MASA ANAK : PERKEMBANGAN KOGNITIF

by - 8:24 PM


A. TEORI PIAGET
1.   MASA TAHAP OPERASIONAL KOGKRET
Masa anak merupakan salah satu periode pertumbuhan dan perkembangan individu. Setiap periode akan memiliki ciri atau karekteristik sendiri baik dari aspek pertumbuhan maupun aspek perkembangan. Salah satu perkembangan individu yang harus dilalui dan dialami adalah perkembangan kognitif.
Banyak para ahli mengungkapkan teori-teori atau pendekatan tentang perkembangan kognitif individu. Pendekatan-pendekatan perkembangan kognitif menekankan bagaimana individu secara aktif membangun cara berpikir. Pendekatan-pendekatan itu juga sangat berfokus pada bagaimana cara individu berpikir atau berubah dari satu titik ketitik perkembangan berikutnya. Pada penulisan ini mengakaji pendekatan perkembangan kognitif anak menurut teori Jean Piaget.
Piaget mengindentifikasi empat periode atau tahapan utama perkembangan kognitif yaitu: tahap sensorimotor, tahap pra operasional, tahap operasional konkret, dan tahap operasi formal (Shaffer dan Kipp, 2010: 253). Setiap tahap perkembangan mempunyai ciri khas tersendiri dan setiap tahap perkembangan saling berkaitan. Lanjut Piaget dalam teorinya tentang perkembangan kognitif, fase sensormotorik terjadi ketika umur 0-2 tahun, fase pra operasional kongret sekitar umur 2-7 tahun, fase operasional kogret pada usia 7-11 tahun, dan fase operasional formal pada usia 11 tahun keatas (Santrock, 2007: 246).
Usia anak berkisar dari 7 tahun sampai dengan 12 tahun. Jadi menurut pendekatan Piaget tentang perkembangan kognitif maka perkembangan kognitif anak berada pada fase ketiga yaitu operasional kongret. Pada tahapan ini, pemikiran logis menggantikan pemikiran intuitif (Santrock, 2007: 254). Pada tahap operasional kokret ini anak-anak bisa menggunakan berbagai operasi mental, seperti penalaran, memecahakan masalah-masalah konkret (nyata). Anak-anak pada usia ini dapat berpikir dengan logis karena mereka tidak terlalu egosentris dari sebelumnya dan dapat mempertimbangan banyak aspek dari situasi (Papalia dkk,2009:443).
Menurut Piaget, kognisi berkembang melalui struktur mental atau skema(Piaget &Inhelder, 1969 dalam Shaffer & Kipp, 2009:250). Skema adalah sistem mental yang tidak dapat diamati yang mendasari kecerdasan. Skema adalah pola pemikiran atau tindakan beberapa pengetahuan dasar dimana anak-anak menafsirkan dunia mereka.
Piaget percaya bahwa semua skema, semua bentuk pemahaman, diciptakan melalui kerja dua proses intelektual bawaan : organisasi dan adaptasi (Shaffer & Kipp, 2009:250-251). Organisasi adalah proses dimana anak-anak menggabungkan skema yang ada dalam skema intelektual yang baru dan lebih kompleks. Tujuan organisasi ini adalah untuk mempromosikan adaptasi, proses menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan. Menurut Piaget, adaptasi terjadi melalui dua kegiatan yang saling melengkapi: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses dimana anak-anak mencoba untuk menafsirkan pengalaman baru dalam hal model yang ada mereka tentang dunia, skema yang sudah mereka miliki. Akomodasi, komplemen asimilasi, adalah proses memodifikasi struktur yang ada dalam rangka untuk menjelaskan pengalaman baru. Ada asumsi yang sangat penting yang mendasari kecerdasan pandangan Piaget. Jika anak-anak mengetahui sesuatu, mereka harus membangun pengetahuan itu sendiri .
Pada tahap operasional kongret anak-anak sudah memiliki pemahaman yang lebih daripada anak-anak pra operasinal mengenai konsep spasial, sebab-akibat, pengelompokan, penalaran induktif dan deduktif, konservasi, serta angka (Papalia dkk,2009:443).
