MASA ANAK : PERKEMBANGAN KOGNITIF
A. TEORI PIAGET
1. MASA TAHAP OPERASIONAL KOGKRET
Masa anak
merupakan salah satu periode pertumbuhan dan perkembangan individu. Setiap
periode akan memiliki ciri atau karekteristik sendiri baik dari aspek
pertumbuhan maupun aspek perkembangan. Salah satu perkembangan individu yang
harus dilalui dan dialami adalah perkembangan kognitif.
Banyak
para ahli mengungkapkan teori-teori atau pendekatan tentang perkembangan
kognitif individu. Pendekatan-pendekatan perkembangan kognitif menekankan
bagaimana individu secara aktif membangun cara berpikir. Pendekatan-pendekatan
itu juga sangat berfokus pada bagaimana cara individu berpikir atau berubah
dari satu titik ketitik perkembangan berikutnya. Pada penulisan ini mengakaji
pendekatan perkembangan kognitif anak menurut teori Jean Piaget.
Piaget
mengindentifikasi empat periode atau tahapan utama perkembangan kognitif yaitu:
tahap sensorimotor, tahap pra operasional, tahap operasional konkret, dan tahap
operasi formal (Shaffer dan Kipp, 2010: 253). Setiap tahap perkembangan
mempunyai ciri khas tersendiri dan setiap tahap perkembangan saling berkaitan.
Lanjut Piaget dalam teorinya tentang perkembangan kognitif, fase sensormotorik
terjadi ketika umur 0-2 tahun, fase pra operasional kongret sekitar umur 2-7
tahun, fase operasional kogret pada usia 7-11 tahun, dan fase operasional
formal pada usia 11 tahun keatas (Santrock, 2007: 246).
Usia anak
berkisar dari 7 tahun sampai dengan 12 tahun. Jadi menurut pendekatan Piaget
tentang perkembangan kognitif maka perkembangan kognitif anak berada pada fase
ketiga yaitu operasional kongret. Pada tahapan ini, pemikiran logis
menggantikan pemikiran intuitif (Santrock, 2007: 254). Pada tahap operasional
kokret ini anak-anak bisa menggunakan berbagai operasi mental, seperti
penalaran, memecahakan masalah-masalah konkret (nyata). Anak-anak pada usia ini
dapat berpikir dengan logis karena mereka tidak terlalu egosentris dari
sebelumnya dan dapat mempertimbangan banyak aspek dari situasi (Papalia
dkk,2009:443).
Menurut Piaget, kognisi
berkembang melalui struktur mental atau skema(Piaget &Inhelder,
1969 dalam Shaffer & Kipp, 2009:250). Skema adalah sistem mental yang tidak dapat diamati yang mendasari
kecerdasan. Skema adalah pola pemikiran atau tindakan
beberapa pengetahuan dasar dimana anak-anak menafsirkan dunia mereka.
Piaget
percaya bahwa semua skema, semua bentuk pemahaman, diciptakan melalui kerja dua
proses intelektual bawaan : organisasi dan adaptasi (Shaffer
& Kipp, 2009:250-251). Organisasi adalah proses dimana anak-anak
menggabungkan skema yang ada dalam skema intelektual yang baru dan lebih
kompleks. Tujuan organisasi ini adalah untuk mempromosikan adaptasi, proses
menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan. Menurut Piaget, adaptasi terjadi
melalui dua kegiatan yang saling melengkapi: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
adalah proses dimana anak-anak mencoba untuk menafsirkan pengalaman baru dalam
hal model yang ada mereka tentang dunia, skema yang sudah mereka miliki.
Akomodasi, komplemen asimilasi, adalah proses memodifikasi struktur yang ada
dalam rangka untuk menjelaskan pengalaman baru. Ada asumsi yang sangat penting
yang mendasari kecerdasan pandangan Piaget. Jika anak-anak mengetahui sesuatu,
mereka harus membangun pengetahuan itu sendiri .
Pada tahap operasional kongret anak-anak sudah memiliki pemahaman yang
lebih daripada anak-anak pra operasinal mengenai konsep spasial, sebab-akibat,
pengelompokan, penalaran induktif dan deduktif, konservasi, serta angka (Papalia dkk,2009:443).
