandang sebagai suatu aktifitas
yang murni berkitan dengan bakat, hal ini tidak sepenuhnya salah. Namun seni
juga merupakan suatu ilmu pengetahuan yang juga memerlukan ketelitian yang luar
biasa, terkait pada eksperimen dan observasi, serta tidak dapat dilepaskan
sepenuhnya dari keterkaitannya dengan ilmu pengetahuan lainnya Hal ini
tentunya, tanpa mengabaikan aspek logis, intelektualitas, berbasis pada
penelitian yang juga tidak beranjak dari kaidah ilmu pengetahuan. Seperti
halnya Leonardo da Vinci yang menemukan pembagian proporsional tubuh manusia
dengan jalan membedah mayat, yang mana hal ini dekat sekali dengan ilmu biologi
dan kedokteran. Kemudian ia menemukan perhitungan yang akurat dalam skala tubuh
manusia, yang kemudian diaplikasikan kedalam gambar yang memenuhi kaidah
naturalis dalam mengambar proporsi tubuh manusia dalam image dua
dimensional.
Seni merupakan suatu anugrah yang perlu disyukuri
dengan sebaik-baiknya karena tidak semua manusia dapat terlahir dengan anugrah
tersebut. Sehingga dapat menghasilkan seseorang yang dapat memaksimalkan daya
intuitif, dan ketajaman insting dan nalurinya.
BAB III
PENUTUP
Seni dapat menjadi sebuah jalan bagi kesembuhan
mental manusia, melalui sebuah unsur yang dikenal dengan istilah Katarasis.
Melalui aspek ini pula, dapat kita ketahui, seperti apakah visualisasi dari
alam bawah sadar manusia. Serta terdapat pola-pola yang menandakan adanya alur
yan dapat dijadikan tolak ukur kesembuhan pasien Skizofrenia dan Narkoba.
Selain itu terdapat visualisasi dari bentuk-bentuk dasar seperti segitiga,
lingkaran dan persegi secara terus menerus, terutama ketika pasien masih dalam
tahap awal terapi
Setelah meneliti berbagai aspek yang berkaitan
dengan terapi seni, penulis ingin menyarankan agar baik itu kepada peneliti
seni maupun psikolog agar saling mempertukarkan ilmu dibidangnya masing-masing
dengan maksud agar ilmu terapi seni dapat lebih berkembang dan lebih dikenal
oleh masyarakat, baik itu oleh masyarakat seni, psikologi, maupun oleh
masyarakat awam. di Indonesia. Selain itu agar kedua ilmu tersebut, yakni
psikologi dan seni, saling berkorelasi satu sama lain, yang mana penulis telah
melihat beberapa kesamaan antara kedua disiplin ilmu tersebut, meskipun pada
kenyataannya masih terdapat jarak dan perbedaan sudut pandang yang tajam antara
peneliti seni dan psikologi.
DAFTAR PUSTAKA
Danah Zohar dan Ian Marshall (terj.), SQ – Memanfaatkan Kecerdasan
Spiritual dalam
Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, Penerbit Mizan, Bandung,
2000
Seorang Arab Persia dengan nama asli Ibn al Haytham.
Lahir di Basra, Irak sehingga sering dipanggil juga sebagai al-Basri.
Malchiodi,Cathy.
1998, The Art Therapy Sourcebook, New York, Lowell House Book, hal. 3-
4.
Simon,
R.M., 1997, Symbolic Images In Art As Therapy, London, Routledge.
Anwar,
Anisa, 2002, Aspek Terapi Seni Pada Upacara Adat di Indonesia, Bandung, ITB.
Http://
www.Healingthroughcreativity.org
0 komentar