PROSOSIAL DAN ALTRUISME
PROSOSIAL DAN ALTRUISME
A. Pengertian
Prososial dan altruisme merupakan tindakan untuk menolong
orang lain. Menurut Sears, Freedman, & Peplau (dalam Muhammad Anas, 2007)
menjelaskan bahwa altruisme ialah tindakan suka rela yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Apakah suatu tindakan altruistik atau tidak tergantung pada niat atau tujuan si
penolong.
Perilaku prososial mencakup kategori yang lebih luas,
meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong
orang lain,tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Beberapa jenis perilaku
prososial bukan merupakan perilaku altruistik. Prilaku prososial berkisar dari
tindakan altruistik yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih
sampai tindakan yang menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentinan diri
sendiri (Sears, Freedman, & Peplau,
dalam Muhammad Anas, 2007).
Prilaku prososial pada umumnya bermanfaat bagi
masyarakat, menunjukan tanggung jawab sosial dan keadilan sosial. Norma
tanggung jawab sosial menentukan bahwa seharusnya kita membantu orang lain yang
bergantung pada kita. Norma timbalbalik menyatakan bahwa kita harus menolong
orang yang menolong kita. Menurut penelitian Berkowitz dan wilke & Lanzetta
(dalam Muhammad Anas, 2007) menunjukan bahwa orang lebih cinderung membantu
orang yang telah membantu mereka.
Manusia umumnya membentuk pula norma keadilan sosial,
yang memuat aturan tentang keadilan da pembagian sumber daya secara adil. Salah
satu prinsip keadilan ialah kesamaan, yakni orang yang mengambil andil yang
sama harus pula menerima ganjaran yang sama pula.
Tanggung jawab sosial, timbal-balikan, dan keadilan
sosial merupakn hal yang umum dalam masyarakat. Norma-norma tersebut merupakan
dasar budaya prilaku prososial. Melalui proses sosialisasi, individu
mempelajari aturan ini dan menampilkan perilaku sesuai dengan pedoman prilaku
prososial.
B. Belajar
Menolong
Dalam masa perkembangan, anak mempelajari norma
masyarakat tentang tindakan menolong. Di rumah, sekolah, dan dalam masyaraka,
orang dewasa mengajarkan pada anak bahwa mereka harus menolong orang lain.
Orang belajar menolong melalui penguatan, efek ganjaran dan hukuman terhadap
tindakan menolong, dan peniruan, meniru orang lain yang memberikan pertolongan.
Menurut Sears, Feedman & Peplau (dalam Muhammad Anas,
2007), anak akan membantu dan memberikan lebih banyak bila mereka mendapat
ganjaran karena melakukan perilaku prososial. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Rushton & Campbell (dalam Muhammad Anas, 2007), menemukan bahwa
peniruan juga merupakan penyebab kuat timbulnya perilaku prososial pada oraang
dewasa.
Orang belajar norma-norma tentang siapa yang perlu
ditolong, dan mengembangkan kebiasaan untuk menolong. Perilaku prososial sejak
masa kanak-kanak sangat tergantung pada ganjaran eksternal dan persetujuan
sosial . bagi orang dewasa, menolong dapat menjadi nilai yang diinternalisasi,
tidak tergantung pada dukungan eksternal. Tindakannya hanya sesuai dengan
standar kemampuan diri dan akan merasa senag bilamelakukan tindakan yang baik.
C. Memutuskan
Untuk Menolong
Kecenderungan
biologis, norma sosial dan pengalaman belajar merupakan hal yang umum yang
dapat mempengaruhi pemberiaan pertolongan. Tetapi orang yang paling altruis
sekalipun tidak akan selalu menawarkan bantuan. Dalam kondisi tertentu,
keputusan untuk menolong melibatkan proses kognisi sosial kompleks dan
pengambilan keputusan yang rasional. Menurut M.Anas (dalam Muhammad Anas, 2007)
ada empat langkah seseorang dalam mengambil keputusan. Pertama, orang harus memperhatikan bahwa sesuatu sedang berlangsung
dan memutuskan apakah pertolongan dibutuhkan atau tidak. Kedua, bila pertolongan dibutuhkan, mungkin orang itu masih
mempertimbangkan sejauh mana tanggungjawabnya untuk bertindak. Ketiga, orang mungkin menilai ganjaran dan kerugian
bila membantu atau tidak. Keempat,
orang harus memutuskan jenis pertolongan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana
memberikannya.