Hal yang
senada menurut Shaffer dan Kipp, “Selama periode operasional
kongret, anak-anak cepat memperoleh operasi kognitif dan
menerapkan keterampilan baru yang penting ketika berpikir tentang objek dan
peristiwa yang mereka alami” (Shaffer dan Kipp,
2010:271). Sebuah operasi kognitif adalah kegiatan mental
internal yang memungkinkan anak-anak untuk memodifikasi dan mereorganisasi
gambar dan simbol-simbol mereka untuk mencapai kesimpulan logis. Dengan operasi baru ini, anak-anak sekolah
dasar mengalami kemajuan jauh melampaui pemikiran statis dan berpusat dari
tahap pra operasional. Shaffer dan Kipp (2010: 272)
memberikan beberapa contoh pemikiran operasional, yaitu konservasi
dan logika relasional.
a) Konservasi
perkembangan operasional kogkret dapat dengan mudah memecahkan beberapa masalah konservasi. Dihadapkan dengan conservation-of-liquids- puzzle, misalnya, operasional kongret 7 tahun dapat “decenter” dengan berfokus secara bersamaan pada kedua tinggi dan lebar dari dua kontainer/wadah air. Dia juga menampilkan reversibilitas-kemampuan untuk mental membatalkan proses penuangan dan bayangkan cairan dalam wadah aslinya. Berbekal operasi-operasi kognitif, ia sekarang tahu bahwa dua wadah yang berbeda masing-masing memiliki jumlah cairan yang sama, dia menggunakan logika, tidak menyesatkan penampilan, untuk mencapai kesimpulannya.
perkembangan operasional kogkret dapat dengan mudah memecahkan beberapa masalah konservasi. Dihadapkan dengan conservation-of-liquids- puzzle, misalnya, operasional kongret 7 tahun dapat “decenter” dengan berfokus secara bersamaan pada kedua tinggi dan lebar dari dua kontainer/wadah air. Dia juga menampilkan reversibilitas-kemampuan untuk mental membatalkan proses penuangan dan bayangkan cairan dalam wadah aslinya. Berbekal operasi-operasi kognitif, ia sekarang tahu bahwa dua wadah yang berbeda masing-masing memiliki jumlah cairan yang sama, dia menggunakan logika, tidak menyesatkan penampilan, untuk mencapai kesimpulannya.
b) Logika
relasional
Sebuah ciri penting dari
pemikiran operasional konkret adalah pemahaman yang lebih baik tentang hubungan
kuantitatif dan logika relasional. Apakah Anda ingat kesempatan ketika guru
olahraga Anda berkata, “Berbaris dari tertinggi ke terpendek?” Melaksanakan
perintah seperti itu sebenarnya sangat mudah bagi operasional kongkret,
kemampuan untuk mengatur item mental seperti tinggi atau berat badan.
Sebaliknya, anak-anak praoperasional berkinerja buruk pada banyak tugas dan
akan berjuang untuk memenuhi permintaan guru olahraga itu.
2. Evaluasi Tahap Operasional Kogkret
Teori
piaget tidak luput dari kritik. Dalam buku Santrock (2010: 58-59) memaparkan
beberapa kritik yang berkaitan dengan teori Piaget yang berkaitan dengan
munculnya pertanyaan tentang beberapa area; tentang estimasi terhadap
kompetensi anak di level perkembangan yang berbeda-beda; tentang tahap-tahap
perkembangan; tentang pelatihan anak untuk melakukan penalaran pada level yang
lebih tinggi; dan tentang kultur dan pendidikan
a. Estimasi kompetensi anak.
Beberapa
kemampuan kognitif muncul lebih awal ketimbang yang diyakini Piaget. Misalnya,
seperti telah disebutkan di atas, beberapa aspek dari objek permanen muncul
lebih awal ketimbang yang diyakini Piaget. Bahkan anak usia 2 tahun dalam
beberapa konteks tertentu bersifat non egosentris. Ketika mereka menyadari
bahwa orang lain tidak melihat suatu objek. Mereka akan meneliti apakah orang
itu buta atau sedang mengarahan perhatian ke tempat lain. Konservasi angka
telah muncul sejak usia 3 tahun. Sementara Piaget berpendapat kemampuan ini
baru muncul pada usia 7 tahun. Anak-anak biasanya tidak secara tegas masuk ke
tahap “pra” ini atau “pra” itu (prakausal, pra-operasional) sebagaimana
diyakini piaget.
b. Tahap-tahap Perkembangan.
Piaget
memandang tahapan sebagai struktur pemikiran yang seragam. Jadi, teorinya
mengansumsikan perkembangan yang sinkron, yakni berbagai aspek dari satu
tahapan muncul pada saat yang sama. Akan tetapi beberapa konsep operasional
konkret tidak muncul secara sinkron atau serempak. Misalnya anak-anak tidak
belajar untuk melakukan conversation (to converse) pada saat yang sama ketika
mereka belajar melakukan klasifikasi silang. Jadi, kebanyakan teoritisi
developmental kontemporer sepakat bahwa perkembangan kognitif anak-anak tidak
bertahap seperti diyakini oleh Piaget (Bjorklund, 2000; Case, 2000; Goswami,
2001).
c. Melatih
anak untuk menalar yang lebih tinggi.
