­

AJARAN PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA (TAMANSISWA)

by - 11:05 PM


PENDAHULUAN
Ki Hadjar Dewantara (KHD) mendirikan Perguruan Tamansiswa pada tanggal 3 Juli 1922. Pada awalnya pendidikan yang diselenggarakan Perguruan Tamansiswa adalah Taman Indria (TK), berikutnya Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Guru (SPG), Taman Karya (SMK), dan Taman Madya (SMA). Tiga puluh tiga tahun kemudian, tanggal 15 November 1955 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Prasarjana yang kemudian menjadi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.

ISI
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) berdiri tahun 1955 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas ini memiliki komitmen dalam pengembangan Tri Darma Perguruan Tinggi dan mengembangkan ajaran Kemandirian, Kemerdekaan dan Kebangsaan sesuai cita-cita pendiri UST yaitu Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara.
Ki Hadjar Dewantara (KHD) mendirikan Perguruan Tamansiswa pada pada tanggal 3 Juli 1922. Pada awalnya pendidikan yang diselenggarakan Perguruan Tamansiswa adalah Taman Indria (TK), berikutnya Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Guru (SPG), Taman Karya (SMK), dan Taman Madya (SMA). Tiga puluh tiga tahun kemudian, tanggal 15 November 1955 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Prasarjana yang kemudian menjadi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Daftar isi
  1 Fakultas
        1.1 Pascasarjana
        1.2 Ekonomi
        1.3 Pendidikan
        1.4 Pertanian
        1.5 Psikologi
        1.6 Teknik
Fakultas
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta memiliki 6 fakultas yang ada di lingkungan UST. Fakultas-fakultas yang ada adalah Fakultas Pascasarjana, Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Psikologi (F Psi), Fakultas Teknik (FT), Fakultas Pertanian (FP), dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan 19 Program Studi di dalamnya.
Pascasarjana
Fakultas Pascasarjana memiliki 4 program studi yaitu,
-           Program Studi Magister Manajemen,
-           Program Studi Magister Manajemen Pendidikan,
-          Program Studi Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dan
-          Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Inggris.
Ekonomi
Fakultas Ekonomi memiliki dua program studi yaitu
-          Program Studi Akuntansi - S1,
-          Program Studi Manajemen Perusahaan - S1,
-          Program Studi Akuntansi - D3
Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan memiliki tujuh program Studi terdiri dari
-          Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) - S1,
-           Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) - S1,
-          Pendidikan Seni Rupa (PSR) - S1,
-            Pendidikan Matematika (PM) - S1,
-          Pendidikan Fisika (PF) - S1,
-          Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) - S1,
-           Pendidikan Teknik Mesin /Otomotif (PTM) - S1,
-           Pendidikan Guru Sekolah Dasar - S1,
-            Pendidikan IPA - S1

Pertanian
Fakultas Pertanian memiliki dua program studi terdiri dari
-          Program Studi Agronomi - S1 dan
-          Program Studi Agribisnis - S1
Psikologi
Fakultas Psikologi memiliki satu program studi yaitu
-           Program Studi Psikologi - S1
Teknik
Fakultas Teknik memiliki dua program studi terdiri dari
-          Program Studi Teknik Sipil - S1 dan
-          Program Studi Teknik Industri - S1

Ø  Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa (SD/Sekolah Dasar) (Yogyakarta)
      Indonesia / Yogyakarta / Yogyakarta / Jalan Tamansiswa, 25
sekolah

Taman Muda adalah sekolah dasar pertama yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara seorang pahlawan nasional pd tahun 1922. Ibu Pawiyatan merujuk lokasinya berada di pusat Tamansiswa yaitu Yogyakarta. Alumninya sudah tersebar di seluruh Indonesia, dari sekitar 200 cabang Tamansiswa yang ada. Ajaran KHD yang saat ini hampir dilupakan, bisa jadi merupakan solusi yang cemerlang bagi arah pendidikan nasional asli Indonesia. Kemajuan intelektual secara semesta sbg pokok ajaran tri pusat pendidikan dg kecerdasan budaya lokal sbg panduan pendidikan budi pekerti luhur. (by L.H.K)


