AJARAN PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA (TAMANSISWA)
PENDAHULUAN
Ki Hadjar
Dewantara (KHD) mendirikan Perguruan Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922. Pada
awalnya pendidikan yang diselenggarakan Perguruan Tamansiswa adalah Taman
Indria (TK), berikutnya Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Guru (SPG),
Taman Karya (SMK), dan Taman Madya (SMA). Tiga puluh tiga tahun kemudian,
tanggal 15 November 1955 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Prasarjana yang
kemudian menjadi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
ISI
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
(UST) berdiri tahun 1955 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas
ini memiliki komitmen dalam pengembangan Tri Darma Perguruan Tinggi dan
mengembangkan ajaran Kemandirian, Kemerdekaan dan Kebangsaan sesuai cita-cita
pendiri UST yaitu Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara.
Ki
Hadjar Dewantara (KHD) mendirikan Perguruan Tamansiswa pada pada tanggal 3 Juli
1922. Pada awalnya pendidikan yang diselenggarakan Perguruan Tamansiswa adalah Taman
Indria (TK), berikutnya Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Guru (SPG),
Taman Karya (SMK), dan Taman Madya (SMA). Tiga puluh tiga tahun kemudian,
tanggal 15 November 1955 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Prasarjana yang
kemudian menjadi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Daftar isi
1 Fakultas
1.1 Pascasarjana
1.2 Ekonomi
1.3 Pendidikan
1.4 Pertanian
1.5 Psikologi
1.6 Teknik
Fakultas
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
(UST) Yogyakarta memiliki 6 fakultas yang ada di lingkungan UST.
Fakultas-fakultas yang ada adalah Fakultas Pascasarjana, Fakultas Ekonomi (FE),
Fakultas Psikologi (F Psi), Fakultas Teknik (FT), Fakultas Pertanian (FP), dan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan 19 Program Studi di dalamnya.
Pascasarjana
Fakultas
Pascasarjana memiliki 4 program studi yaitu,
-
Program Studi Magister Manajemen,
-
Program Studi Magister Manajemen Pendidikan,
-
Program Studi Magister Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan dan
-
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa
Inggris.
Ekonomi
Fakultas
Ekonomi memiliki dua program studi yaitu
-
Program Studi Akuntansi - S1,
-
Program Studi Manajemen Perusahaan - S1,
-
Program Studi Akuntansi - D3
Pendidikan
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan memiliki tujuh program Studi terdiri dari
-
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(PBSI) - S1,
-
Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) - S1,
-
Pendidikan Seni Rupa (PSR) - S1,
-
Pendidikan Matematika (PM) - S1,
-
Pendidikan Fisika (PF) - S1,
-
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
- S1,
-
Pendidikan Teknik Mesin /Otomotif (PTM) - S1,
-
Pendidikan Guru Sekolah Dasar - S1,
-
Pendidikan IPA - S1
Pertanian
Fakultas
Pertanian memiliki dua program studi terdiri dari
-
Program Studi Agronomi - S1 dan
-
Program Studi Agribisnis - S1
Psikologi
Fakultas
Psikologi memiliki satu program studi yaitu
-
Program Studi Psikologi - S1
Teknik
Fakultas
Teknik memiliki dua program studi terdiri dari
-
Program Studi Teknik Sipil - S1 dan
-
Program Studi Teknik Industri - S1
Ø Taman
Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa (SD/Sekolah Dasar) (Yogyakarta)
Indonesia / Yogyakarta
/ Yogyakarta / Jalan Tamansiswa, 25
sekolah
Taman Muda adalah sekolah dasar pertama
yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara seorang pahlawan nasional pd tahun
1922. Ibu Pawiyatan merujuk lokasinya berada di pusat Tamansiswa yaitu
Yogyakarta. Alumninya sudah tersebar di seluruh Indonesia, dari sekitar 200
cabang Tamansiswa yang ada. Ajaran KHD yang saat ini hampir dilupakan, bisa
jadi merupakan solusi yang cemerlang bagi arah pendidikan nasional asli
Indonesia. Kemajuan intelektual secara semesta sbg pokok ajaran tri pusat
pendidikan dg kecerdasan budaya lokal sbg panduan pendidikan budi pekerti
luhur. (by L.H.K)
Ø 306
Pengaruh Ajaran Tamansiswa Terhadap Pendidikan Indonesia
Long Life Education, kalimat yang telah
kita kenal sejak dulu sampai saat ini, apalagi bagi pemerhati pendidikan.
Pendidikan sepanjang hayat, itulah arti bebas dari kalimat tersebut. Pentingnya
pendidikan dalam hidup dan kehidupan manusia telah menjadikannya salah satu
kebutuhan pokok manusia. Manusia yang tak mempunyai pendidikan bagaikan makhluk
yang raganya saja seperti manusia yang sudah meninggal (tidak berguna).
Beberapa ajaran agama juga mewajibkan manusia untuk mengenyam pendidikan
setinggi-tingginya, bahkan dikatakan oleh nabi SAW “tuntutlah ilmu mulai dari
ayunan sampai ke liang lahat.” dan juga “tuntulah ilmu walaupun sampai ke
negeri cina” Lebih dari itu, kini telah dipercaya bahwa bayi dalam kandungan
ibunya mampu untuk berinteraksi dengan alunan suara syahdu di luar kandungan.
Kita
tidak boleh lupa bahwa pendidikan bukan hanya kejadian sekali saja bagi
seseorang yang berusia dibawah 18 tahun. Konsensus baru harus didasarkan pada
akses yang luas terhadap pendidikan tinggi dan peluang berkesinambungan bagi
setiap orang dewasa untuk belajar sepanjang hayat (Mantan P.M . Tony Blair,
dikutib dari Nicholl;14- 2002).
Pentingnya
pendidikan tidak hanya untuk disuarakan dan disyiarkan melalui kalimat dan
jargon, namun perlu langkah nyata dalam kehidupan kita. Realisasi keberadaan
anasir-anasir pendukung terhadap tercapainya suatu tuntutan terhadap pentingnya
pendidikan harus segera dilakukan. Kebijakan-kebijakan dalam sistem pendidikan
harus memenuhi unsur aktualitas dan berdaya guna. Konsep pendidikan sepanjang
hayat menjadi panduan dalam meninggikan harkat dan martabat manusia dengan
pendidikan, termasuk manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini tak boleh
tertinggal dengan bangsa lainnya di dunia, oleh karena itu pendidikan sejak
dini harus ditanamkan kepada mereka.
Tujuan terpenting pendidikan adalah
belajar bagaimana belajar (Luis Alberto Machado, Ph.D dikutib dari Nicholl;35-
2002). Dalam
kontek keindonesiaan dimana pendidikan di Indonesia pernah mencapai masa
keemasan dimasa kerajaan Sriwijaya, kerajaan Mojopahit dimana pada masa
tersebut menjadi pusat pendidikan Hindu-Budha, di Zaman kerjaaan Samudera Pasai
menjadi pusat pendidikan islam nusantara, bukan kah ini sebuah kebanggaan bagi
bangsa yang pernah menjadi pusat budaya yang memanusiakan manusia sebagai
akibat dari tingginya ilmu pengetahuan pada masanya.Pada masa prakemerdekaan Ki
Hajar Dewanatara ingin mengembalikan pendidikan yang menjadi satu-satunya cara
agar Indonesia meraih kemerdekaannya, sehingga bangsa ini tidak dijajah oleh
pihak manapun yang ingin meraih keuntungan dibalik kebodohan bangsa. RM.
Suwardi Suryaningrat rela melepas status kebangsawananya menjadi Ki Hajar
Dewantara agar lebih merakyat dan sukses merubah kehidupan berbangsanya dalam
waktu cukup singkat kurang lebih 23 tahun (1922-1945), kalau kita masih ingat
perjuangan Ki Hajar hampir sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW yang selama
23 tahun berhasil merubah kehidupan bangsa arab dari kejahiliyahan ke bangsa
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (Islam).
Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai
bapak pendidikan nasional sekaligus pendiri perguruan Tamansiswa ini pada
tanggal 3 juli 1922, telah melakukan terobosan baru dalam perjuangan berbangsa
dan bernegara yang sebenarnya jauh dari apa yang seharusnya dilakukan oleh
banyak orang pada umumnya pada saat itu, beliau telah menanamkan jiwa merdeka
dan membangkitkan jiwa nasionalisme pada setiap warga bangsa Indonesia. Oleh
sebab itu, apapun yang dilakukan oleh suatu bangsa, termasuk di dalamnya upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, hendaknyalah bermuara pada
upaya menanamkan jiwa merdeka dan nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara.
Merupakan suatu hal yang mustahil, apabila kita berupaya merengkuh kemerdekaan
yang hakiki, namun didalam diri kita tidak terdapat jiwa merdeka dan
nasionalisme yang tinggi. Dan terbukti pada tanggal 28 Oktober 1928 lahirlah
“sumpah pemuda” 6 tahun setelah berdirinya Tamansiswa, para pemuda bersatu
untuk meraih kemerdekaan dengan perjuangan baru yang menyatukan perbedaan
dengan satu tujuan “Kemerdekaan” dan diraihlah kemerdekaan itu pada tanggal 17
Agustus 1945.
Ki
Hajar Dewantara dengan Tamansiswanya telah menyerukan bangsa Indonesia kembali
kepada kepribadian nasionalnya. Supaya bangsa Indonesia menempuh jalan
kehidupan menurut garis hidupnya. Kembali
kepada kepribadian nasionalnya berarti kembali kepada garis hidupnya,
menurut kodrat alamnya. Dengan jalan nasional orang akan lebih cepat maju dari
pada hanya menjadi peniru hidup orang asing yang melambatkan kemajuan itu.
Dengan berani dan mau menerima alat dan teknik dari orang dan bangsa lain,
dengan cara dan jiwa kepribadian sendiri, suatu bangsa akan lebih cepat maju.
Pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan garis-garis bangsanya (national-culture) dan ditujukan untuk
keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya,
sehingga mempunyai kedudukan dan pantas bekerja sama dengan negeri lain, demi
tercapainya kemuliaan manusia diseluruh dunia.Pendidikan di sekolah/kampus
merupakan salah satu upaya menanamkan jiwa merdeka , disamping pendidikan
pendidikan keluarga dan pendidikan dalam lingkungan pergaulan (masyarakat).
Untuk mampu menanamkan jiwa merdeka, maka aspek-aspek kemanusiaan peserta didik
hendaknyalah digarap sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya mencapai
keserasian, keseimbangan dan keselarasan (harmoni) antara pengembangan aspek
jasmani dan rohani, dimana dalam aspek rohani terkandung didalamnya kemampuan
cipta, rasa dan karsa. Dengan demikian, maka intelektualisme akademik yang
semata-mata memacu kemampuan kognitif adalah mengingkari tujuan terbentuknya
jiwa merdeka.
Menurut Sudarto (2008;71) dengan trilogi
pendidikan yang menjadi prinsip dasar dalam pendidikan Tamansiswa yang berbunyi
“ Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.Dalam
trilogi pendidikan tersebut, seorang guru harus mempunyai perilaku konsisten
dan konsekuen, jujur , adil, bertanggung jawab, bersatunya kata dan perbuatan
(menjadi teladan), bersedia berada paling depan pada saat menghadapi kesulitan
dan berada paling belakang (menikmati paling akhir) ketika menghadapi
kesenangan sehingga dapat memberi pengaruh baik kepada anak didiknya. Guru harus mampu membangkitkan motivasi
(memberdayakan) sekaligus pandai “mengemong”,serta memberikan ketentraman lahir
dan batin bagi anak didiknya.Nilai-nilai budaya luhur Indonesia yang telah
ditarapkan di Tamansiswa haruslah (menasional) menjadi ciri khas pendidikan
Indonesia bukan sebatas komersialisasi pendidikan yang terjadi selama ini yang
banyak di pengaruhi oleh politik kekuasaan. Kalau pendidikan sudah masuk dalam
dunia politik kekuasaan maka tunggulah masa kehancuran pendidikan. Dalam hal
pendidikan kebudayaan ditamansiswa ada Trikon (kontinuita, konvergensi dan
konsentrisita) yang seharusnya lebih menasional sehingga hasil didikan di
sekolah/kampus menghasil intelektual yang punya jiwa merdeka dan nasionalis
serta berdaya dan berbudaya.
