CONTOH KASUS YANG BERKAITAN DENGAN GOOD GOVERNANCE
Pendahuluan
Hukum di Indonesia hingga saat ini masih menjadi persoalan
yang cukup pelik. Setiap hari dapat kita saksikan sejumlah kasus hukum yang
diberitakan melalui media massa. Sepertinya persoalan hukum di Indonesia telah
merasuk hingga ke sendi-sendi dan mungkin telah menjadi kebiasaan yang dianggap
wajar di negeri ini. Ada beberapa contoh kasus hukum di Indonesia yang
melibatkan para pejabat negara dan ada pula contoh kasus hukum di
Indonesia yang melibatkan aparat penegak hukum itu sendiri. Tak sedikit
pula yang hukum yang melibatkan rakyat-rakyat “kecil”. Memang hukum tidak
berpandang bulu. Siapa saja, dihadapan hukum berkedudukan sama. Itulah dasar
penegakan hukum yang adil di Indonesia.
Telah terdapat sejumlah contoh kasus hukum di Indonesia
termasuk cara penyelesaiannya yang mungkin belum pernah kita jumpai terjadi di
negara lain. Selain itu terdapat pula contoh kasus hukum di
Indonesia yang hingga saat ini belum dituntaskan, seperti kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Contoh
Kasus Hukum di Indonesia
Kasus Prita Mulyasari muncul ketika RS Omni Internasional
memperkarakan dirinya atas perbuatan yang dianggap mencemarkan nama baik rumah
sakit tersebut melalui email yang dikirimkan Prita kepada teman-temannya.
Pengadilan Negeri Tangerang menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) karena media yang digunakan oleh Prita untuk mencemarkan nama baik RS
Omni adalah media online (e-mail). Oleh karena itu, perlu dipahami terlebih
dahulu substansi dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang merupakan pasal yang
dikenakan terhadap Prita Mulyasari. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor
50/PUU-VI/2008 tentang judicial review UU ITE No. 11 Tahun
2008 terhadap UUD 1945, salah satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan
dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma
hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”. Pertimbangan MK tersebut dapat
diartikan bahwa penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE merujuk pada pasal-pasal
penghinaan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan Pasal 311. Dengan demikian, jika
perbuatan Prita Mulyasari terbukti tidak memenuhi unsur pidana dalam Pasal 310
dan 311 KUHP, secara otomatis tidak memenuhi pula unsur pidana dalam Pasal 27
ayat (3) UU ITE . Berikut petikan pasal 310 dan pasal 311:
Pasal
310 KUHP
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu
diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang
disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena
pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika
perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk
membela diri.
Pasal
311 KUHP
(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran
tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak
membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui,
maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 3 dapat
dijatuhkan.
Selanjutnya dalam e-mail Prita yang ditujukan kepada
teman-temannya, Prita menuliskan kalimat awal yang berbunyi sebagai berikut:
“Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya,
terutama anak-anak, lansia dan bayi. Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan
kemewahan RS dan title International karena semakin mewah RS dan semakin pintar
dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan”. Dan
kalimat terakhir yang berbunyi : “saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih
hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.”
Dari kedua kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa Prita
menyampaikan pesan kepada teman-temannya untuk berhati-hati atas pelayanan
rumah sakit dan jangan terpancing dengan kemewahannya. Prita sengaja menulis
pesan tersebut dengan maksud untuk memberi pelajaran penting kepada orang lain
demi kepentingan umum untuk lebih berhati-hati/ waspada terhadap pelayanan
rumah sakit agar tidak terjadi seperti apa yang menimpanya. Dengan demikian,
Prita tidak dapat dikatakan melakukan penghinaan dan ataupun pencemaran nama
baik, karena pesan yang dia sampaikan adalah untuk kepentingan umum. Hal ini
telah ditegaskan dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP bahwa “Tidak merupakan
pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”. Berdasarkan hal
tersebut, Pengadilan Negeri (PN) Tangerang dan Pengadilan Tinggi (PT) Banten
tidak seharusnya memutus bersalah terhadap Prita Mulyasari karena dari segi
KUHP tidak terpenuhi adanya unsur pencemaran nama baik. Oleh karena itu, secara
moral dan legal formal, keputusan Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan
Tinggi Banten yang memutus bersalah Prita Mulyasari tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Rumah Sakit Omni International sebagai lembaga pelayanan
publik bidang kesehatan sudah seharusnya memprioritaskan kualitas pelayanan
yang diberikan kepada publik (masyarakat). Dalam rangka itu pula, sebagai
sebuah institusi kesehatan yang bersinggungan langsung dengan nilai-nilai
kemanusiaan, RS Omni International tentu juga harus mempunyai standard
pelayanan yang prima dan beretika sehingga mampu memberikan kepuasan kepada
masyarakat yang dilayani. Noel Preston dan Charles Sampford mengisyaratkan
bahwa lembaga yang bertugas dalam bidang pelayanan publik hendaknya mempunyai
nilai-nilai moral dan etika yang dijunjung tinggi dalam menjalankan setiap
kegiatannya kepada masyarakat. Atas dasar itulah RS Omni International
seharusnya menyadari bahwa Prita Mulyasari adalah bagian dari pihak yang
harusnya mereka layani dengan sepenuh hati dan beretika, dan tidak bertindak
sebaliknya yang justru memperkarakan Prita Mulyasari ke Pengadilan Negeri
Tangerang. Dengan menjunjung tinggi nilai dasar moralitas dan etika, RS Omni
International tentu akan menganggap keluhan yang disampaikan Prita melalui
email tersebut sebagai sebuah kritikan yang membangun, bukan sebagai ancaman
yang dapat mengurangi kredibilitas institusi secara keseluruhan.