Ø  306 Pengaruh Ajaran Tamansiswa Terhadap Pendidikan Indonesia
Long Life Education, kalimat yang telah kita kenal sejak dulu sampai saat ini, apalagi bagi pemerhati pendidikan. Pendidikan sepanjang hayat, itulah arti bebas dari kalimat tersebut. Pentingnya pendidikan dalam hidup dan kehidupan manusia telah menjadikannya salah satu kebutuhan pokok manusia. Manusia yang tak mempunyai pendidikan bagaikan makhluk yang raganya saja seperti manusia yang sudah meninggal (tidak berguna). Beberapa ajaran agama juga mewajibkan manusia untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, bahkan dikatakan oleh nabi SAW “tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat.” dan juga “tuntulah ilmu walaupun sampai ke negeri cina” Lebih dari itu, kini telah dipercaya bahwa bayi dalam kandungan ibunya mampu untuk berinteraksi dengan alunan suara syahdu di luar kandungan.
Kita tidak boleh lupa bahwa pendidikan bukan hanya kejadian sekali saja bagi seseorang yang berusia dibawah 18 tahun. Konsensus baru harus didasarkan pada akses yang luas terhadap pendidikan tinggi dan peluang berkesinambungan bagi setiap orang dewasa untuk belajar sepanjang hayat (Mantan P.M . Tony Blair, dikutib dari Nicholl;14- 2002).
Pentingnya pendidikan tidak hanya untuk disuarakan dan disyiarkan melalui kalimat dan jargon, namun perlu langkah nyata dalam kehidupan kita. Realisasi keberadaan anasir-anasir pendukung terhadap tercapainya suatu tuntutan terhadap pentingnya pendidikan harus segera dilakukan. Kebijakan-kebijakan dalam sistem pendidikan harus memenuhi unsur aktualitas dan berdaya guna. Konsep pendidikan sepanjang hayat menjadi panduan dalam meninggikan harkat dan martabat manusia dengan pendidikan, termasuk manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini tak boleh tertinggal dengan bangsa lainnya di dunia, oleh karena itu pendidikan sejak dini harus ditanamkan kepada mereka.
Tujuan terpenting pendidikan adalah belajar bagaimana belajar (Luis Alberto Machado, Ph.D dikutib dari Nicholl;35- 2002). Dalam kontek keindonesiaan dimana pendidikan di Indonesia pernah mencapai masa keemasan dimasa kerajaan Sriwijaya, kerajaan Mojopahit dimana pada masa tersebut menjadi pusat pendidikan Hindu-Budha, di Zaman kerjaaan Samudera Pasai menjadi pusat pendidikan islam nusantara, bukan kah ini sebuah kebanggaan bagi bangsa yang pernah menjadi pusat budaya yang memanusiakan manusia sebagai akibat dari tingginya ilmu pengetahuan pada masanya.Pada masa prakemerdekaan Ki Hajar Dewanatara ingin mengembalikan pendidikan yang menjadi satu-satunya cara agar Indonesia meraih kemerdekaannya, sehingga bangsa ini tidak dijajah oleh pihak manapun yang ingin meraih keuntungan dibalik kebodohan bangsa. RM. Suwardi Suryaningrat rela melepas status kebangsawananya menjadi Ki Hajar Dewantara agar lebih merakyat dan sukses merubah kehidupan berbangsanya dalam waktu cukup singkat kurang lebih 23 tahun (1922-1945), kalau kita masih ingat perjuangan Ki Hajar hampir sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW yang selama 23 tahun berhasil merubah kehidupan bangsa arab dari kejahiliyahan ke bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (Islam).
Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai bapak pendidikan nasional sekaligus pendiri perguruan Tamansiswa ini pada tanggal 3 juli 1922, telah melakukan terobosan baru dalam perjuangan berbangsa dan bernegara yang sebenarnya jauh dari apa yang seharusnya dilakukan oleh banyak orang pada umumnya pada saat itu, beliau telah menanamkan jiwa merdeka dan membangkitkan jiwa nasionalisme pada setiap warga bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, apapun yang dilakukan oleh suatu bangsa, termasuk di dalamnya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, hendaknyalah bermuara pada upaya menanamkan jiwa merdeka dan nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara. Merupakan suatu hal yang mustahil, apabila kita berupaya merengkuh kemerdekaan yang hakiki, namun didalam diri kita tidak terdapat jiwa merdeka dan nasionalisme yang tinggi. Dan terbukti pada tanggal 28 Oktober 1928 lahirlah “sumpah pemuda” 6 tahun setelah berdirinya Tamansiswa, para pemuda bersatu untuk meraih kemerdekaan dengan perjuangan baru yang menyatukan perbedaan dengan satu tujuan “Kemerdekaan” dan diraihlah kemerdekaan itu pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ki Hajar Dewantara dengan Tamansiswanya telah menyerukan bangsa Indonesia kembali kepada kepribadian nasionalnya. Supaya bangsa Indonesia menempuh jalan kehidupan menurut garis hidupnya. Kembali  kepada kepribadian nasionalnya berarti kembali kepada garis hidupnya, menurut kodrat alamnya. Dengan jalan nasional orang akan lebih cepat maju dari pada hanya menjadi peniru hidup orang asing yang melambatkan kemajuan itu. Dengan berani dan mau menerima alat dan teknik dari orang dan bangsa lain, dengan cara dan jiwa kepribadian sendiri, suatu bangsa akan lebih cepat maju.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis bangsanya (national-culture) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga mempunyai kedudukan dan pantas bekerja sama dengan negeri lain, demi tercapainya kemuliaan manusia diseluruh dunia.Pendidikan di sekolah/kampus merupakan salah satu upaya menanamkan jiwa merdeka , disamping pendidikan pendidikan keluarga dan pendidikan dalam lingkungan pergaulan (masyarakat). Untuk mampu menanamkan jiwa merdeka, maka aspek-aspek kemanusiaan peserta didik hendaknyalah digarap sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya mencapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan (harmoni) antara pengembangan aspek jasmani dan rohani, dimana dalam aspek rohani terkandung didalamnya kemampuan cipta, rasa dan karsa. Dengan demikian, maka intelektualisme akademik yang semata-mata memacu kemampuan kognitif adalah mengingkari tujuan terbentuknya jiwa merdeka.
Menurut Sudarto (2008;71) dengan trilogi pendidikan yang menjadi prinsip dasar dalam pendidikan Tamansiswa yang berbunyi “ Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.Dalam trilogi pendidikan tersebut, seorang guru harus mempunyai perilaku konsisten dan konsekuen, jujur , adil, bertanggung jawab, bersatunya kata dan perbuatan (menjadi teladan), bersedia berada paling depan pada saat menghadapi kesulitan dan berada paling belakang (menikmati paling akhir) ketika menghadapi kesenangan sehingga dapat memberi pengaruh baik kepada anak didiknya. Guru  harus mampu membangkitkan motivasi (memberdayakan) sekaligus pandai “mengemong”,serta memberikan ketentraman lahir dan batin bagi anak didiknya.Nilai-nilai budaya luhur Indonesia yang telah ditarapkan di Tamansiswa haruslah (menasional) menjadi ciri khas pendidikan Indonesia bukan sebatas komersialisasi pendidikan yang terjadi selama ini yang banyak di pengaruhi oleh politik kekuasaan. Kalau pendidikan sudah masuk dalam dunia politik kekuasaan maka tunggulah masa kehancuran pendidikan. Dalam hal pendidikan kebudayaan ditamansiswa ada Trikon (kontinuita, konvergensi dan konsentrisita) yang seharusnya lebih menasional sehingga hasil didikan di sekolah/kampus menghasil intelektual yang punya jiwa merdeka dan nasionalis serta berdaya dan berbudaya.
Pendidikan harus diperbaharui (Charles Handy dikutib dari Nicholl;16- 2002). Melalui sistem among, Tamansiswa  meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat dimana pengajaran bagi  Tamansiswa berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru/ pamong jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik anak/murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama. Seperti yang pernah di ungkapkan oleh Ki Hajar “Manusia jangan kalah sama cecak, walaupun cecak tak pernah sekolah, toh tidak pernah jadi penganggur”. Hal ini berarti bahwa setiap orang perlu mengembangkan keterampilan yang menjadikan dirinya benar-benar siap dan dapat bekerja menjadi orang-orang ‘MERDEKA’ (yang tidak tergantung pada orang lain) secara ekonomi. Menjadi ‘PENGUASA’ keadaan dan lingkungan, bukannya menjadi korban keadaan dan lingkungan. Menguasai perubahan ketimbang melawannya.Abad prestasi berada dalam genggaman kita-tetapi tergantung pada ETIKA Pendidikan (Mantan PM. Tony Blair, dikutib dari Nicholl;325- 2002). Sistem pendidikan sekarang yang dipengaruhi oleh kekuasan politik membuat pendidikan Indonesia amburadul dan keluar dari national-cultur dan faham trilogi pendidikan yang menjadi prinsip dasar pendidikan Tamansiswa dan nasional. Sehingga Ketika sebuah negara seperti Indonesia sedang terpuruk, hampir semua sepakat untuk menyoroti pendidikan sebagai salah satu biang keladi utama. Tapi, apakah semua sudah sepakat dan sepaham tentang apa itu Pendidikan? Apakah Pendidikan itu sama seperti ketrampilan atau keahlian di sebuah bidang tertentu? Apakah Pendidikan itu berarti paham pemikiran logika dan sistematis, yang hanya mengandalkan fungsi otak kiri saja? Apakah pendidikan hanyalah sebuah sarana untuk mendapatkan Ijazah formal dan pekerjaan agar dapat membiayai diri sendiri (dan keluarga) untuk hidup layak?
Di Indonesia, masalah pendidikan sudah sangat pelik. Memang, komitmen politik pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sesuai amanat Undang-Undang Dasar, tapi sampainya di daerah tidak demikian (masih banyak pemotongan), sampai ditudingnya Departemen Pendidikan sebagai salah satu sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas sekolah dan mahalnya biaya pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang hampir roboh dimakan usia atau korupsi. Adanya dana BOS tidak menjamin semua anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan, hal ini bisa dilihat di desa dan di sudut sudut kota masih banyak putra-putri Indonesia yang tidak bersekolah. Dari sistem perekrutan tenaga pengajar (CPNS) yang disisipi sogok menyogok, bukan pada profesionalitas pengajar dan pengabdian dalam mendidik. Pendidikan yang disisipi indoktrinasi pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan sekedar transfer ilmu pengetahuan semata. Hal ini, terjadi hampir di seluruh Indonesia.  Jadi apakah pendidikan itu? Sistem pendidikan seperti apakah yang cocok diterapkan di Indonesia ini?. Pendidikan bukanlah (hanya) transfer of knowledge, ada sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa, peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika dan intelektual, pada keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya 4%. Porsi terbesar untuk mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak kanan yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi. Dan itu telah diterapkan dalam pendidikan Tamansiswa dengan sistem amongnya dan menjadi prinsip dasar pendidikan di Indonesia. Seorang manusia yang berpikir dan mengetahui cara berpikir selalu dapat mengalahkan sepuluh orang yang tidak berpikir dan tidak mengetahui cara berpikir, (George Bernard Shaw dikutib dari Nicholl; 53- 2002). Sayangnya, pola pendidikan yang dapat membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan di Indonesia akibat dari pendidikan yang dipolitisir oleh para penguasa. Oleh karena itu, pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang menjadi manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan. Padahal, untuk bisa membangun suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual tinggi, tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu, bangsa Indonesia pun memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi segala persoalan dengan tepat. Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan sangat ditentukan oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang murid.
Pendidikan adalah sesuatu yang tersisa setelah melupakan semua yang telah dipelajari di sekolah. (Albert Einstien). Tapi pola pendidikan ideal seperti ini sangat langka di Indonesia yang cenderung lebih mengarah pada transfer of knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang anak didik menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri dan peka terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya. Pendidikan bukanlah indoktrinisasi pemahaman, Di Indonesia banyak sekali lembaga pendidikan yang didirikan oleh lembaga-lembaga agama dengan tujuan secara langsung maupun tidak langsung untuk menanamkan doktrin-doktrin agama dalam benak anak didik dari usia muda. Hal ini patut disesalkan karena dikhawatirkan kelak anak-anak tersebut tidak mampu mengapresiasi keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini. Diperparah pula oleh timbulnya perda-perda syariat yang seakan melegalisir pemisahan bagi para siswa di sekolah. Dan, hasilnya adalah konflik antar agama, konflik horisontal antar kelompok masyarakat hanya karena berbeda dengan dirinya. Perbedaan yang semestinya menjadi rahmat keberagaman bagi umat manusia, malah menjadi kutukan dan penyebab perang di antara umat manusia. Pendidikan bukanlah hanya untuk orang kaya saja, Sekolah favorit selalu menjadi incaran orangtua murid untuk menyekolahkan anaknya di sana. Kenapa? Karena dengan bersekolah di sekolah favorit maka kemungkinan besar, sang murid akan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak di masyarakat dan menjadi kaya. Jadi apakah kita berpendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? Bila jawabannya tidak, tapi kenyataannya bahwa banyak sekolah-sekolah yang menawarkan fasilitas dan kelas ketrampilan tambahan menjadi sekolah-sekolah favorit walaupun bertarif sangat mahal. Dan, hanya orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sana karena banyak juga perusahaan yang hanya mau mempekerjakan para lulusan dari sekolah-sekolah favorit saja. Pola pikiran seperti ini hanya menimbulkan ekses-ekses bahwa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan pendidikan. Jelas ini bertentangan dengan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ke-2 dari Pancasila. Pendidikan yang diterapkan disekolah maupun di kampus telah menimbulkan ketidakadilan bagi pelajar itu sendiri karena kemerdekaannya dalam berpikir dan berkarya selalu di kekang oleh sistem yang hanya melihat prestasi dari dari satu sisi sedangkan sisi lain diabaikan, contohnya dalam hal UAN pemerintah hanya mengukur tingkat kelulusan para siswa dari nilai ujian akhir padahal yang lebih tahu para siswa lulus atau tidak lulus hanya guru disekolah tersebut yang bersama selama beberapa tahun. Belum lagi  dari sarana dan prasarana harus dilihat, harus membedakan tingkat daya serap informasi & teknologi serta pergaulan di kota dan pedalaman. .Sebaiknya UAN itu hanya untuk mengukur tingkat prestasi para siswa secara nasional bukan mengukur kelulusan. Sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Guru menjadi agen pengawas, penindas, merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadikan lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. (Prof. Kurt Siregar). Dikampus banyak terjadi permasalahan yang nota bene mahasiswa adalah tingkat advanced dimana para siswa bisa menalaah atau menafsirkan dan mengembangkan pemahamannya tentang suatu teori. Mereka seharusnya lebih ditekankan bagaimana cara mereka belajar bukan pada apa yang mereka pelajari. Para pelajar boleh jadi belajar dalam berbagai cara yang berbeda-tetapi satu hal yang sama-sama mereka miliki adalah pendekatan aktif terhadap pembelajaran. Mereka tidak pernah duduk dengan pasif mendengarkan atau membaca. Mereka senantiasa bertanya kepada diri sendiri, serta selalu melakukan sesuatu untuk meyakinkan diri bahwa mereka telah mendapatkan fakta-fakta dalam cara yang sesuai dengan pilihan-pilihannya. Terserah bagaimana cara mereka memastikan diri bahwa mereka sudah memperoleh informasi dengan cara mereka sendiri yang paling mudah dalam memperoleh dan mengingatnya.
Melalui tindakan anda menciptakan pendidikan anda sendiri. (David B. Ellis dikutib dari Nicholl;126- 2002). Jangan bikin aku berjalan ketika aku ingin terbang.(Galena Dolva dikutib dari Nicholl;128- 2002). Sebuah contoh, Sistem pengajaran dan penilaian para dosen di sebuah universitas dimana banyak penyimpangan dari prinsip dasar pendidikan. Kepuasan mahasiswa dalam belajar di  univesitas berkurang karena beberapa sebab, antara lain mayoritas cara pengajaran yang membosankan sehingga hasilnya mahasiswa tidak bisa menjawab soal waktu ujian, begitu juga dalam penilaian kadangkala menggunakan sistem random sehingga membuat sebagian mahasiswa menanyakan bagaimanakah cara penilaian dosen itu? “Kok, seperti ini nilaiku padahal aku yakin jawabanku benar” ada juga kasus dimana sejumlah mahasiswa sampai mengulang mata kuliah tertentu samapi 2-3 kali tapi nilainya sama bahkan tambah buruk, padahal mereka mengulang hanya untuk memperbaiki nilai, bukankah mengulang salah satu bentuk usaha? Dimana cara dosen menghargai usaha mahasiswanya? Ada kasus lain dimana sejumlah mahasiswa mengumpulkan tugas mata kuliah tertentu, tapi nilainya juga tidak memuaskan. Terus mahasiswa tersebut berkata “Kok seperti ini cara menghargai karya mahasiswa? Padahal aku telah berusaha dengan sebaik mungkin tapi nilainya??? Bukankah ini juga menyangkut nama baik univesitas tersebut  didunia kerja nasional, kalau nilainya tidak meyakinkan untuk masuk dan diseleksi, bagaimana bisa di terima jadi PNS atau pegawai lainnya? Dan pada akhir lulusan universitas tersebut menjadi kerdil dan minder dalam menghadapi dunia kerja. Padahal lulus dan segera mendapatkan kerja merupakan tujuan kami kuliah, kami datang dari daerah yang jauh untuk memperbaiki daerah dan masa depan kami. Itu semua merupakan sebuah pertanyaan besar bagi para calon pemimpin ini. Lebih-lebih pada zaman sekarang ada pengaruh negatif yang diakibatkan oleh ProgramTelevisi (TV) yang tidak mendidik. Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good.  Celakanya, program-program TV negara ini dipenuhi hal-hal berbau klenik, perdukunan, kekerasan, budaya instan, pola hidup konsumtif, dll. Sehingga tidak mengherankan bila masyarakat kita mudah sekali ditipu oleh sms-sms berhadiah karena ingin cepat kaya (budaya instan), oleh iklan-iklan yang menimbulkan keinginan berbelanja barang-barang yang tidak diperlukan (konsumtif), bertikai dengan kekerasan karena berbeda, dan mudah dibodohkan oleh cerita-cerita gaib ilmu perdukunan maupun ramalan. Maka dari itu perlunya solusi yaitu mengembalikan sistem pendidikan Indonesia ke aslinya yang berbasis budaya Indonesia.dimana pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, “Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.”
Pendidikan itu bukan suatu pemaksaan. Inilah yang paling menyentuh dan paling relevan dari pandangan Ki Hajar Dewantara dalam alam demokrasi. Artinya jangan memaksakan dan mematikan perkembangan alamiah anak didik. Akan tetapi, pendidikan harus bisa mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada pada anak didik. Oleh sebab itu, pendidikan dengan pemaksaan harus diganti dengan pendidikan yang bersifat Among Sistem. Yakni sistem yang memerdekakan pikiran, semangat, dan kreativitas anak didik. Pada zaman dulu kita melihat guru datang kepada murid untuk mengindoktrinasi. Jika anak itu tidak menguasai pelajaran, ia mendapat hukuman. Kalau anak itu bisa menjawab, ia memperoleh hadiah. Sistem seperti ini harus diganti, karena dinilai tidak mendidik, tidak memerdekakan pikiran, semangat dan kreativitas serta karya anak didiknya. Guru wajib mengasuh anak didiknya, mengasah kodrati secara alamiah. Guru juga wajib mendorong anak didiknya dengan metode Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarsa sung tuladha, maksudnya bila seseorang berada di depan diharapkan mampu menjadi teladan atau contoh yang baik bagi anak didik/ anak buah atau pengikutnya, ing madya mangun karsa, maksudnya seseorang level menengah diharapkan mampu menuangkan gagasan dan ide-ide yang baru untuk mendukung program yang sudah diterapkan,  tut wuri handayani, maksudnya jika posisi kita berada dibelakang, diharapkan ikut mendukung program-program yang sudah ditetapkan, tidak justru menjegal agar gagal. Ada beberapa ajaran dari bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan diantaranya beliau mengibaratkan bahwa pendidikan laksana sebuah taman (system) dimana ditaman itu tempat tumbuh kembangnya bunga-bunga (siswa), kita sebagai pendidik hanyalah tukang kebun. Apabila kita melihat bunga mawar janganlah lihat tangkai dan durinya tapi lihatlah bunganya, jika kita hanya melihat tangkai dan durinya maka yang ada hanya “sampah” tapi kalau lihat bunganya maka kita akan merasakan keindahan dan keharumannya. Ditaman pasti ada bunga yang kurang subur, tugas kita sebagai tukang kebun hanya merawat, memupuk dan menyiramnya. Tingkat kesuburan tergantung pada kualitas bibit dan tanahnya, sehingga kita sebagai tukang kebun merawat agar bunga bunga itu tidak mati, dalam hal ini kesuburan tanaman menjadi pusat perhatian guru. Tukang kebun hanya bisa memperbaiki dan memperindah jenis tanaman dengan usaha-usaha yang mendorong perbaikan perkembangan jenisnya. Tukang kebun juga tidak bisa memaksa tanaman mempercepat bunganya agar segera bisa dipanen demi kepentingan mendesak, tapi semua itu harus diikuti dengan kesabaran. Oleh sebab itu, tukang kebun/taman harus tahu sifat dan watak serta jenis-jenis tanamannya, sehingga bisa membedakan antara bunga mawar dan melati. Disamping itu, tukang kebun juga harus paham akan ilmu mengasuh tanaman agar bisa bercocok tanaman dengan baik, agar yang dihasilkan adalah tanaman dari tanah yang subur dan bunga yang baik. Menurut Ki Hajar D, tukang kebun tidak boleh membedakan dari mana asal; tanaman, pupuk, alat kelengkapan dan asal ilmu pengetahuan itu. Namun yang harus dimanfaatkan segala yang menyuburkan tanaman menurut kodrat alamnya (potensinya). Seperti yang telah di ungkapkan oleh Luis Alberto, Ph. D bahwa tujuan pendidikan adalah belajar bagaimana belajar karena ketika seseorang mempelajari cara belajar, kepercyaan dan  keyakinan dirinya meningkat. Ketika seseorang mempelajari cara belajar, mereka tidak hanya bisa menghadapi teknologi baru dan perubahan, bahkan mereka menyambut baik kedatangannya. Dia memperoleh kemampuan dasar untuk menjadi pelajar yang mampu mengatur diri, dan kemampuan dasar untuk meningkatkan pengembangan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk berubah dari konsumen pendidikan yang pasif menjadi pengelola pembelajaran dan kehidupan yang aktif bagi diri sendiri. Bila sekarang Pendidikan Barat memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19, Pendidikan yang baik akan menempa seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan sistem pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah diterapkan dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa.