Pendidikan harus diperbaharui (Charles
Handy dikutib dari Nicholl;16- 2002). Melalui
sistem among, Tamansiswa meletakkan
pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna
bagi masyarakat dimana pengajaran bagi
Tamansiswa berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka
batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru/ pamong jangan hanya
memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik
anak/murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal
keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang bermanfaat untuk
keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama. Seperti yang pernah di ungkapkan
oleh Ki Hajar “Manusia jangan kalah sama cecak, walaupun cecak tak pernah
sekolah, toh tidak pernah jadi penganggur”. Hal ini berarti bahwa setiap orang perlu
mengembangkan keterampilan yang menjadikan dirinya benar-benar siap dan dapat
bekerja menjadi orang-orang ‘MERDEKA’ (yang tidak tergantung pada orang lain)
secara ekonomi. Menjadi ‘PENGUASA’ keadaan dan lingkungan, bukannya menjadi
korban keadaan dan lingkungan. Menguasai perubahan ketimbang melawannya.Abad
prestasi berada dalam genggaman kita-tetapi tergantung pada ETIKA Pendidikan
(Mantan PM. Tony Blair, dikutib dari Nicholl;325- 2002). Sistem pendidikan sekarang yang
dipengaruhi oleh kekuasan politik membuat pendidikan Indonesia amburadul dan
keluar dari national-cultur dan faham trilogi pendidikan yang menjadi prinsip
dasar pendidikan Tamansiswa dan nasional. Sehingga Ketika sebuah negara seperti
Indonesia sedang terpuruk, hampir semua sepakat untuk menyoroti pendidikan
sebagai salah satu biang keladi utama. Tapi, apakah semua sudah sepakat dan
sepaham tentang apa itu Pendidikan? Apakah Pendidikan itu sama seperti
ketrampilan atau keahlian di sebuah bidang tertentu? Apakah Pendidikan itu
berarti paham pemikiran logika dan sistematis, yang hanya mengandalkan fungsi
otak kiri saja? Apakah pendidikan hanyalah sebuah sarana untuk mendapatkan
Ijazah formal dan pekerjaan agar dapat membiayai diri sendiri (dan keluarga)
untuk hidup layak?
Di Indonesia, masalah pendidikan sudah
sangat pelik. Memang, komitmen politik pemerintah untuk memenuhi anggaran
pendidikan minimal 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
sesuai amanat Undang-Undang Dasar, tapi sampainya di daerah tidak demikian
(masih banyak pemotongan), sampai ditudingnya Departemen Pendidikan sebagai
salah satu sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas sekolah dan mahalnya
biaya pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang hampir roboh
dimakan usia atau korupsi. Adanya dana BOS tidak menjamin semua anak Indonesia
bisa mengenyam pendidikan, hal ini bisa dilihat di desa dan di sudut sudut kota
masih banyak putra-putri Indonesia yang tidak bersekolah. Dari sistem
perekrutan tenaga pengajar (CPNS) yang disisipi sogok menyogok, bukan pada
profesionalitas pengajar dan pengabdian dalam mendidik. Pendidikan yang
disisipi indoktrinasi pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan
sekedar transfer ilmu pengetahuan semata. Hal ini, terjadi hampir di seluruh
Indonesia. Jadi apakah pendidikan itu?
Sistem pendidikan seperti apakah yang cocok diterapkan di Indonesia ini?. Pendidikan bukanlah (hanya) transfer of
knowledge, ada sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa,
peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika dan intelektual, pada
keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya 4%. Porsi terbesar untuk
mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak kanan yang berkaitan dengan
kreativitas dan inovasi. Dan itu telah diterapkan dalam pendidikan Tamansiswa
dengan sistem amongnya dan menjadi prinsip dasar pendidikan di Indonesia. Seorang manusia yang berpikir dan
mengetahui cara berpikir selalu dapat mengalahkan sepuluh orang yang tidak
berpikir dan tidak mengetahui cara berpikir, (George Bernard Shaw dikutib dari
Nicholl; 53- 2002). Sayangnya,
pola pendidikan yang dapat membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan
di Indonesia akibat dari pendidikan yang dipolitisir oleh para penguasa. Oleh
karena itu, pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang
menjadi manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan. Padahal, untuk bisa
membangun suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya
berintelektual tinggi, tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi. Selain
itu, bangsa Indonesia pun memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi
untuk dapat menghadapi segala persoalan dengan tepat. Keseimbangan antara
fungsi otak kiri dan otak kanan sangat ditentukan oleh pola pendidikan jenis
apakah yang diterima seorang murid.
Pendidikan adalah sesuatu yang tersisa
setelah melupakan semua yang telah dipelajari di sekolah. (Albert Einstien). Tapi pola pendidikan ideal seperti ini
sangat langka di Indonesia yang cenderung lebih mengarah pada transfer of
knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang anak didik menjadi
manusia yang mengenal dirinya sendiri dan peka terhadap apa yang terjadi dengan
lingkungan sekitar dirinya. Pendidikan
bukanlah indoktrinisasi pemahaman, Di Indonesia banyak sekali lembaga
pendidikan yang didirikan oleh lembaga-lembaga agama dengan tujuan secara
langsung maupun tidak langsung untuk menanamkan doktrin-doktrin agama dalam
benak anak didik dari usia muda. Hal ini patut disesalkan karena dikhawatirkan
kelak anak-anak tersebut tidak mampu mengapresiasi keberagaman yang diciptakan
oleh Tuhan di dunia ini. Diperparah pula oleh timbulnya perda-perda syariat
yang seakan melegalisir pemisahan bagi para siswa di sekolah. Dan, hasilnya
adalah konflik antar agama, konflik horisontal antar kelompok masyarakat hanya
karena berbeda dengan dirinya. Perbedaan yang semestinya menjadi rahmat
keberagaman bagi umat manusia, malah menjadi kutukan dan penyebab perang di antara
umat manusia. Pendidikan
bukanlah hanya untuk orang kaya saja, Sekolah favorit selalu menjadi incaran
orangtua murid untuk menyekolahkan anaknya di sana. Kenapa? Karena dengan
bersekolah di sekolah favorit maka kemungkinan besar, sang murid akan mudah
mendapatkan pekerjaan yang layak di masyarakat dan menjadi kaya. Jadi apakah
kita berpendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? Bila
jawabannya tidak, tapi kenyataannya bahwa banyak sekolah-sekolah yang
menawarkan fasilitas dan kelas ketrampilan tambahan menjadi sekolah-sekolah
favorit walaupun bertarif sangat mahal. Dan, hanya orang-orang kaya saja yang
mampu menyekolahkan anak-anaknya di sana karena banyak juga perusahaan yang
hanya mau mempekerjakan para lulusan dari sekolah-sekolah favorit saja. Pola
pikiran seperti ini hanya menimbulkan ekses-ekses bahwa hanya orang kaya saja
yang mampu mendapatkan pendidikan. Jelas ini bertentangan dengan Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab, sila ke-2 dari Pancasila. Pendidikan
yang diterapkan disekolah maupun di kampus telah menimbulkan ketidakadilan bagi
pelajar itu sendiri karena kemerdekaannya dalam berpikir dan berkarya selalu di
kekang oleh sistem yang hanya melihat prestasi dari dari satu sisi sedangkan
sisi lain diabaikan, contohnya dalam hal UAN pemerintah hanya mengukur tingkat
kelulusan para siswa dari nilai ujian akhir padahal yang lebih tahu para siswa
lulus atau tidak lulus hanya guru disekolah tersebut yang bersama selama
beberapa tahun. Belum lagi dari sarana
dan prasarana harus dilihat, harus membedakan tingkat daya serap informasi
& teknologi serta pergaulan di kota dan pedalaman. .Sebaiknya UAN itu hanya
untuk mengukur tingkat prestasi para siswa secara nasional bukan mengukur
kelulusan. Sekolah kini
tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Guru menjadi agen pengawas,
penindas, merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadikan lembaga yang mematikan
bakat dan gairah anak untuk belajar. (Prof. Kurt Siregar). Dikampus banyak terjadi permasalahan
yang nota bene mahasiswa adalah tingkat advanced dimana para siswa bisa
menalaah atau menafsirkan dan mengembangkan pemahamannya tentang suatu teori.
Mereka seharusnya lebih ditekankan bagaimana cara mereka belajar bukan pada apa
yang mereka pelajari. Para
pelajar boleh jadi belajar dalam berbagai cara yang berbeda-tetapi satu hal
yang sama-sama mereka miliki adalah pendekatan aktif terhadap pembelajaran.
Mereka tidak pernah duduk dengan pasif mendengarkan atau membaca. Mereka
senantiasa bertanya kepada diri sendiri, serta selalu melakukan sesuatu untuk
meyakinkan diri bahwa mereka telah mendapatkan fakta-fakta dalam cara yang
sesuai dengan pilihan-pilihannya. Terserah bagaimana cara mereka memastikan
diri bahwa mereka sudah memperoleh informasi dengan cara mereka sendiri yang
paling mudah dalam memperoleh dan mengingatnya.
Melalui tindakan anda menciptakan
pendidikan anda sendiri. (David B. Ellis dikutib dari Nicholl;126- 2002). Jangan bikin aku berjalan ketika aku
ingin terbang.(Galena Dolva dikutib dari Nicholl;128- 2002). Sebuah contoh, Sistem pengajaran dan
penilaian para dosen di sebuah universitas dimana banyak penyimpangan dari
prinsip dasar pendidikan. Kepuasan mahasiswa dalam belajar di univesitas berkurang karena beberapa sebab,
antara lain mayoritas cara pengajaran yang membosankan sehingga hasilnya
mahasiswa tidak bisa menjawab soal waktu ujian, begitu juga dalam penilaian
kadangkala menggunakan sistem random sehingga membuat sebagian mahasiswa
menanyakan bagaimanakah cara penilaian dosen itu? “Kok, seperti ini nilaiku
padahal aku yakin jawabanku benar” ada juga kasus dimana sejumlah mahasiswa
sampai mengulang mata kuliah tertentu samapi 2-3 kali tapi nilainya sama bahkan
tambah buruk, padahal mereka mengulang hanya untuk memperbaiki nilai, bukankah
mengulang salah satu bentuk usaha? Dimana cara dosen menghargai usaha
mahasiswanya? Ada kasus lain dimana sejumlah mahasiswa mengumpulkan tugas mata
kuliah tertentu, tapi nilainya juga tidak memuaskan. Terus mahasiswa tersebut
berkata “Kok seperti ini cara menghargai karya mahasiswa? Padahal aku telah
berusaha dengan sebaik mungkin tapi nilainya??? Bukankah ini juga menyangkut
nama baik univesitas tersebut didunia
kerja nasional, kalau nilainya tidak meyakinkan untuk masuk dan diseleksi,
bagaimana bisa di terima jadi PNS atau pegawai lainnya? Dan pada akhir lulusan
universitas tersebut menjadi kerdil dan minder dalam menghadapi dunia kerja.
Padahal lulus dan segera mendapatkan kerja merupakan tujuan kami kuliah, kami
datang dari daerah yang jauh untuk memperbaiki daerah dan masa depan kami. Itu
semua merupakan sebuah pertanyaan besar bagi para calon pemimpin ini. Lebih-lebih pada zaman sekarang ada
pengaruh negatif yang diakibatkan oleh ProgramTelevisi (TV) yang tidak
mendidik. Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif
belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan
menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka
menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good. Celakanya, program-program TV negara ini dipenuhi
hal-hal berbau klenik, perdukunan, kekerasan, budaya instan, pola hidup
konsumtif, dll. Sehingga tidak mengherankan bila masyarakat kita mudah sekali
ditipu oleh sms-sms berhadiah karena ingin cepat kaya (budaya instan), oleh
iklan-iklan yang menimbulkan keinginan berbelanja barang-barang yang tidak
diperlukan (konsumtif), bertikai dengan kekerasan karena berbeda, dan mudah
dibodohkan oleh cerita-cerita gaib ilmu perdukunan maupun ramalan. Maka dari itu perlunya solusi yaitu
mengembalikan sistem pendidikan Indonesia ke aslinya yang berbasis budaya
Indonesia.dimana pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk
mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi
perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia
Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan
manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan
Nasional, “Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak
tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.”
Pendidikan itu bukan suatu pemaksaan.