Beberapa
anak yang pada masa kognitif (seperti pra-operasional) dapat dilatih untuk
bernalar seperti pada tahap kognitif yang lebih tinggi (misalnyas operasional
konkret). Ini menimbulkan problem bagi Piaget. Dia mengatakan bahwa training
seperti itu tidak efektif dan dangkal, kecuali si anak berada dalam titik
transisi kedewasaan di antara tahapan tersebut (Gelman&Williams, 1998).
d. Kultur
dan Pendidikan.
Kultur
dan pendidikan lebih banyak mempengaruhi perkembangan anak ketimbang yang
dipikirkan Piaget (Gelman & Brennerman, 1994; Greenfiled, 2000). Usia anak
mendapat kemampuan konservasi terkait dengan sejauh mana kultur mereka
memberikan praktik yang relevan (Cole, 1999). Guru dan pengajar yang hebat
dalan logika matematika dan sains dapat meningkatkan kemampuan operasional
formal dan konkret anak (Santrock, 2010: 58-59).
3. Penerapan Terhadap Pendidikan
Dibawah
ini akan uraikan tentang gagasan yang ada dalam teori Piaget dapat
diaplikasikan dalam dunia pendidikan untuk mengajar anak-anak (Elkind, 1976,
heuwinkel,1996 dalam Santrock, 2011: 189-191);
a. Mengambil
pendekatan konstruktivis.
Piaget
menekankan bahwa anak akan belajar dengan lebih baik jika mereka aktif dan
mencari solusi sendiri. Piaget menentang metode yang meperlakukan anak sebagai
penerima pasif. Implikasi pendidikan dari pandangan Piaget adalah untuk semua
mata pelajaran, murid lebih baik diajari untuk membuat penemuan, memikirkannya,
dan mendiskusikannya, bukan dengan diajari menyalin apa yang dikatakan atau
dilakukan guru.
b. Menfasilitasi,
tidak hanya belajar secara langsung
Guru yang
efektif harus merancang situasi yang membuat murid belajar dengan bertindak
(learning by doing). Situasi seperti ini akan meningkatkan pemikiran dan
penemuan murid. Guru mendengar, mengamati, dan mengajukan pertanyaan kepada
murid agar mereka mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Ajukan pertanyaan yang
relevan untuk merangsang agar mereka berfikir dan mintalah mereka untuk
menjelaskan jawaban mereka.
c. Mempertimbangkan
pengetahuan dan tingkat daya pikir anak-anak
Murid
datang ke sekolah dengan gagasan tentang dunia fisik dan alam. Mereka punya
konsep tentang ruang, waktu, kuantitas, dan kausalitas. Guru
menginterpretasikan apa yang dikatakan murid dan merespon dengan meberikan
wacana yang sesuai dengan tingkat pemikiran murid.
d. Mengggunakan
penilaian yang berkesinambungan
Penilaian
tidak diukur dengan tes standar, murid berdiskusi, dan penjelasan lisan dan
tertulis oleh murid tentang penalaran mereka dapat dipakai sebagai alat untuk
mengevaluasi kemajuan mereka.
e. Meningkatkan
kemampuan intelektual siswa
Menurut
Piaget, pembelajaran anak harus berjalan secara alamiah, anak tidak boleh
dipaksa ditekan untuk berprestasi terlalu banyak di awal perkembangan anak
sebelum mereka siap.
f. Mengubah
ruang kelas menjadi ruang lingkup eksplorasi dan penemuan
Misalnya
guru menekankan murid agar melakukan eksplorasi dan menemukan kesimpulan
sendiri. Ruang kelasnya tidak terlalu rapi jika dibandingkan kelas pada
umumnya. Buku pelajaran dan tugas dari guru tidak dipakai. Guru lebih banyak
mengamati murid dan partisipasi alamiah dalam aktivitas mereka untuk menentukan
pelajaran apa yang diberikan.
B. PERKEMBANGAN INTELEKTUAL DAN BAHASA
1. Perkembangan Intelektual
Perkembangan
kognitif individu akan selalu berkaitan dengan intelegensi atau kecerdasan.
“Intelegensi adalah kealihan dalam memecahkan masalah serta kemampuan untuk beradaptasi
dan belajar dari pengalaman sehari-hari” (Santrock, 2011: 201). Sedangkan
menurut Feldman (2012: 344) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Psikologi
mengatakan bahwa “intelegensi adalah sebuah kapasitas untuk memahami dunia,
berpikir rasional, dan menggunakan akal dalam menghadapi tantangan”.
Ada
asumsi yang sangat penting yang mendasari pandangan kecerdasan Piaget: Jika
anak-anak mengetahui sesuatu, mereka harus membangun pengetahuan itu sendiri.