Ø  PENDIDIKAN TAMAN SISWA
 Tokoh Pendiri Taman Siswa
Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara merupakan putera dari KPH Suryaningrat dan cucu dari Pakualam III. Nama kecilnya adalah R. M. Suwardi Suryaningrat, pada usia 39 tahun, ia berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Kelahiran Taman Siswa dianggap sebagai titik balik dalam pergerakan Indonesia, karena kaum revolusioner yang mencoba menggerakkan rakyat dengan semboyan-semboyan asing dan ajaran-ajaran Marxis terpaksa memberikan tempat untuk gerakan baru, yang benar-benar berasas kebangsaan dan bersikap kooperatif dengan pemerintahan.
Latar Belakang Lahirnya Taman Siswa
Perguruan Taman Siswa untuk pertama kali berdiri pada tahun 1922 dengan pimpinannya Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Taman Siswa merupakan organisasi yang bertujuan menggembangkan edukasi dan cultural, yang direalisasikan dengan baik. Berdirinya sekolah-sekolah dilingkungan Taman Siswa adalah bukti dari edukasi Nasional dan pengembangan kebudayaan Nasional adalah kreasi Taman Siswa. Merupakan salah satu senjata yang digunakan untuk menghadapi dominasi kolonial. Taman Siswa berpendapat bahwa pendidikan nasional merupakan sarana untuk menumbuhkan nasionalisme. Melalui pendidikan yang berjenjang di lingkungan Taman Siswa itu akan dapat menghasilkan elit Kultural yang akan berperan besar dalam pergerakan nasional. Pendiri Taman Siswa adalah bapak pendidikan nasional yang lahir di yogyakarta pada tanggal 2 mei 1889. Hari lahirnya lalu hingga kini diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Ia terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, yang berasal dari lingkungan keratin Yogyakarta. Lalu ia berganti nama dengan Ki Hajar Dewantara, tujuannya yaitu supaya ia dapat dengan bebas bergaul dengan rakyat. Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera). Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.[1]
Selain ulet sebagai wartawan muda Ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Tahun1908, Ia tergabung dalam organisasi Budi Utomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudia bersama dengan teman-temanya tergabung dalam Tiga Serangkai yang beranggotakan Raden Mas Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantara), Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, mereka mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Namun organisasi ini ditolak Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Lalu Ki Hajar Dewantara mengkririk pemerintahan Kolonial Belanda dengan tulisan yang berjudul antara lain yaitu Seandainya Aku Seorang Belanda, Als Ik Eens Nederlander Was. Akibat dari tulisan tersebut pemerintahan Kolonial Belanda menjatuhkan hukuman tanpa proses kepada Ki Hajar Dewantara, hukuman tersebut berupa hukuman Buang, lalu Ia pun dihukum dan dibuang ke Bangka. Lalu Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerintah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman Buang juga. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa mempelajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah pulang dari pengasingan bersama dengan rekan-rekannya Ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak Nasional yang di beri nama Onderwijs Instituut Taman Siswa ( Perguruan Taman Siswa).
 Sepak Terjang Ki Hajar Dewantara dalam rintangan dunia pendidikan
  Rintangan pertama muncul pada tahun 1924. Taman Siswa dikenakan pajak rumah tangga, namun Ki Hajar Dewantara tidak mau membayarnya dengan alasan bahwa ia dan keluarganya hanya menempati dua kamar di tengah-tengah perguruan. Menurut Ki Hajar Dewantara, tidak semestinya ia dikenakan pajak rumah tangga. Namun hal itu tidak diperhatikan oleh pemerintah. Taman Siswa tetap diharuskan membayar pajak rumah tangga. Untuk membayarnya, maka barang-barang milik Taman Siswa dilelang. Setelah Ki Hajar Dewantara mengajukan protes, maka pajak rumah tangga tersebut kemudian dikembalikan. Atas kedermawanan para pembeli, barang-barang yang telah dilelang juga dikembalikan kepada Taman Siswa.
    Rintangan berikutnya berupa “Onderwijs Ordonnantie sekolah partikelir” atau disebut juga: Ordonansi Sekolah liar yang muncul pada tanggal 17 September 1932. Maksud ordonansi tersebut yaitu:
·         Sekolah Partikelr harus minta ijin terlebih dahulu.
·         Guru-gurunya sebelum memberi pelajaran harus mempunyai ijin mengajar.
·         Isi pelajaran tidak boleh melanggar peraturan negeri dan harus sesuai dengan sekolah negeri.
Ki Hajar Dewantara menentangnya, karena ordonansi dianggap melampaui batas. Oleh karena itulah Ki Hajar Dewantara kemudian melakukan protes kepada Gubernur Jenderal. Sikap tersebut mendapat dukungan dari partai-partai serta harian dan diperjuangkan pula oleh Volkstraad. Akhrinya ordonansi tersebut dibatalkan pada tahun 1933.  Rintangan lain muncul dengan dikeluarkannya “Onderwijsverbod” yang isinya berupa larangan mengajar. Selama dua tahun (1934-1936) guru Taman Siswa yang menjadi korban sebanyak 60 orang. Bahkan ada juga cabang Taman Siswa yang ditutup selama satu tahun.
            Mulai bulan Februari 1935, Taman Siswa mendapat percobaan lagi, yaitu mengenai tunjangan anak. Peraturan pemerintah kolonial menetapkan, bahwa mulai tahun itu, hak atas tunjangan hanya diberikan kepada pegawai negeri yang anaknya sekolah pada:
-          Sekolah Negeri
-          Sekolah Partikelir yang mendapat subsidi
-          sekolah-sekolah lain yang mendapat hak memakai ssalah satu nama seperti sekolah negeri, misalnya: HIS, Volksschool.
Atas perjuangan Ki Hajar Dewantara, maka mulai tahun 1938 semua pegawai negeri yang menyekolahkan anaknya, baik di sekolah negeri, sekolah bersubsidi maupun di sekolah partikelir mempunyai hak yang sama atas tunjangan anak.  Perjuangan menentang pajak upah. Peraturan pajak upah mulai berlaku tahun 1935. Ki Hajar Dewantara menolaknya karena dalam Taman Siswa tidak ada majikan dan buruh, tetapi berdasarkan kekeluargaan. Tuntutan Ki Hajar Dewantara berhasil pada tahun 1940, sehingga guru-guru Taman Siswa dibebaskan dari pajak upah.
  Sistem pengajaran Taman Siswa
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.
Sejak berdirinya pada tahun 1922 hingga kini Tamansiswa sangat dikenal sebagai lembaga pendidikan yang menasional. Meski beberapa dekade belakangan ini nama Tamansiswa agak surut, termasuk dalam dunia pendidikan yang menjadi andalannya itu sendiri. Hal tersebut tidak semata-mata karena semakin banyaknya bermunculan lembaga-lembaga pendidikan yang kompetif, meski cenderung menjadi pasar, namun juga karena tampaknya Tamansiswa sendiri kehabisan energi, terutama energi pembaruan, di bidang pendidikan.
Setelah didirikannya Taman Siswa pada tanggal 3 juli 1922, perjalanan Taman Siswa ini tidak berhenti disitu saja melainkan Taman Siswa ini terus berkembang dimana Taman Siswa ini berperan dalam menumbuhkan rasa Nasionalisme bangsa Indonesia. Seperti kita ketahui sejak awal Taman Siswa dibentuk memberikan pendidikan yang berdasarkan pada kepribadian bangsa. Meskipun menggunakan sistem pendidikan modern Belanda akan tetapi Taman Siswa tidak mengambil kepribadian Belanda. Dengan demikian, anak didiknya tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang sangat berbeda dengan Belanda. Peran Guru Taman Siswa berasal dari bangsa Indonesia dan umumnya berasal dari para aktivis pergerakan nasional yang bercita-cita memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Dimana Taman Siswa ini mempunyai prinsip dasar atau semboyan dalam pendidikan yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita dan menjadi semboyan pendidikan sampai sekarang. Isi dari prinsip dasar pendidikan tersebut antara lain:
Ing Ngarso sung Tulodo Maksudnya Di depan seorang pendidik harus memberi teladan dan memberi contoh tindakan yang baik.
Ing Madya Mangun karso Maksudnya Di tengah atau di antara murid guru harus menciptakan prakarsa, ide serta kerja sama.
Tut Wuri Handayani Maksudnya Di belakang seorang guru harus bisa memberi daya-semangat, dorongan dan arahan.
Selain mempunyai semboyan yang menjadi pegangan pendidikan di Taman Siswa. Taman Siswa juga mempunyai dasar-dasar dalam pendidikannya. Dimana dasar-dasar pendidikan Taman Siswa ialah Pancadarma antara lain yang isinya:
v  Kodrat Alam
Kodrat alam sebagai perwujudan kekuasaan Tuhan, yang mengandung arti, bahwa pada hakekatnya manusia sebagai mahkluk Tuhan adalah satu dengan alam semesta ini, karena itu manusia tidak dapat terlepas dari kehendak hukum-hukum kodrat alam. Malahan manusia akan mengalami kebahagiaan, jika manusia dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang menggandung segala hukum kemajuan.
v  Kemerdekaan
Kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir-batin anak, agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir dan bertindak.[3] Artinya kemerdekaan harus menjadi dasar untuk mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana perimbangan dan keselarasan dengan masyarakat.
v  Kebudayaan
Dasar kebudayaan mengandung arti keharusan memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional. Dalam memelihara kebudayaan nasional itu, yang pertama dan utama adalah membawa kebudayaan nasional kearah kemajuan yang sesuai dengan kemajuan jaman, guna kepentingan hidup rakyat lahir dan batin di dalam tiap jaman.
v  Kebangsaan
Dasar Kebangsaan mengandung arti adanya rasa satu dengan bangsanya sendiri dalam suka dan duka, dan dalam kehendak mencapai kebahagiaan lahir dan batin seluruh bangsa. Dasar kebangsaan tidak boleh bertentangan dengan asas kemanusiaan, dan tidaklah mengandung permusuhan dengan bangsa-bangsa lain.
v  Kemanusiaan
Dasar kemanusiaan mengandung arti bahwa kemanusiaan itu ialah darma tiap-tiap manusia yang timbul dari keluhuran akal budinya.dasar akal budi menimbulkan rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan.
Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya. Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antartiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
Di Taman siswa diadakan bagian-bagian antara lain yaitu:
o   Taman Indriya ( Taman kanak-kanak) Yaitu bagi anak yang berumur 5-6 tahun
o   Taman Anak ( Sekolah Dasar kelas I-III) yaitu untuk anak yang berumur 6,7 tahun sampai dengan 9,10 tahun.
o   Taman Muda (Sekolah Dasar kelas IV- VI) yaitu untuk anak yang berumur 10-13 tahun.
o   Taman Dewasa ( Sekolah Menengah Pertama)
o   Taman Madya ( Sekolah Menengah Atas)
o   Taman Guru B I adalah sekolah guru untuk menyiapkan calon guru Taman Anak dan Taman Muda. Lama belajar satu tahun sesudah Taman Dewasa. Jika pada akhir tahun pengajaran dapat lulus maka mereka dapat menjadi guru di Taman Anak dan Taman Muda.
Sumbangan berdirinya Taman Siswa bagi Pendidikan Indonesia
    Sumbangan dari Taman siswa antara lain yaitu:
  Memberikan sumbangan pada sebutan seorang pengajar yakni ”Nyi” untuk pengajar wanita dan sebutan ”Ki” untuk pengajar pria. Pada zaman penjajahan belanda, sebutan untuk orang yang mengajar di sekolah adalah Meneer (untuk pengajar laki-laki) dan Juffouw (untuk pengajar perempuan). Taman siswa kemudian mengubah sebutan itu dengan menggunakan sebutan bahasa Indonesia, yakni ”Nyi” dan ”Ki”. Penggunaan bahasa Indonesia ini merupakan upaya taman siswa untuk memperkenalkan bahasa Indonesia kepada anak didiknya sejak dini. Lalu pada perkembangannya sebutan ”Nyi” dan ”Ki” berubah menjadi Bapak dan Ibu Guru.  Pelopor pendidikan nasional. Taman siswa dikatakan sebagai pelopor karena setelah adanya taman siswa sebagai lembaga pendidikan yang bercorak nasional, kemudian banyak muncul lembaga-lembaga pendidikan seperti INS kayu tanam, hingga sekarang pendidikan terus berkembang. Memberikan sumbangan semboyan yang masih digunakan hingga kini di sekolah-sekolah yaitu: Tut wuri handayani yang artinya dibelakang seorang guru harus bisa memberikan daya semangat dan juga arahan kepada anak didiknya.