Teori
Keadilan John Rawls
Teori Keadilan John Rawls muncul karena adanya pertentangan
antara kepentingan individu dan kepentingan negara. Menurut Rawls, kepentingan
utama keadilan adalah jaminan stabilitas hidup manusia, dan keseimbangan antara
kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. Rawls mempercayai bahwa struktur
masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asli dimana
hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan
kesejahteraan terpenuhi. Kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk
menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak, dan
melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial. Menurut John Rawls, yang
menyebabkan ketidakadilan adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa
kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk
situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara
mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi
asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah
kemudian dibuat persetujuan asli antar(original agreement) anggota
masyarakat secara sederajat. Adapun untuk mencapai posisi asli tersebut, ada
tiga syarat yang diperlukan, yaitu:
1. Diandaikan
bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk memegang
pilihannya tersebut.
2. Diandaikan
bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan baru kemudian
kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia yang harus
diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan.
3. Diandaikan
bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi tertentu
di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya,
kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain.
Berkaitan dengan kasus Prita Mulyasari, telah terjadi
ketidakadilan karena kebebasan dan hak asasi Prita untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan telah terabaikan. Disamping itu, karena adanya proses pelayanan
kesehatan yang tidak memadai dan tidak sesuai standar pelayanan yang
diharapkan, Prita pun dapat dianggap sebagai korban pelayanan yang tidak
optimal. Hal ini semakin diperburuk ketika dia menyampaikan keluh kesahnya
melalui email yang berujung pada pelaporan dirinya ke polisi hingga memasuki
ranah hukum dan dihukum bersalah yang berarti bahwa kebebasan Prita untuk
mengeluarkan pendapat dan berbicara telah dipasung. Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa Prita Mulyasari telah mengalami ketidakadilan dari serangkaian
kejadian yang dialami atas akibat yang dia rasakan karena pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh RS Omni International.
Berkaca dari pengalaman Prita Mulyasari yang bersengketa
dengan RS Omni International sebagai sebuah lembaga penyedia pelayanan publik,
ada aspek penting yang hendaknya perlu diperhatikan oleh RS Omni International
dalam menjalankan perannya sebagai pelayan publik, yaitu mereformasi sistem
pelayanan yang telah ada. Reformasi ini perlu dilakukan agar kejadian yang
dialami oleh Prita tidak terjadi lagi kepada orang lain di masa yang akan
datang, yang secara langsung atau tidak akan berdampak buruk terhadap
perkembangan RS Omni itu sendiri. Noel Preston menyebutkan beberapa hal yang
perlu diperhatikan ketika akan mereformasi sebuah institusi, yaitu:
1. Memulai
dari apa yang dimiliki. Tujuannya adalah untuk menilai sejauh mana kekuatan
institusi itu untuk dilakukan reformasi. Apakah akan berdampak buruk
setelah reformasi, atau justru akan berkembang menjadi lebih baik.
2. Memetakan
hubungan. Dilakukan untuk mengidentifikasi sistem hubungan institusi yang
saling terintegrasi dengan institusi lain. Hubungan yang telah terjalin dengan
baik hendaknya terus dipertahankan, dan yang masih kurang baik diarahkan untuk
reformasi integrasi dengan institusi tersebut.
3. Mengkomunikasikan
dengan institusi yang berintegritas. Institusi lain yang memiliki integritas
tinggi merupakan rujukan penting dalam mereformasi institusi.
4. Kebebasan
informasi. Dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi sebanyak-banyaknya
dalam rangka reformasi secara tepat dan terarah.
Analisis
Contoh Kasus Menurut Lawrence Friedman
Dari contoh-contoh kasus yang diatas, beberapa akan
dianalisis menurut komponen hukum Lawrance Friedman. Komponen-komponen hukum
Lawrence Friedman sebagai berikut:
1. Struktur
Hukum, dalam pengertian bahwa struktur hukum merupakan pranata hukum yang
menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum,
lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
2. Substansi
Hukum, dimana merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut
harus merupakan sesuatu yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan dapat
diterapkan dalam masyarakat.
3. Budaya
Hukum, hal ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu
sendiri.
4. Kiranya
dalam rangka melakukan reformasi hukum tersebut ada beberapa hal yang harus
dilakukan antara lain:
·
Penataan kembali struktur dan
lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber daya manusianya yang
berkualitas;
·
Perumusan kembali hukum yang
berkeadilan;
·
Peningkatan penegakkan hukum dengan
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum;
·
Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan
hukum;
·
Pendidikan publik untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap hukum; dan
·
Penerapan konsep Good Governance.
Dari contoh kasus yang sebelumnya dijelaskan,
struktur-struktur hukum ada dalam kasus-kasus tersebut. Terlihat dari bentuk
kasus tersebut adalah kasus hukum pidana, dengan memiliki lembaga hukum yaitu
pengadilan tinggi negeri. Adapula substansi hukum, hukum yang diberikan
merupakan tujuan hukum yang ada yaitu penegakan keadilan. Siapapun yang tidak
melanggar hukum atau tidak menaati hukum, pastlah akan diberikan hukuman. Tak
memandang siapapun itu. Disini budaya hukum itupun ada. Hal ini terdapat pada
tingkat profesionalisme para penegak hukum. Para penegak hukum menjalankan
tugas tanpa memandang bulu. Jadi, semua tugas yang telah diberikan, sesuai dengan
apa yang terjadi secara fakta, dan hukum itu berlaku sesuai kejadian yang ada.
Sumber
:
0 komentar