Inilah yang paling menyentuh dan paling relevan dari pandangan Ki Hajar
Dewantara dalam alam demokrasi. Artinya jangan memaksakan dan mematikan perkembangan
alamiah anak didik. Akan tetapi, pendidikan harus bisa mengembangkan kemampuan
dan potensi yang ada pada anak didik. Oleh sebab itu, pendidikan dengan
pemaksaan harus diganti dengan pendidikan yang bersifat Among Sistem. Yakni
sistem yang memerdekakan pikiran, semangat, dan kreativitas anak didik. Pada
zaman dulu kita melihat guru datang kepada murid untuk mengindoktrinasi. Jika
anak itu tidak menguasai pelajaran, ia mendapat hukuman. Kalau anak itu bisa
menjawab, ia memperoleh hadiah. Sistem seperti ini harus diganti, karena
dinilai tidak mendidik, tidak memerdekakan pikiran, semangat dan kreativitas
serta karya anak didiknya. Guru
wajib mengasuh anak didiknya, mengasah kodrati secara alamiah. Guru juga wajib
mendorong anak didiknya dengan metode Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarsa sung
tuladha, maksudnya bila seseorang berada di depan diharapkan mampu menjadi
teladan atau contoh yang baik bagi anak didik/ anak buah atau pengikutnya, ing
madya mangun karsa, maksudnya seseorang level menengah diharapkan mampu
menuangkan gagasan dan ide-ide yang baru untuk mendukung program yang sudah
diterapkan, tut wuri handayani,
maksudnya jika posisi kita berada dibelakang, diharapkan ikut mendukung
program-program yang sudah ditetapkan, tidak justru menjegal agar gagal. Ada beberapa ajaran dari bapak
pendidikan kita Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan diantaranya beliau
mengibaratkan bahwa pendidikan laksana sebuah taman (system) dimana ditaman itu
tempat tumbuh kembangnya bunga-bunga (siswa), kita sebagai pendidik hanyalah
tukang kebun. Apabila kita melihat bunga mawar janganlah lihat tangkai dan
durinya tapi lihatlah bunganya, jika kita hanya melihat tangkai dan durinya
maka yang ada hanya “sampah” tapi kalau lihat bunganya maka kita akan merasakan
keindahan dan keharumannya. Ditaman pasti ada bunga yang kurang subur, tugas
kita sebagai tukang kebun hanya merawat, memupuk dan menyiramnya. Tingkat
kesuburan tergantung pada kualitas bibit dan tanahnya, sehingga kita sebagai
tukang kebun merawat agar bunga bunga itu tidak mati, dalam hal ini kesuburan
tanaman menjadi pusat perhatian guru. Tukang
kebun hanya bisa memperbaiki dan memperindah jenis tanaman dengan usaha-usaha
yang mendorong perbaikan perkembangan jenisnya. Tukang kebun juga tidak bisa
memaksa tanaman mempercepat bunganya agar segera bisa dipanen demi kepentingan
mendesak, tapi semua itu harus diikuti dengan kesabaran. Oleh sebab itu, tukang
kebun/taman harus tahu sifat dan watak serta jenis-jenis tanamannya, sehingga
bisa membedakan antara bunga mawar dan melati. Disamping itu, tukang kebun juga
harus paham akan ilmu mengasuh tanaman agar bisa bercocok tanaman dengan baik,
agar yang dihasilkan adalah tanaman dari tanah yang subur dan bunga yang baik. Menurut Ki Hajar D, tukang kebun tidak
boleh membedakan dari mana asal; tanaman, pupuk, alat kelengkapan dan asal ilmu
pengetahuan itu. Namun yang harus dimanfaatkan segala yang menyuburkan tanaman
menurut kodrat alamnya (potensinya). Seperti
yang telah di ungkapkan oleh Luis Alberto, Ph. D bahwa tujuan pendidikan adalah
belajar bagaimana belajar karena ketika seseorang mempelajari cara belajar,
kepercyaan dan keyakinan dirinya
meningkat. Ketika seseorang mempelajari cara belajar, mereka tidak hanya bisa
menghadapi teknologi baru dan perubahan, bahkan mereka menyambut baik
kedatangannya. Dia memperoleh kemampuan dasar untuk menjadi pelajar yang mampu
mengatur diri, dan kemampuan dasar untuk meningkatkan pengembangan pribadi.
Mereka memiliki kekuatan untuk berubah dari konsumen pendidikan yang pasif
menjadi pengelola pembelajaran dan kehidupan yang aktif bagi diri sendiri. Bila sekarang Pendidikan Barat
memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah
Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama
karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19, Pendidikan yang baik akan menempa
seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan
sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa
lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan
sistem pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia
seutuhnya. Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah
diterapkan dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri
Perguruan Taman Siswa.
Ø PENDIDIKAN
TAMAN SISWA
Tokoh Pendiri Taman Siswa
Taman Siswa didirikan pada tanggal 3
Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara merupakan putera dari KPH
Suryaningrat dan cucu dari Pakualam III. Nama kecilnya adalah R. M. Suwardi
Suryaningrat, pada usia 39 tahun, ia berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
Kelahiran Taman Siswa dianggap sebagai titik balik dalam pergerakan Indonesia,
karena kaum revolusioner yang mencoba menggerakkan rakyat dengan semboyan-semboyan
asing dan ajaran-ajaran Marxis terpaksa memberikan tempat untuk gerakan baru,
yang benar-benar berasas kebangsaan dan bersikap kooperatif dengan
pemerintahan.
Latar Belakang Lahirnya
Taman Siswa
Perguruan Taman Siswa untuk pertama kali
berdiri pada tahun 1922 dengan pimpinannya Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara). Taman Siswa merupakan organisasi yang bertujuan menggembangkan
edukasi dan cultural, yang direalisasikan dengan baik. Berdirinya
sekolah-sekolah dilingkungan Taman Siswa adalah bukti dari edukasi Nasional dan
pengembangan kebudayaan Nasional adalah kreasi Taman Siswa. Merupakan salah
satu senjata yang digunakan untuk menghadapi dominasi kolonial. Taman Siswa
berpendapat bahwa pendidikan nasional merupakan sarana untuk menumbuhkan
nasionalisme. Melalui pendidikan yang berjenjang di lingkungan Taman Siswa itu
akan dapat menghasilkan elit Kultural yang akan berperan besar dalam pergerakan
nasional. Pendiri Taman Siswa adalah bapak pendidikan nasional
yang lahir di yogyakarta pada tanggal 2 mei 1889. Hari lahirnya lalu hingga
kini diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Ia terlahir dengan nama
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, yang berasal dari lingkungan keratin
Yogyakarta. Lalu ia berganti nama dengan Ki Hajar Dewantara, tujuannya yaitu
supaya ia dapat dengan bebas bergaul dengan rakyat. Perjalanan hidupnya
benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia
menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat
melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera). Kemudian ia bekerja sebagai
wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De
Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada
masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif,
tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya.[1]
Selain ulet sebagai wartawan muda Ia
juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Tahun1908, Ia tergabung dalam
organisasi Budi Utomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran
masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan
dalam berbangsa dan bernegara. Kemudia bersama dengan teman-temanya tergabung
dalam Tiga Serangkai yang beranggotakan Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (Ki
Hajar Dewantara), Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, mereka
mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme
Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia
merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status
badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Namun organisasi ini ditolak
Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan
rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah
kolonial Belanda. Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum
Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913.
Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus
Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik
terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya
negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat
jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Lalu Ki Hajar Dewantara mengkririk
pemerintahan Kolonial Belanda dengan tulisan yang berjudul antara lain yaitu
Seandainya Aku Seorang Belanda, Als Ik Eens Nederlander Was. Akibat dari
tulisan tersebut pemerintahan Kolonial Belanda menjatuhkan hukuman tanpa proses
kepada Ki Hajar Dewantara, hukuman tersebut berupa hukuman Buang, lalu Ia pun
dihukum dan dibuang ke Bangka. Lalu Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo
merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan
tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan
itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerintah kolonial.
Akibatnya keduanya juga terkena hukuman Buang juga. Douwes Dekker dibuang di
Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka
menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa mempelajari
banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan
itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, Kemudian ia
kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di
bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan bersama dengan rekan-rekannya Ia mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak Nasional yang di beri nama Onderwijs Instituut
Taman Siswa ( Perguruan Taman Siswa).
Sepak Terjang Ki Hajar Dewantara dalam
rintangan dunia pendidikan
Rintangan pertama muncul pada tahun 1924. Taman Siswa dikenakan pajak
rumah tangga, namun Ki Hajar Dewantara tidak mau membayarnya dengan alasan
bahwa ia dan keluarganya hanya menempati dua kamar di tengah-tengah perguruan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, tidak semestinya ia dikenakan pajak rumah tangga.
Namun hal itu tidak diperhatikan oleh pemerintah. Taman Siswa tetap diharuskan
membayar pajak rumah tangga. Untuk membayarnya, maka barang-barang milik Taman
Siswa dilelang. Setelah Ki Hajar Dewantara mengajukan protes, maka pajak rumah
tangga tersebut kemudian dikembalikan. Atas kedermawanan para pembeli,
barang-barang yang telah dilelang juga dikembalikan kepada Taman Siswa.
Rintangan berikutnya berupa “Onderwijs
Ordonnantie sekolah partikelir” atau disebut juga: Ordonansi Sekolah liar yang
muncul pada tanggal 17 September 1932. Maksud ordonansi tersebut yaitu:
·
Sekolah Partikelr harus minta ijin
terlebih dahulu.
·
Guru-gurunya sebelum memberi pelajaran
harus mempunyai ijin mengajar.
·
Isi pelajaran tidak boleh melanggar
peraturan negeri dan harus sesuai dengan sekolah negeri.
Ki
Hajar Dewantara menentangnya, karena ordonansi dianggap melampaui batas. Oleh
karena itulah Ki Hajar Dewantara kemudian melakukan protes kepada Gubernur
Jenderal. Sikap tersebut mendapat dukungan dari partai-partai serta harian dan
diperjuangkan pula oleh Volkstraad. Akhrinya ordonansi tersebut dibatalkan pada
tahun 1933. Rintangan lain muncul dengan dikeluarkannya
“Onderwijsverbod” yang isinya berupa larangan mengajar. Selama dua tahun
(1934-1936) guru Taman Siswa yang menjadi korban sebanyak 60 orang. Bahkan ada
juga cabang Taman Siswa yang ditutup selama satu tahun.
Mulai bulan Februari
1935, Taman Siswa mendapat percobaan lagi, yaitu mengenai tunjangan anak.
Peraturan pemerintah kolonial menetapkan, bahwa mulai tahun itu, hak atas
tunjangan hanya diberikan kepada pegawai negeri yang anaknya sekolah pada:
-
Sekolah Negeri
-
Sekolah Partikelir yang mendapat subsidi
-
sekolah-sekolah lain yang mendapat hak
memakai ssalah satu nama seperti sekolah negeri, misalnya: HIS, Volksschool.
Atas perjuangan Ki Hajar Dewantara, maka
mulai tahun 1938 semua pegawai negeri yang menyekolahkan anaknya, baik di
sekolah negeri, sekolah bersubsidi maupun di sekolah partikelir mempunyai hak
yang sama atas tunjangan anak. Perjuangan menentang pajak upah. Peraturan
pajak upah mulai berlaku tahun 1935. Ki Hajar Dewantara menolaknya karena dalam
Taman Siswa tidak ada majikan dan buruh, tetapi berdasarkan kekeluargaan.
Tuntutan Ki Hajar Dewantara berhasil pada tahun 1940, sehingga guru-guru Taman
Siswa dibebaskan dari pajak upah.
Sistem pengajaran Taman Siswa
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah
membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan
berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota
masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah
air, serta manusia pada umumnya.
Sejak
berdirinya pada tahun 1922 hingga kini Tamansiswa sangat dikenal sebagai
lembaga pendidikan yang menasional. Meski beberapa dekade belakangan ini nama
Tamansiswa agak surut, termasuk dalam dunia pendidikan yang menjadi andalannya
itu sendiri. Hal tersebut tidak semata-mata karena semakin banyaknya
bermunculan lembaga-lembaga pendidikan yang kompetif, meski cenderung menjadi
pasar, namun juga karena tampaknya Tamansiswa sendiri kehabisan energi,
terutama energi pembaruan, di bidang pendidikan.
Setelah
didirikannya Taman Siswa pada tanggal 3 juli 1922, perjalanan Taman Siswa ini
tidak berhenti disitu saja melainkan Taman Siswa ini terus berkembang dimana
Taman Siswa ini berperan dalam menumbuhkan rasa Nasionalisme bangsa Indonesia.
Seperti kita ketahui sejak awal Taman Siswa dibentuk memberikan pendidikan yang
berdasarkan pada kepribadian bangsa. Meskipun menggunakan sistem pendidikan
modern Belanda akan tetapi Taman Siswa tidak mengambil kepribadian Belanda.
Dengan demikian, anak didiknya tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia
yang sangat berbeda dengan Belanda. Peran Guru Taman Siswa berasal dari bangsa
Indonesia dan umumnya berasal dari para aktivis pergerakan nasional yang
bercita-cita memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Dimana Taman Siswa ini mempunyai prinsip
dasar atau semboyan dalam pendidikan yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita
dan menjadi semboyan pendidikan sampai sekarang. Isi dari prinsip dasar
pendidikan tersebut antara lain:
Ing Ngarso sung Tulodo
Maksudnya Di depan seorang pendidik harus memberi teladan dan memberi contoh
tindakan yang baik.
Ing Madya Mangun karso
Maksudnya Di tengah atau di antara murid guru harus menciptakan prakarsa, ide
serta kerja sama.
Tut Wuri Handayani
Maksudnya Di belakang seorang guru harus bisa memberi daya-semangat, dorongan
dan arahan.