Ø  INS ( INDONESISCHE NEDERLANDSCHE SCHOOL ) KAYU TANAM
 Tokoh Pendiri Kayu Tanam
Moh. Syafei seorang yang berdarah Minang dilahirkan di Kalimantan Barat tepatnya di daerah Natan tahun 1895. Anak dari Mara Sutan dengan Indung Khadijah. Ia menamatkan di Sekolah Rakyat tahun 1908, masuk sekolah Raja (Sekolah Guru) lulus pada tahun 1914. Kemudian beliau hijrah ke Jakarta dan menjadi guru pada sekolah Kartini selama 6 tahun. Disela-sela kesibukannya menyempatkan diri untuk belajar menggambar lulus tahun 1916, bahkan aktif dalam Budi Utomo serta Insulide serta membantu Wanita Putri Merdeka. Moh. Syafei pada tanggal 31 Mei 1922 berangkat ke negeri Belanda menempuh pendidikan atas biaya sendiri. Belajar selama 3 tahun dengan memperdalam ilmu musik, menggambar, pekerjaan tangan, sandiwara termasuk memperdalam pendidikan dan keguruan. Pada tahun 1925 kembali ke Indonesia untuk mengabdikan ilmu pengetahuannya.
 Perkembangan Pendidikan INS Kayu Tanam
Masa Awal RP INS Kayu tanam
Kayutanam adalah nama desa kecil di Sumatera Barat sedangkan INS sebuah lembaga pendidikan yang merupakan akronim dari Indonesche Nederlandsche School. Cikal bakal sekolah ini adalah milik jawatan kereta api yang dipimpin oleh ayahnya. Tanggal 31 oktober 1926 diserahkan kepada M. Syafei untuk mengelolanya dan kemudian tersohor dengan nama Ruang Pendidikan Indonesche Nederlandsche School (RP INS) Kayutanam.

Pada awal didirikan, Ruang Pendidik INS mempunyai asas-asas sebagai berikut :
-          Berpikir logis dan rasional
-          Keaktifan atau kegiatan
-          Pendidikan masyarakat
-          Memperhatikan pembawaan anak
    Menentang intelektualisme
Zaman Penjajahan Belanda
RP INS kayutanam tahun 1926 memiliki 75 orang siswa terdiri atas dua kelas (1A dan 1B) dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Gedung sekolah RP INS Kayutanam dibangun sendiri oleh siswa tahun 1927 terbuat dari bambu beratap rumbia. Karena membutuhkan lahan luas maka pada tahun 1937 dipindahkan ke Pelabihan, 2 kilometer dari Kayutanam dan selesai pada tahun 1939. Kemajuan terus tercapai dengan adanya :
Terbangunnya asrama dengan kapasitas 300 orang dan 3 perumahan guru
    Murid 600 orang
    Asrama dilengkapi dengan satu ruang makan dan dapur
    1 pesanggerahan
Zaman Penjahan Jepang
Pecahnya PD II 1941 INS diduduki secara paksa oleh Belanda dan proses pembelajaran terhenti. Setelah Jepang menang tahun 1942 RP INS berubah terjemahannya menjadi Indonesche Nippon School. Di zaman ini pembelajaran merosot tajam yang disebabkan oleh sulitnya memperoleh alat-alat pelajaran dan digunakan untuk bekerja serta berlatih demi kepentingan perang Jepang.[5]
Zaman Kemerdekaan
Nama INS tetap dipakai akan tetapi sebagai singkatan dari Indonesia Nasional School, pada masa kemerdekaaan Kayu tanam mengalami perkembangan ini dilihat dari : Atas ijin pemerintah Kayutaman mendirikan ruang pendidikan pengajaran, dan kebudayaan di bekas kantor penyelidikan di Padang Panjang. Perpustakaan ini pada masa itu memiliki koleksi buku sebanyak 23.000 buku.  Pada tahun 1952 mendirikan percetakan dan penerbitan sendiri yang bernama Sridharma, dan menerbitkan majalah bulanan Sendi, serta mengarang buku Kunci 18 untuk memberantas buta huruf.
 Pada tanggal 31 Oktober 1952 INS dijadikan SGBN Istimewa, keistimewaan ini terletak pada :

Moh Syafei tidak 100% terikat oleh peraturan-peraturan pemerintah.
Murid-murid INS berasal dari seluruh Indonesia.
Pelajaran yang diutamakan adalah ekspresi, seperti menggambar, musik, tari-
tarian, pekerjaan tangan.
 Pada tahun 1953 INS diserahi untuk melatih guru-guru dari seluruh Indonesia yang dikirim oleh pemerintah untuk menyempurnakan kepandaianya dalam mata pelajaran ekspresi. Setelah kemerdekaan landasan dikembangkan menjadi dasar-dasar pendidikan Indonesia :
Ketuhanan Yang Maha Esa
            Kemanusiaan
            Kesusilaan
            Kerakyatan
            Kebangsaan
    Gabungan antara pendidikan ilmu umum dan kejuruan
    Percaya pada diri sendiri juga dari Tuhan
    Berahlak (bersusila) setinggi mungkin
    Bertanggung jawab atas keselamatan nusa dan bangsa
    Berjiwa aktif positif dan aktif negative
    Mempunyai daya cipta
    Cerdas, logis dan rasional
    Berperasaan tajam, halus dan estetis
    Gigih atau ilet yang sehat
    Correct atau tepat
    Emocional
    Jasmani sehat dan kuat
    Cakap berbahasa Indonesia
    Sanggup hidup bersusah paya dan sederhana
    Sanggup mengerjakan pekerjaan dengan alat serba kurang
    Sebanyak mungkin memakai kebudayaan nasional waktu mendidik
            Waktu mengajar peran guru sebanyak mungkin menjadi obyek dan murid-murid menjadi obyek, bila hal ini tidak mungkin barulah para guru mnjadi subyek dan murid menjadi obyek. Sebanyak mungkin para guru mencontohkan pelajaran-pelajarannya, tidak hanya pandai menyuruh saja. Diusahakan supaya pelajaran mempunyai darah kesatria, berani karena benar mempunyai jiwa konsetrasi.
Landasan Penyusunan Kurikulum Kurikulum (Mata Pelajaran) RP INS Kayu tanam
a.      Landasan Idiil

Pancasila yang merupakan sumber hukum dan digali dari kebudayaan-kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tanah air Indonesia
b.      Landasan Konstitusional
Sebagai tujuan dari landasan pendidikan Indonesia yang tertuang dalam RP ISN Kayutanam ada dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4
c.       Landasan Operasional
Landasan operasional sudah tertuang dalam GBHN yang merupakan rintisan dari RP INS Kayutanam yang direalisasikan dalam bentuk Sisdiknas yakni membentuk watak bangsa Indonesia seutuhnya.
 Cita-Cita Pendidikan Kayutanam
    Ingin membentuk pemuda-penuda Indonesia yang berani bertanggung jawab.
    Berani berdiri sendiri atau mandiri.
    Membuka perusahaan sendiri.
    Hidup bebas dan tidak bergantung kepada orang lain.
    Menentang intlektualisme yang hanya mementingkan pembentukan akal saja
    Untuk mencapai kepribadian yang selaras.[6]