Latar belakang Piaget dalam zoologi cukup jelas dari definisinya tentang
kecerdasan sebagai fungsi hidup dasar yang membantu organisme beradaptasi
dengan lingkungannya. Piaget mengemukakan bahwa kecerdasan adalah suatu bentuk
keseimbangan yang cenderung ke arah mana semua struktur kognitif, maksudnya adalah
hanya bahwa semua aktivitas intelektual dilakukan dengan satu tujuan dalam
pikiran: untuk menghasilkan keseimbangan, atau harmonis, hubungan antara proses
berpikir seseorang dan lingkungan. Seperti keadaan seimbang urusan disebut
keseimbangan kognitif , dan proses pencapaian itu disebut equilibrium . Piaget
menekankan bahwa anak-anak adalah penjelajah aktif dan penasaran yang
terus-menerus ditantang oleh banyak rangsangan baru dan peristiwa yang tidak
segera dipahami. Dia percaya bahwa ketidakseimbangan ini (atau disequilibria
kognitif ) antara modus anak-anak berpikir dan lingkungan peristiwa mendorong
mereka untuk melakukan penyesuaian mental yang memungkinkan mereka untuk
mengatasi pengalaman baru membingungkan dan dengan demikian mengembalikan keseimbangan
kognitif (Shaffer dan Kipp, 2010: 250).
Kecerdasan
cendrung berfokus pada perbedaan individu. Untuk membedakan kecerdasan individu
dengan yang yang maka ada yang namanya assessemen/pengukuran pada intelegensi.
Tes intelegensi bertujuan untuk menginformasikan kepada kita mengenai apakah
sesorang dapat lebih baik berpikir secara logis dibandingkan dengan individu
lain yang mengikuti tes tersebut. Tes intelegensi pertama dikembangankan oleh
Alfed Binet pada tahun 1904 yang dikenal dengan Tes Binet (Santrock, 2011:
201-202)
Para pemerhati dan peneliti
kecerdasan membagi intelegensi dalam beberapa jenis. Stenberg terkenal dengan
“teori triaki” dan Gardner dengan delapan kecerdasan majemuk (Santrock, 2011:
203-205). Robert Stenberg menyatakan bahwa intelegensi terdiri atas tiga bentuk
:
a) Intelegensi
analitis; berhubungan dengan kemampuan menganalilis, menilai, mengevaluasi,
membandingkan, dan membedakan.
b) Intelegensi
kreatif; terdiri atas keahlihan untuk menciptakan, merancang, menemukan,
memulai, dan membayangkan.
c) Intelegensi
praktis; mencakup kemampuan untuk menggunakan, menerapkan, mengimplementasikan,
dan mempraktekkan gagasan.
Sedangkan delapan intelegensi Howard Gardner adalah sebagai
berikut :
a) Bahasa
b) Matematika
c) Spasial
d) Jasmani-kinestik
e) Musical
f) Interpersonal
g) Intrapersonal
h) Naturalis
2. PERKEMBANGAN BAHASA
a. Tata bahasa dan membaca
Manusia sebagai makluk sosial tidak akan dipisahkan dari kegiatan
saling berkomunikasi. Untuk berkomunikasi diperlukan suatu media, terutama
yaitu bahasa. Bahasa membedakan manusia dengan makluk hidup lainnya dengan
bahasa manusia dapat memahami sesama dan dirinya, alam dan ciptaan lainnya
sebagai makluk berbudaya.
Dapat didefenisikan bahwa bahasa merupakan kode atau simbol dari urutan
kata-kata yang diterima secara konvensional untuk menyampaikan konsep-konsep
atau ide-ide dan berkomunikasi melalui penggunaan simbol-simbol yang disepakati
dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan yang ada (Murisman &
Agustin, 2013: 31-32)
Perkembangan bahasa terkait dengan perkembangan kognitif, yang berarti
faktor kognisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berbahasa.
Seperti yang diungkapkan oleh Santrock bahwa “pengetahuan mengenai kosakata
pada hakekatnya merupakan bagian dari tes intelegensi, dan sama pentingnya
dengan aspek perkembangan bahasa lainnya yang merupakan aspek penting dari
intelegensi anak” (Santrock 2011: 216).
Kemajuan dalam kosakata dan tata bahasa selama tahun-tahun sekolah
dasar dibarengi dengan perkembangan kesadaran metalinguistik (Santrock, 2011: 217). Kesadaran
metalinguistik merupakan pengetahuan mengenai bahasa seperti tahu apa arti
preposisi atau kemampuan untuk mendiskusikan bunyi sebuah bahasa. Kesadaran metalinguistic memberikan
kesempatan pada anak untuk berpikir mengenai bahasa mereka, mengerti apa
kata-kata itu, dan bahkan mendefenisikannya. Menurut Pan dan Uccelli (2009)
dalam Santrock mengatakan bahwa perkembangan kesadaran metalinguistic berkembang pesat
selama tahun-tahun sekolah dasar (Santrock 2011: 217).