Hal yang senada menurut Shaffer dan Kipp, “Selama periode operasional kongret, anak-anak cepat memperoleh operasi kognitif dan menerapkan keterampilan baru yang penting ketika berpikir tentang objek dan peristiwa yang mereka alami” (Shaffer dan Kipp, 2010:271). Sebuah operasi kognitif adalah kegiatan mental internal yang memungkinkan anak-anak untuk memodifikasi dan mereorganisasi gambar dan simbol-simbol mereka untuk mencapai kesimpulan logis. Dengan operasi baru ini, anak-anak sekolah dasar mengalami kemajuan jauh melampaui pemikiran statis dan berpusat dari tahap pra operasional. Shaffer dan Kipp (2010: 272) memberikan beberapa contoh pemikiran operasional, yaitu konservasi dan logika relasional.
a) Konservasi
perkembangan operasional kogkret dapat dengan mudah memecahkan beberapa masalah konservasi. Dihadapkan dengan conservation-of-liquids- puzzle, misalnya, operasional kongret 7 tahun dapat decenterdengan berfokus secara bersamaan pada kedua tinggi dan lebar dari dua kontainer/wadah air. Dia juga menampilkan reversibilitas-kemampuan untuk mental membatalkan proses penuangan dan bayangkan cairan dalam wadah aslinya. Berbekal operasi-operasi kognitif, ia sekarang tahu bahwa dua wadah yang berbeda masing-masing memiliki jumlah cairan yang sama, dia menggunakan logika, tidak menyesatkan penampilan, untuk mencapai kesimpulannya.
b) Logika relasional
Sebuah ciri penting dari pemikiran operasional konkret adalah pemahaman yang lebih baik tentang hubungan kuantitatif dan logika relasional. Apakah Anda ingat kesempatan ketika guru olahraga Anda berkata, “Berbaris dari tertinggi ke terpendek?” Melaksanakan perintah seperti itu sebenarnya sangat mudah bagi operasional kongkret, kemampuan untuk mengatur item mental seperti tinggi atau berat badan. Sebaliknya, anak-anak praoperasional berkinerja buruk pada banyak tugas dan akan berjuang untuk memenuhi permintaan guru olahraga itu.
2. Evaluasi Tahap Operasional Kogkret
Teori piaget tidak luput dari kritik. Dalam buku Santrock (2010: 58-59) memaparkan beberapa kritik yang berkaitan dengan teori Piaget yang berkaitan dengan munculnya pertanyaan tentang beberapa area; tentang estimasi terhadap kompetensi anak di level perkembangan yang berbeda-beda; tentang tahap-tahap perkembangan; tentang pelatihan anak untuk melakukan penalaran pada level yang lebih tinggi; dan tentang kultur dan pendidikan
a. Estimasi kompetensi anak.
Beberapa kemampuan kognitif muncul lebih awal ketimbang yang diyakini Piaget. Misalnya, seperti telah disebutkan di atas, beberapa aspek dari objek permanen muncul lebih awal ketimbang yang diyakini Piaget. Bahkan anak usia 2 tahun dalam beberapa konteks tertentu bersifat non egosentris. Ketika mereka menyadari bahwa orang lain tidak melihat suatu objek. Mereka akan meneliti apakah orang itu buta atau sedang mengarahan perhatian ke tempat lain. Konservasi angka telah muncul sejak usia 3 tahun. Sementara Piaget berpendapat kemampuan ini baru muncul pada usia 7 tahun. Anak-anak biasanya tidak secara tegas masuk ke tahap “pra” ini atau “pra” itu (prakausal, pra-operasional) sebagaimana diyakini piaget.
b. Tahap-tahap Perkembangan.
Piaget memandang tahapan sebagai struktur pemikiran yang seragam. Jadi, teorinya mengansumsikan perkembangan yang sinkron, yakni berbagai aspek dari satu tahapan muncul pada saat yang sama. Akan tetapi beberapa konsep operasional konkret tidak muncul secara sinkron atau serempak. Misalnya anak-anak tidak belajar untuk melakukan conversation (to converse) pada saat yang sama ketika mereka belajar melakukan klasifikasi silang. Jadi, kebanyakan teoritisi developmental kontemporer sepakat bahwa perkembangan kognitif anak-anak tidak bertahap seperti diyakini oleh Piaget (Bjorklund, 2000; Case, 2000; Goswami, 2001).
c. Melatih anak untuk menalar yang lebih tinggi.
Beberapa anak yang pada masa kognitif (seperti pra-operasional) dapat dilatih untuk bernalar seperti pada tahap kognitif yang lebih tinggi (misalnyas operasional konkret). Ini menimbulkan problem bagi Piaget. Dia mengatakan bahwa training seperti itu tidak efektif dan dangkal, kecuali si anak berada dalam titik transisi kedewasaan di antara tahapan tersebut (Gelman&Williams, 1998).
d. Kultur dan Pendidikan.