  Pola Pendidikan INS dan Landasan INS Kayutanam



Pola pendidikan yang dianut dan diterapkan di INS adalah pendidikan berbasis talenta, ini didasarkan pada falsafah Minang yang tersimpul melalui ungkapan, “Alam terkembang jadi guru” (belajarlah dari alam dan pelajarilah alam itu), dan ucapan Engku Syafei, “Janganlah minta buah mangga kepada pohon rambutan, tetapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis! (setiap insan memiliki talenta berbeda), serta, “Jadilah engkau menjadi engkau!”[7] Oleh karena itu, dasar pendidikan di INS Kayutanam ini adalah mendorong tumbuh dan berkembangnya bakat bawaan (talenta) yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik.
 Tujuan Pendidikan
Adapun tujuan pendidikan dari INS Kayutanam antara lain: Menumbuhkembangkan budiperkerti dan akhlak mulia (sesuai dengan ajaran agama, etika dan moral); menumbuhkembangkan kemerdekaan berpikir (aktif-kreatif); Menumbuhkembangkan pengetahuan, bakat/talenta dan potensi diri sesuai dengan kebutuhan masyarakat;  menumbuhkembangkan etos/unjuk kerja yang tinggi; menanamkan percaya diri, kreativitas, kemandirian, dan kewirausahaan (entrepreneurship; serta mewujudkan dalam tindakan nyata semboyan: “cari sendiri dan kerjakan sendiri ”, artinya sekolah harus mampu membiayai dirinya dan tidak mau menerima bantuan yang dapat mengurangi kebebasan untuk mencapai cita-cita. Mendidik anak-anak agar mereka mampu berfikir secara rasional. Moh. Syafei ingin membawa anak-anak kepada hal-hal yang praktis, agar kelak dapat memegang peranan yang menguntungkan masyarakat. Sebagai calon anggota masyarakat anak-anak harus memiliki kecakapan yang praktis. Mendidik anak-anak belajar teratur dan sungguh-sungguh, anak-anak dilatih berfikir dan bekerja secara sistematis, teratur dan efesien.  Membentuk murid-murid menjadi manusia yang berwatak. Menanamkan perasaan persatuan, hal ini nampak dalam kerjasama antara murid-muridnya dalam mendirikan ruang belajar, membuat lapangan olahraga, mengangkut batu dari sungai sebagai bahan bangunan. Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Tingkat Pendidikan dan Usaha-usaha Pelaksanaan Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan yang dikembangkan di INS Kayutanam adalah pendidikan dasar dimana untuk tahun-tahun awal sekolah adalah pendidikan prasekolah. Dari tujuan kurikulum maka pendidikan terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan
 Usaha-usaha Pelaksanaan Pendidikan
Dimulai tahun 1926 di Kayutanam. Keadaan ruang pendidikan pada permulaannya bersifat sederhana dan serba kekurangan. Dimulai dengan modal dua helai tikar untuk tempat duduk, 10 bangku panjang tempat menulis, 1 kotak kapur, dengan jumlah murid 75 orang. Hal tersebut berlangsung sampai 9 bulan. Kemudian secara gotong royong dibangun 1 bangsal yang sederhana ditengah-tengah kebun kopi, terdiri dari 4 kelas sedangkan muridnya bertambah menjadi 200 orang. Pada tahun 1929 sekolah semakin bertambah maju. Maka kemudian pindah ke tanah yang luasnya 3 bau atau kira-kira 4 hektar, yang masih berupa hutan belukar. Dengan kemauan yang kuat maka anak-anak membongkar hutan tersebut. Kemudian dibangun bangunan yang serba sederhana, dan dibangun pula tempat pimpinan sekolah dan bangsal tempat belajar bertukang, baik tukang kayu, tukang besi, menganyam, membuat patung dari tanah liat. Jumlah murid meningkat menjadi 400 orang. Pada tahun 1932 diadakan usaha perluasan, dengan membeli sebidang tanah yang luasnya 15 bau dari pemerintah. Murid-murid giat mengumpulkan uang dengan mengadakan pertunjukan sandiwara, pameran hasil pekerjaan tangan. Juga diterima dana sumbangan dari para dermawan. Maka kemudian timbullah bangunan-bangunan baru yang lebih kokoh dan rapi, berupa gedung sekolah, rumah guru, pesanggrahan, asrama, tempat bekerja, gedung kesenian, lapangan sepak bola serta taman bacaan. Pada waktu itu jumlah muridnya 600 orang.
Penyelenggaraan dan isi rencana pendidikan INS
 Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran
Pada zaman Belanda I.N.S terbagi atas 2 tingkatan :
·         Ruang bawah (S.D) : Lama belajar 7 tahun. Pelajaran ada dua macam yaitu : teori 75 % dan pelajaran praktek 25 %. Pelajaran diberikan waktu pagi dan sore hari.
·         Ruang atas (S.M) : Lama belajar 6 tahun. Disini pelajaran ruang bawah diperdalam dan diperluas. Pelajaran praktek meliputi 50 % dari seluruh waktu belajar. Setelah tamat, murid-murid diserahkan langsung kepada masyarakat untuk memberikan darma baktinya.
 Isi rencana pendidikan
Mata pelajaran ekspresi (curahan) sangat dipentingkan, seperti menggambar dan musik. Pelajaran musik meliputi : latihan seni suara, main biola, gitar, dan seruling. Pelajaran menggambar termasuk pula membuat klise dari kayu. Pekerjaan tangan dipakai sebagai bentuk pengajaran. Anak-anak bekerja di bengkel, di kebun, dan menghasilkan barang-barang yang dapat dijual untuk membiayai perguruan. Pelajaran pendidikan jasmani diberikan secukupnya, meliputi : bersenam, sepak bola,dan tenis meja. Pendidikan budi pekerti diberikan dengan menanamkan perasaan keagamaan yang bersih dari sifat-sifat kekolotan dan kepicikan. Dianjurkan agar ditempuh cara hidup modern yang rasionil.

1.      Ki Hadjar Dewantara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara
2 September 1945 – 14 November 1945
Presiden          Soekarno
Didahului oleh            Tidak ada, jabatan baru
Digantikan oleh           Todung Sutan Gunung Mulia
Informasi pribadi
Lahir    2 Mei 1889
Bendera Belanda Yogyakarta, masa Hindia Belanda
Meninggal       26 April 1959 (umur 69)
Bendera Indonesia Yogyakarta, Indonesia
Agama             Islam
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun[1]; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959) :
Daftar isi
-          Masa muda dan awal karier
-          Aktivitas pergerakan
-          Als ik een Nederlander was
-          Dalam pengasingan
-          Taman Siswa
-          Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
-          Referensi
-          Pranala luar
Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.  "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya". Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian. Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
oewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian pada masa Indonesia merdeka
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Referensi
 ^         Ini adalah versi Perguruan Tamansiswa dan Kepustakaan Presiden Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, tokohindonesia.com menyebutkan 28 April 1959 sebagai tanggal wafat.
    ^      Uang Kertas Bank Indonesia Pecahan: Rp. 20.000,-, Bank Indonesia, diakses tanggal 26 April 2011.
    ^      "DAFTAR NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA".

Ki Hajar Dewantara
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun tujuannya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebaggai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya(Suwarno, 1985 : 2 – 3). Batasan atau rumusan di atas adaah batasan atau rumusan menurut ahli ilmu pengetahuan yang membahas perilaku manusia terhadap manusia. Pada dasarnya rumusan-rumusan itu ada yang member tekanan pada kegiatan orang dewasa dan ada yang member tekanan pada kehidupan setiap orang dewasa, dan ada yang member tekanan pada kehidupan setia orang. Namun dengan berkembangnya Teori Pendidikan Seumur Hidup (sejak tahun 1960-an), dan pemahaman akan kegiatann fundamental manusia dalam mengembangkan dirinya, maka arti atau makna pendidikan terikat pada ‘waktu sekarang’ dan dapat dilihat dari tiga sudut. Adapun ketiga sudut itu adalah :
1. Sudut orang dewasa susila: “Pendidikan adalah bantuan, pengaruhh orang dewasa susila kepada orang belum dewasa susila tertuju ke pendewasaan diri orang belum dewasa susila”.
2. Sudut orang belumm dewasa susila: “Pendidikan adalah penggunaan bantuan dari orang dewasa susila oleh belum dewasa susila demi pendewasan dirinya”
3. Sudut interaksi keduanya : “Pendidikan adalah kegiatan interaksi orang dewasa susila dan orang belum dewasa susila demi pendewasaan orang yang belum dewasa susila” (Hand out ‘Pengantar Pendidikan’ Drs. Wens Tanlain, M. Pd.,hlm. 18-19).
Tujuan pepndidikan adalah membangun anak didik menjadi manusia merdeka lahir-batin, luhur akal budinya,, serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya (hand out Tamansiswa).
Asas-asas Menurut Ki Hajar Dewantara (pidato peresmian berdirinya Tamansiswa,1922) :
1. Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan mengingat terbitnya persatuan dalam perikehidupan umum. Tertib dan damai itulah tujuan yang sesungguh-sungguhnya. Tidak ada ketertiban jika tidak bersandar pada kedamaian. Bertumbuh menurut kodrat adalah tujuan sesungguhnya.
2. Pendidikan berarti mendidik anak akan menjadi manusia yang merdeka secara batinnya, merdeka pikiran dan merdeka tenaga. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, tetapi mengajar murid supaya dapat mencari sendiri pengatahuan guna beramal kepada kepentingan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu pengetahuanyang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama.
3. Tentang zaman yang akan dating, rakyat kita ada dalam kebingungan. Sering kali kita tertipu oleh keadaan yang kita pandang perlu cocok untuk hidup kita, padahal itu itu keperluan bangsa asing yang dengan kehidupan bangsa kita sendiri. Demikian sering kali kita merusak kedamaian diri kita sendiri.
4. Pengajaran yang hanya dapat dijangkau oleh sebagaian kecil rakyat, tidak berfaedah untuk bangsa kita. Oleh karena itu semua golongan dari bangsa kita harus mendapat pelajaran secukupnya. Oleh karena itu lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat umum dari pada mempertinggi pengajaran, karena mempertinggi pengajaran seolah-olah mengurangi tersebarnya pengajaran.
5. Untuk dapat berusaha dengan asas bebas yang leluasa, maka kita harus bekerja menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan tetapi jika bantuan itu mengurangi kemerdekaan k ita lahir dan batin harus ditolak
6. Oleh karena kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah seggala belanja dari usaha kita itu dipakai sendiri denganuang pendapat biasa. Ini yang dinamakan dengan ‘Zelf beruiping system’. Yang menjadi alatnya adalah semua perusahaan yang tetap berdiri sendiri.
7. Dengan tidak terikat lahir batin serta kesucian hati berniatlah kita untuk berdekatan dengan sang anak. Kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada sang anak (hand out Taman Siswa)
Yang dimaksud dengan sistem ‘among’ oleh Ki Hajar Dewantara:
Sistem “Among” adalah sebagai realisasi dan asas kemerdekaan diri, tertib dan damai dalam masyarakat, pimpinan kebijaksanaan dengan laku ‘Tutwuri Handayani. ‘Among’ (mengemong) berarti memberi kebebasan kepada anak didik dan guru akan bertindak bila tindakan anak didik membahayakan keselamatan dirinya. Dalam keadaan biasa pimpinan harus tegas, anak didik harus tunduk pada pimpinan yang berlaku, kedudukan pimpinan diatas peraturan yang berlaku. Sistem ‘among’ adalah cara pendidikan yang dilakukan Tamansiswa yaitu mewajibkan para pamong agar mengikuti dan mementingkan kodrat pribadi anak didik dengan tidak melupakan pengaruh-pengaruh yang melingkunginya (hand out Taman Siswa).
Metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “Educatethe head, the heart, and the hand”. Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.) Oleh karena itu boleh dapat disimpulkan bahwa sistem ‘among’ adalah suatu sistem yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua asas yaitu:
a)      Kodrat alam, sebagai syarat mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.

b)      Kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir-batin anak, agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir dan bertindak merdeka (hand out Tamansiswa).
Pendidikan berlangsung dalam tiga lingkungan yang disebut “Tri pusat Pendidikan” yaitu :
1.      Lingkungan keluarga: terutama mengenai budi pekerti, keagamaan dan kemasyarakatan secara informal.
2.      Lingkungan sekolah: mengenai ilmu pengetahuan, kecerdasan dan pengembangan budi pekerti secara formal.
3.       Lingkungan masyarakat: pengembangan keterampilan, latihan kecakapan, dan pengembangan bakat secara non formal. (hand out Tamansiswa)

Tri pusat itu diwujudkan dalam sistem :
1.      Menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk perguruan, dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi
2.      Menyebarluaskan ajaran hidup ketamansiswaan
Jadi, menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand!”
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologisnya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya, budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.