1.
Mempersepsi Kebutuhan
Interprestasi atau defenisi tentang situasi merupakan
faktor yang penting untuk memastikan apakah kita akan memberikan pertolongan
atau tidak. Menurut Shotland dan Huston (Sears, Freedman, & Peplau, dalam
Muhammad Anas, 2007) ada lima karakteristik utamayang mengarahkan persepsibahwa
suatu kejadian merupakan keadaan darurat, yaitu:
a. Sesuatu terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga
b. Ada ancaman bahaya yang jelas terhadap korban.
c. Tindakan yang membahayakan korban cinderungmeningkat bila
tidak ada campur tangan seseorang.
d. Korban tidak berdaya da membutuhkan bantuan orang lain.
e. Ada beberapa kemungkinan cara camputr tangan yang
efektif.
2.
Memikul Tanggung Jawab
Berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan, hanya 20
persen orang yang ikut campur tangan dengan mengejar pencuri dan menuntut
penjelasan. Namun, ketika sebuah tanggung jawab telah ditetapkan, maka 95
persen orang akan bertindak menghalangi pencuri. Orang yang merasa mempunyai
tanggung jawab pribadi akan lebih cenderung melakukan tindakan prososial.
3.
kompetensi
Faktor lain yang mempengaruhi tanggung jawab yang
dipersepsi adalah kompetensi. Kita akan merasa lebih mempunyai kewajiban yang
lebih besar untuk turut campur tangan dalm situasi dimana kita mempunyai
kecakapan untuk membantu secara efektif. Seseorang yang mempunyai pengalaman
atau pernah memperoleh latihan formal yang berkaitan dengan sesuatu, maka 90 persen orang tersebut akan
bertindak untuk menolong, sedangkan yang tidak pernah mengalaminya maka hanya
58 persen yang akan berusah untuk menolong.
4.
Mempertimbangkan Untung dan Rugi
Menurut teori insentif, orang selalu mempertimbangkan
kemungkinan untung dan rugi suatu tindakan tertentu, termaksuk dalam menolong
orang lain. Oleh karena itu, orang akan bertindak secara prososial bila yang
dipersepsi berupa keuntungan (ganjaran kerugian) karena memberikan pertolongan
melebihi keuntungan yang diperoleh karena tidak menolong.
Kerugian bila tidak memberikan pertolongan , diantaranya:
akan timbul rasa bersalah karena tidak menolong, orang lain menganggap kita
bukan penolong dan akan merasa tidak enak karena mempunyai pandangan buruk
tentang diri pribadi kita, atau bahkan merasa bahwa kita bukanlah orang baik
akibat ketidakmapuan dalam menolong orang lain. Kesemua faktor ini akan sangat
mempengaruhi orang-orang dalam memutuskan memberikan pertolongan atau tidak.
Di lain pihak, keuntungan yang diperoleh karena
memberikan pertlongan, merupakan insentif positif. Semakin baik persepsi
tentang manfaat tindakan yang dilakukan, maka semakin besar pula kecenderungan
untuk membantu. Semakin pantas seseorang
untuk ditolong, semakin besar pertolongan yang diberikan, dan semakin besar
kesediaan untuk menolong orang tersebut.