Kultur dan pendidikan lebih banyak mempengaruhi perkembangan anak ketimbang yang dipikirkan Piaget (Gelman & Brennerman, 1994; Greenfiled, 2000). Usia anak mendapat kemampuan konservasi terkait dengan sejauh mana kultur mereka memberikan praktik yang relevan (Cole, 1999). Guru dan pengajar yang hebat dalan logika matematika dan sains dapat meningkatkan kemampuan operasional formal dan konkret anak (Santrock, 2010: 58-59).
3. Penerapan Terhadap Pendidikan
Dibawah ini akan uraikan tentang gagasan yang ada dalam teori Piaget dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan untuk mengajar anak-anak (Elkind, 1976, heuwinkel,1996 dalam Santrock, 2011: 189-191);
a. Mengambil pendekatan konstruktivis.
Piaget menekankan bahwa anak akan belajar dengan lebih baik jika mereka aktif dan mencari solusi sendiri. Piaget menentang metode yang meperlakukan anak sebagai penerima pasif. Implikasi pendidikan dari pandangan Piaget adalah untuk semua mata pelajaran, murid lebih baik diajari untuk membuat penemuan, memikirkannya, dan mendiskusikannya, bukan dengan diajari menyalin apa yang dikatakan atau dilakukan guru.
b. Menfasilitasi, tidak hanya belajar secara langsung
Guru yang efektif harus merancang situasi yang membuat murid belajar dengan bertindak (learning by doing). Situasi seperti ini akan meningkatkan pemikiran dan penemuan murid. Guru mendengar, mengamati, dan mengajukan pertanyaan kepada murid agar mereka mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Ajukan pertanyaan yang relevan untuk merangsang agar mereka berfikir dan mintalah mereka untuk menjelaskan jawaban mereka.
c. Mempertimbangkan pengetahuan dan tingkat daya pikir anak-anak
Murid datang ke sekolah dengan gagasan tentang dunia fisik dan alam. Mereka punya konsep tentang ruang, waktu, kuantitas, dan kausalitas. Guru menginterpretasikan apa yang dikatakan murid dan merespon dengan meberikan wacana yang sesuai dengan tingkat pemikiran murid.
d. Mengggunakan penilaian yang berkesinambungan
Penilaian tidak diukur dengan tes standar, murid berdiskusi, dan penjelasan lisan dan tertulis oleh murid tentang penalaran mereka dapat dipakai sebagai alat untuk mengevaluasi kemajuan mereka.
e. Meningkatkan kemampuan intelektual siswa
Menurut Piaget, pembelajaran anak harus berjalan secara alamiah, anak tidak boleh dipaksa ditekan untuk berprestasi terlalu banyak di awal perkembangan anak sebelum mereka siap.
f. Mengubah ruang kelas menjadi ruang lingkup eksplorasi dan penemuan
Misalnya guru menekankan murid agar melakukan eksplorasi dan menemukan kesimpulan sendiri. Ruang kelasnya tidak terlalu rapi jika dibandingkan kelas pada umumnya. Buku pelajaran dan tugas dari guru tidak dipakai. Guru lebih banyak mengamati murid dan partisipasi alamiah dalam aktivitas mereka untuk menentukan pelajaran apa yang diberikan.
B. PERKEMBANGAN INTELEKTUAL DAN BAHASA
1. Perkembangan Intelektual
Perkembangan kognitif individu akan selalu berkaitan dengan intelegensi atau kecerdasan. “Intelegensi adalah kealihan dalam memecahkan masalah serta kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman sehari-hari” (Santrock, 2011: 201). Sedangkan menurut Feldman (2012: 344) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Psikologi mengatakan bahwa “intelegensi adalah sebuah kapasitas untuk memahami dunia, berpikir rasional, dan menggunakan akal dalam menghadapi tantangan”.
