Wasiat Todilaling Tentang Kepemimpinan
Wasiat Todilaling Tentang Kepemimpinan
“Madondong
duambongi anna matea’ mau ana’u mau appou, da muannai dai’ dipe’uluang mua’
mato’dori kedo-kedona, masu’angi pulu-pulunna, apa iyamo tu’u namarrupu-ruppu’
banua”
Artinya: besok atau lusa jika saya meninggal dunia, sekalipun anak
atau cucu saya, jangan diangkat menjadi pemimpin kalau ia bertutur kasar dan
berperagai tidak terpuji karena manusia seperti itulah yang bakal menghacurkan
Negeri. (Local Wisdom, Muh. Idham Khalid
Bodi, 2008)
Pasang (petuah) singkat di atas adalah gambaran kearifan lokal kita
terkait persoalan kepemimpinan di jazirah Mandar pada masa lalu. Pasang
tersebut diungkapkan oleh raja pertama Balanipa, Imanyambungi (Todilaling)
sekitar abad ke 16 Masehi. Pasang yang cukup singkat namun sarat akan makna dan
nilai kearifan hidup, sebuah pasang yang juga di dalamnya tersimpan karakter
demokrasi lokal yang berorientasi pada upaya terciptanya tatanan kehidupan
sosial yang mala’bi (bermartabat).
Demikian juga, dalam pasang
tersebut, tersirat makna sikap keterbukaan yang tentunya sangat terkait dengan
nilai-nilai subtansi demokrasi politik yang tidak terjebak dalam sistem
feodalisme kekuasaan dan mengharuskan adanya sistem kepemimpinan secara
temurun-temurun, akan tetapi lebih pada penekanan nilai dan karakter seorang
pemimpin yang akan dipilih. Berdasarkan petuah tersebut, menurut hemat kami,
jauh sebelum demokrasi menjadi wacana trasnasional dalam era modernisasi, makna
demokrasi secara subtansi telah membumi dan menjadi kesadaran historis
masyarakat Mandar Sulawesi Barat.
Meski pasang tersebut bersifat
internal (hanya berlaku di internal kerajaan Balanipa), tapi secara subtansi,
pasang ini mampu menginspirasi konsep kepemimpinan di jazirah Mandar pada masa
itu, dan bahkan sampai saat ini. Inti dari Pasang ini mewasiatkan kepada
kita agar hati-hati dalam memilih seorang pemimpin, sebab pemimpinlah yang akan
menentukan arah perjalanan sebuah daerah atau bangsa, kesalahan dalam memilih
seorang pemimpin akan berbuah malapetaka bagi sebuah bangsa/daerah.
Wasiat Kebangsaan
Krisis yang terjadi di bangsa kita
dewasa ini, bukan hanya disebabkan oleh krisis ekonomi akan tetapi juga krisis
kepemimpinan yang berbanding lurus dengan moralitas bejat (korupsi) serta
kepedulian sosial yang mulai menipis dikalangan pemimpin bangsa ini, sehingga,
menurut Yongki Karman, Negara ini diperhadapkan pada lahirnya sosok pemimpin
yang tidak punya kepedulian sosial, yaitu pemimpin yang tidak bersedia melayani
dan menderita bersama rakyat.
Pada hakekatnya kepemimpinan tidak
hanya dimaknai secara teologis, dimana kepemipinan merupakan amanah Ilahiah
yang diwakilkan Tuhan kepada rakyat, akan tetapi lebih dari pada itu, ia
menjadi bahagian dari harga diri (siri’). Siri’ harus mampu menjadi pijakan
hidup bagi seorang pemimpin, atau dalam artian seorang pemimpi harus merasa
malu (masiri’) ketika ia tidak mampu memberikan apa yang terbaik untuk
rakyatnya, seorang pemimpin harus merasa masiri’ ketika ia tidak bisa
berbuat adil dan jujur kepada rakyatnya.
Lewat petuahnya, Todilaling telah
mengingatkan kepada kita untuk tidak memilih seorang pemimpin yang berkarakter
kasar (otoriter), tutur kata yang kasar, tidak punya kepedulian sosial dan rasa
nasionalisme, sebab model seperti ini yang akan membawa malapetaka bagi sebuah
daerah (bangsa).
Mencintai tanah air dan rakyat
adalah merupakan wujud dari nilai-nilai luhur kepemimipinan yang harus
dikedepankan bagi setiap pemimpin. Sebab kemajuan sebuah daerah atau bangsa
tidaklah diukur dari sejaumana pembangunan gedung-gedung mewah berdiri tegak
yang tidak jarang dibangun diatas tangisan dan kemelaratan hidup rakyatnya,
akan tetapi diukur dari saujauh mana kesejahteraan dan kehidupan rakyat
terpenuhi, dan tentunya ini juga merupakan bahagian dari wasiat kebangsaan yang
di tuturkan oleh Todilaling kepada segenap pemimipin di tanah Mandar Sulbar.
