CONTOH KASUS YANG BERKAITAN DENGAN GOOD GOVERNANCE

by - 4:57 AM


Pendahuluan
Hukum di Indonesia hingga saat ini masih menjadi persoalan yang cukup pelik. Setiap hari dapat kita saksikan sejumlah kasus hukum yang diberitakan melalui media massa. Sepertinya persoalan hukum di Indonesia telah merasuk hingga ke sendi-sendi dan mungkin telah menjadi kebiasaan yang dianggap wajar di negeri ini. Ada beberapa contoh kasus hukum di Indonesia yang melibatkan para pejabat negara dan ada pula contoh kasus hukum di Indonesia yang melibatkan aparat penegak hukum itu sendiri. Tak sedikit pula yang hukum yang melibatkan rakyat-rakyat “kecil”. Memang hukum tidak berpandang bulu. Siapa saja, dihadapan hukum berkedudukan sama. Itulah dasar penegakan hukum yang adil di Indonesia.
Telah terdapat sejumlah contoh kasus hukum di Indonesia termasuk cara penyelesaiannya yang mungkin belum pernah kita jumpai terjadi di negara lain. Selain itu terdapat pula contoh kasus hukum di Indonesia yang hingga saat ini belum dituntaskan, seperti kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Contoh Kasus Hukum di Indonesia
Kasus Prita Mulyasari muncul ketika RS Omni Internasional memperkarakan dirinya atas perbuatan yang dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut melalui email yang dikirimkan Prita kepada teman-temannya. Pengadilan Negeri Tangerang menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena media yang digunakan oleh Prita untuk mencemarkan nama baik RS Omni adalah media online (e-mail). Oleh karena itu, perlu dipahami terlebih dahulu substansi dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang merupakan pasal yang dikenakan terhadap Prita Mulyasari. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”. Pertimbangan MK tersebut dapat diartikan bahwa penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan Pasal 311. Dengan demikian, jika perbuatan Prita Mulyasari terbukti tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE . Berikut petikan pasal 310 dan pasal 311:
Pasal 310 KUHP
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Pasal 311 KUHP
(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 3 dapat dijatuhkan.