Selain mempunyai semboyan yang menjadi
pegangan pendidikan di Taman Siswa. Taman Siswa juga mempunyai dasar-dasar
dalam pendidikannya. Dimana dasar-dasar pendidikan Taman Siswa ialah Pancadarma
antara lain yang isinya:
v Kodrat
Alam
Kodrat alam sebagai perwujudan kekuasaan
Tuhan, yang mengandung arti, bahwa pada hakekatnya manusia sebagai mahkluk
Tuhan adalah satu dengan alam semesta ini, karena itu manusia tidak dapat
terlepas dari kehendak hukum-hukum kodrat alam. Malahan manusia akan mengalami
kebahagiaan, jika manusia dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang
menggandung segala hukum kemajuan.
v Kemerdekaan
Kemerdekaan, sebagai syarat untuk
menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir-batin anak, agar dapat memiliki
pribadi yang kuat dan dapat berpikir dan bertindak.[3] Artinya kemerdekaan
harus menjadi dasar untuk mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam
suasana perimbangan dan keselarasan dengan masyarakat.
v Kebudayaan
Dasar kebudayaan mengandung arti
keharusan memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional. Dalam
memelihara kebudayaan nasional itu, yang pertama dan utama adalah membawa
kebudayaan nasional kearah kemajuan yang sesuai dengan kemajuan jaman, guna
kepentingan hidup rakyat lahir dan batin di dalam tiap jaman.
v Kebangsaan
Dasar Kebangsaan mengandung arti adanya
rasa satu dengan bangsanya sendiri dalam suka dan duka, dan dalam kehendak
mencapai kebahagiaan lahir dan batin seluruh bangsa. Dasar kebangsaan tidak
boleh bertentangan dengan asas kemanusiaan, dan tidaklah mengandung permusuhan
dengan bangsa-bangsa lain.
v Kemanusiaan
Dasar kemanusiaan mengandung arti bahwa
kemanusiaan itu ialah darma tiap-tiap manusia yang timbul dari keluhuran akal
budinya.dasar akal budi menimbulkan rasa cinta kasih terhadap sesama manusia
dan terhadap makhluk Tuhan.
Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan
berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan
dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik
harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan
pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan
kepada anaknya. Sistem
Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani.
Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi
baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih
didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik,
bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Untuk mencapai tujuan pendidikannya,
Tamansiswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antartiga pusat pendidikan
yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat.
Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan
saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini
yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
Di Taman siswa diadakan
bagian-bagian antara lain yaitu:
o
Taman Indriya ( Taman kanak-kanak) Yaitu
bagi anak yang berumur 5-6 tahun
o
Taman Anak ( Sekolah Dasar kelas I-III)
yaitu untuk anak yang berumur 6,7 tahun sampai dengan 9,10 tahun.
o
Taman Muda (Sekolah Dasar kelas IV- VI)
yaitu untuk anak yang berumur 10-13 tahun.
o
Taman Dewasa ( Sekolah Menengah Pertama)
o
Taman Madya ( Sekolah Menengah Atas)
o
Taman Guru B I adalah sekolah guru untuk
menyiapkan calon guru Taman Anak dan Taman Muda. Lama belajar satu tahun
sesudah Taman Dewasa. Jika pada akhir tahun pengajaran dapat lulus maka mereka
dapat menjadi guru di Taman Anak dan Taman Muda.
Sumbangan berdirinya
Taman Siswa bagi Pendidikan Indonesia
Sumbangan dari Taman
siswa antara lain yaitu:
Memberikan sumbangan pada sebutan seorang pengajar yakni ”Nyi” untuk
pengajar wanita dan sebutan ”Ki” untuk pengajar pria. Pada zaman penjajahan
belanda, sebutan untuk orang yang mengajar di sekolah adalah Meneer (untuk
pengajar laki-laki) dan Juffouw (untuk pengajar perempuan). Taman siswa
kemudian mengubah sebutan itu dengan menggunakan sebutan bahasa Indonesia,
yakni ”Nyi” dan ”Ki”. Penggunaan bahasa Indonesia ini merupakan upaya taman
siswa untuk memperkenalkan bahasa Indonesia kepada anak didiknya sejak dini.
Lalu pada perkembangannya sebutan ”Nyi” dan ”Ki” berubah menjadi Bapak dan Ibu
Guru. Pelopor pendidikan nasional. Taman
siswa dikatakan sebagai pelopor karena setelah adanya taman siswa sebagai
lembaga pendidikan yang bercorak nasional, kemudian banyak muncul
lembaga-lembaga pendidikan seperti INS kayu tanam, hingga sekarang pendidikan
terus berkembang.
Memberikan
sumbangan semboyan yang masih digunakan hingga kini di sekolah-sekolah yaitu:
Tut wuri handayani yang artinya dibelakang seorang guru harus bisa memberikan
daya semangat dan juga arahan kepada anak didiknya.
Ø INS
( INDONESISCHE NEDERLANDSCHE SCHOOL ) KAYU TANAM
Tokoh Pendiri Kayu Tanam
Moh. Syafei seorang yang berdarah Minang
dilahirkan di Kalimantan Barat tepatnya di daerah Natan tahun 1895. Anak dari
Mara Sutan dengan Indung Khadijah. Ia menamatkan di Sekolah Rakyat tahun 1908,
masuk sekolah Raja (Sekolah Guru) lulus pada tahun 1914. Kemudian beliau hijrah
ke Jakarta dan menjadi guru pada sekolah Kartini selama 6 tahun. Disela-sela
kesibukannya menyempatkan diri untuk belajar menggambar lulus tahun 1916,
bahkan aktif dalam Budi Utomo serta Insulide serta membantu Wanita Putri
Merdeka. Moh. Syafei pada tanggal 31 Mei 1922
berangkat ke negeri Belanda menempuh pendidikan atas biaya sendiri. Belajar
selama 3 tahun dengan memperdalam ilmu musik, menggambar, pekerjaan tangan,
sandiwara termasuk memperdalam pendidikan dan keguruan. Pada tahun 1925 kembali
ke Indonesia untuk mengabdikan ilmu pengetahuannya.
Perkembangan Pendidikan INS Kayu Tanam
Masa
Awal RP INS Kayu tanam
Kayutanam adalah nama desa kecil di
Sumatera Barat sedangkan INS sebuah lembaga pendidikan yang merupakan akronim
dari Indonesche Nederlandsche School. Cikal bakal sekolah ini adalah milik
jawatan kereta api yang dipimpin oleh ayahnya. Tanggal 31 oktober 1926
diserahkan kepada M. Syafei untuk mengelolanya dan kemudian tersohor dengan
nama Ruang Pendidikan Indonesche Nederlandsche School (RP INS) Kayutanam.
Pada
awal didirikan, Ruang Pendidik INS mempunyai asas-asas sebagai berikut :
-
Berpikir logis dan rasional
-
Keaktifan atau kegiatan
-
Pendidikan masyarakat
-
Memperhatikan pembawaan anak
Menentang
intelektualisme
Zaman
Penjajahan Belanda
RP INS kayutanam tahun 1926 memiliki 75
orang siswa terdiri atas dua kelas (1A dan 1B) dengan bahasa pengantar bahasa
Indonesia. Gedung sekolah RP INS Kayutanam dibangun sendiri oleh siswa tahun
1927 terbuat dari bambu beratap rumbia. Karena membutuhkan lahan luas maka pada
tahun 1937 dipindahkan ke Pelabihan, 2 kilometer dari Kayutanam dan selesai
pada tahun 1939. Kemajuan terus tercapai dengan adanya :
Terbangunnya
asrama dengan kapasitas 300 orang dan 3 perumahan guru
Murid 600 orang
Asrama dilengkapi dengan satu ruang makan
dan dapur
1 pesanggerahan
Zaman
Penjahan Jepang
Pecahnya PD II 1941 INS diduduki secara
paksa oleh Belanda dan proses pembelajaran terhenti. Setelah Jepang menang
tahun 1942 RP INS berubah terjemahannya menjadi Indonesche Nippon School. Di
zaman ini pembelajaran merosot tajam yang disebabkan oleh sulitnya memperoleh
alat-alat pelajaran dan digunakan untuk bekerja serta berlatih demi kepentingan
perang Jepang.[5]
Zaman
Kemerdekaan
Nama INS tetap dipakai akan tetapi
sebagai singkatan dari Indonesia Nasional School, pada masa kemerdekaaan Kayu
tanam mengalami perkembangan ini dilihat dari : Atas
ijin pemerintah Kayutaman mendirikan ruang pendidikan pengajaran, dan
kebudayaan di bekas kantor penyelidikan di Padang Panjang. Perpustakaan ini
pada masa itu memiliki koleksi buku sebanyak 23.000 buku. Pada
tahun 1952 mendirikan percetakan dan penerbitan sendiri yang bernama Sridharma,
dan menerbitkan majalah bulanan Sendi, serta mengarang buku Kunci 18 untuk
memberantas buta huruf.
Pada tanggal 31 Oktober 1952 INS dijadikan
SGBN Istimewa, keistimewaan ini terletak pada :
Moh Syafei tidak 100%
terikat oleh peraturan-peraturan pemerintah.
Murid-murid INS berasal
dari seluruh Indonesia.
Pelajaran yang
diutamakan adalah ekspresi, seperti menggambar, musik, tari-
tarian, pekerjaan
tangan.
Pada tahun 1953 INS diserahi untuk melatih
guru-guru dari seluruh Indonesia yang dikirim oleh pemerintah untuk
menyempurnakan kepandaianya dalam mata pelajaran ekspresi. Setelah kemerdekaan landasan
dikembangkan menjadi dasar-dasar pendidikan Indonesia :
Ketuhanan
Yang Maha Esa
Kemanusiaan
Kesusilaan
Kerakyatan
Kebangsaan
Gabungan antara pendidikan ilmu umum dan
kejuruan
Percaya
pada diri sendiri juga dari Tuhan
Berahlak (bersusila) setinggi mungkin
Bertanggung jawab atas keselamatan nusa dan
bangsa
Berjiwa aktif positif dan aktif negative
Mempunyai daya cipta
Cerdas, logis dan rasional
Berperasaan tajam, halus dan estetis
Gigih atau ilet yang sehat
Correct atau tepat
Emocional
Jasmani sehat dan kuat
Cakap berbahasa Indonesia
Sanggup hidup bersusah paya dan sederhana
Sanggup mengerjakan pekerjaan dengan alat
serba kurang
Sebanyak mungkin memakai kebudayaan
nasional waktu mendidik
Waktu mengajar peran
guru sebanyak mungkin menjadi obyek dan murid-murid menjadi obyek, bila hal ini
tidak mungkin barulah para guru mnjadi subyek dan murid menjadi obyek. Sebanyak
mungkin para guru mencontohkan pelajaran-pelajarannya, tidak hanya pandai
menyuruh saja.
Diusahakan supaya pelajaran mempunyai darah kesatria, berani karena benar mempunyai jiwa konsetrasi.
Landasan Penyusunan
Kurikulum Kurikulum (Mata Pelajaran) RP INS Kayu tanam
a.
Landasan
Idiil
Pancasila
yang merupakan sumber hukum dan digali dari kebudayaan-kebudayaan yang tumbuh
dan berkembang di tanah air Indonesia
b.
Landasan
Konstitusional
Sebagai
tujuan dari landasan pendidikan Indonesia yang tertuang dalam RP ISN Kayutanam
ada dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4
c.
Landasan
Operasional
Landasan
operasional sudah tertuang dalam GBHN yang merupakan rintisan dari RP INS
Kayutanam yang direalisasikan dalam bentuk Sisdiknas yakni membentuk watak
bangsa Indonesia seutuhnya.
Cita-Cita Pendidikan Kayutanam
Ingin membentuk pemuda-penuda Indonesia yang
berani bertanggung jawab.
Berani berdiri sendiri atau mandiri.
Membuka perusahaan sendiri.
Hidup bebas dan tidak bergantung kepada
orang lain.
Menentang intlektualisme yang hanya
mementingkan pembentukan akal saja
Untuk mencapai kepribadian yang selaras.[6]
Pola Pendidikan INS dan Landasan INS
Kayutanam
Pola pendidikan yang dianut dan
diterapkan di INS adalah pendidikan berbasis talenta, ini didasarkan pada falsafah
Minang yang tersimpul melalui ungkapan, “Alam terkembang jadi guru” (belajarlah
dari alam dan pelajarilah alam itu), dan ucapan Engku Syafei, “Janganlah minta
buah mangga kepada pohon rambutan, tetapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan
buah yang manis! (setiap insan memiliki talenta berbeda), serta, “Jadilah
engkau menjadi engkau!”[7] Oleh karena itu, dasar pendidikan di INS Kayutanam
ini adalah mendorong tumbuh dan berkembangnya bakat bawaan (talenta) yang
dimiliki oleh masing-masing peserta didik.
