PERNIKAHAN DINI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pernikahan usia dini
masih banyak dijumpai di negara berkembang termasuk Indonesia. Sampai saat ini,
makin sering kita dengar fenomena pernikahan usia dini tidak hanya di kalangan
masyarakat adat tetapi telah merambah pelajar sekolah yang semestinya fokus
menuntut ilmu dan mengembangkan bakat.
Dari sisi psikologis,
memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa pernikahan di usia muda
akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena kekurangsiapan
mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul.
Sebetulnya,
kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial
bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah
penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama
untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa
menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak
terkendali (Ahdim, 2002).
Pernikahan dini melanggar
hak anak, terutama anak
perempuan. Anak perempuan, sebagai pihak yang paling rentan menjadi korban
dalam kasus pernikahan dini, juga mengalami sejumlah dampak buruk.
B. Perumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian
pernikahan dini ?
2.
Apa saja sebab-sebab
pernikahan dini ?
3.
Bagaimana dampak
pernikahan dini ?
4. Bagaimana
upaya menyikapi atau mencegah terjadinya
pernikahan dini ?
C. Tujuan Penulisan
Makalah
Untuk
mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini dan
bagaimana dampak dari pernikahan dini tersebut serta cara mengatasi atau
mencegah terjadinya pernikahan dini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Dini
Menurut Prof. Dr.
Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, Pernikahan Dini
merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat
kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya.
Pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan instituisi agung untuk
mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga.
Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa
anak-anak ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat di
segala bidang. Mereka bukan lagi anak, baik bentuk badan, sikap dan cara
berpikir serta bertindak, namun bukan pula orang dewasa yang telah matang
(Zakiah Daradjat, 2004).
Pernikahan dini yaitu
merupakan intitusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja
dalam satu ikatan keluarga (Lutfiati, 2008).
Pernikahan dini adalah
pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan
pernikahan (Nukman, 2009).
B. Sebab – Sebab
Pernikahan Dini
Ada dua faktor penyebab
terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebab dari anak dan dari
luar anak.
1. Sebab dari Anak
a.
Faktor Pendidikan
Peran pendidikan
anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah
pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak
tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi
diri sendiri.
Hal yang sama juga jika
anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa
pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah
satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol
membuat kehamilan di luar nikah.
b.
Faktor telah melakukan
hubungan biologis
Ada beberapa kasus,
diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis
layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan
cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini,
bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.
Tanpa mengenyampingkan perasaan orang
tua, hal ini sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan
anak-anak. Ibarat anak sudah melakukan suatu kesalahan yang besar, bukan
memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa anak pada suatu
kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian hari
perkawinan anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.
2. Sebab dari luar Anak
a.
Faktor Pemahaman Agama
Ada sebagian dari
masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan
jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi
dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.
b.
Faktor ekonomi
Kita masih banyak
menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang sudah tidak mampu
dibayarkan. Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak
gadis, maka anak gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran”
kepada si piutang. Dan setelah anak tersebut dikawini, maka lunaslah
hutang-hutang yang melilit orang tua si anak.
c.
Faktor adat dan budaya.
Di beberapa belahan
daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan.
Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera
dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal
umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat
dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah
batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU (Ahmad, 2009).
C. Dampak Pernikahan Dini
1. Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3
undang-undang di negara kita yaitu:
a. UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun Pasal 6
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
b. UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 26 (a.) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; (b.) menumbuh
kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya dan; (c.) mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
c. UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO
patut ditengarai adanya penjualan /pemindah tanganan antara kyai dan orang tua
anak yang mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.
Amanat
Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap
memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari
perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.Sungguh disayangkan apabila
ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut. Pemahaman tentang
undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari perbuatan
salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis dari
Beijing Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan.
2.
Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat
reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk
melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil
kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang
luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan
jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar
kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan
seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
Dokter Deradjat Mucharram
Sastraikarta Sp OG yang meupakan spesialis obseteri dan ginekologi mengatakan,
pernikahan pada anak perempuan berusia 9-12 tahun sangat tak lazim dan tidak
pada tempatnya. ”Apa alasan ia menikah? Sebaiknya jangan dulu berhubungan seks
hingga anak itu matang fisik maupun psikologis”. Kematangan fisik seorang anak
tidak sama dengan kematangan psikologisnya sehingga meskipun anak tersebut
memiliki badan bongsor dan sudah menstruasi, secara mental ia belum siap untuk
berhubungan seks.
Ia memanbahkan, kehamilan bisa saja
terjadi pada anak usia 12 tahun. Namun psikologisnya belum siap untuk
mengandung dan melahirkan. Jika dilihat dari tinggi badan, wanita yang memiliki
tinggi dibawah 150 cm kemungkinan akan berpengaruh pada bayi yang dikandungnya.
Posisi bayi tidak akan lurus di dalam perut ibunya. Sel telur yang dimiliki
anak juga diperkirakan belum matang dan belum berkualitas sehingga bisa terjadi
kelainan kromosom pada bayi.
3.
Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap
dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis
berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan
menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak
mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan
menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain
dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri
anak.