Memaknai Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Oleh: Ki Gunawan
BANGSA kita adalah bangsa pemimpi, kata Totok Amin Soefijanto (Kompas, 26/5), dan telah tidur sejak 1913 sambil memimpikan pendidikan sebagai obat mujarab untuk semua penyakit yang ada di masyarakat. Setidak-tidaknya Totok Amin Soefijanto benar saat menyebut kelalaian (atau malah kemahiran kita?) dalam memilih obat yang salah dalam memecahkan masalah bangsa. Namun, saat mengurai persoalan bangsa dengan fokus pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD), sekurangnya ada tiga hal yang memerlukan koreksi. Pertama, kesimpulannya terhadap KHD pada 1913 Als ik eens Nederlander was (bukan Is Ik Nederlander was) yang dimuat dalam brosur yang diterbitkan Comite tot herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid atau "Komite Bumiputera" dan buku Onze Verbanning (bukan media Belanda De Express-mungkin maksudnya De Expres, media berbahasa Belanda yang amat kritis terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yang diasuh di antaranya oleh kaum nasionalis seperti dr EFE Douwes Dekker, seorang Indo Belanda yang sangat bersimpati kepada kaum nasionalis, dr Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat/KHD) sebagai tonggak dimulainya "masa tidur panjang" bangsa kita. Kedua, merangkaikan begitu saja pemikiran KHD pada masa aktif dalam bidang politik melalui Boedi Oetomo dan terutama melalui kegiatan jurnalistik, pada 1908-1922 dengan pemikiran KHD setelah itu yang mulai beralih ke bidang pendidikan. Ketiga, kekeliruannya menafsirkan konsepsi KHD tentang pendidikan karena hanya menyorot secara sepotong-sepotong, khususnya tentang "metode Among" dengan trilogi kepemimpinannya (Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani) sehingga justru mengaburkan gagasan awalnya sendiri tentang rekonstruksi pemikiran KHD.
TULISAN KHD dalam brosur walaupun berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda (Als ik eens Nederlander was) bukanlah cermin dari angan-angan atau mimpi KHD. Tulisan itu justru merupakan sindiran halus yang nyelekit terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang tengah merancang perayaan satu abad kemerdekaan negerinya secara besar-besaran di negara yang dijajahnya dengan memungut biaya dari rakyat bangsa yang dijajahnya. Coba simak penggalan dari tulisan itu yang diterjemahkan KHD sendiri: ... Andai aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan kemerdekaan bangsaku di negeri yang rakyatnya tidak kita besar kemerdekaan.... Dengan tidak sadar seolah-olah kita berteriak-teriak: 'lihatlah hai orang-orang, bagaimana kita memperingati kemerdekaan kita; cintailah kemerdekaan, karena sungguh bahagialah rakyat yang merdeka, lepas dari penjajahan!'.... kemudian... Sungguh, seandainya aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan peringatan kemerdekaan di negeri yang masih terjajah. Lebih dahulu berilah kemerdekaan kepada rakyat yang masih kita kuasai, barulah boleh orang memperingati kemerdekaannya sendiri. Penggalan itu sama sekali tidak menunjukkan KHD sedang berandai-andai sebagai seorang Belanda yang berniat memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahannya. Yang tampak justru sebuah sindiran halus yang tajam dan nyelekit tentang ketidakpantasan sikap orang-orang Belanda yang berniat merayakan kemerdekaannya dengan melibatkan rakyat Hindia Belanda (baca: Indonesia) bahkan dengan memungut sumbangan dari rakyat. Tentang tulisan itu, Prof Dr Sardjito, dalam pidato pemberian gelar doktor honoris causa kepada KHD menilai, karya itu merupakan wujud ketangkasan menulis dalam menyerang pihak Belanda. Menurut Prof Dr Sardjito, tamparan yang amat hebat itu dilakukan secara tidak kasar, tidak dengan memaki-maki, senantiasa tetap sebagai ksatria, memberi kata-kata yang tepat, jitu, indah susunannya, ada humornya, ada sinisnya, tercampur dengan ejekan yang pedas yang dilemparkan kepada si penjajah, tetapi selanjutnya juga memberikan pandangan-pandangan yang dapat direnungkan untuk pihak sana, dan juga untuk pihak kita. Dari tulisan-tulisan KHD yang terhimpun di berbagai literatur, dengan mudah kita dapat menangkap gaya KHD dalam mengekspresikan pemikirannya yang sama sekali jauh dari sikap seorang pemimpi yang putus asa. Als ik eens Nederlander was yang menyebabkan KHD dibuang ke Belanda pada 1913 itu rasanya tidak tepat disebut sebagai awal bangsa kita tidur. SISTEM Among dengan trilogi kepemimpinannya sebagai salah satu konsepsi pendidikan KHD bukanlah konsepsi yang muncul tiba-tiba dan dipasarkan melalui Boedi Oetomo (KHD menjadi anggota Boedi Oetomo hanya pada 1908) pada masa KHD aktif di dunia politik (1908-1922) karena KHD baru secara intens menggeluti pemikiran tentang pendidikan justru dalam masa pembuangannya di negeri Belanda (1913-1919). Di Belanda, selain tetap aktif dalam bidang politik, KHD menambah pengetahuannya dalam bidang pendidikan dan mendapat akta guru pada 1915. Di Belanda pula KHD mulai berkenalan dengan gagasan- gagasan tokoh-tokoh pendidikan dunia seperti JJ Rousseau, Dr Frobel, dr Montessori, Rabindranath Tagore, John Dewey, dan Kerschensteiner. Tokoh yang pemikirannya tampak sangat mempengaruhi KHD adalah Frobel dengan pendidikan anak-anaknya yang menekankan pengembangan angan-angan anak-anak untuk mengajarkan anak-anak berpikir melalui permainan, kemudian Montessori yang mengutamakan pelatihan pancaindra untuk mengembangkan tabiat dan kekuatan jiwa anak dan Rabindranath Tagore yang mengutamakan pengembangan kepribadian anak. Gagasan-gagasannya tentang pendidikan mulai berkembang dan baru mulai 1922 dipraktikkan KHD di Tamansiswa.Dengan tegas KHD menolak penerapan konsepsi regeering, tucht, en orde (paksaan, hukuman, dan ketertiban) dalam pendidikan yang menempatkan guru sebagai figur sentral dan siswa sebagai obyek. KHD mengenalkan konsepsi orde en vrede (tertib dan damai) sebagai dasar pendidikan dengan bertumpu kepada prinsip bertumbuh menurut kodrat. Menurut KHD, yang dipakai sebagai alat pendidikan adalah pemeliharaan dengan sebesar-besarnya perhatian untuk memperoleh tumbuhnya hidup anak lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Dan, inilah yang disebut sebagai metode Among dengan Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani yang diterapkan di Tamansiswa sejak 1922. MENEMPELKAN anak sebagai figur sentral dalam pendidikan dengan memberikan kemerdekaan sepenuh-penuhnya untuk berkembang itulah ide dasar pengembangan konsepsi KHD. Guru hanya membimbing dari belakang dan baru mengingatkan anak kalau sekiranya mengarah kepada suatu tindakan yang membahayakan (tutwuri handayani) sambil terus membangkitkan semangat dan memberikan motivasi (ing madya mangun karsa) dan selalu menjadi contoh dalam perilaku dan ucapannya (ing ngarsa sung tuladha). Persoalannya, sekarang ini sering kali guru menjadikan dirinya otoritas yang paling berkuasa dalam proses pendidikan sehingga alih-alih membangkitkan semangat malah justru memasung kreativitas. Sangat banyak guru, baik dalam arti sempit/sebenarnya maupun dalam arti luas, justru berperilaku yang tak pantas untuk diteladani. Berbeda dengan pandangan Totok AS yang menyebut bahwa yang sekarang dipakai hanyalah Ing ngarsa sung tuladha, menurut hemat saya sekarang ini justru tidak satu pun dari konsepsi KHD yang diterapkan di lapangan. Kerja guru sekarang ini tampak semakin mekanis dan hampir tak berjiwa lagi karena diburu target kurikulum dan target kehidupan yang semakin tinggi tuntutannya. Pendidikan pun sudah secara pasti berganti baju menjadi sekadar pengajaran yang bersifat intelektualistik. Bagaimanapun saya setuju bila terhadap konsepsi-konsepsi KHD perlu dilakukan kajian ilmiah agar dengan mudah dipelajari dan dipahami. Akan tetapi, betapa indahnya pun sebuah konsepsi, tanpa praktik yang benar dan sungguh-sungguh, hasilnya pasti akan mengecewakan. Dan, memang pada akhirnya kita hanya akan menjadi bangsa pemimpi dengan segudang persoalan yang tak pernah terselesaikan.
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Ki Hadjar Dewantara (KHD)-- Bapak Pendidikan Nasional-- mendirikan Perguruan Tamansiswa tepatnya pada pada tanggal 3  Juli 1922. Tamansiswa sebagai Badan Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat  menggunakan pendidikan dalam arti luas. Pada awalnya pendidikan yang diselenggarakan Perguruan Tamansiswa adalah Taman Indria (TK), berikutnya Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman  Guru (SPG), Taman Karya (SMK), dan Taman Madya (SMA). Tiga puluh tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 15 November 1955 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Prasarjana yang kemudian menjadi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pada awalnya Sarjanawiyata Tamansiswa adalah sebuah lembaga kursus B Satu. Kondisi prafakultas ini oleh Ki Hajar Dewantara sebagai Pemimpin Umum diberi nama Taman PraSarjana yang menyelenggarakan tiga bagian (jurusan): Bagian Bahasa (Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia), Bagian Sosial (Ilmu Bumi dan Ilmu Sejarah), dan Bagian Alam Pasti (Ilmu Alam Pasti). Beberapa tahun kemudian, yaitu 1959, bentuk lembaga diubah menjadi Taman Sarjana dengan satu fakultas – peleburan program studi yang telah ada – menjadi Taman Sarjana Sastra dan Filsafat. Setelah pengurus yayasan mengadakan rapat beberapa kali maka pada tanggal 28 Desember 1959 dilakukan penandatanganan akte pendirian yayasan Sarjanawiyata di depan notaris R. M. Wiranto di Yogyakarta. Di antara para pendiri yayasan tersebut terdapat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Nyi Hadjar Dewantara. Untuk pertamakalinya yayasan diketuai oleh Ki Sarino Mangunpranoto. Kegiatan yang pertama kali dilakukan adalah mempersiapkan berdirinya Fakultas Pendidikan/Keguruan yang dimulai pada permulaan kuliah yaitu bulan Oktober 1960. Sebelum itu diadakan ”Kuliah Umum” tentang pendidikan dan filsafat di Pendopo Agung Tamansiswa. Pada ulang tahun Tamansiswa ke 41, 3 Juli 1963, diubah namanya menjadi Taman Sarjana dan Ilmu Pendidikan (Jurusan: Ilmu Pendidikan, Ilmu Pasti Alam, Ilmu Sejarah, Ilmu Bumi, Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, dan Bahasa Inggris). Kemudian 1 Oktober 1964, namanya kembali diubah menjadi Sarjanawiyata Tamansiswa dengan Rektor Nyi Hajar Dewantara yang mengelola empat Taman Sarjana (Ilmu Pendidikan, Sarjana Geografi, Hukum dan Ekonomi, Sastra dan Kebudayaan –Bahasa Indonesia, Inggris dan Sejarah). Pada 1980, Sarjanawiyata Tamansiswa mengelola Program Diploma Kependidikan Bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang kemudian diperluas sehingga meliputi Bahasa Inggris, Matematika, Ketrampilan Jasa, Pendidikan Moral Pancasila, antara lain. Pada 1983 berbentuk Universitas dengan mengelola beberapa fakultas lengkap dengan program studinya: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian, Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknik.
Falsafah Dasar
Jiwa Tamansiswa sebagai organisasi perjuangan di bidang kebangsaan dan kemasyarakatan melalui bidang pendidikan dalam arti luas, merupakan ruh perjuangan yang tak kenal berhenti (berkelanjutan), bagi rakyat dan bersama rakyat, bagi semua organisasi Tamansiswa termasuk Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Visi
Terwujudnya Universitas Kebangsaan yang berkembang dan maju, yang mampu membangun kerjasama untuk mewujudkan sistem pendidikan yang dinamis, berkualitas, dan mengikuti perkembangan alam dan jaman dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dan ajaran Ketamansiswaan..
Misi
-          Melaksanakan pendidikan dan pengajaran agar mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka, berbudaya, berbudi pekerti luhur, berwatak, cerdas, kreatif, memiliki etos kerja yang tinggi, dan produktif.
-          Melaksanakan penelitian dalam arti mencari kenyataan dan kebenaran hakiki yang objektif dan universal, membaca ilmu Tuhan dengan belajar, menghasilkan ilmu pengetahuan yang berguna untuk kemanusiaan dan memperkuat iman, bagi perkembangan ilmu, teknologi, dan seni.
-           Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan mempertinggi derajat kemanusiaan.
-          Melaksanakan pengkaderan Ketamansiswaan dalam rangka menyiapkan manusia merdeka, berbudaya, mandiri, berbudi pekerti luhur, dan berwawasan kebangsaan.
Tujuan
-          Terwujudnya masyarakat tertib damai sebagai perwujudan manusia bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka, berbudi pekerti luhur, salam, dan bahagia.
-          Terwujudnya pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat serta terjalinnya kerjasama di segala bidang.
-           Terwujudnya pengembangan ilmu, teknologi, dan seni yang memberdayakan masyarakat.
-           Terwujudnya kader Tamansiswa dan kader bangsa yang mampu memahami, mengamalkan, memelihara, dan mengembangkan secara ilmiah ajaran hidup Tamansiswa yang Pancasilais.
CORE VALUES
Dalam mencapai visi dan misinya, UST menjunjung tinggi nilai-nilai luhur : Ketakwaan, kejujuran, dan keikhlasan,saling percaya dan saling menghargai, integritas, komitmen, dan tanggung jawab, mengutamakan pelayanan prima, kreatif, proaktif, inovatif, dan kolaboratif, kekeluargaan, demokrasi, kesahajaan dan kesederhanaan, serta pluralism, pembelajaran yang terus menerus,  profesionalisme, efektivitas, kualitas, dan efisiensi, wawasan kebangsaan dan wawasan global, merdeka, mandiri, dan makarya.