Memilih Pemimpin
Dalam perkembangan sosial politik
mutakhir, berpolitik adalah upaya untuk menciptakan presepsi, kesan, dan citra
bagi masyarakat untuk kepentingan seorang kandidat. Melalui media dan baliho
yang terpampang di sepanjang jalan, dibarengi dengan senyum khas yang penuh
dengan nuangsa politik, presepsi, kesan dan citra itu diproduksi. Padahal bisa
jadi motivasi mereka untuk maju menjadi pemimpin hanya sebatas mobilitas sosial
demi perbaikan status sosial dan ekonomi, sehingga kepemimpinan hanya
beorientasi pada kekuasaan serta bagaimana menggunakan kekekuasaan untuk
memenuhi ambisi kehidupan materialnya.
Olehnya itu, dalam memilih seorang
pemimpin, paling tidak kita harus mengedepangkan tiga pilar, yaitu: pertama;
Kepantasan(naratan), hal ini menjadi penting, sebab banyak orang yang
berambisi menjadi pemimpin, tapi pada kenyataanya ia tidak pantas, olehnya itu
meminjam pendapat Mario Teguh, kepantasan menjadi tolak ukur utama untuk
memilih seorang pemimpin.
Kedua; Mampu menyinari (naindo),
tentunya karakter seorang pemimpin haruslah mampu memberi cahaya terang bagi kehidupan
rakyat, pemimpin harus mampu menyinari atau mengayomi rakyatnya baik dari aspek
ekonomi, politik, budaya, hukum dan pendidikan, sebab hal ini yang paling
mendasar untuk terpenuhi bagi kepentingan rakyat secara menyeluruh.
Ketiga: Diandalkan (dipattuangan),
seorang pemimpin harus mampu diandalkan dalam segala lini kehidupan yang
tentunya sangat terkait dengan kelansungan hidup rakyatnya, seperti terbukanya
lapangan kerja, kesejahteraan rakyat yang berdasar pada keadilan sosial,
pemberantasan korupsi, pendidikan murah bagi kaum miskin, kemajuan sektor
pertanian yang nota bene menjadi fondasi kehidupan rakyat, serta adanya
kebebasan dan jaminan dalam menjalangkan nilai-nilai kearifan budaya dan agama
yang menjadi hak setiap individu.
Ketiga pilar ini, menurut hemat kami
terkait dengan pesan yang juga cukup pilosofis di tanah Mandar, sebagaimana
yang tulis oleh Muh. Idham Khalid Bodi dalam karyanya Local Wisdom, ia
menuliskan “Naiyya mara’dia tammatindoi dibongi, tarrarei diallo
namandandang mata dimamatanna daung ayu, dimalimbongna rura, dimadinginna lita’
diayarianna banne rupa tau anna diattepuanna agama, (seorang penguasa,
tidak boleh tidur nyenyak di malam hari, tidak boleh berdiam diri di waktu
siang, tetapi ia harus senantiasa memperhatikan hijau suburnya daun kayu, dalam
dangkalnya tebat, aman tentramya Negara, berkembang biaknya manusia, dan
lahirnya kemantapan kehidupan beragama). Inilah salah satu bentuk sinkronisasi
pasang kepemimpinan yang diwariskan secara turun temurun di daerah Mandar dan
sebagai bentuk implementasi dari kepedulian sosial pemimpinnya.
Olehnya itu, Menjelang pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Barat, penting kiranya untuk
merefleksikan kembali pasang diatas sebagai landasan atau cara pangdang kita dalam
memilih sorang pemimpin yang bakal menahkodai pemerintahan di Sulbar lima tahun
kedepan. Mudah-mudahan dengan landasan nilai-nilai kearifan lokal tersebut,
makna provinsima’labi’ yang merupakan visi utama perjuangan pembentukan
provinsi Sulawesi Barat mampu menemukan ruangnya.
Pada akhirnya, provinsi mala’bi
(bermatabat) selain ditentukan oleh pilihan rakyatnya, juga hanya bisa terwujud
ketika provinsi Sulbar dipimpin oleh orang-orang yang mala’bi’, mala’bi
kedzo-kedzona anna mala’bi pau-paunna. Selamat menentukan pilihan semoga
mampu menemukan pemimpin yang
http://suaibprawono.blogspot.co.id/2011/06/wasiat-todilaling-tengtang-kepemimpinan.html
0 komentar