Ada asumsi yang sangat penting yang mendasari pandangan kecerdasan Piaget: Jika anak-anak mengetahui sesuatu, mereka harus membangun pengetahuan itu sendiri. Latar belakang Piaget dalam zoologi cukup jelas dari definisinya tentang kecerdasan sebagai fungsi hidup dasar yang membantu organisme beradaptasi dengan lingkungannya. Piaget mengemukakan bahwa kecerdasan adalah suatu bentuk keseimbangan yang cenderung ke arah mana semua struktur kognitif, maksudnya adalah hanya bahwa semua aktivitas intelektual dilakukan dengan satu tujuan dalam pikiran: untuk menghasilkan keseimbangan, atau harmonis, hubungan antara proses berpikir seseorang dan lingkungan. Seperti keadaan seimbang urusan disebut keseimbangan kognitif , dan proses pencapaian itu disebut equilibrium . Piaget menekankan bahwa anak-anak adalah penjelajah aktif dan penasaran yang terus-menerus ditantang oleh banyak rangsangan baru dan peristiwa yang tidak segera dipahami. Dia percaya bahwa ketidakseimbangan ini (atau disequilibria kognitif ) antara modus anak-anak berpikir dan lingkungan peristiwa mendorong mereka untuk melakukan penyesuaian mental yang memungkinkan mereka untuk mengatasi pengalaman baru membingungkan dan dengan demikian mengembalikan keseimbangan kognitif (Shaffer dan Kipp, 2010: 250).
Kecerdasan cendrung berfokus pada perbedaan individu. Untuk membedakan kecerdasan individu dengan yang yang maka ada yang namanya assessemen/pengukuran pada intelegensi. Tes intelegensi bertujuan untuk menginformasikan kepada kita mengenai apakah sesorang dapat lebih baik berpikir secara logis dibandingkan dengan individu lain yang mengikuti tes tersebut. Tes intelegensi pertama dikembangankan oleh Alfed Binet pada tahun 1904 yang dikenal dengan Tes Binet (Santrock, 2011: 201-202)
Para pemerhati dan peneliti kecerdasan membagi intelegensi dalam beberapa jenis. Stenberg terkenal dengan “teori triaki” dan Gardner dengan delapan kecerdasan majemuk (Santrock, 2011: 203-205). Robert Stenberg menyatakan bahwa intelegensi terdiri atas tiga bentuk :
a) Intelegensi analitis; berhubungan dengan kemampuan menganalilis, menilai, mengevaluasi, membandingkan, dan membedakan.
b) Intelegensi kreatif; terdiri atas keahlihan untuk menciptakan, merancang, menemukan, memulai, dan membayangkan.
c) Intelegensi praktis; mencakup kemampuan untuk menggunakan, menerapkan, mengimplementasikan, dan mempraktekkan gagasan.
Sedangkan delapan intelegensi Howard Gardner adalah sebagai berikut :
a) Bahasa
b) Matematika
c) Spasial
d) Jasmani-kinestik
e) Musical
f) Interpersonal
g) Intrapersonal
h) Naturalis
2. PERKEMBANGAN BAHASA
a. Tata bahasa dan membaca
Manusia sebagai makluk sosial tidak akan dipisahkan dari kegiatan saling berkomunikasi. Untuk berkomunikasi diperlukan suatu media, terutama yaitu bahasa. Bahasa membedakan manusia dengan makluk hidup lainnya dengan bahasa manusia dapat memahami sesama dan dirinya, alam dan ciptaan lainnya sebagai makluk berbudaya.
Dapat didefenisikan bahwa bahasa merupakan kode atau simbol dari urutan kata-kata yang diterima secara konvensional untuk menyampaikan konsep-konsep atau ide-ide dan berkomunikasi melalui penggunaan simbol-simbol yang disepakati dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan yang ada (Murisman & Agustin, 2013: 31-32)
Perkembangan bahasa terkait dengan perkembangan kognitif, yang berarti faktor kognisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berbahasa. Seperti yang diungkapkan oleh Santrock bahwa “pengetahuan mengenai kosakata pada hakekatnya merupakan bagian dari tes intelegensi, dan sama pentingnya dengan aspek perkembangan bahasa lainnya yang merupakan aspek penting dari intelegensi anak” (Santrock 2011: 216).
Kemajuan dalam kosakata dan tata bahasa selama tahun-tahun sekolah dasar dibarengi dengan perkembangan kesadaran metalinguistik (Santrock, 2011: 217). Kesadaran metalinguistik merupakan pengetahuan mengenai bahasa seperti tahu apa arti preposisi atau kemampuan untuk mendiskusikan bunyi sebuah bahasa. Kesadaran metalinguistic memberikan kesempatan pada anak untuk berpikir mengenai bahasa mereka, mengerti apa kata-kata itu, dan bahkan mendefenisikannya. Menurut Pan dan Uccelli (2009) dalam Santrock mengatakan bahwa perkembangan kesadaran metalinguistic berkembang pesat selama tahun-tahun sekolah dasar (Santrock 2011: 217).