D. Faktor yang
Berkaitan Prososial
Unsur terakhir dalam keputusan untuk menolong adalah
jenis bantuan apa yang akan diberikan,dan kemudian melakukan tindakan. Sesorang
yang sedang menolong akan melakukan
tindakan langsung atau mencari
bantuan dari orang lain tergantung pada berbagai faktor, seperti misalnya jenis
bantuan yang dibutuhkan dan keahlian atau ukuran tubuh si penolong. Dalam
keadaan darurat, seringkali keputusan diambil dalm keadaan tertekan, terdesak,
bahkan kadang-kadang membahayakan diri. Hal yang sangat disayangkan, tidak
jarang penolong yang berniat baik tidak bisa memberikan bantuan atau bahkan
melakukan tindakan yang salah.
Analisis lain tetang berbagai unsur dalam pengambilan
keputusan untuk menolong menyoroti sejumlah alasan orang dalam memberikan
pertolongan. Mungkin mereka tidak memperhatikan timbulnya masalah, atau salah
menginterprestasikan situasi sebagai masalah yang sepele. Mereka mungkin
menyadari tentang adanya suatu kebutuhan, tetapi tidak merasa mempunyai
tanggung jawab pribadi untuk menolong. Mereka yakin bahwa kerugian yang timbul
karena memberikan pertolongan terlalu besar. Atau bahkan mereka mungkin ingin
menolong, tetapi tidak mampu, dan bahkan ragu-ragu, dan terjebak dalam
kebimbangan.
1.
Karakteristik Situasi
a)
Bystanders
Faktor utama utama dan pertama dalam perilaku menolong
ialah adanya orang lain yang kebetulan berada bersama kita ditempat kejadian
(Bystanders). Semakin banyak orang lain, semakin kecil kecenderungan untuk
menolong. Sebalikna orang yang sendirian cinderung lebih bersedia menolong.
Dalam rangka mencari penjelasan mengapa orang di tempat ramai cinderung kurang
mau menolong di banding dengan orang di tempat sepi. Menurut La Vine (dalam
Muhammad Anas, 2007) menjelaskan bahwa gejala inisebagai kejenuhan mental yang
lebih banyak dialami penduduk kota besar daripada penduduk desa kecil.
b)
Menolong, jika orang lain juga menolong
Sesuai dengan prinsip timbal balik dalam teori norma
sosial, yang menjelaskan bahwa seseorang akan lebih cinderung menolong orang
lain jika adanya seseorang yang menolong orang lorang tersebut.
c)
Desakan Waktu
Biasanya orang yang sibuk dan tergesa-gesa cinderung
untuk tidak menolong, sedangkan orang yang santai lebih besar kemungkinannya
untuk memberi pertolongan kepada yang memerlukannya.
d)
Kemampuan yang dimiliki
Kalau orang merasa mampu, ia akan cinderung menolong,
sedangkan kalau rtidak merasa mampu ia tidak akan membantu.
2.
Karakteristik Penolong
a) Perasaan
Perasaan dalam diri seseorang dapat mempengaruhi perilaku
menolong. Kurang adaanya konsistensi dalam hal pengaruh perasaan yang negatif
terhadapap prilaku menolong akan mengakibatkan anak-anak menjadi terhambat dan
pada orang dewasa mendorong perilakumenolong. Menurut Cialdini dan Kenrick
(dalam Muhammad Anas, 2007), hal ini disebabkan oleh orang dewasa sudah dapat
merasakan manfaat dari perilaku menolongdan mengurangi perasaan negatif,
sedangkan pada anak-anak belum ada kemampuan seperti itu. Akan tetapi, jika
perasaaan negatif itu terlalu mendalam, dampaknya pada orang dewasa adalah
menghambat perilaku menolong. Orang yang depresi akut seperti itu biasanya