Tujuan Pendidikan
Adapun tujuan pendidikan dari INS
Kayutanam antara lain:
Menumbuhkembangkan budiperkerti dan akhlak mulia (sesuai dengan ajaran agama,
etika dan moral); menumbuhkembangkan
kemerdekaan berpikir (aktif-kreatif); Menumbuhkembangkan
pengetahuan, bakat/talenta dan potensi diri sesuai dengan kebutuhan masyarakat; menumbuhkembangkan etos/unjuk kerja yang
tinggi; menanamkan
percaya diri, kreativitas, kemandirian, dan kewirausahaan (entrepreneurship;
serta mewujudkan
dalam tindakan nyata semboyan: “cari sendiri dan kerjakan sendiri ”, artinya
sekolah harus mampu membiayai dirinya dan tidak mau menerima bantuan yang dapat
mengurangi kebebasan untuk mencapai cita-cita. Mendidik anak-anak agar mereka mampu
berfikir secara rasional. Moh. Syafei ingin membawa anak-anak kepada hal-hal
yang praktis, agar kelak dapat memegang peranan yang menguntungkan masyarakat.
Sebagai calon anggota masyarakat anak-anak harus memiliki kecakapan yang
praktis. Mendidik anak-anak belajar teratur dan
sungguh-sungguh, anak-anak dilatih berfikir dan bekerja secara sistematis,
teratur dan efesien. Membentuk murid-murid menjadi manusia yang
berwatak. Menanamkan
perasaan persatuan, hal ini nampak dalam kerjasama antara murid-muridnya dalam
mendirikan ruang belajar, membuat lapangan olahraga, mengangkut batu dari sungai
sebagai bahan bangunan. Memberi
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Tingkat Pendidikan dan Usaha-usaha
Pelaksanaan Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan yang dikembangkan di
INS Kayutanam adalah pendidikan dasar dimana untuk tahun-tahun awal sekolah
adalah pendidikan prasekolah. Dari tujuan kurikulum maka pendidikan terdiri
atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan
Usaha-usaha Pelaksanaan Pendidikan
Dimulai tahun 1926 di Kayutanam. Keadaan
ruang pendidikan pada permulaannya bersifat sederhana dan serba kekurangan.
Dimulai dengan modal dua helai tikar untuk tempat duduk, 10 bangku panjang
tempat menulis, 1 kotak kapur, dengan jumlah murid 75 orang. Hal tersebut
berlangsung sampai 9 bulan. Kemudian secara gotong
royong dibangun 1 bangsal yang sederhana ditengah-tengah kebun kopi, terdiri
dari 4 kelas sedangkan muridnya bertambah menjadi 200 orang. Pada
tahun 1929 sekolah semakin bertambah maju. Maka kemudian pindah ke tanah yang luasnya
3 bau atau kira-kira 4 hektar, yang masih berupa hutan belukar. Dengan kemauan
yang kuat maka anak-anak membongkar hutan tersebut. Kemudian dibangun bangunan
yang serba sederhana, dan dibangun pula tempat pimpinan sekolah dan bangsal
tempat belajar bertukang, baik tukang kayu, tukang besi, menganyam, membuat
patung dari tanah liat. Jumlah murid meningkat menjadi 400 orang. Pada
tahun 1932 diadakan usaha perluasan, dengan membeli sebidang tanah yang luasnya
15 bau dari pemerintah. Murid-murid giat mengumpulkan uang dengan mengadakan
pertunjukan sandiwara, pameran hasil pekerjaan tangan. Juga diterima dana
sumbangan dari para dermawan. Maka kemudian timbullah bangunan-bangunan baru
yang lebih kokoh dan rapi, berupa gedung sekolah, rumah guru, pesanggrahan,
asrama, tempat bekerja, gedung kesenian, lapangan sepak bola serta taman
bacaan. Pada waktu itu jumlah muridnya 600 orang.
Penyelenggaraan dan isi rencana
pendidikan INS
Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran
Pada zaman Belanda I.N.S terbagi atas 2
tingkatan :
·
Ruang bawah (S.D) : Lama belajar 7
tahun. Pelajaran ada dua macam yaitu : teori 75 % dan pelajaran praktek 25 %.
Pelajaran diberikan waktu pagi dan sore hari.
·
Ruang atas (S.M) : Lama belajar 6 tahun.
Disini pelajaran ruang bawah diperdalam dan diperluas. Pelajaran praktek
meliputi 50 % dari seluruh waktu belajar. Setelah tamat, murid-murid diserahkan
langsung kepada masyarakat untuk memberikan darma baktinya.
Isi rencana pendidikan
Mata
pelajaran ekspresi (curahan) sangat dipentingkan, seperti menggambar dan musik. Pelajaran musik meliputi : latihan seni
suara, main biola, gitar, dan seruling. Pelajaran menggambar termasuk pula
membuat klise dari kayu. Pekerjaan tangan dipakai sebagai bentuk pengajaran.
Anak-anak bekerja di bengkel, di kebun, dan menghasilkan barang-barang yang
dapat dijual untuk membiayai perguruan. Pelajaran
pendidikan jasmani diberikan secukupnya, meliputi : bersenam, sepak bola,dan
tenis meja. Pendidikan budi pekerti diberikan dengan menanamkan perasaan
keagamaan yang bersih dari sifat-sifat kekolotan dan kepicikan. Dianjurkan agar
ditempuh cara hidup modern yang rasionil.
1.
Ki
Hadjar Dewantara
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung
ke: navigasi, cari
Ki
Hadjar Dewantara
Ki
Hadjar Dewantara
2
September 1945 – 14 November 1945
Presiden
Soekarno
Didahului
oleh Tidak ada, jabatan baru
Digantikan
oleh Todung Sutan Gunung Mulia
Informasi
pribadi
Lahir
2 Mei 1889
Bendera
Belanda Yogyakarta, masa Hindia Belanda
Meninggal
26 April 1959 (umur 69)
Bendera
Indonesia Yogyakarta, Indonesia
Agama
Islam
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD:
Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar
Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro;
lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada
umur 69 tahun[1]; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau
"KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis,
politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga
pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa
memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang
Belanda.
Tanggal
kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan
Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah
sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya
diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional
yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959) :
Daftar isi
-
Masa muda dan awal karier
-
Aktivitas pergerakan
-
Als ik een Nederlander was
-
Dalam pengasingan
-
Taman Siswa
-
Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
-
Referensi
-
Pranala luar
Masa muda dan awal
karier
Soewardi berasal dari lingkungan
keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah
Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis
dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De
Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada
masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam
dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan
muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi
Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan
dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota
organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo
yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh
Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij,
Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander
was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda
berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan
kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari
kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor
Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua
untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah
"Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een
Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli
1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda.
Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut. "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak
akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas
sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan
untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah
menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja
penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa
inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan
sedikit pun baginya". Beberapa pejabat Belanda
menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya
bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia
yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk
menulis dengan gaya demikian. Akibat tulisan ini ia ditangkap
atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka
(atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda
(1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi
kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam
pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi
aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging
(Perhimpunan Hindia). Di sinilah ia kemudian merintis
cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga
memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak
menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam
studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat,
seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India,
Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya
dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
oewardi kembali ke Indonesia pada bulan
September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya.
Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep
mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia
genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun jiwa. Semboyan dalam sistem pendidikan
yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara
utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah
memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap
dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah
Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian pada masa
Indonesia merdeka
Dalam kabinet pertama Republik
Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut
sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun
1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari
universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam
merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat
Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959). Ia
meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman
Wijaya Brata.
Referensi
^ Ini adalah versi
Perguruan Tamansiswa dan Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, tokohindonesia.com menyebutkan 28 April 1959 sebagai tanggal wafat.
^ Uang Kertas Bank
Indonesia Pecahan: Rp. 20.000,-, Bank Indonesia, diakses tanggal 26 April 2011.
^ "DAFTAR
NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA".
Ki Hajar Dewantara
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan
adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun tujuannya adalah
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka
sebaggai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya(Suwarno, 1985 : 2 – 3). Batasan atau rumusan di
atas adaah batasan atau rumusan menurut ahli ilmu pengetahuan yang membahas
perilaku manusia terhadap manusia. Pada dasarnya rumusan-rumusan itu ada yang
member tekanan pada kegiatan orang dewasa dan ada yang member tekanan pada
kehidupan setiap orang dewasa, dan ada yang member tekanan pada kehidupan setia
orang. Namun dengan berkembangnya Teori Pendidikan Seumur Hidup (sejak tahun
1960-an), dan pemahaman akan kegiatann fundamental manusia dalam mengembangkan
dirinya, maka arti atau makna pendidikan terikat pada ‘waktu sekarang’ dan
dapat dilihat dari tiga sudut. Adapun ketiga sudut itu adalah :
1. Sudut orang dewasa
susila: “Pendidikan adalah bantuan, pengaruhh orang dewasa susila kepada orang
belum dewasa susila tertuju ke pendewasaan diri orang belum dewasa susila”.
2. Sudut orang belumm
dewasa susila: “Pendidikan adalah penggunaan bantuan dari orang dewasa susila
oleh belum dewasa susila demi pendewasan dirinya”
3. Sudut interaksi
keduanya : “Pendidikan adalah kegiatan interaksi orang dewasa susila dan orang
belum dewasa susila demi pendewasaan orang yang belum dewasa susila” (Hand out
‘Pengantar Pendidikan’ Drs. Wens Tanlain, M. Pd.,hlm. 18-19).
Tujuan pepndidikan
adalah membangun anak didik menjadi manusia merdeka lahir-batin, luhur akal
budinya,, serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna
dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada
umumnya (hand out Tamansiswa).
Asas-asas
Menurut Ki Hajar Dewantara (pidato peresmian berdirinya Tamansiswa,1922) :
1.
Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan mengingat terbitnya
persatuan dalam perikehidupan umum. Tertib dan damai itulah tujuan yang
sesungguh-sungguhnya. Tidak ada ketertiban jika tidak bersandar pada kedamaian.
Bertumbuh menurut kodrat adalah tujuan sesungguhnya.
2.
Pendidikan berarti mendidik anak akan menjadi manusia yang merdeka secara
batinnya, merdeka pikiran dan merdeka tenaga. Guru jangan hanya memberi
pengetahuan yang perlu dan baik saja, tetapi mengajar murid supaya dapat
mencari sendiri pengatahuan guna beramal kepada kepentingan umum. Pengetahuan
yang baik dan perlu yaitu pengetahuanyang bermanfaat untuk keperluan lahir dan
batin dalam hidup bersama.
3.
Tentang zaman yang akan dating, rakyat kita ada dalam kebingungan. Sering kali
kita tertipu oleh keadaan yang kita pandang perlu cocok untuk hidup kita,
padahal itu itu keperluan bangsa asing yang dengan kehidupan bangsa kita
sendiri. Demikian sering kali kita merusak kedamaian diri kita sendiri.
4.
Pengajaran yang hanya dapat dijangkau oleh sebagaian kecil rakyat, tidak
berfaedah untuk bangsa kita. Oleh karena itu semua golongan dari bangsa kita
harus mendapat pelajaran secukupnya. Oleh karena itu lebih baik memajukan
pengajaran untuk rakyat umum dari pada mempertinggi pengajaran, karena
mempertinggi pengajaran seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran.
5.
Untuk dapat berusaha dengan asas bebas yang leluasa, maka kita harus bekerja
menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain,
akan tetapi jika bantuan itu mengurangi kemerdekaan k ita lahir dan batin harus
ditolak
6.
Oleh karena kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah seggala
belanja dari usaha kita itu dipakai sendiri denganuang pendapat biasa. Ini yang
dinamakan dengan ‘Zelf beruiping system’. Yang menjadi alatnya adalah semua
perusahaan yang tetap berdiri sendiri.
7.
Dengan tidak terikat lahir batin serta kesucian hati berniatlah kita untuk
berdekatan dengan sang anak. Kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi
menyerahkan diri untuk berhamba kepada sang anak (hand out Taman Siswa)
Yang
dimaksud dengan sistem ‘among’ oleh Ki Hajar Dewantara:
Sistem “Among” adalah sebagai realisasi
dan asas kemerdekaan diri, tertib dan damai dalam masyarakat, pimpinan
kebijaksanaan dengan laku ‘Tutwuri Handayani. ‘Among’ (mengemong) berarti
memberi kebebasan kepada anak didik dan guru akan bertindak bila tindakan anak
didik membahayakan keselamatan dirinya. Dalam keadaan biasa pimpinan harus
tegas, anak didik harus tunduk pada pimpinan yang berlaku, kedudukan pimpinan
diatas peraturan yang berlaku. Sistem ‘among’ adalah cara pendidikan yang
dilakukan Tamansiswa yaitu mewajibkan para pamong agar mengikuti dan
mementingkan kodrat pribadi anak didik dengan tidak melupakan pengaruh-pengaruh
yang melingkunginya (hand out Taman Siswa).
Metode pengajaran dan pendidikan yang
berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang
dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara
utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan
menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara
pepatah ini sangat tepat yaitu “Educatethe head, the heart, and the hand”. Guru yang efektif memiliki keunggulan
dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan
peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya
dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi
sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu
meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk
mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang
positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan
pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini
penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik,
intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu
menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang
profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap
peserta didik.) Oleh
karena itu boleh dapat disimpulkan bahwa sistem ‘among’ adalah suatu sistem
yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua asas yaitu:
a) Kodrat
alam, sebagai syarat mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan
sebaik-baiknya.
b) Kemerdekaan,
sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir-batin anak,
agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir dan bertindak merdeka
(hand out Tamansiswa).