Perkembangan bahasa anak sangat erat dengan kegiatan membaca. Karena membaca adalah salah satu bentuk bahasa tulisan dengan kosakata banyak dan membutuhkan pemahaman akan apa yang dibaca. Pada tabel dibawah ini digambarkan ringkasan beberapa tonggak dalam perkembangan bahasa.
Tabel Tonggak Perkembangan Bahasa
PERIODE UMUR
PERKEMBANGAN/PERILAKU ANAK
0 – 6 bulan
Sekedar bersuara, membedahkan huruf hidup, berceloteh pada akhir periode
6- 12 bulan
Celoteh bertambah dengan mencakup suara dari bahasa ucap, isyarat digunakan untuk mengkomunikasikan suatu obyek
12- 18 bulan
Kata pertama diucapkan, rata-rata memahami 50 kasakata
18 – 24 bulan
Kosakata bertambah sampa
2 tahun
Kosakata bertambah cepat, penggunaan bentuk jamak secara tepat, penggunaan kata lampau (past tense), penggunaan beberapa preposisi atau awalan
3 – 4 tahun
Rata-rata panjang ucapan naik dari 3 sampai 4 morfem per kalimat, mengunanakan pertanyaan “ya” dan “tidak” dan pertanyaan mengapa “mengapa, dmana, siapa, kapan”, menggunakan bentuk negative danperintah, pemahaman pragmatis bertambah.
5 – 6 tahun
Kosakata mencapai rata-rata 10.000 kata, koordinasi kalimat sederhana
6 – 8 tahun
Kosakata terus bertambah cepat, lebih ahli menggunakan sintaksis, keahlihan bercakap meningkat
9- 11 tahun
Definisi kata mencakup sinonim, strategi berbicara terus bertambah
11 – 14 tahun
Kosakata bertambah dengan kata-kata abstrak, pemahaman bentuk tata bahasa kompleks, pemahaman fungsi kata dalam kalimat
15 – 20 tahun
Dapat memahami karya sastra dewasa
Gambar 1. Perkembangan bahasa individu (Santrock 2010: 75)
Sebelum belajar membaca anak belajar menggunakan bahasa untuk berbicara mengenai hal-hal yang tidak ada, mereka belajar mengenai apa itu kata, seperti mereka belajar bagaimana mereka mengenali bunyi dan membahas tentang hal tersebut (Berko Gleason,2003 dalam Santrock 2011 :218)
Perkembangan kosakata memilik peranan penting dalam pemahaman membaca (Berninger, 2006 dalam Santrock 2011 :218). Jika anak mengembangkan kosakata yang luas maka langkah selanjutnya untuk membaca yang lebih ringan. Anak yang memulai sekolah dasar dengan bekal kosakata yang tidak banyak akan mengalami kesulitan ketika mereka belajar membaca.
Menurut Chall (1979, 1992) membaca berkembang melalui lima tahap. Batas usia tidak bersifat kaku dan tidak berlaku untuk setiap siswa. Misalnya beberapa murid belajar membaca sebelum masuk kelas 1. Tahap-tahap ini memberikan pemahaman umum mengenai perubahan developmental dalam proses belajar membaca:
1) Tahap 0 : dari kelahiran sampai grade 1, anak menguasai beberapa prasyarat untuk membaca. Banyak yang menguasai cara dan aturan membaca, mengidentifikasi huruf, dan cara menulis namanya sendiri. Beberapa anak belajar membaca kata-kata yang biasanya muncul bersama tanda simbol.
2) Tahap 1 : di grade 1 dan 2, banyak anak mulai belajar membaca. Mereka belajar dengan menggunakan kata-kata (yakni, menyuarakan huruf atau sekelompok huruf dan membentuk ucapan kata). Dalam tahap ini, mereka juga mampu menguasai penulisan dan pengucapan huruf.
3) Tahap 2: di grade 2 dan 3, anak makin lancar dalam membaca. Akan tetapi, pada tahap ini, membaca masih belum banyak digunakan untuk belajar. Mereka disibukkan oleh tugas membaca sehingga anak tidak punya banyak energi untuk memahami isi bacaannya.
4) Tahap 3 : di grade 4 sampai 8, anak mampu mendapatkan informasi dari bacaannya. Dengan kata lain, mereka belajar membaca. Mereka masih kesulitan memahami informasi yang diberikan dari beragam perpekstif dalam teks yang sama. Anak yang pada tahap ini belum mampu menguasai keahlian membaca, mereka akan mengalami kesulitan serius dalam bidang akademik.