“Ki Hajar Dewantara” Pahlawan Pendidikan yang mulai dilupakan !
Pendidikan kita semua, yang tanggal kelahirannya, 2 Mei di peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara terkenal dengan ajarannya Sistem Among ( Tutwuri handayani, Ing Madya mangun karsa, Ing ngarsa sung tulada) di Tamansiswa, ialah suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan 1) Kodrat Alam, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepatcepatnya dan sebaik-baiknya; 2) Kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir batin anak, agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta bertindak merdeka. Sistem tersebut menurut cara berlakunya, juga disebut sistem Tutwuri Handayani. Apa yang terjadi sekarang ini? Dunia pendidikan di hebohkan dengan tawuran antar pelajar mulai dari anak-anak SMP, SMA/SMK sampai perguruan tinggi, hampir setiap hari menghiasi surat kabar dan Televisi. Para guru rame mencari metode dan model pengajaran yang relevan dengan era dan jaman yang serba di gital. Mereka lupa, bahwa kita punya seorang pahlawan pendidikan yang harus nya jadi tauladan dan panutan para siswa dan pendidik di negeri ini. Kita kehilangan karakter dan kepribadian bangsa. Erosi sikap dan perilaku sudah menjalar di setiap aktifitas para siswa dan guru. Kilas balik Sang Pahlawan Pendidikan Nasional kita. Beliau di lahirkan pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah sistem Among yang terdiri dari tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di Yogyakarta. Kiprah dan perjuangan beliau patut jadi panutan dan motivasi buat kita. Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi .Beliau mendirikan Perguruan Tamansiswa pada tahun 1922, dimana pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu 1) Kodrat Alam; 2) Kemerdekaan; 3) Kebudayaan; 4) Kebangsaan; 5) Kemanusian, yang berdasarkan Pancasila. Buah pikiran beliau tersimpan di Museum Dewantara Kirti Griya Yogyakarta (di Pusat Perguruan Tamansiswa Yogyakarta). Museum ini di bangun untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. “JAS MERAH” JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH . Ya…inilah seharusnya selaku warga dari bangsa yang besar jangan sekali-kali melupan sejarah. Kita bisa hidup nyaman, mencari ilmu setinggi-tingginya, berekspresi di manapun, salah satunya di kompasiana ini, tentu salah satunya adalah berkat jasa Beliau, sang Pahlawan Pendidikan Nusantara kita yang mulai di lupakan. ” Ki Hajar Dewantara” pantas rasanya kita kedepankan di era sekarang ini. Era yang serba syarat konplik. penuh dengan demo-demo, kreatifitas yang kebablasan, karakter bangsa yang mulai luntur, kepribadian yang semakin sirna dari akhlaqurkarimah, dan ego yang tinggi untuk menyelesaikam masalah semau dan seenaknya tanpa memikirkan orang lain. Prihatin rasanya kita sebagai bangsa yang besar, yang pahlawan kebangsaannya cukup disegani di seluruh dunia, tapi mulai melupakan para pahlawannya begitu saja hanya karena memikirkan sesuatu yang tak jelas.

Ki Hajar Dewantara-muda
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai “Soewardi” atau “KHD”) adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Ki Hajar Dewantara 1
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Masa Muda dan Awal Karier 
Ki_Hadjara_Dewantara_2_February_1947_KR
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
 Aktivitas Pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Als ik een Nederlander Was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”. Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”. Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian. Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai “Tiga Serangkai”. Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam Pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. (“di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa’
TAMAN PINTAR
Baru-baru ini Wisata Kota Yogyakarta sudah dengan serius mengembangkan tempat Wisata lebih banyak lagi untuk memanjakan dan menarik Wisatawan supaya datang ke Yogyakarta. Semoga munculnya tempat-tempat Wisata baru ini dapat mendatangkan Wisatawan Lokal ataupun International. "Taman Pintar" salah satunya. Selain menampilkan arsitek bergaya modern Taman Pintar ini sangat cocok untuk segala umur. Selain mengasah pikiran Anda yang Anda peroleh, dengan adanya tempat wisata ini pengembangan Anda dapat lebih berkreatif, berimajinasi, dan dapat mengembangkan Pengetahuan Anda lebih luas lagi. Yang di resmikan oleh Prisiden Bapak Bambang Yudiyono belum lama ini, ternyata ramai dikunjungi Wisatawan Lokal. Memang tak heran lagi kalau Tempat Wisata Kota Yogyakarta banyak peminat dan menarik untuk di kunjungi. Gedung Oval Taman Pintar Selain menampilkan Budaya Modern, tempat ini pantas untuk dikunjungi untuk perkembangan Anak-anak putra putri tercinta Anda yang masih berkembang dalam menempuh belajar ke depannya. Selain letaknya yang setrategis yang tidak jauh dari Istana Keraton, Kota Malioboro dan Kebun binatang Gembira loka sehinnga cocok untuk Wisatawan yang suka jalan-jalan yang menggunakan kaki.
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMAN SISWA YOGYAKARTA
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) berdiri tahun 1955 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas ini memiliki komitmen dalam pengembangan Tri Darma Perguruan Tinggi dan mengembangkan ajaran Kemandirian, Kemerdekaan dan Kebangsaan sesuai cita-cita pendiri UST yaitu Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara (KHD) mendirikan Perguruan Tamansiswa pada pada tanggal 3 Juli 1922. Pada awalnya pendidikan yang diselenggarakan Perguruan Tamansiswa adalah Taman Indria (TK), berikutnya Taman Muda (SD), Taman Dewasa (SMP), Taman Guru (SPG), Taman Karya (SMK), dan Taman Madya (SMA). Tiga puluh tiga tahun kemudian, tanggal 15 November 1955 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Prasarjana yang kemudian menjadi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.