Pendidikan berlangsung
dalam tiga lingkungan yang disebut “Tri pusat Pendidikan”
yaitu :
1. Lingkungan
keluarga: terutama mengenai budi pekerti, keagamaan dan kemasyarakatan secara
informal.
2. Lingkungan
sekolah: mengenai ilmu pengetahuan, kecerdasan dan pengembangan budi pekerti
secara formal.
3. Lingkungan masyarakat: pengembangan
keterampilan, latihan kecakapan, dan pengembangan bakat secara non formal.
(hand out Tamansiswa)
Tri pusat itu diwujudkan
dalam sistem :
1. Menyelenggarakan
pendidikan dalam bentuk perguruan, dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi
2. Menyebarluaskan
ajaran hidup ketamansiswaan
Jadi, menurut Ki Hajar Dewantara,
pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia,
dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia
yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta
(kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya,
“educate the head, the heart, and the hand!”
Ki
Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi
kehidupan psikologisnya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta,
karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya
secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja
akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan
bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan
menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.
Dari
titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan
makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya
tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia
lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya, budaya
dalam masyarakat itu berbeda-beda.
Memaknai
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Oleh:
Ki Gunawan
BANGSA kita adalah bangsa pemimpi, kata
Totok Amin Soefijanto (Kompas, 26/5), dan telah tidur sejak 1913 sambil
memimpikan pendidikan sebagai obat mujarab untuk semua penyakit yang ada di
masyarakat. Setidak-tidaknya Totok Amin Soefijanto benar saat menyebut
kelalaian (atau malah kemahiran kita?) dalam memilih obat yang salah dalam
memecahkan masalah bangsa. Namun,
saat mengurai persoalan bangsa dengan fokus pemikiran Ki Hadjar Dewantara
(KHD), sekurangnya ada tiga hal yang memerlukan koreksi. Pertama, kesimpulannya
terhadap KHD pada 1913 Als ik eens Nederlander was (bukan Is Ik Nederlander
was) yang dimuat dalam brosur yang diterbitkan Comite tot herdenking van
Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid atau "Komite Bumiputera" dan buku
Onze Verbanning (bukan media Belanda De Express-mungkin maksudnya De Expres, media
berbahasa Belanda yang amat kritis terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yang
diasuh di antaranya oleh kaum nasionalis seperti dr EFE Douwes Dekker, seorang
Indo Belanda yang sangat bersimpati kepada kaum nasionalis, dr Tjipto
Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat/KHD) sebagai tonggak dimulainya
"masa tidur panjang" bangsa kita. Kedua,
merangkaikan begitu saja pemikiran KHD pada masa aktif dalam bidang politik
melalui Boedi Oetomo dan terutama melalui kegiatan jurnalistik, pada 1908-1922
dengan pemikiran KHD setelah itu yang mulai beralih ke bidang pendidikan.
Ketiga, kekeliruannya menafsirkan konsepsi KHD tentang pendidikan karena hanya
menyorot secara sepotong-sepotong, khususnya tentang "metode Among"
dengan trilogi kepemimpinannya (Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun
karsa, Tutwuri Handayani) sehingga justru mengaburkan gagasan awalnya sendiri
tentang rekonstruksi pemikiran KHD.
TULISAN KHD dalam brosur walaupun
berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda (Als ik eens Nederlander was) bukanlah
cermin dari angan-angan atau mimpi KHD. Tulisan itu justru merupakan sindiran
halus yang nyelekit terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang tengah merancang
perayaan satu abad kemerdekaan negerinya secara besar-besaran di negara yang
dijajahnya dengan memungut biaya dari rakyat bangsa yang dijajahnya. Coba simak penggalan dari tulisan itu
yang diterjemahkan KHD sendiri: ... Andai aku seorang Nederlander, tidaklah aku
akan merayakan kemerdekaan bangsaku di negeri yang rakyatnya tidak kita besar
kemerdekaan.... Dengan tidak sadar seolah-olah kita berteriak-teriak: 'lihatlah
hai orang-orang, bagaimana kita memperingati kemerdekaan kita; cintailah
kemerdekaan, karena sungguh bahagialah rakyat yang merdeka, lepas dari
penjajahan!'.... kemudian... Sungguh, seandainya aku seorang Nederlander,
tidaklah aku akan merayakan peringatan kemerdekaan di negeri yang masih
terjajah. Lebih dahulu berilah kemerdekaan kepada rakyat yang masih kita
kuasai, barulah boleh orang memperingati kemerdekaannya sendiri. Penggalan itu
sama sekali tidak menunjukkan KHD sedang berandai-andai sebagai seorang Belanda
yang berniat memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahannya. Yang tampak justru
sebuah sindiran halus yang tajam dan nyelekit tentang ketidakpantasan sikap
orang-orang Belanda yang berniat merayakan kemerdekaannya dengan melibatkan
rakyat Hindia Belanda (baca: Indonesia) bahkan dengan memungut sumbangan dari
rakyat. Tentang tulisan itu, Prof Dr Sardjito,
dalam pidato pemberian gelar doktor honoris causa kepada KHD menilai, karya itu
merupakan wujud ketangkasan menulis dalam menyerang pihak Belanda. Menurut Prof
Dr Sardjito, tamparan yang amat hebat itu dilakukan secara tidak kasar, tidak
dengan memaki-maki, senantiasa tetap sebagai ksatria, memberi kata-kata yang
tepat, jitu, indah susunannya, ada humornya, ada sinisnya, tercampur dengan
ejekan yang pedas yang dilemparkan kepada si penjajah, tetapi selanjutnya juga
memberikan pandangan-pandangan yang dapat direnungkan untuk pihak sana, dan
juga untuk pihak kita. Dari
tulisan-tulisan KHD yang terhimpun di berbagai literatur, dengan mudah kita
dapat menangkap gaya KHD dalam mengekspresikan pemikirannya yang sama sekali
jauh dari sikap seorang pemimpi yang putus asa. Als ik eens Nederlander was
yang menyebabkan KHD dibuang ke Belanda pada 1913 itu rasanya tidak tepat
disebut sebagai awal bangsa kita tidur. SISTEM
Among dengan trilogi kepemimpinannya sebagai salah satu konsepsi pendidikan KHD
bukanlah konsepsi yang muncul tiba-tiba dan dipasarkan melalui Boedi Oetomo
(KHD menjadi anggota Boedi Oetomo hanya pada 1908) pada masa KHD aktif di dunia
politik (1908-1922) karena KHD baru secara intens menggeluti pemikiran tentang
pendidikan justru dalam masa pembuangannya di negeri Belanda (1913-1919). Di
Belanda, selain tetap aktif dalam bidang politik, KHD menambah pengetahuannya
dalam bidang pendidikan dan mendapat akta guru pada 1915. Di Belanda pula KHD mulai berkenalan
dengan gagasan- gagasan tokoh-tokoh pendidikan dunia seperti JJ Rousseau, Dr
Frobel, dr Montessori, Rabindranath Tagore, John Dewey, dan Kerschensteiner.
Tokoh yang pemikirannya tampak sangat mempengaruhi KHD adalah Frobel dengan
pendidikan anak-anaknya yang menekankan pengembangan angan-angan anak-anak
untuk mengajarkan anak-anak berpikir melalui permainan, kemudian Montessori
yang mengutamakan pelatihan pancaindra untuk mengembangkan tabiat dan kekuatan
jiwa anak dan Rabindranath Tagore yang mengutamakan pengembangan kepribadian
anak. Gagasan-gagasannya tentang pendidikan mulai berkembang dan baru mulai
1922 dipraktikkan KHD di Tamansiswa.Dengan tegas KHD menolak penerapan konsepsi
regeering, tucht, en orde (paksaan, hukuman, dan ketertiban) dalam pendidikan
yang menempatkan guru sebagai figur sentral dan siswa sebagai obyek. KHD
mengenalkan konsepsi orde en vrede (tertib dan damai) sebagai dasar pendidikan
dengan bertumpu kepada prinsip bertumbuh menurut kodrat. Menurut KHD, yang
dipakai sebagai alat pendidikan adalah pemeliharaan dengan sebesar-besarnya
perhatian untuk memperoleh tumbuhnya hidup anak lahir dan batin menurut
kodratnya sendiri. Dan, inilah yang disebut sebagai metode Among dengan Ing
ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani yang diterapkan
di Tamansiswa sejak 1922. MENEMPELKAN
anak sebagai figur sentral dalam pendidikan dengan memberikan kemerdekaan sepenuh-penuhnya
untuk berkembang itulah ide dasar pengembangan konsepsi KHD. Guru hanya
membimbing dari belakang dan baru mengingatkan anak kalau sekiranya mengarah
kepada suatu tindakan yang membahayakan (tutwuri handayani) sambil terus
membangkitkan semangat dan memberikan motivasi (ing madya mangun karsa) dan
selalu menjadi contoh dalam perilaku dan ucapannya (ing ngarsa sung tuladha). Persoalannya, sekarang ini sering kali
guru menjadikan dirinya otoritas yang paling berkuasa dalam proses pendidikan
sehingga alih-alih membangkitkan semangat malah justru memasung kreativitas.
Sangat banyak guru, baik dalam arti sempit/sebenarnya maupun dalam arti luas,
justru berperilaku yang tak pantas untuk diteladani. Berbeda dengan pandangan Totok AS yang
menyebut bahwa yang sekarang dipakai hanyalah Ing ngarsa sung tuladha, menurut
hemat saya sekarang ini justru tidak satu pun dari konsepsi KHD yang diterapkan
di lapangan. Kerja guru sekarang ini tampak semakin mekanis dan hampir tak
berjiwa lagi karena diburu target kurikulum dan target kehidupan yang semakin
tinggi tuntutannya. Pendidikan pun sudah secara pasti berganti baju menjadi
sekadar pengajaran yang bersifat intelektualistik. Bagaimanapun saya setuju bila terhadap
konsepsi-konsepsi KHD perlu dilakukan kajian ilmiah agar dengan mudah
dipelajari dan dipahami. Akan tetapi, betapa indahnya pun sebuah konsepsi,
tanpa praktik yang benar dan sungguh-sungguh, hasilnya pasti akan mengecewakan.
Dan, memang pada akhirnya kita hanya akan menjadi bangsa pemimpi dengan segudang
persoalan yang tak pernah terselesaikan.
Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa
Ki Hadjar Dewantara (KHD)-- Bapak
Pendidikan Nasional-- mendirikan Perguruan Tamansiswa tepatnya pada pada
tanggal 3 Juli 1922. Tamansiswa sebagai
Badan Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat menggunakan pendidikan dalam arti luas. Pada
awalnya pendidikan yang diselenggarakan Perguruan Tamansiswa adalah Taman
Indria (TK), berikutnya Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Guru (SPG), Taman Karya (SMK), dan Taman
Madya (SMA). Tiga puluh tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 15 November 1955
Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Prasarjana yang kemudian menjadi
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pada
awalnya Sarjanawiyata Tamansiswa adalah sebuah lembaga kursus B Satu. Kondisi
prafakultas ini oleh Ki Hajar Dewantara sebagai Pemimpin Umum diberi nama Taman
PraSarjana yang menyelenggarakan tiga bagian (jurusan): Bagian Bahasa (Bahasa
Jawa dan Bahasa Indonesia), Bagian Sosial (Ilmu Bumi dan Ilmu Sejarah), dan
Bagian Alam Pasti (Ilmu Alam Pasti). Beberapa tahun kemudian, yaitu 1959,
bentuk lembaga diubah menjadi Taman Sarjana dengan satu fakultas – peleburan
program studi yang telah ada – menjadi Taman Sarjana Sastra dan Filsafat. Setelah pengurus yayasan mengadakan
rapat beberapa kali maka pada tanggal 28 Desember 1959 dilakukan
penandatanganan akte pendirian yayasan Sarjanawiyata di depan notaris R. M.