5) Tahap 4 : banyak murid yang telah menjadi pembaca yang kompeten. Mereka mampu memahami materi tertulis dari bebrbagai perspektif. Hal ini membuat mereka terkadang terlibat dalam diskusi yang lebih maju dalam pelajaran sastra, sejarah, ekonomi, dan politik. Bukan kebetulan bahwa novel-novel baru diberikan pada masa ini, karena pemahaman terhadap novel membutuhkan pemahaman membaca yang canggih. (Santrock, 2010: 421)
b. Pembelajaran Bilingual
Bilingualisme merupakan kemampuan untuk dapat berbicara dalam dua bahasa dan memiliki pengaruh positif untuk perkembangan kognitif anak (Gibson & Ng, 2004 dalam Santrock, 2011 : 220).
Walaupun menuai banyak kontraversi tapi pembelajaran bilingual sangat bermanfaat bagi perkembangn dan struktur bahasa anak dan usia sekolah dasar merupakan usia yang sangat cocok untuk memulai pembelajaran dengan dua bahasa. Santrock (2011: 219 -220) mengatakan bahwa orang dewasa atau remaja sangat mudah mempelajari kosakata baru dari pada bunyi atau tata bahasa baru ketimbangan anak-anak. Anak-anak yang fasih dalam dua bahasa mampu melewati tes pengontrol perhatian, pembentukan konsep, penalaran analitis, fleksibilitas kognitif, dan kompleksitas kognitif, serta sadar akan struktur dari bahasa yang digunakan baik bahasa tulisan maupun lisan.
Siswa bilingual sering memiliki kesadaran metalinguistik yang lebih besar, memahami aturan bahasa yang lebih eksplisit, dan menunjukkan kecanggihan kognitif yang besar. Mereka bahkan dapat skor lebih tinggi pada tes kecerdasan, menurut beberapa penelitian. Selain itu, scan otak membandingkan individu bilingual dengan orang-orang yang berbicara hanya satu perbedaan menemukan bahasa yang menunjukkan berbagai jenis aktivasi otak.
C. BELAJAR AKADEMIS
1. Anak Usia Sekolah Dasar
Usia anak merupakan usia dimana anak akan memasuki pendidikan dasar yang formal. Pada usia ini anak akan melewati berbagai tugas-tugas perkembangan seperti yang dikemukan oleh Havighrust (Murisman & Agustin, 2013 : 18-19), salah satu tugas yang harus dilewati anak pada periode ini adalah mengembangkan ketrampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung.
Sekolah merupakan pengalaman formatif utama, mempengaruhi aspek perkembangan. Disekolah, anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan ketrampilan, dan kompetensi sosial, memperluas tubuh dan pikiran, serta mempersiapkan untuk kehidupan dewasa (Papalia,dkk, 2009: 464).
Pengalaman awal sekolah merupakan hal yang kritis dalam mempersiapkan keberhasilan atau kegagalan masa depan (Papalia,dkk, 2009: 464). Sehingga sistem pendidikan/kurikulum dirancang untuk membuat siswa aktif dan bersaing, menyediakan sarana pendukung, pola asuh orang tua, serta lingkungan belajar anak diperhaikan kebersihannya.
2. Pemrosesan Informasi Pada Anak-Anak
Selama masa kanak-kanak menengah dan akhir, sebagian besar anak-anak secara dramatis meningkatkan kemampuan mereka dalam mengendalikan dan mempertahankan perhatian (Santrok 2011: 192). Dalam pemrosesan informasi pada masa anak-anak melibatkan memori, berpikir dan metakognisi. Ketiga hal tersebut dijabarkan oleh Santrock dalam bukunya yang berjudul Masa perkembangan anak (Santrock, 2011:192-200) adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :
a. Memori
Dalam beberapa hal, peningkatan memori mencerminkan peningkatan pengetahuan anak-anak dan peningkatkan mereka pada penggunaan strategi dalam memperoleh informasi (Schraw, 2006 dalam Santrock, 2011 :192)
1) Pengetahuan dan keahlian
Peran pendidikan terhadap memori anak harus diperhatikan. Dalam pemprosesan informasi ada perbandingan antara yang ahli dan pemula. Para ahli sudah menerima cukup pengetahuan mengenai area konten tertentu, pengetahuan tersebut mempengaruhi apa yang mereka perhatikan dan bagaimana mereka mengorganisasikan, menggambarkan, mengiterpretasikan sesuatu, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengingat, berfikir secara logis, dan memecahkan masalah.