terlalu tercekam dengan dirinya sendiri sehingga tidak mau memikirkan orang
lain (Sear, Feedman & Peplau, dalam Muhammad Anas, 2007)
Sebaliknya, perasaan yang positif menunjukan hubungan
yang lebih positif menunmjukan hubungan yang lebih konsisiten dengan perilaku
menolong. Hal ini berlaku baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Walaupun
demikian, emosi positifpun kadang-kadang tidak memicu perilaku menolong. Oleh
karena itu, emosi positif masih perlu dikaitkan lagi dengan situasi di luar
diri agar dapat memicu perilaku menolong lain (Sear, Feedman & Peplau,
dalam Muhammad Anas, 2007) yaitu:
1) Kondisi tidak terlalu bahaya (Rosenhan, Salovey &
Hargis, dalam Muhammad Anas, 2007)
2) Lebih banyak manfaat daripada kerugiannya (Cunningham,
Steinberg & Grev, dalam Muhammad Anas, 2007)
3) Ada yang mendorong untuk berperilaku menolong
(Cunningham, dkk. dalam Muhammad Anas, 2007)
b) Faktor Sifat (trait)
Kemungkinan sikap menolong ialah karena adanya sifat atau
trait menolong (agentic disposition) yang sudah tertanam dalam kepribadian
orang yang bersangkutan. Teori ini kurang mendapat dukungan dalam psikologi
sosial, tetapi cukup banyak bukti empiris yang dikemukakan dikalangan psikologi
kepribadian. Menurut Hampson (Sarwono, dalam Muhammad Anas, 2007)
berargumentasi bahwa selalu ada orang yang berbeda dari orang lainnya dalam hal
perilaku menolong, yang dapat dibuktikan dan dilihat oleh kerabat dan
teman-teman dekatnya. Bierhoff, Klien, dan Kramp (dalam Muhammad Anas, 2007),
menyatakan bahwa orang-orang yang perasa dan berempati tinggi dengan sendirinya
lebih memikirkan orang lain dan karenanya lebih menolong. Demikian juga orang
yang mempunyai pemantauan diri (self monitoring) yang tinggi akan cinderung
lebih menolong karena dengan menjadi penolong ia mendapat penghargaan sosial
yang tinggi. Kepribadian dalam hal jenis kelamin juga berpengaruh pada perilaku
menolong. Laki-laki lebih penolong dalam situasi gawat darurat, sedangkan
perempuan lebih penolong dalam situasi yang lebih aman.
c) Agama
Faktor agama juga dapat berpengaruh perilaku menolong.
Menurut Gallup (dalam Muhammad Anas, 2007)
yang didukung oleh penelitian lain menyatakan bahwa kadar keagamaan
dapat meramalkan perilaku menolong untuk kegiatan berjangka panjang. Akan
tetapi, menurut penelitian Sappington dan Baker (dalam Muhammad Anas, 2007)
yang berpengaruh pada perilaku menolong bukanlah seberapa kuatnya ketaatan
beragama itu sendiri, melainkan bagaimana kepercayaan atau keyakinan orang yang
bersangkutan tentang pentingnya menolong yang lemah seperti yang diajarkan oleh
agamanya.
d) Tahap Moral
Menurut Boedihargo (Sarwono, dalam Muhammad Anas, 2007)
Walaupun secara teoritis ada hubungan antara tahapan perkembangan moral dan
perilaku menolong, namun dalam penelitian, hal ini belum ditemukan bukti-bukti
yang mendukungnya.
e) Orientasi Seksual
Menurut Salais
& Fischer (Sarwono, dalam Muhammad
Anas, 2007), Homoseksual ternyata lebih penolong daripada heteroseksual.
f) Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Goldberg
(Sarwono, dalam Muhammad Anas, 2007) di Boston dan Cambridge, dari data
penyumbang diperoleh kesimpulan bahwa laki-laki lebih banyak menyumbang
(menolong) daripada perempuan.
3.