Selanjutnya dalam e-mail Prita yang ditujukan kepada teman-temannya, Prita menuliskan kalimat awal yang berbunyi sebagai berikut: “Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya, terutama anak-anak, lansia dan bayi. Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan”. Dan kalimat terakhir yang berbunyi : “saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.”
Dari kedua kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa Prita menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati atas pelayanan rumah sakit dan jangan terpancing dengan kemewahannya. Prita sengaja menulis pesan tersebut dengan maksud untuk memberi pelajaran penting kepada orang lain demi kepentingan umum untuk lebih berhati-hati/ waspada terhadap pelayanan rumah sakit agar tidak terjadi seperti apa yang menimpanya. Dengan demikian, Prita tidak dapat dikatakan melakukan penghinaan dan ataupun pencemaran nama baik, karena pesan yang dia sampaikan adalah untuk kepentingan umum. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP bahwa “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”. Berdasarkan hal tersebut, Pengadilan Negeri (PN) Tangerang dan Pengadilan Tinggi (PT) Banten tidak seharusnya memutus bersalah terhadap Prita Mulyasari karena dari segi KUHP tidak terpenuhi adanya unsur pencemaran nama baik. Oleh karena itu, secara moral dan legal formal, keputusan Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten yang memutus bersalah Prita Mulyasari tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Rumah Sakit Omni International sebagai lembaga pelayanan publik bidang kesehatan sudah seharusnya memprioritaskan kualitas pelayanan yang diberikan kepada publik (masyarakat). Dalam rangka itu pula, sebagai sebuah institusi kesehatan yang bersinggungan langsung dengan nilai-nilai kemanusiaan, RS Omni International tentu juga harus mempunyai standard pelayanan yang prima dan beretika sehingga mampu memberikan kepuasan kepada masyarakat yang dilayani. Noel Preston dan Charles Sampford mengisyaratkan bahwa lembaga yang bertugas dalam bidang pelayanan publik hendaknya mempunyai nilai-nilai moral dan etika yang dijunjung tinggi dalam menjalankan setiap kegiatannya kepada masyarakat. Atas dasar itulah RS Omni International seharusnya menyadari bahwa Prita Mulyasari adalah bagian dari pihak yang harusnya mereka layani dengan sepenuh hati dan beretika, dan tidak bertindak sebaliknya yang justru memperkarakan Prita Mulyasari ke Pengadilan Negeri Tangerang. Dengan menjunjung tinggi nilai dasar moralitas dan etika, RS Omni International tentu akan menganggap keluhan yang disampaikan Prita melalui email tersebut sebagai sebuah kritikan yang membangun, bukan sebagai ancaman yang dapat mengurangi kredibilitas institusi secara keseluruhan.
Teori Keadilan John Rawls
Teori Keadilan John Rawls muncul karena adanya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara. Menurut Rawls, kepentingan utama keadilan adalah jaminan stabilitas hidup manusia, dan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi. Kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak, dan melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial. Menurut John Rawls, yang menyebabkan ketidakadilan adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar(original agreement) anggota masyarakat secara sederajat. Adapun untuk mencapai posisi asli tersebut, ada tiga syarat yang diperlukan, yaitu:
1.      Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk memegang pilihannya tersebut.
2.      Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan.
3.      Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain.
Berkaitan dengan kasus Prita Mulyasari, telah terjadi ketidakadilan karena kebebasan dan hak asasi Prita untuk mendapatkan pelayanan kesehatan telah terabaikan. Disamping itu, karena adanya proses pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan tidak sesuai standar pelayanan yang diharapkan, Prita pun dapat dianggap sebagai korban pelayanan yang tidak optimal. Hal ini semakin diperburuk ketika dia menyampaikan keluh kesahnya melalui email yang berujung pada pelaporan dirinya ke polisi hingga memasuki ranah hukum dan dihukum bersalah yang berarti bahwa kebebasan Prita untuk mengeluarkan pendapat dan berbicara telah dipasung. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Prita Mulyasari telah mengalami ketidakadilan dari serangkaian kejadian yang dialami atas akibat yang dia rasakan karena pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RS Omni International.
Berkaca dari pengalaman Prita Mulyasari yang bersengketa dengan RS Omni International sebagai sebuah lembaga penyedia pelayanan publik, ada aspek penting yang hendaknya perlu diperhatikan oleh RS Omni International dalam menjalankan perannya sebagai pelayan publik, yaitu mereformasi sistem pelayanan yang telah ada. Reformasi ini perlu dilakukan agar kejadian yang dialami oleh Prita tidak terjadi lagi kepada orang lain di masa yang akan datang, yang secara langsung atau tidak akan berdampak buruk terhadap perkembangan RS Omni itu sendiri. Noel Preston menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika akan mereformasi sebuah institusi, yaitu:
1.      Memulai dari apa yang dimiliki. Tujuannya adalah untuk menilai sejauh mana kekuatan institusi itu untuk dilakukan reformasi. Apakah akan berdampak buruk  setelah reformasi, atau justru akan berkembang menjadi lebih baik.
2.      Memetakan hubungan. Dilakukan untuk mengidentifikasi sistem hubungan institusi yang saling terintegrasi dengan institusi lain. Hubungan yang telah terjalin dengan baik hendaknya terus dipertahankan, dan yang masih kurang baik diarahkan untuk reformasi integrasi dengan institusi tersebut.
3.      Mengkomunikasikan dengan institusi yang berintegritas. Institusi lain yang memiliki integritas tinggi merupakan rujukan penting dalam mereformasi institusi.
4.      Kebebasan informasi. Dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi sebanyak-banyaknya dalam rangka reformasi secara tepat dan terarah.
Analisis Contoh Kasus Menurut Lawrence Friedman
Dari contoh-contoh kasus yang diatas, beberapa akan dianalisis menurut komponen hukum Lawrance Friedman. Komponen-komponen hukum Lawrence Friedman sebagai berikut:
1.      Struktur Hukum, dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
2.      Substansi Hukum, dimana merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.
3.      Budaya Hukum, hal ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.
4.      Kiranya dalam rangka melakukan reformasi hukum tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan antara lain:
·         Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber daya manusianya yang berkualitas;
·         Perumusan kembali hukum yang berkeadilan;
·         Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum;
·         Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan hukum;
·         Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum; dan
·         Penerapan konsep Good Governance.
Dari contoh kasus yang sebelumnya dijelaskan, struktur-struktur hukum ada dalam kasus-kasus tersebut. Terlihat dari bentuk kasus tersebut adalah kasus hukum pidana, dengan memiliki lembaga hukum yaitu pengadilan tinggi negeri. Adapula substansi hukum, hukum yang diberikan merupakan tujuan hukum yang ada yaitu penegakan keadilan. Siapapun yang tidak melanggar hukum atau tidak menaati hukum, pastlah akan diberikan hukuman. Tak memandang siapapun itu. Disini budaya hukum itupun ada. Hal ini terdapat pada tingkat profesionalisme para penegak hukum. Para penegak hukum menjalankan tugas tanpa memandang bulu. Jadi, semua tugas yang telah diberikan, sesuai dengan apa yang terjadi secara fakta, dan hukum itu berlaku sesuai kejadian yang ada.
Sumber :

You May Also Like

0 komentar