KONSEP KI HADJAR DEWANTARA BUKAN KEJAWEN
Konsep budaya dan pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD) banyak mempergunakan istilah bahasa Jawa, sehingga ada yang mengatakan dengan dangkal bahwa konsep KHD berbasis Kejawen. Istilah “kejawen” dalam konteks ini bisa merugikan karena berkonotasi negatif sempit. Memang ajaran KHD banyak menggunakan istilah bahasa Jawa misalnya “tut wuri handayani”, “wiyata griya”, “sistem among”, “ngerti-ngroso-nglakoni”. Bahkan sarasehan Rebo Wagen lebih memperberat konotasi negatif tersebut. Padahal Rebo Wagen diambil KHD dari hari kelahiran Pangeran Diponegoro agar dapat mewarisi api juangnya. Sarasehan Rebo Wagen dapat dilaksanakan pada hari Minggu, Jumat atau lainnya. KHD mempergunakan istilah dengan bahasa Jawa dengan dua alasan yang reasenable yaitu pertama KHD konsisten dengan konsentrisitas budaya. Budaya (ilmu) universal yang didapat diterapkan dalam praktisi budaya nusantara secara konsentris, yaitu tidak meninggalkan “local wisdom” budaya sendiri. Alasan kedua yaitu pada jamannya (1922) belum ada Sumpah Pemuda dengan lingua franca bahasa Indonesia. Sehingga konsentrisitas budaya tersebut “terpaksa” mempergunakan istilah bahasa Jawa. KHD mendapat bekal ilmu paedagogie dan mendapat sertifikat mengajar di Negeri Belanda tahun 1915 setelah didorong oleh semangat sang isteri yang mengajar di Frobel School. Bertepatan pula pada masa itu sedang terjadi reformasi pendidikan di Negeri Belanda. Sistem pendidikan yang semula berupa top down satu arah dari sang guru, diubah menjadi mengembangkan talenta sang anak secara pro aktif (tut wuri handayani). Frobel memberikan konsep kemerdekaan bagi sang anak, Maria Montesory mengajarkan cinta lingkungan. Kedua tokoh ini yang kemungkinan besar mengilhami beberapa konsep KHD dalam pendidikan nasional secara konsentris. Bahkan Montesory sempat meninjau perguruan Tamansiswa di Yogyakarta pada pra kemerdekaan. Sehubungan hal tersebut masuk akallah bila KHD kemudian memberikan konsep ilmu pendidikan dalam istilah bahasa Jawa. Sistem Among terinspirasi dari pendidikan merdeka konsep Frobel dengan pelaksanaan secara “tut wuri handayani” agar sang anak dapat merdeka lahir batin dan tenaganya. Sistem Among melarang adanya hukuman paksaan kepada sang anak karena akan menghambat pertumbuhan jiwa merdekanya. Talenta pribadi anak secara kodrati dimiliki sejak lahir yang harus ditumbuhkembangkan dan pamong/guru bisa handayani/koreksi pembinaan pada tahap tertentu saja. Konsep KHD “ngerti-ngroso-nglakoni” identik dengan “kognitif-afektif-psikomotorik”.
Demikianlah KHD terlebih dahulu mempraktekkan teorinya sebelum melansir ke ranah publik. Misalnya teori Trikon terlebih dulu dipraktekkan sepulang dari negeri Belanda. Secara konvergensi menerapkan ilmu universal yang manfaat bagi kemajuan bangsanya. Secara konsentris mengakar pada budaya sendiri dan semuanya diolah secara kontinyu dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi. Hal ini diilhami oleh pendahulunya para Wali Songo khususnya Sunan Kalijogo yang secara konsentris tidak meninggalkan akar budaya bangsa. Penempatan gamelan di halaman masjid tidak ada duanya di seluruh dunia Islam. Demikian pula tradisi lebaran dengan sungkem, saling memaafkan, mudik, halal bi halal yang semuanya tidak ada di negara Islam yang lain. Dengan piawai para Wali memberi istilah pusaka “Kalimasada” (kalimat syahadat) bagi kaum Pandawa yang gagah berani. Konsentrisitas budaya sangat membantu dalam pembentukan kepribadian nasional bangsa Indonesia, agar bangsa ini pantas berdiri sejajar dengan bangsa lain di dunia. Bangsa Jepang bisa maju pesat berkat konsentrisitas budayanya dipadukan smangat bushido. Bahwa KHD tidak fanatik dengan “kejawen” dan bahasa Jawa terbukti pada Kongres Pemuda II tahun 1928, KHD-lah yang pertama melontarkan wacana Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia, berseberangan dengan usul yang lain. Demikan sekilas pemikiran KHD yang jauh dari fanatisme “kejawen” apalagi mengarah kepada sekularisme. Semoga para pembaca semakin memaklumi buah pikiran KHD yang visioner dan dapat diberlakukan sepanjang jaman. Salam.
Biografi Singkat
Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Beliau adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pernah ia di buang ke negeri Belanda oleh pemerintah Belanda dari tanggal 6 September 1913 sampai dengan 5 September 1919, karena kritik pedasnya pada pemerintah Hindia Belanda saat itu. Karena pengabdian dan prestasinya yang besar dalam bidang pendidikan, beliau menjadi menteri pendidikan Indonesia yang pertama pada tahun 1956 di era pemerintahan Soekarno. Beliau wafat pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan dengan pemakaman negara secara militer serta diangkat menjadi Perwira Tinggi oleh pemerintah. Beliau kini dikenang sebagai Bapak Pendidikan bangsa Indonesia. Dan pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan hari lahirnya, tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Berbagai Penghargaan
Gelar Doktor Kehormatan (honoris causa) di bidang Ilmu Kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada.  Diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tanggal 28 Nopember 1959. Dianugerahi Presiden penghargaan Bintang Mahaputra I pada tanggal 17 Agustus 1960. Dianugerahi tanda kehormatan Satya Lencana Kemerdekaan pada tanggal 20 Mei 1961
Perubahan Nama dan Prinsip Hidupnya
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat  bebas dekat dengan rakyat .Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Prinsip Dasar Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik, ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain.  Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).

Teori Trikon
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju kearah keluhuran budaya manusia. Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu
a)   Kontinuitas yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain.
b)  Konvergensi, yaitu berarti kita harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu menuju kearah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaam hak, dan kemerdekaan masing-masing.
c)  Konsentris, yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunukasi dengan bangsa-bangsa lain di   dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri. Meskipun kita bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris itu kita masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan Negara kita dengan Negara lain.

Tri Sentra Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantoro dapat berlangsung dalam berbagai tempat yang oleh beliau diberinama Tri Sentra Pendidikan, yakni :
-           Alam keluarga
-          Alam Perguruan
-          Alam Pergergerakan pemuda
Konsep-Konsep Dasar Pengajaran Ki hajar Dewantoro
  a. Sistem Among
Metode yang  sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
Pendidikan sistem Among bersendikan pada dua hal yaitu: kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan dengan asas yang berbunyi: Tut Wuri Handayani, Ing madya mangun karsa, Ing ngarso sung tuladha. Asas ini telah banyak dikenal oleh masyarakat daripada Sistem Among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya. Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih saying. Dalam sikap Momong, Among, dan Ngemong, terkandung nilai yang sangat mendasar, yaitu pendidikan tidak memaksa namun bukan berarti  membiarkan anak berkembang bebas tanp arah. Metode Among mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang.
   b. Tri Sakti Jiwa
Salah satu konsep budaya Ki Hajar Dewantoro dikenal dengan  ”Konsep Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa. Maksudnya, untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. kalau untuk melaksanakan segala sesuatu itu hanya mengandalkan salah satu diantaranya saja maka kemungkinan akan tidak berhasil. Dalam dunia pendidikan modern saat ini, meskipun berbeda secara substansial, konsep trisakti jiwa bisa diselaraskan dengan upaya memfasilitasi seluruh potensi anak didik dalam perkembangan belajarnya yang meliputi : aspek kognitif (pengetahuan/pemahaman), aspek afektif (sikap atau minat), dan sikap psikomotorik (keterampilan).
Ajaran-ajaran Karakter dan Budaya Ki Hajar Dewantara
a.       Trihayu
Selain itu, konsep pengembangan budaya Ki Hajar dikenal dengan ”Konsep Trihayu” yang terdiri dari mamayu hayuning sarira, mamayu hayuning bangsa, dan mamayu hayuning bawana. Maksudnya, apapun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsa, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya. Kalau perbuatan seseorang hanya menguntungkan dirinya saja maka akan terjadi sesuatu yang sangat individualistik.

b.      Trilogi Kepemimpinan
Dan yang menjadi semboyan pendidikan sampai saat ini adalah ”Konsep Trilogi Kepemimpinan” yang terdiri dari Ing Ngarsa Sung Taladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Maksudnya, ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan, ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, dan ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan pihak-pihak yang dipimpinya.
c.       Tripantang
Konsepsi kebudayaan Ki Hajar yang sangat moralis tertuang dalam      ”Konsep Tripantang” yang terdiri dari pantang harta, praja, dan wanita. Maksudnya, kita dilarang menggunakan harta orang lain secara tidak benar (misal korupsi), menyalakangunakan jabatan (misal kolusi), dan bermain wanita (misal menyeleweng). Ketiga pantangan ini hendaknya tidak dilanggar.

PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa para pendidik sama-sama mempunyai filosofi pendidikan dimana melihat dengan arif dan bijaksana bahwa:
v  Para siswa pertama-tama dan terutama harus belajar “belajar bagaimana belajar” dan belajar bagaimana berpikir.
v  Belajar harus menyenangkan disamping membangun percaya diri.
v  Pengetahuan harus disampaikan dengan pendekatan multi-sensori dan multi-model dengan menggunakan berbagai bentuk kecerdasan.
v  Orang tua khususnya dan masyarakat umumnya harus terlibat sepenuhnya dalam pendidikan anaknya.
v  Pendidikan watak/ jiwa (nation and character building) harus di utamakan karena akan berpengaruh pada kepribadiannya dalam masyarakat sebagaimana dalam lagu Indonesia raya “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya”.
v  Tersedianya media pengembangan bakat/talenta disekolah seperti drum band, pencak silat, sanggar seni, lapangan bola, volly dll.
v  Kita di ajari, di didik dan di latih di Tamansiswa, setidaknya paham dan mengetahui bagaimana ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara yang masih relevan dan tak usang di makan waktu, seperti sistem Among ( Tutwuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarso Sung Tulodo) yang di gunakan untuk mengajar, mendidik, dan melatih para siswa.
v  Ajaran beliau tentang budi pekerti setidaknya diperlukan sekali di jaman dan era tawuran di kalangan pelajar sekarang ini.
v   Perguruan Tamansiswa menyebut gurunya dengan Pamong, yang berarti harus ngemong dan mengawasi peserta didik setidaknya selama 24 jam, sehingga peserta didik akan terawasi dan terjaga dari hal-hal yang negatif.
v   Beliau ( Ki Hajat Dewantara) adalah tokoh kebangsaan yang sepak terjangnya dalam dunia pendidikan di akui secara nasional dan internasional.
v  Jiwa jurnalis, wartawan, aktif di organisasi sosial dan politik, serta jiwa kebangsaannya tak perlu di ragukan lagi. Dengan tulisannya “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”) yang isinya cukup pedas sekali di kalangan Hindia Belanda pada waktu itu.
v   Jika kita mau menggali dan berjiwa kebangsaan, guru profesional itu sebenarnya adalah guru yang menjalankan ajaran Ki Hajar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara merangkum konsep yang dikenal dengan istilah Among Methode atau sistem among. AMONG mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana “among” (momong) disebut PAMONG, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Guru atau dosen di Tamansiswa disebut pamong yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem among membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.Sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan karena itu akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Kini orang banyak melihat tayangan kekerasan, misalnya saja film anak “Tom & Jery” yang melaksanakan hukuman kepada sesama dengan meledakkan dinamit. Hal ini tidak sesuai dengan pendidikan anak bila kita ingat sifat kodrati anak “nonton, niteni, niroke”. Sinetron tertentu ada yang dengan lugas melampiaskan kekerasan dan dendam. Sebaiknya orang tua mencermati, mengarahkan dan memilih tayangan TV di rumahnya. Sistem Among dilaksanakan secara “tut wuri handayani” dimana kita dapat “menemukenali” anak, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang.

DAFTAR PUSTAKA

2.      www.berdikarionline.com › HeadlinesOpini
3.      psb-psma.org/...pelajaran/.../5469-pendidikan-kara
4.      www.wiwinkatingan.com/.../75-3-ajaran-ki-hadjar... 
5.      www.diwarta.com › SainsStudy 
6.      bdkjakarta.kemenag.go.id/file/.../SerbaSerbi.
7.      hafismuaddab.wordpress.com/.../konsep-pendidika... 
8.      ebookbrowse.com/ajaran-filsafat-pendidikan-ki-ha... 
9.      tamansiswa.org/.../51-reaktualisasi-pemikiran-ki-h... - Translate this page
10.  www.tembi.net/.../pendidikan-modern-dan-relevan... - Translate this page
11.  id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara - Translate this page
12.  repository.library.uksw.edu/.../T1_152008025_B... - Translate this page
13.  id.wikipedia.org/.../Universitas_Sarjanawiyata_Ta... - Translate this page

You May Also Like

0 komentar