Karakteristik yang Ditolong
a) Jenis Kelamin
Menurut peneliatan di Amerika Serikat (Sears, Feedman & Peplau, dalam
Muhammad Anas, 2007), wanita lebih banyak ditolong daripada laki-laki. Labih
khusus lagi, kalau penolongnya laki-laki, maka wanitalah yang lebih banyak
ditolong. Akan tetapi kalau penolongnya wanita, maka laki-laki dan wanita sama
banyak mendapat pertolongan.
b) Kesamaan
Menurut sarwono (dalam Muhammad Anas, 2007) kesamaan
antara penolong dan yang ditolong meningkatkan perilaku menolong. Seseorang
yang memiliki banyak kesamaan dengan si penolong, akan lebih banyak kemungkinan
untuk ditolong dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki kesamaan sama
sekali.
c) Tanggung jawab korban
Kalau ada orang terkapar dan butuh pertolongan, orang
akan lebih cinderung memberi pertolongan kalau korban berpakian rapi dan
luka-luka daripada kalau korban berbaju lusuh dan berbau alkhol, karena orang
akan menganggapnya sebagai kesalahan sendiri (atribusi internal) sehingga tidak
perlu diberi pertolongan.
d) Menarik
Faktor pada diri yang ditolong juga besar pengaruhnya
pada perilaku menolong. Perilaku menolong tersebut dipengaruhi seberapa besar
rasa tertarik penolong terhadap yang ditolong. Semakin suka penolong kepada
yang ditolong, semakin besar kecenderungannya untuk ditolong.
E. Meningkatkan
Perilaku Menolong
Meningkatkan
perilaku menolong secara teoritis juga dapat diusahakan walaupun dalam
kenyataannya belum ditemukan suatu cara yang paling ampuh. Menurut Muhammad
Anas (dalam Muhammad Anas, 2007) secara umum perilaku menolong dapat dibagi
menjadi dua jenis yaitu:
1) Menguranngi Kendala
a) Mengurangi keraguan atau ketidakjelasan (ambiguitas) dan
meningkatkan tanggung jawab
b) Meningkatkan rasa tanggung jawab dapat dipancing dengan
ajakan secara pribadi. Seseorang biasanya dapat melakukan perilaku menolong dan
sekaligus merasa bertanggung jawab untuk melakukan perilaku tersebutjika mereka
diminta/diajak secara personal.
c) Meningkatkan rasa bersalah, melalui mengingatkan tentang
kesalahannya, sehingga orang tersebut lebih mau menolong untuk menebus
kesalahannya.
d) Memanipulasi gengsi atau harga diri seseorang.
2) Memasyarakatkan Altruisme
Menurut Sarwono (dalam Muhammad Anas, 2007) yang menutip
beberapa pendapat ahli, ada beberapa cara untuk memasyarakatkan altruisme,
yaitu:
a) Mengajarkan inklusi moral, yaitu bahwa orang lain adalah
golongan kita juga. Namun dilain pihak perlu diupayakan menghindari eksklusi
moral karena merupakan sumber diskriminasi, bahkan memberi peluang untuk
membunuh (Tyler & Lind, dalam Muhammad Anas, 2007). Altruisme dapat
diajarkan pada lingkungan keluarga, sekolah dan kalngan teman (Satub, dalam
Muhammad Anas, 2007), dan lewat televisi (Hearold, dalam Muhammad Anas, 2007).
b) Memberikan atribusi “menolong” pada perilaku altruis
seseorang yang membantu orang lain, kemudian diberi ucapan “terimah kasih atas
pertolongan Anda”, hal ini akan membuat penolong merasa bahwa perilakunya
benar-benar telah membantu orang lain, sehingga cinderung mengulanginya pada
kesempatan lain. Kepuasan semacam ini tidak terdapat jika perilaki menolong itu
diberi imbalan uang (Batson dkk, dalam Muhammad Anas, 2007).
c) Memberi pelajaran tentang altruisme. Orang yang tahu
bahwa keberadaan orang lain akan menghambat perilaku menolong, akan tetapi
menolong walaupun ditempat itu banyak orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak
tahu akan berlalu begitu saja (Beaman dkk,dalam Muhammad Anas, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Anas, Muhammad.
2007. Pengantar Psikologi Sosial.
Badan Penerbit UNM. Makassar.
0 komentar