2) Strategi
Dalam pemrosesan informasi ada dua stategi yang penting yaitu menciptakan gambaran mental dan menggabungkan informasi (Murray,2007 dalam Santrock 2011: 193). Kemampuan mengingat anak dipengarui oleh Mental Imagery dan elaborasi. Mental Imagery dapat memberikan kontribusi untuk mengingat informasi Verbal sedangakn elaborasi membantu anak mempelajari sesuatu dengan mengaitkan dengan pengalaman yang dialami oleh anak. Berpikir mengenai asosiasi pribadi terhadap informasi akan membuat informasi tersebut menjadi lebih berarti dan membantu anak dalam mengingat.
3) Fuzzy Trace Theory
Fuzzy trace Theory menyatakan bahwa memori dapat dipahami dengan sangat baik dengan mempertimbangan dua jenis gambaran memori; jejak memori verba tim dan inti. Jejak memori verbatim terdiri atas detail-detail informasi secara tepat, sementara inti mengarah pada ide utama informasi tersebut.
b. Berpikir
Terdapat tiga aspek penting dalam pemrosesan informasi yang berkaitan dengan kemapuan berpikir, yaitu:
1) Pemikiran Kritis
2) Pemikiran Kreatif
3) Pemikiran Ilmiah
c. Metakognisi
Sekolah diharapkan untuk dapat membuat atau menciptakan hal yang berkaitan dengan mengembangkan metakognisi, yang merupakan kognisi mengenai kognisi atau mengatahui tentang mengetahui. Metakognisi berfocus pada metamemori atau pengetahuan tentang memori.
Metakognisi mencakup pengetahuan menganai strategi. Menurut Pressley (Pressley 2003, dalam santrock 2011: 200) kunci dari pendidikan aalah adalah membantu siswa mempelajari daftar strategi-strategi yang produktif yang dihasilkan dalam pemecahan masalah.
D. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
1. Konsep Pendidikan Multikultural
Feldman (2012: 224) mengutip pendapat antropolog terkenal Margaret Mead ( 1942) tentang pendidikan multikultural, “Dalam arti luas, pendidikan adalah proses budaya, cara di mana setiap bayi manusia yang baru lahir, lahir dengan potensi untuk belajar lebih besar dari mamalia lainnya, berubah menjadi anggota penuh dari kelompok tertentu manusia, berbagi dengan anggota lain dari budaya manusia yang spesifik”.
Pendidikan multikultural muncul dari gerakan hak-hak warga negara pada tahun 1960-an dan protes akan persamaan hak dan keadilan sosial bagi para wanita dan orang-orang dengan kulit berwarna. Sebagai sebuah bidang, pendidikan multikultural mencakup isu-isu yang berkaitan dengan status sosial ekonomi, etnisitas, dan gender. Oleh karena itu keadilan sosial merupakan salah satu nilai dasar bidang tersebut, maka pengurangan prasangka dan pedagogi keadilan merupakan komponen inti (Banks, 2001 dalam Santrock 2010 : 184).
Multikuralisme sebagai sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang lain penting kita pahami bersama dalam masyarakat yang multikultural. Jika tidak, masyarakat kita kemungkinan besar akan selalu terjadi konflik akibat ketidak saling pengertian dan pemahaman terhadap relitas multikultural tersebut. Sama dengan diskursus tentang perbedaan gender yang memunculkan paradigma ksetaraan gender, dalam diskursus multikulturalisme ini, sebetulnya juga ditekankan upaya untuk mewujudkan kesetaraan budaya.
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan dan mewadai beragam perspektif dari berbagai kelompok kultural (Santrock, 2010:184). Adapun tujuan pendidikan multikultural menurut Bennett (dalam Santrock, 2010: 184) pemerataan kesempatan bagi semua murid, ini termasuk mempersempit gab dalam prestasi akademik antara murid kelompok utama dengan kelompok minoritas.
