­

PERNIKAHAN DINI

by - 10:32 PM


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan usia dini masih banyak dijumpai di negara berkembang termasuk Indonesia. Sampai saat ini, makin sering kita dengar fenomena pernikahan usia dini tidak hanya di kalangan masyarakat adat tetapi telah merambah pelajar sekolah yang semestinya fokus menuntut ilmu dan mengembangkan bakat.
Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa pernikahan di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul.
Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali (Ahdim, 2002).
Pernikahan dini melanggar hak anak, terutama anak perempuan. Anak perempuan, sebagai pihak yang paling rentan menjadi korban dalam kasus pernikahan dini, juga mengalami sejumlah dampak buruk.
B.     Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian pernikahan dini ?
2.      Apa saja sebab-sebab pernikahan dini ?
3.      Bagaimana dampak pernikahan dini ?
4.      Bagaimana upaya menyikapi atau mencegah terjadinya  pernikahan dini ?

C.    Tujuan Penulisan Makalah

Untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini dan bagaimana dampak dari pernikahan dini tersebut serta cara mengatasi atau mencegah terjadinya pernikahan dini.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pernikahan Dini

Menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, Pernikahan Dini merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya.
               Pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan instituisi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berpikir serta bertindak, namun bukan pula orang dewasa yang telah matang (Zakiah Daradjat, 2004).
Pernikahan dini yaitu merupakan intitusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga (Lutfiati, 2008).
Pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan (Nukman, 2009).



B.     Sebab – Sebab Pernikahan Dini  

Ada dua faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebab dari anak dan dari luar anak.
1.      Sebab dari Anak
a.       Faktor Pendidikan
Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.
Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.
b.      Faktor telah melakukan hubungan biologis
Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.
Tanpa mengenyampingkan perasaan orang tua, hal ini sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anak. Ibarat anak sudah melakukan suatu kesalahan yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa anak pada suatu kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian hari perkawinan anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.
2.      Sebab dari luar Anak
a.       Faktor Pemahaman Agama
Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.
b.      Faktor ekonomi
Kita masih banyak menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang sudah tidak mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis, maka anak gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada si piutang. Dan setelah anak tersebut dikawini, maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang tua si anak.
c.       Faktor adat dan budaya.
Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU (Ahmad, 2009).

C.    Dampak Pernikahan Dini

1.      Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 undang-undang di negara kita yaitu:
a.       UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
b.      UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 (a.) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; (b.) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya dan; (c.) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
c.       UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO patut ditengarai adanya penjualan /pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.

Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis dari Beijing Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan.
2.      Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
Dokter Deradjat Mucharram Sastraikarta Sp OG yang meupakan spesialis obseteri dan ginekologi mengatakan, pernikahan pada anak perempuan berusia 9-12 tahun sangat tak lazim dan tidak pada tempatnya. ”Apa alasan ia menikah? Sebaiknya jangan dulu berhubungan seks hingga anak itu matang fisik maupun psikologis”. Kematangan fisik seorang anak tidak sama dengan kematangan psikologisnya sehingga meskipun anak tersebut memiliki badan bongsor dan sudah menstruasi, secara mental ia belum siap untuk berhubungan seks.
Ia memanbahkan, kehamilan bisa saja terjadi pada anak usia 12 tahun. Namun psikologisnya belum siap untuk mengandung dan melahirkan. Jika dilihat dari tinggi badan, wanita yang memiliki tinggi dibawah 150 cm kemungkinan akan berpengaruh pada bayi yang dikandungnya. Posisi bayi tidak akan lurus di dalam perut ibunya. Sel telur yang dimiliki anak juga diperkirakan belum matang dan belum berkualitas sehingga bisa terjadi kelainan kromosom pada bayi.
3.      Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
Menurut Rudangta Ariani Sembiring Psi. yang merupakan seorang psikolog dibidang psikologi anak mengatakan, “sebenarnya banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap untuk menghadapi tanggungjawab yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalan baik ekonami, pasangan, maupun anak”.
Ia menambahkan, “Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan permasalan secara matang. kematangan psikologis tidak ditentukan batasan usia, karena ada juga yang sudah berumur tapi masih seperti anak kecil. Atau ada juga yang masih muda tapi pikirannya sudah dewasa”. Kondisi kematangan psikologis ibu menjadi hal utama karena sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak di kemudian hari. “Yang namanya mendidik anak itu perlu pendewasaan diri untuk dapat memahami anak. Karena kalau masih kekanak-kanakan, maka mana bisa sang ibu mengayomi anaknya. Yang ada hanya akan merasa terbebani karena satu sisi masih ingin menikmati masa muda dan di sisi lain dia harus mengurusi keluarganya”.
4.      Dampak sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.


5.      Dampak kesehatan
Tanpa kita sadari ada banyak dampak dari pernikahan dini. Ada yang berdampak bagi kesehatan, adapula yang berdampak bagi psikis dan kehidupan keluarga remaja.
a.       Kanker leher rahim
Perempuan yang menikah dibawah umur 20 th beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker.
Leher rahim ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari kankes. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil.
Gejala awal perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal serta perdarahan setelah senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher rahim bisa diatasi secara total. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.
b.      Neoritis deperesi
Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.
“Dalam pernikahan dini sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada situasi normal. Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi daripada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 persen. Kalau berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy, apalagi kalau keduanya berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan.
Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasar emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tak terjadi married by accident (MBA) atau menikah karena “kecelakaan”, kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja.

D.    Upaya Menyikapi atau Mencegah Terjadinya  Pernikahan Dini

Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang-undang terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko-resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar  mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak-anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak. 



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Ada berbagai penyebab pernikahan dini. Contohnya adalah karena hamil di luar nikah (kecelakaan), ingin menghindari dosa (seks bebas), dan ada juga karena paksaan orang tua. Pernikahan dini diperbolehkan dalam agama. Hal itu karena apabila si remaja tidak bisa menahan nafsu, jadi lebih baik dia menikah.
Ada berbagai dampak yang disebabkan oleh pernikahan dini, yaitu kanker leher rahim, neoritis depresi, dan konflik yang berujung pisah rumah bahkan perceraian. Kanker leher rahim yang menyerang remaja putri setelah pernikahan dini karena pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang.
Pada dasarnya, rumah tangga dibangun atas komitmen bersama dan merupakan pertemuan dua pribadi berbeda. Namun, hal ini sulit dilakukan pada pernikahan usia remaja. Hal tersebut memacu terjadinya konflik yang bisa berakibat pisah rumah, atau bahkan perceraian. Itu semua karena emosi remaja masih labil. Terkadang masalah-masalah rumah tangga juga bisa menyebabkan neoritis depresi.



B.     Saran

Untuk itu diharapkan kepada pembaca maupun penulis agar berpikir lagi sebelum melakukan pernikahan dini. Walaupun pernikahan dini bukanlah sebuah masalah, karena pernikahan dini sudah menjadi kebiasaan. Tetapi, dalam konsep perkembangan, pernikahan dini akan membawa masalah psikologis maupun biologis yang besar dikemudian hari karena, Kematangan emosi dan alat reproduksi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan.



DAFTAR PUSTAKA

Adhim, Muhammad Fauzil. 2002. Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: PT Lingkar Pena.
Sarwono, Sarlito Wirawan.1983. Bagai­mana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja?. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.
Syakur, Abdus. 2009. Undang-Undang Dasar 1945 Lengkap. Surabaya: Indah Surabaya
Stewart, Clarke & Koch. ... . Children Development Through. ... : ...

You May Also Like

0 komentar