Menurut Rudangta Ariani Sembiring
Psi. yang merupakan seorang psikolog dibidang psikologi anak mengatakan, “sebenarnya
banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap
untuk menghadapi tanggungjawab yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal
kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk
menghadapi permasalahan-permasalan baik ekonami, pasangan, maupun anak”.
Ia menambahkan, “Sementara itu
mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan permasalan
secara matang. kematangan psikologis tidak ditentukan batasan usia, karena ada
juga yang sudah berumur tapi masih seperti anak kecil. Atau ada juga yang masih
muda tapi pikirannya sudah dewasa”. Kondisi kematangan psikologis ibu menjadi
hal utama karena sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak di kemudian hari. “Yang
namanya mendidik anak itu perlu pendewasaan diri untuk dapat memahami anak.
Karena kalau masih kekanak-kanakan, maka mana bisa sang ibu mengayomi anaknya.
Yang ada hanya akan merasa terbebani karena satu sisi masih ingin menikmati
masa muda dan di sisi lain dia harus mengurusi keluarganya”.
4.
Dampak sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan
faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang
menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks
laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun
termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin).
Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan
melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
5.
Dampak kesehatan
Tanpa kita sadari ada banyak dampak
dari pernikahan dini. Ada yang berdampak bagi kesehatan, adapula yang berdampak
bagi psikis dan kehidupan keluarga remaja.
a. Kanker leher rahim
Perempuan yang menikah dibawah umur
20 th beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher
rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan
sel akan menyimpang menjadi kanker.
Leher rahim ada dua lapis epitel,
epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan kedua epitel terjadi
pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel kolumner akan berubah
menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia. Kalau ada HPV
menempel, perubahan menyimpang menjadi displasia yang merupakan awal dari
kankes. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga
resiko makin kecil.
Gejala awal perlu diwaspadai,
keputihan yang berbau, gatal serta perdarahan setelah senggama. Jika diketahui
pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher rahim bisa diatasi secara
total. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes
Papsmear 2-3 tahun sekali.
b. Neoritis deperesi
Depresi berat atau neoritis depresi
akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda.
Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari
pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang
schizoprenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang
depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja
terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang
piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua
bentuk depresi sama-sama berbahaya.
“Dalam pernikahan dini sulit
membedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah
mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada
situasi normal. Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi
daripada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang mulai
menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak, berubah 100 persen.
Kalau berdua tanpa anak, mereka masih bisa enjoy, apalagi kalau keduanya
berasal dari keluarga cukup mampu, keduanya masih bisa menikmati masa remaja
dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan.
Usia masih terlalu muda, banyak
keputusan yang diambil berdasar emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang
membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tak terjadi married by
accident (MBA) atau menikah karena “kecelakaan”, kehidupan pernikahan
pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja
tersebut jangan dilepas begitu saja.
D.
Upaya Menyikapi atau Mencegah Terjadinya Pernikahan Dini
Pemerintah harus berkomitmen serius
dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur
sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur
berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah
harus semakin giat mensosialisasikan undang-undang terkait pernikahan anak di
bawah umur beserta sanksi-sanksi bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan
resiko-resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur
kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar
bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus
dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur dirasa akan semakin
maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan
pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara
pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah
terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya di harapkan tidak
akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak-anak
Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada berbagai penyebab
pernikahan dini. Contohnya adalah karena hamil di luar nikah (kecelakaan),
ingin menghindari dosa (seks bebas), dan ada juga karena paksaan orang tua.
Pernikahan dini diperbolehkan dalam agama. Hal itu karena apabila si remaja
tidak bisa menahan nafsu, jadi lebih baik dia menikah.
Ada berbagai dampak
yang disebabkan oleh pernikahan dini, yaitu kanker leher rahim, neoritis
depresi, dan konflik yang berujung pisah rumah bahkan perceraian. Kanker leher
rahim yang menyerang remaja putri setelah pernikahan dini karena pada usia
remaja, sel-sel leher rahim belum matang.
Pada dasarnya, rumah
tangga dibangun atas komitmen bersama dan merupakan pertemuan dua pribadi
berbeda. Namun, hal ini sulit dilakukan pada pernikahan usia remaja. Hal
tersebut memacu terjadinya konflik yang bisa berakibat pisah rumah, atau bahkan
perceraian. Itu semua karena emosi remaja masih labil. Terkadang
masalah-masalah rumah tangga juga bisa menyebabkan neoritis depresi.
B. Saran
Untuk itu
diharapkan kepada pembaca maupun penulis agar berpikir lagi sebelum melakukan
pernikahan dini. Walaupun pernikahan dini bukanlah sebuah masalah, karena
pernikahan dini sudah menjadi kebiasaan. Tetapi, dalam konsep perkembangan,
pernikahan dini akan membawa masalah psikologis maupun biologis yang besar
dikemudian hari karena, Kematangan emosi dan alat
reproduksi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan
perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Adhim, Muhammad Fauzil. 2002. Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: PT
Lingkar Pena.
Sarwono, Sarlito Wirawan.1983. Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan
Remaja?. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.
Syakur, Abdus. 2009. Undang-Undang Dasar 1945 Lengkap. Surabaya:
Indah Surabaya
Stewart, Clarke & Koch. ... . Children Development Through. ... : ...
0 komentar