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai keberagaman dan mencakup perspektif dari berbagai kelompok budaya, pemberdayaan yang terdiri dari memberikan orang-orang keterampilan intelektual dan keterampilan penanganan masalah untuk berhasil dan menjadikan dunia ini lebih adil, merupakan aspek penting dalam pendidikan multikultural pada saat ini. Pemberdayaan memberi siswa-siswa kesempatan mempelajari pengalaman, perjuangan, dan visi dari berbagai kelompok dari etnis dan budaya yang berlainan. Harapannya, pemberdayaan akan meningkatkan harga diri siswa-siswa minoritas, mengurangi perasangka, dan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih adil (Banks, 2001 dalam Santrock 2010 : 185)
2. Pendidikan Multikultural di Sekolah
Pengajaran yang relevan secara budaya merupakan aspek penting pendidikan multikultural (Gay, 2000; Irvine&Aremento, 2001 dalam Santrock 2010: 185). Pengajaran ini berusaha untuk berhubungan dengan latar belakang budaya pelajar (Pang, 2005 dalam Santrock, 2010: 186).
Para ahli pendidikan multikultural yakin bahwa guru yang baik sadar akan dan mengintegrasikan pengajaran yang relevan secara budaya ke dalam kurikulum karena hal ini menjadikan pengajaran yang efektif (Diaz, 2001 dalam Santrock, 2010: 186). Beberapa peneliti telah menemukan bahwa siswa-siswa dari beberapa kelompok etnis berperilaku dalam cara-cara yang menjadikan beberapa tugas pendidikan lebih sulit daripada yang lain. Sebagai contoh, Jackie Irvine (1990) dan Janice Hale-Benson (1982) mengamati bahwa siswa Afrika-Amerika seringkali ekspresif dan energik. Mereka mengkobinasikan, ketika siswa-siswa berperilaku seperti ini, seharusnya mereka diberi kesempatan untuk melakukan persentasi daripada selalu diharuskan mengerjkan ujian tertulis, hal ini ini mungkin merupakan strategi yang bagus. Para peneliti lain menemukan bahwa banyak siswa Asia-Amerika lebih menyukai proses belajar visual dibandingkan dengan teman sebaya Eropa- Amerika mereka (Litton, 1999, Park 1997 dalam Santrock, 2010: 186). Jadi, dengan siswa-siswa ini, guru mungkin lebih banyak menggunakan model tiga dimensi, organisator grafis, foto, grafik, dan tulisan di depan
Pendidikan yang berpusat pada isu juga merupakan aspek penting dalam pendidikan multikultural. Dalam pendekatan ini, siswa-siswa diajari sistematis memeriksa isu-isu yang melibatkan kewajaran dan keadilan sosial. Mereka tidak hanya mengklarifikasi nilai-nilainya, tetapi juga memberikan alternatif dan konsekuensi apabila mereka mengambil sikap tertentu terhadap sebuah isu. Pendidikan yang berpusat pada isu berhubungan erat dengan pendidikan moral (Santrock, 2010:186).
Pang (2001) mencontohkan situasi pendidikan moral sebagai berikut, terdapat kebijaksanaan makan siang di sekolah menengah atas siswa-siswa yang mengikuti program diberi tunjangan oleh pemerintah, dipaksa untuk menggunkan barisan khusus di kantin, yang “menjuluki” mereka miskin. Banyak siswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah ini merasa terhina dan malu, hingga mereka tidak makan siang. Siswa-siswa memberitahukan para guru akan apa yang terjadi pada mereka. Para guru dan siswa pun membuat rencana untuk mengatasi hal tersebut. Mereka mempersentasikan rencana tersebut ke distrik sekolah, yang merevisi kebijaksanaan barisan makan siang di sepuluh sekolah menengah atas yang terpengaruhi olehnya (Santrock, 2010: 187)
****
Daftar Pustaka :
Feldman,R.S. (2012). Discovering The Life-Span. 2’th edition. New York: Pearson
Feldman,R.S. (2012). Pengantar psikologi. Buku 1 Edisi 10. Jakarata: Salemba Humanika
Nurihsan, A.J dan Agustin.M. (2013). Dinamika perkembangang manusia:Tinjauan Psikologi, pendidkan, dan bimgingan. Bandung: refika Aditama
Papalia, Olds dan Feldman. (2009). Human Development. Perkembangan manusia. Buku 1 Edisi 10. Jakarta: Salemba Humanika
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak. Jilid 1 Edisi 11. Jakarta: Erlangga
Santrock, J.W. (2010). Psikologi pendidikan. Edisi kedua. Jakarta: Kencana prenada media group
Santrock, J.W. (2011). Masa Perkembangan Anak. Buku 2 Edisi 11. Jakarta: Salemba Humanika
Shaffer, R.D. and Kipp, K. (2010) Developmental Psychology: Childhood and Adolescence. United kindom : Wadsworth Cangage Learning.

You May Also Like

0 komentar