Perkembangan bahasa anak sangat erat dengan kegiatan membaca. Karena
membaca adalah salah satu bentuk bahasa tulisan dengan kosakata banyak dan
membutuhkan pemahaman akan apa yang dibaca. Pada tabel dibawah ini digambarkan
ringkasan beberapa tonggak dalam perkembangan bahasa.
Tabel Tonggak
Perkembangan Bahasa
PERIODE UMUR
|
PERKEMBANGAN/PERILAKU ANAK
|
0 – 6
bulan
|
Sekedar
bersuara, membedahkan huruf hidup, berceloteh pada akhir periode
|
6- 12
bulan
|
Celoteh
bertambah dengan mencakup suara dari bahasa ucap, isyarat digunakan untuk
mengkomunikasikan suatu obyek
|
12- 18
bulan
|
Kata
pertama diucapkan, rata-rata memahami 50 kasakata
|
18 – 24
bulan
|
Kosakata
bertambah sampa
|
2 tahun
|
Kosakata
bertambah cepat, penggunaan bentuk jamak secara tepat, penggunaan kata lampau
(past tense),
penggunaan beberapa preposisi atau awalan
|
3 – 4
tahun
|
Rata-rata
panjang ucapan naik dari 3 sampai 4 morfem per kalimat, mengunanakan
pertanyaan “ya” dan “tidak” dan pertanyaan mengapa “mengapa, dmana, siapa,
kapan”, menggunakan bentuk negative danperintah, pemahaman pragmatis
bertambah.
|
5 – 6
tahun
|
Kosakata
mencapai rata-rata 10.000 kata, koordinasi kalimat sederhana
|
6 – 8
tahun
|
Kosakata
terus bertambah cepat, lebih ahli menggunakan sintaksis, keahlihan bercakap
meningkat
|
9- 11
tahun
|
Definisi
kata mencakup sinonim, strategi berbicara terus bertambah
|
11 – 14
tahun
|
Kosakata
bertambah dengan kata-kata abstrak, pemahaman bentuk tata bahasa kompleks,
pemahaman fungsi kata dalam kalimat
|
15 – 20
tahun
|
Dapat
memahami karya sastra dewasa
|
Sebelum belajar membaca anak belajar menggunakan bahasa untuk berbicara
mengenai hal-hal yang tidak ada, mereka belajar mengenai apa itu kata, seperti
mereka belajar bagaimana mereka mengenali bunyi dan membahas tentang hal
tersebut (Berko Gleason,2003 dalam Santrock 2011 :218)
Perkembangan kosakata memilik peranan penting dalam pemahaman membaca
(Berninger, 2006 dalam Santrock 2011 :218). Jika anak mengembangkan kosakata
yang luas maka langkah selanjutnya untuk membaca yang lebih ringan. Anak yang
memulai sekolah dasar dengan bekal kosakata yang tidak banyak akan mengalami
kesulitan ketika mereka belajar membaca.
Menurut Chall (1979, 1992) membaca berkembang melalui lima tahap. Batas
usia tidak bersifat kaku dan tidak berlaku untuk setiap siswa. Misalnya
beberapa murid belajar membaca sebelum masuk kelas 1. Tahap-tahap ini
memberikan pemahaman umum mengenai perubahan developmental dalam proses belajar
membaca:
1) Tahap 0 : dari kelahiran sampai grade 1, anak menguasai beberapa
prasyarat untuk membaca. Banyak yang menguasai cara dan aturan membaca, mengidentifikasi
huruf, dan cara menulis namanya sendiri. Beberapa anak belajar membaca
kata-kata yang biasanya muncul bersama tanda simbol.
2) Tahap 1 : di grade 1 dan 2, banyak anak mulai belajar membaca. Mereka
belajar dengan menggunakan kata-kata (yakni, menyuarakan huruf atau sekelompok
huruf dan membentuk ucapan kata). Dalam tahap ini, mereka juga mampu menguasai
penulisan dan pengucapan huruf.
3) Tahap 2: di grade 2 dan 3, anak makin lancar dalam membaca. Akan
tetapi, pada tahap ini, membaca masih belum banyak digunakan untuk belajar.
Mereka disibukkan oleh tugas membaca sehingga anak tidak punya banyak energi
untuk memahami isi bacaannya.