Wiranto di Yogyakarta. Di antara para pendiri yayasan tersebut terdapat Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Nyi Hadjar Dewantara. Untuk pertamakalinya
yayasan diketuai oleh Ki Sarino Mangunpranoto. Kegiatan yang pertama kali
dilakukan adalah mempersiapkan berdirinya Fakultas Pendidikan/Keguruan yang
dimulai pada permulaan kuliah yaitu bulan Oktober 1960. Sebelum itu diadakan
”Kuliah Umum” tentang pendidikan dan filsafat di Pendopo Agung Tamansiswa. Pada ulang tahun Tamansiswa ke 41, 3
Juli 1963, diubah namanya menjadi Taman Sarjana dan Ilmu Pendidikan (Jurusan:
Ilmu Pendidikan, Ilmu Pasti Alam, Ilmu Sejarah, Ilmu Bumi, Bahasa Indonesia,
Bahasa Jawa, dan Bahasa Inggris). Kemudian 1 Oktober 1964, namanya kembali
diubah menjadi Sarjanawiyata Tamansiswa dengan Rektor Nyi Hajar Dewantara yang
mengelola empat Taman Sarjana (Ilmu Pendidikan, Sarjana Geografi, Hukum dan Ekonomi,
Sastra dan Kebudayaan –Bahasa Indonesia, Inggris dan Sejarah). Pada 1980, Sarjanawiyata Tamansiswa
mengelola Program Diploma Kependidikan Bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, yang kemudian diperluas sehingga meliputi Bahasa Inggris, Matematika,
Ketrampilan Jasa, Pendidikan Moral Pancasila, antara lain. Pada 1983 berbentuk
Universitas dengan mengelola beberapa fakultas lengkap dengan program studinya:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian,
Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknik.
Falsafah Dasar
Jiwa Tamansiswa sebagai organisasi
perjuangan di bidang kebangsaan dan kemasyarakatan melalui bidang pendidikan
dalam arti luas, merupakan ruh perjuangan yang tak kenal berhenti
(berkelanjutan), bagi rakyat dan bersama rakyat, bagi semua organisasi
Tamansiswa termasuk Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Visi
Terwujudnya Universitas Kebangsaan yang
berkembang dan maju, yang mampu membangun kerjasama untuk mewujudkan sistem
pendidikan yang dinamis, berkualitas, dan mengikuti perkembangan alam dan jaman
dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dan ajaran Ketamansiswaan..
Misi
-
Melaksanakan pendidikan dan pengajaran
agar mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, merdeka, berbudaya, berbudi pekerti luhur, berwatak, cerdas, kreatif,
memiliki etos kerja yang tinggi, dan produktif.
-
Melaksanakan penelitian dalam arti
mencari kenyataan dan kebenaran hakiki yang objektif dan universal, membaca
ilmu Tuhan dengan belajar, menghasilkan ilmu pengetahuan yang berguna untuk
kemanusiaan dan memperkuat iman, bagi perkembangan ilmu, teknologi, dan seni.
-
Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat
dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan mempertinggi derajat kemanusiaan.
-
Melaksanakan pengkaderan Ketamansiswaan
dalam rangka menyiapkan manusia merdeka, berbudaya, mandiri, berbudi pekerti
luhur, dan berwawasan kebangsaan.
Tujuan
-
Terwujudnya masyarakat tertib damai
sebagai perwujudan manusia bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka,
berbudi pekerti luhur, salam, dan bahagia.
-
Terwujudnya pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat serta terjalinnya kerjasama di segala bidang.
-
Terwujudnya pengembangan ilmu, teknologi, dan
seni yang memberdayakan masyarakat.
-
Terwujudnya kader Tamansiswa dan kader bangsa
yang mampu memahami, mengamalkan, memelihara, dan mengembangkan secara ilmiah
ajaran hidup Tamansiswa yang Pancasilais.
CORE VALUES
Dalam mencapai visi dan misinya, UST
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur
: Ketakwaan, kejujuran, dan keikhlasan,saling percaya dan saling menghargai, integritas, komitmen, dan tanggung jawab,
mengutamakan pelayanan prima, kreatif, proaktif, inovatif, dan
kolaboratif, kekeluargaan,
demokrasi, kesahajaan dan kesederhanaan, serta pluralism, pembelajaran yang terus menerus, profesionalisme,
efektivitas, kualitas, dan efisiensi, wawasan
kebangsaan dan wawasan global,
merdeka,
mandiri, dan makarya.
“Ki Hajar Dewantara”
Pahlawan Pendidikan yang mulai dilupakan !
Pendidikan kita semua, yang tanggal
kelahirannya, 2 Mei di peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara terkenal dengan
ajarannya Sistem Among ( Tutwuri handayani, Ing Madya mangun karsa, Ing ngarsa
sung tulada) di Tamansiswa, ialah suatu sistem pendidikan yang berjiwa
kekeluargaan dan bersendikan 1) Kodrat Alam, sebagai syarat untuk mencapai
kemajuan dengan secepatcepatnya dan sebaik-baiknya; 2) Kemerdekaan, sebagai
syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir batin anak, agar
dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta bertindak merdeka.
Sistem tersebut menurut cara berlakunya, juga disebut sistem Tutwuri Handayani. Apa yang terjadi sekarang ini? Dunia
pendidikan di hebohkan dengan tawuran antar pelajar mulai dari anak-anak SMP,
SMA/SMK sampai perguruan tinggi, hampir setiap hari menghiasi surat kabar dan
Televisi. Para guru rame mencari metode dan model pengajaran yang relevan
dengan era dan jaman yang serba di gital. Mereka lupa, bahwa kita punya seorang
pahlawan pendidikan yang harus nya jadi tauladan dan panutan para siswa dan
pendidik di negeri ini. Kita kehilangan karakter dan kepribadian bangsa. Erosi
sikap dan perilaku sudah menjalar di setiap aktifitas para siswa dan guru. Kilas balik Sang Pahlawan Pendidikan
Nasional kita. Beliau di lahirkan pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya,
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah
sistem Among yang terdiri dari tut wuri handayani (di belakang memberi
dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa),
ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di
Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di Yogyakarta. Kiprah dan perjuangan beliau patut jadi
panutan dan motivasi buat kita. Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya
tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa
membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi,
status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai
kemerdekaan yang asasi .Beliau mendirikan Perguruan Tamansiswa pada tahun 1922,
dimana pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu 1) Kodrat Alam; 2)
Kemerdekaan; 3) Kebudayaan; 4) Kebangsaan; 5) Kemanusian, yang berdasarkan
Pancasila. Buah pikiran
beliau tersimpan di Museum Dewantara Kirti Griya Yogyakarta (di Pusat Perguruan
Tamansiswa Yogyakarta). Museum ini di bangun untuk melestarikan nilai-nilai
semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda
atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam
kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam
dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. “JAS MERAH”
JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH . Ya…inilah seharusnya selaku warga dari
bangsa yang besar jangan sekali-kali melupan sejarah. Kita bisa hidup nyaman,
mencari ilmu setinggi-tingginya, berekspresi di manapun, salah satunya di
kompasiana ini, tentu salah satunya adalah berkat jasa Beliau, sang Pahlawan
Pendidikan Nusantara kita yang mulai di lupakan. ”
Ki Hajar Dewantara” pantas rasanya kita kedepankan di era sekarang ini. Era yang
serba syarat konplik. penuh dengan demo-demo, kreatifitas yang kebablasan,
karakter bangsa yang mulai luntur, kepribadian yang semakin sirna dari
akhlaqurkarimah, dan ego yang tinggi untuk menyelesaikam masalah semau dan
seenaknya tanpa memikirkan orang lain. Prihatin
rasanya kita sebagai bangsa yang besar, yang pahlawan kebangsaannya cukup
disegani di seluruh dunia, tapi mulai melupakan para pahlawannya begitu saja
hanya karena memikirkan sesuatu yang tak jelas.
Ki Hajar Dewantara-muda
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD:
Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar
Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro;
lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada
umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai “Soewardi” atau “KHD”) adalah
aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor
pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah
pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan
seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Ki Hajar Dewantara 1
Tanggal kelahirannya sekarang
diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan
ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional
Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia,
KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan
20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia
dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada
28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun
1959, tanggal 28 November 1959).
Masa
Muda dan Awal Karier
Ki_Hadjara_Dewantara_2_February_1947_KR
Soewardi berasal dari lingkungan
keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah
Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai
penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden
Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan
tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas Pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan
muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi
Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan
dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres
pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota
organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo
yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh
Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij,
Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander
Was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda
berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan
kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari
kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis “Een voor Allen
maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”.
Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda”
(judul asli: “Als ik een Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres
pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan
pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku
tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita
rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja
tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja
sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan
saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang
terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan
bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada
kepentingan sedikit pun baginya”. Beberapa
pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri
karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini.
Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam
memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian. Akibat tulisan ini ia ditangkap atas
persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka
(atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda
(1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai “Tiga Serangkai”. Soewardi kala itu
baru berusia 24 tahun.
Dalam Pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi
aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging
(Perhimpunan Hindia). Di
sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar
ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan
yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan
yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah
tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan
pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah
yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan
September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya.
Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep
mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia
genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun jiwa. Semboyan dalam sistem pendidikan
yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara
utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mangun karso, tut wuri handayani. (“di depan memberi contoh, di tengah memberi
semangat, di belakang memberi dorongan”). Semboyan ini masih tetap dipakai
dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan
Tamansiswa’
TAMAN PINTAR
Baru-baru ini Wisata Kota Yogyakarta
sudah dengan serius mengembangkan tempat Wisata lebih banyak lagi untuk
memanjakan dan menarik Wisatawan supaya datang ke Yogyakarta. Semoga munculnya
tempat-tempat Wisata baru ini dapat mendatangkan Wisatawan Lokal ataupun
International. "Taman Pintar" salah satunya. Selain menampilkan
arsitek bergaya modern Taman Pintar ini sangat cocok untuk segala umur. Selain
mengasah pikiran Anda yang Anda peroleh, dengan adanya tempat wisata ini
pengembangan Anda dapat lebih berkreatif, berimajinasi, dan dapat mengembangkan
Pengetahuan Anda lebih luas lagi. Yang di resmikan oleh Prisiden Bapak Bambang
Yudiyono belum lama ini, ternyata ramai dikunjungi Wisatawan Lokal. Memang tak
heran lagi kalau Tempat Wisata Kota Yogyakarta banyak peminat dan menarik untuk
di kunjungi. Gedung Oval
Taman Pintar Selain menampilkan Budaya Modern, tempat ini pantas untuk
dikunjungi untuk perkembangan Anak-anak putra putri tercinta Anda yang masih
berkembang dalam menempuh belajar ke depannya. Selain letaknya yang setrategis
yang tidak jauh dari Istana Keraton, Kota Malioboro dan Kebun binatang Gembira
loka sehinnga cocok untuk Wisatawan yang suka jalan-jalan yang menggunakan
kaki.
UNIVERSITAS
SARJANAWIYATA TAMAN SISWA YOGYAKARTA
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
(UST) berdiri tahun 1955 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas
ini memiliki komitmen dalam pengembangan Tri Darma Perguruan Tinggi dan
mengembangkan ajaran Kemandirian, Kemerdekaan dan Kebangsaan sesuai cita-cita
pendiri UST yaitu Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara (KHD) mendirikan
Perguruan Tamansiswa pada pada tanggal 3 Juli 1922. Pada awalnya pendidikan
yang diselenggarakan Perguruan Tamansiswa adalah Taman Indria (TK), berikutnya
Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Guru (SPG), Taman Karya (SMK), dan
Taman Madya (SMA). Tiga puluh tiga tahun kemudian, tanggal 15 November 1955 Ki
Hadjar Dewantara mendirikan Taman Prasarjana yang kemudian menjadi Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa.
KONSEP KI HADJAR
DEWANTARA BUKAN KEJAWEN
Konsep budaya dan pendidikan Ki Hadjar
Dewantara (KHD) banyak mempergunakan istilah bahasa Jawa, sehingga ada yang
mengatakan dengan dangkal bahwa konsep KHD berbasis Kejawen. Istilah “kejawen”
dalam konteks ini bisa merugikan karena berkonotasi negatif sempit. Memang
ajaran KHD banyak menggunakan istilah bahasa Jawa misalnya “tut wuri
handayani”, “wiyata griya”, “sistem among”, “ngerti-ngroso-nglakoni”. Bahkan
sarasehan Rebo Wagen lebih memperberat konotasi negatif tersebut. Padahal Rebo
Wagen diambil KHD dari hari kelahiran Pangeran Diponegoro agar dapat mewarisi
api juangnya. Sarasehan Rebo Wagen dapat dilaksanakan pada hari Minggu, Jumat
atau lainnya. KHD
mempergunakan istilah dengan bahasa Jawa dengan dua alasan yang reasenable
yaitu pertama KHD konsisten dengan konsentrisitas budaya. Budaya (ilmu)
universal yang didapat diterapkan dalam praktisi budaya nusantara secara
konsentris, yaitu tidak meninggalkan “local wisdom” budaya sendiri. Alasan
kedua yaitu pada jamannya (1922) belum ada Sumpah Pemuda dengan lingua franca
bahasa Indonesia. Sehingga konsentrisitas budaya tersebut “terpaksa”
mempergunakan istilah bahasa Jawa. KHD
mendapat bekal ilmu paedagogie dan mendapat sertifikat mengajar di Negeri
Belanda tahun 1915 setelah didorong oleh semangat sang isteri yang mengajar di
Frobel School. Bertepatan pula pada masa itu sedang terjadi reformasi
pendidikan di Negeri Belanda. Sistem pendidikan yang semula berupa top down
satu arah dari sang guru, diubah menjadi mengembangkan talenta sang anak secara
pro aktif (tut wuri handayani). Frobel memberikan konsep kemerdekaan bagi sang
anak, Maria Montesory mengajarkan cinta lingkungan. Kedua tokoh ini yang
kemungkinan besar mengilhami beberapa konsep KHD dalam pendidikan nasional secara
konsentris. Bahkan Montesory sempat meninjau perguruan Tamansiswa di Yogyakarta
pada pra kemerdekaan. Sehubungan
hal tersebut masuk akallah bila KHD kemudian memberikan konsep ilmu pendidikan
dalam istilah bahasa Jawa. Sistem Among terinspirasi dari pendidikan merdeka
konsep Frobel dengan pelaksanaan secara “tut wuri handayani” agar sang anak
dapat merdeka lahir batin dan tenaganya. Sistem Among melarang adanya hukuman
paksaan kepada sang anak karena akan menghambat pertumbuhan jiwa merdekanya.
Talenta pribadi anak secara kodrati dimiliki sejak lahir yang harus
ditumbuhkembangkan dan pamong/guru bisa handayani/koreksi pembinaan pada tahap
tertentu saja. Konsep KHD “ngerti-ngroso-nglakoni” identik dengan
“kognitif-afektif-psikomotorik”.
Demikianlah
KHD terlebih dahulu mempraktekkan teorinya sebelum melansir ke ranah publik.
Misalnya teori Trikon terlebih dulu dipraktekkan sepulang dari negeri Belanda.
Secara konvergensi menerapkan ilmu universal yang manfaat bagi kemajuan
bangsanya. Secara konsentris mengakar pada budaya sendiri dan semuanya diolah
secara kontinyu dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi. Hal ini diilhami
oleh pendahulunya para Wali Songo khususnya Sunan Kalijogo yang secara
konsentris tidak meninggalkan akar budaya bangsa. Penempatan gamelan di halaman
masjid tidak ada duanya di seluruh dunia Islam. Demikian pula tradisi lebaran
dengan sungkem, saling memaafkan, mudik, halal bi halal yang semuanya tidak ada
di negara Islam yang lain. Dengan piawai para Wali memberi istilah pusaka “Kalimasada”
(kalimat syahadat) bagi kaum Pandawa yang gagah berani. Konsentrisitas budaya
sangat membantu dalam pembentukan kepribadian nasional bangsa Indonesia, agar
bangsa ini pantas berdiri sejajar dengan bangsa lain di dunia. Bangsa Jepang
bisa maju pesat berkat konsentrisitas budayanya dipadukan smangat bushido. Bahwa KHD tidak fanatik dengan “kejawen”
dan bahasa Jawa terbukti pada Kongres Pemuda II tahun 1928, KHD-lah yang
pertama melontarkan wacana Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia,
berseberangan dengan usul yang lain. Demikan
sekilas pemikiran KHD yang jauh dari fanatisme “kejawen” apalagi mengarah
kepada sekularisme. Semoga para pembaca semakin memaklumi buah pikiran KHD yang
visioner dan dapat diberlakukan sepanjang jaman. Salam.
Biografi Singkat
Suwardi Suryaningrat atau yang lebih
dikenal dengan Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta.
Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Beliau adalah aktivis
pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan
bagi kaum pribumi indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri
Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi
para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para
priyayi maupun orang-orang Belanda. Pernah ia di buang ke negeri Belanda oleh
pemerintah Belanda dari tanggal 6 September 1913 sampai dengan 5 September
1919, karena kritik pedasnya pada pemerintah Hindia Belanda saat itu. Karena
pengabdian dan prestasinya yang besar dalam bidang pendidikan, beliau menjadi
menteri pendidikan Indonesia yang pertama pada tahun 1956 di era pemerintahan
Soekarno. Beliau wafat pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan dengan
pemakaman negara secara militer serta diangkat menjadi Perwira Tinggi oleh
pemerintah. Beliau kini dikenang sebagai Bapak Pendidikan bangsa Indonesia. Dan
pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan hari lahirnya, tanggal 2 Mei
sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Berbagai
Penghargaan
Gelar Doktor Kehormatan (honoris causa)
di bidang Ilmu Kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada. Diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada
tanggal 28 Nopember 1959. Dianugerahi
Presiden penghargaan Bintang Mahaputra I pada tanggal 17 Agustus 1960. Dianugerahi tanda kehormatan Satya
Lencana Kemerdekaan pada tanggal 20 Mei 1961
Perubahan Nama dan
Prinsip Hidupnya
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat
genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki
Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat .Ki Hajar Dewantara sendiri dengan
mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan
pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan
yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara. Oleh
karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang
mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi
perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini).
Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya
adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan
membawa keselamatan.
Prinsip Dasar
Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik
dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi),
yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik, ada pembelajaran
yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia,
untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan
adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan
membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan
pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan
manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk
tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik
mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan
demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Dalam konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara, ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan
“Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari
aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih
memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Teori Trikon
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur
kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan
tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju
kearah keluhuran budaya manusia. Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh
dengan sikap (laku) yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu
a) Kontinuitas yang berarti bahwa garis hidup
kita sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau
berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain.
b) Konvergensi, yaitu berarti kita harus
menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu menuju kearah pertemuan
antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar
saling menghormati, persamaam hak, dan kemerdekaan masing-masing.
c) Konsentris, yang berarti setelah kita bersatu
dan berkomunukasi dengan bangsa-bangsa lain di
dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia
adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri.
Meskipun kita bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris itu
kita masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan Negara
kita dengan Negara lain.
Tri Sentra Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantoro dapat berlangsung dalam berbagai tempat yang oleh beliau diberinama
Tri Sentra Pendidikan, yakni :
-
Alam keluarga
-
Alam Perguruan
-
Alam Pergergerakan pemuda
Konsep-Konsep Dasar
Pengajaran Ki hajar Dewantoro
a. Sistem Among
Metode yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah
sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih,
asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia
merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari
segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati
kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini
sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
Pendidikan
sistem Among bersendikan pada dua hal yaitu: kodrat alam sebagai syarat untuk
menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan kemerdekaan
sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin
anak hingga dapat hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan dengan asas yang
berbunyi: Tut Wuri Handayani, Ing madya mangun karsa, Ing ngarso sung tuladha.
Asas ini telah banyak dikenal oleh masyarakat daripada Sistem Among sendiri,
karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya. Sistem Among
berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak.
Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar
anak sepanjang waktu dengan kasih saying. Dalam
sikap Momong, Among, dan Ngemong, terkandung nilai yang sangat mendasar, yaitu
pendidikan tidak memaksa namun bukan berarti membiarkan anak
berkembang bebas tanp arah. Metode Among mempunyai pengertian menjaga, membina
dan mendidik anak dengan kasih sayang.
b. Tri Sakti Jiwa
Salah satu konsep budaya Ki Hajar
Dewantoro dikenal dengan ”Konsep
Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa. Maksudnya, untuk
melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil
olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. kalau
untuk melaksanakan segala sesuatu itu hanya mengandalkan salah satu diantaranya
saja maka kemungkinan akan tidak berhasil. Dalam
dunia pendidikan modern saat ini, meskipun berbeda secara substansial, konsep
trisakti jiwa bisa diselaraskan dengan upaya memfasilitasi seluruh potensi anak
didik dalam perkembangan belajarnya yang meliputi : aspek kognitif
(pengetahuan/pemahaman), aspek afektif (sikap atau minat), dan sikap
psikomotorik (keterampilan).
Ajaran-ajaran
Karakter dan Budaya Ki Hajar Dewantara
a. Trihayu
Selain
itu, konsep pengembangan budaya Ki Hajar dikenal dengan ”Konsep Trihayu” yang
terdiri dari mamayu hayuning sarira, mamayu hayuning bangsa, dan mamayu
hayuning bawana. Maksudnya, apapun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya
dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsa, dan bermanfaat
bagi manusia di dunia pada umumnya. Kalau perbuatan seseorang hanya
menguntungkan dirinya saja maka akan terjadi sesuatu yang sangat individualistik.
b. Trilogi
Kepemimpinan
Dan yang menjadi semboyan pendidikan
sampai saat ini adalah ”Konsep Trilogi Kepemimpinan” yang terdiri dari Ing
Ngarsa Sung Taladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Maksudnya,
ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan, ketika berada di
tengah-tengah harus mampu membangun semangat, dan ketika berada di belakang
harus mampu mendorong orang-orang dan pihak-pihak yang dipimpinya.
c.
Tripantang
Konsepsi kebudayaan Ki Hajar yang sangat
moralis tertuang dalam ”Konsep Tripantang”
yang terdiri dari pantang harta, praja, dan wanita. Maksudnya, kita dilarang
menggunakan harta orang lain secara tidak benar (misal korupsi),
menyalakangunakan jabatan (misal kolusi), dan bermain wanita (misal
menyeleweng). Ketiga pantangan ini hendaknya tidak dilanggar.
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa para pendidik sama-sama mempunyai filosofi pendidikan dimana melihat
dengan arif dan bijaksana bahwa:
v
Para siswa pertama-tama dan terutama
harus belajar “belajar bagaimana belajar” dan belajar bagaimana berpikir.
v Belajar
harus menyenangkan disamping membangun percaya diri.
v Pengetahuan
harus disampaikan dengan pendekatan multi-sensori dan multi-model dengan
menggunakan berbagai bentuk kecerdasan.
v Orang
tua khususnya dan masyarakat umumnya harus terlibat sepenuhnya dalam pendidikan
anaknya.
v Pendidikan
watak/ jiwa (nation and character building) harus di utamakan karena akan
berpengaruh pada kepribadiannya dalam masyarakat sebagaimana dalam lagu
Indonesia raya “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya”.
v Tersedianya
media pengembangan bakat/talenta disekolah seperti drum band, pencak silat,
sanggar seni, lapangan bola, volly dll.
v
Kita
di ajari, di didik dan di latih di Tamansiswa, setidaknya paham dan mengetahui
bagaimana ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara yang masih relevan dan tak usang di
makan waktu, seperti sistem Among ( Tutwuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa,
Ing Ngarso Sung Tulodo) yang di gunakan untuk mengajar, mendidik, dan melatih
para siswa.
v
Ajaran
beliau tentang budi pekerti setidaknya diperlukan sekali di jaman dan era
tawuran di kalangan pelajar sekarang ini.
v
Perguruan Tamansiswa menyebut gurunya dengan
Pamong, yang berarti harus ngemong dan mengawasi peserta didik setidaknya
selama 24 jam, sehingga peserta didik akan terawasi dan terjaga dari hal-hal
yang negatif.
v
Beliau ( Ki Hajat Dewantara) adalah tokoh kebangsaan
yang sepak terjangnya dalam dunia pendidikan di akui secara nasional dan
internasional.
v
Jiwa
jurnalis, wartawan, aktif di organisasi sosial dan politik, serta jiwa
kebangsaannya tak perlu di ragukan lagi. Dengan tulisannya “Seandainya Aku
Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”) yang isinya cukup
pedas sekali di kalangan Hindia Belanda pada waktu itu.
v Jika kita mau
menggali dan berjiwa kebangsaan, guru profesional itu sebenarnya adalah guru
yang menjalankan ajaran Ki Hajar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara merangkum
konsep yang dikenal dengan istilah Among Methode atau sistem among. AMONG
mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang.
Pelaksana “among” (momong) disebut PAMONG, yang mempunyai kepandaian dan
pengalaman lebih dari yang diamong. Guru atau dosen di Tamansiswa disebut
pamong yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem
among membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir
batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani
rohani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.Sistem among mengharamkan
hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan karena itu akan menghilangkan jiwa
merdeka anak. Kini orang banyak melihat tayangan kekerasan, misalnya saja film
anak “Tom & Jery” yang melaksanakan hukuman kepada sesama dengan meledakkan
dinamit. Hal ini tidak sesuai dengan pendidikan anak bila kita ingat sifat
kodrati anak “nonton, niteni, niroke”. Sinetron tertentu ada yang dengan lugas
melampiaskan kekerasan dan dendam. Sebaiknya orang tua mencermati, mengarahkan
dan memilih tayangan TV di rumahnya. Sistem Among dilaksanakan secara “tut wuri
handayani” dimana kita dapat “menemukenali” anak, bila perlu perilaku anak
boleh dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang.
DAFTAR
PUSTAKA
3.
psb-psma.org/...pelajaran/.../5469-pendidikan-kara
4.
www.wiwinkatingan.com/.../75-3-ajaran-ki-hadjar...
6.
bdkjakarta.kemenag.go.id/file/.../SerbaSerbi.
7.
hafismuaddab.wordpress.com/.../konsep-pendidika... –
8.
ebookbrowse.com/ajaran-filsafat-pendidikan-ki-ha... –
0 komentar