4) Tahap 3 : di grade 4 sampai 8, anak mampu mendapatkan informasi dari
bacaannya. Dengan kata lain, mereka belajar membaca. Mereka masih kesulitan
memahami informasi yang diberikan dari beragam perpekstif dalam teks yang sama.
Anak yang pada tahap ini belum mampu menguasai keahlian membaca, mereka akan
mengalami kesulitan serius dalam bidang akademik.
5) Tahap 4 : banyak murid yang telah menjadi pembaca yang kompeten. Mereka
mampu memahami materi tertulis dari bebrbagai perspektif. Hal ini membuat
mereka terkadang terlibat dalam diskusi yang lebih maju dalam pelajaran sastra,
sejarah, ekonomi, dan politik. Bukan kebetulan bahwa novel-novel baru diberikan
pada masa ini, karena pemahaman terhadap novel membutuhkan pemahaman membaca
yang canggih. (Santrock, 2010: 421)
b. Pembelajaran Bilingual
Bilingualisme
merupakan kemampuan untuk dapat berbicara dalam dua bahasa dan memiliki
pengaruh positif untuk perkembangan kognitif anak (Gibson & Ng, 2004 dalam
Santrock, 2011 : 220).
Walaupun
menuai banyak kontraversi tapi pembelajaran bilingual sangat bermanfaat bagi
perkembangn dan struktur bahasa anak dan usia sekolah dasar merupakan usia yang
sangat cocok untuk memulai pembelajaran dengan dua bahasa. Santrock (2011: 219
-220) mengatakan bahwa orang dewasa atau remaja sangat mudah mempelajari
kosakata baru dari pada bunyi atau tata bahasa baru ketimbangan anak-anak.
Anak-anak yang fasih dalam dua bahasa mampu melewati tes pengontrol perhatian,
pembentukan konsep, penalaran analitis, fleksibilitas kognitif, dan
kompleksitas kognitif, serta sadar akan struktur dari bahasa yang digunakan
baik bahasa tulisan maupun lisan.
Siswa
bilingual sering memiliki kesadaran metalinguistik yang lebih besar, memahami
aturan bahasa yang lebih eksplisit, dan menunjukkan kecanggihan kognitif yang
besar. Mereka bahkan dapat skor lebih tinggi pada tes kecerdasan, menurut
beberapa penelitian. Selain itu, scan otak membandingkan individu bilingual
dengan orang-orang yang berbicara hanya satu perbedaan menemukan bahasa yang
menunjukkan berbagai jenis aktivasi otak.
C. BELAJAR AKADEMIS
1. Anak
Usia Sekolah Dasar
Usia anak merupakan usia dimana anak akan memasuki pendidikan dasar
yang formal. Pada usia ini anak akan melewati berbagai tugas-tugas perkembangan
seperti yang dikemukan oleh Havighrust (Murisman & Agustin, 2013 : 18-19),
salah satu tugas yang harus dilewati anak pada periode ini adalah mengembangkan
ketrampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung.
Sekolah merupakan pengalaman formatif utama, mempengaruhi aspek
perkembangan. Disekolah, anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan ketrampilan,
dan kompetensi sosial, memperluas tubuh dan pikiran, serta mempersiapkan untuk
kehidupan dewasa (Papalia,dkk, 2009: 464).
Pengalaman
awal sekolah merupakan hal yang kritis dalam mempersiapkan keberhasilan atau
kegagalan masa depan (Papalia,dkk, 2009: 464). Sehingga sistem
pendidikan/kurikulum dirancang untuk membuat siswa aktif dan bersaing,
menyediakan sarana pendukung, pola asuh orang tua, serta lingkungan belajar
anak diperhaikan kebersihannya.
2. Pemrosesan Informasi Pada Anak-Anak
Selama
masa kanak-kanak menengah dan akhir, sebagian besar anak-anak secara dramatis
meningkatkan kemampuan mereka dalam mengendalikan dan mempertahankan perhatian
(Santrok 2011: 192). Dalam pemrosesan informasi pada masa anak-anak melibatkan
memori, berpikir dan metakognisi. Ketiga hal tersebut dijabarkan oleh Santrock
dalam bukunya yang berjudul Masa perkembangan anak (Santrock, 2011:192-200)
adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :
a. Memori
Dalam beberapa hal,
peningkatan memori mencerminkan peningkatan pengetahuan anak-anak dan
peningkatkan mereka pada penggunaan strategi dalam memperoleh informasi
(Schraw, 2006 dalam Santrock, 2011 :192)
1) Pengetahuan
dan keahlian
Peran
pendidikan terhadap memori anak harus diperhatikan. Dalam pemprosesan informasi
ada perbandingan antara yang ahli dan pemula. Para ahli sudah menerima cukup
pengetahuan mengenai area konten tertentu, pengetahuan tersebut mempengaruhi
apa yang mereka perhatikan dan bagaimana mereka mengorganisasikan,
menggambarkan, mengiterpretasikan sesuatu, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
kemampuan mereka untuk mengingat, berfikir secara logis, dan memecahkan
masalah.
2) Strategi
Dalam
pemrosesan informasi ada dua stategi yang penting yaitu menciptakan gambaran
mental dan menggabungkan informasi (Murray,2007 dalam Santrock 2011: 193).
Kemampuan mengingat anak dipengarui oleh Mental Imagery dan elaborasi. Mental Imagery dapat memberikan kontribusi
untuk mengingat informasi Verbal sedangakn elaborasi membantu anak mempelajari sesuatu dengan mengaitkan
dengan pengalaman yang dialami oleh anak. Berpikir mengenai asosiasi pribadi
terhadap informasi akan membuat informasi tersebut menjadi lebih berarti dan
membantu anak dalam mengingat.
3) Fuzzy
Trace Theory
Fuzzy
trace Theory menyatakan bahwa memori dapat dipahami
dengan sangat baik dengan mempertimbangan dua jenis gambaran memori; jejak
memori verba tim dan inti. Jejak memori verbatim terdiri atas detail-detail
informasi secara tepat, sementara inti mengarah pada ide utama informasi
tersebut.
b. Berpikir
Terdapat tiga aspek penting
dalam pemrosesan informasi yang berkaitan dengan kemapuan berpikir, yaitu:
1) Pemikiran
Kritis
2) Pemikiran
Kreatif
3) Pemikiran
Ilmiah
c. Metakognisi
Sekolah
diharapkan untuk dapat membuat atau menciptakan hal yang berkaitan dengan
mengembangkan metakognisi, yang merupakan kognisi mengenai kognisi atau
mengatahui tentang mengetahui. Metakognisi berfocus pada metamemori atau
pengetahuan tentang memori.
Metakognisi
mencakup pengetahuan menganai strategi. Menurut Pressley (Pressley 2003, dalam
santrock 2011: 200) kunci dari pendidikan aalah adalah membantu siswa
mempelajari daftar strategi-strategi yang produktif yang dihasilkan dalam
pemecahan masalah.
D. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
1. Konsep Pendidikan Multikultural
Feldman
(2012: 224) mengutip pendapat antropolog terkenal Margaret Mead ( 1942) tentang
pendidikan multikultural, “Dalam arti luas, pendidikan adalah proses budaya,
cara di mana setiap bayi manusia yang baru lahir, lahir dengan potensi untuk
belajar lebih besar dari mamalia lainnya, berubah menjadi anggota penuh dari
kelompok tertentu manusia, berbagi dengan anggota lain dari budaya manusia yang
spesifik”.
Pendidikan
multikultural muncul dari gerakan hak-hak warga negara pada tahun 1960-an dan
protes akan persamaan hak dan keadilan sosial bagi para wanita dan orang-orang
dengan kulit berwarna. Sebagai sebuah bidang, pendidikan multikultural mencakup
isu-isu yang berkaitan dengan status sosial ekonomi, etnisitas, dan gender.
Oleh karena itu keadilan sosial merupakan salah satu nilai dasar bidang
tersebut, maka pengurangan prasangka dan pedagogi keadilan merupakan komponen
inti (Banks, 2001 dalam Santrock 2010 : 184).
Multikuralisme
sebagai sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya
lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang lain penting kita
pahami bersama dalam masyarakat yang multikultural. Jika tidak, masyarakat kita
kemungkinan besar akan selalu terjadi konflik akibat ketidak saling pengertian
dan pemahaman terhadap relitas multikultural tersebut. Sama dengan diskursus
tentang perbedaan gender yang memunculkan paradigma ksetaraan gender, dalam
diskursus multikulturalisme ini, sebetulnya juga ditekankan upaya untuk
mewujudkan kesetaraan budaya.
Pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan dan mewadai beragam
perspektif dari berbagai kelompok kultural (Santrock, 2010:184). Adapun tujuan
pendidikan multikultural menurut Bennett (dalam Santrock, 2010: 184) pemerataan
kesempatan bagi semua murid, ini termasuk mempersempit gab dalam prestasi
akademik antara murid kelompok utama dengan kelompok minoritas.
Pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang menghargai keberagaman dan mencakup
perspektif dari berbagai kelompok budaya, pemberdayaan yang terdiri dari
memberikan orang-orang keterampilan intelektual dan keterampilan penanganan
masalah untuk berhasil dan menjadikan dunia ini lebih adil, merupakan aspek
penting dalam pendidikan multikultural pada saat ini. Pemberdayaan memberi
siswa-siswa kesempatan mempelajari pengalaman, perjuangan, dan visi dari
berbagai kelompok dari etnis dan budaya yang berlainan. Harapannya,
pemberdayaan akan meningkatkan harga diri siswa-siswa minoritas, mengurangi
perasangka, dan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih adil (Banks, 2001
dalam Santrock 2010 : 185)
2. Pendidikan Multikultural di Sekolah
Pengajaran yang relevan secara budaya
merupakan aspek penting pendidikan multikultural (Gay, 2000;
Irvine&Aremento, 2001 dalam Santrock 2010: 185). Pengajaran ini berusaha
untuk berhubungan dengan latar belakang budaya pelajar (Pang, 2005 dalam
Santrock, 2010: 186).
Para ahli pendidikan multikultural yakin
bahwa guru yang baik sadar akan dan mengintegrasikan pengajaran yang relevan
secara budaya ke dalam kurikulum karena hal ini menjadikan pengajaran yang
efektif (Diaz, 2001 dalam Santrock, 2010: 186). Beberapa peneliti telah
menemukan bahwa siswa-siswa dari beberapa kelompok etnis berperilaku dalam
cara-cara yang menjadikan beberapa tugas pendidikan lebih sulit daripada yang
lain. Sebagai contoh, Jackie Irvine (1990) dan Janice Hale-Benson (1982)
mengamati bahwa siswa Afrika-Amerika seringkali ekspresif dan energik. Mereka
mengkobinasikan, ketika siswa-siswa berperilaku seperti ini, seharusnya mereka
diberi kesempatan untuk melakukan persentasi daripada selalu diharuskan
mengerjkan ujian tertulis, hal ini ini mungkin merupakan strategi yang bagus.
Para peneliti lain menemukan bahwa banyak siswa Asia-Amerika lebih menyukai
proses belajar visual dibandingkan dengan teman sebaya Eropa- Amerika mereka
(Litton, 1999, Park 1997 dalam Santrock, 2010: 186). Jadi, dengan siswa-siswa
ini, guru mungkin lebih banyak menggunakan model tiga dimensi, organisator
grafis, foto, grafik, dan tulisan di depan
Pendidikan yang berpusat pada isu juga
merupakan aspek penting dalam pendidikan multikultural. Dalam pendekatan ini,
siswa-siswa diajari sistematis memeriksa isu-isu yang melibatkan kewajaran dan
keadilan sosial. Mereka tidak hanya mengklarifikasi nilai-nilainya, tetapi juga
memberikan alternatif dan konsekuensi apabila mereka mengambil sikap tertentu
terhadap sebuah isu. Pendidikan yang berpusat pada isu berhubungan erat dengan
pendidikan moral (Santrock, 2010:186).
Pang (2001) mencontohkan situasi
pendidikan moral sebagai berikut, terdapat kebijaksanaan makan siang di sekolah
menengah atas siswa-siswa yang mengikuti program diberi tunjangan oleh
pemerintah, dipaksa untuk menggunkan barisan khusus di kantin, yang “menjuluki”
mereka miskin. Banyak siswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah
ini merasa terhina dan malu, hingga mereka tidak makan siang. Siswa-siswa
memberitahukan para guru akan apa yang terjadi pada mereka. Para guru dan siswa
pun membuat rencana untuk mengatasi hal tersebut. Mereka mempersentasikan
rencana tersebut ke distrik sekolah, yang merevisi kebijaksanaan barisan makan
siang di sepuluh sekolah menengah atas yang terpengaruhi olehnya (Santrock,
2010: 187)
****
Daftar Pustaka :
Feldman,R.S. (2012). Discovering The Life-Span. 2’th edition.
New York: Pearson
Feldman,R.S. (2012). Pengantar psikologi. Buku 1 Edisi 10.
Jakarata: Salemba Humanika
Nurihsan, A.J dan
Agustin.M. (2013). Dinamika
perkembangang manusia:Tinjauan Psikologi, pendidkan, dan bimgingan.
Bandung: refika Aditama
Papalia, Olds dan Feldman.
(2009). Human Development.
Perkembangan manusia. Buku 1 Edisi 10. Jakarta: Salemba Humanika
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak. Jilid 1 Edisi 11.
Jakarta: Erlangga
Santrock, J.W. (2010). Psikologi pendidikan. Edisi kedua.
Jakarta: Kencana prenada media group
Santrock, J.W. (2011). Masa Perkembangan Anak. Buku 2 Edisi 11.
Jakarta: Salemba Humanika
Shaffer, R.D. and Kipp, K.
(2010) Developmental Psychology: Childhood and Adolescence. United kindom :
Wadsworth Cangage Learning.
0 komentar