AMENANGI “JAMAN EDAN” RANGGAWARSITA
Amenangi zaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman milik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Begja begjaning kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman milik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersaning Allah
Begja begjaning kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
Dalam Bahasa Indonesia Kidung Sinom
itu kurang lebih sebagai berikut :
Menyaksikan zaman edan
Tidaklah mudah untuk dimengerti
Ikut edan tidak sampai hati
Bila tidak ikut
Tidak kebagian harta
Akhirnya kelaparan
Namun kehendak Tuhan
Seberapapun keberuntungan orang yang lupa
Masih untung (bahagia) orang yang (ingat) sadar dan waspada
Tidaklah mudah untuk dimengerti
Ikut edan tidak sampai hati
Bila tidak ikut
Tidak kebagian harta
Akhirnya kelaparan
Namun kehendak Tuhan
Seberapapun keberuntungan orang yang lupa
Masih untung (bahagia) orang yang (ingat) sadar dan waspada
Demikianlah bapak saya melantunkan
Kidung Sinom legendaris karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga besar
Keraton Surakarta ini, dalam acara macapatan malem Selasa Kliwonan di Pendapa
Taman Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta.
Bapak melagukan macapat bergantian
dengan teman-temannya, para guru Taman Siswa, seperti Ki Padmo Puspito, Ki
Sindu Sisworo, Ki Nayono, Ki Hadi Sukatno dan Ki-Ki yang lain. Semuanya adalah
murid sekaligus pengikut setia Ki Hajar Dewantara (KHD), bapak pendidikan kita
sekarang.
Para murid ini berbusana mirip
gurunya, peci hitam di kepala, kaos oblong putih yang ditutup jas drill putih
kasar (baju dan kain halus waktu itu selain mahal juga jarang ada), bawah
sarung kotak-kotak atau batik, dan sandal kulit hitam bersilang di depan yang
khas KHD.
Konon KHD, selain menhadiri sendiri
acara macapatan murid-muridnya yang disambung diskusi membahas ajaran-ajaran
dan falsafah dari para pujangga besar Jawa itu, juga sering mengadakan pula
pertemuan malam hari dengan tiga orang temannya yang se”kaliber”.
Mereka adalah Ki Mangun Sarkoro, dan
dua lagi yang aku lupa karena hanya mendengar dari cerita bapak. Pertemuan
diskusi itu bertempat di suatu “bulak” yang sepi di utara Yogya, dan ada sumur
kuno yang misterius di “bulak” itu.
Tempat itu kemudian menjadi
Bulaksumur, yang kemudian terkenal karena menjadi lokasi universitas terbesar
dan tertua di negara kita. Universitas Gadjah Mada. Konon KHD dan tiga rekannya
itu ikut membidani lahirnya universitas “Kampus Biru” ini. KHD itulah yang
meramal, diwaktu usia saya baru lima tahun, bahwa kelak saya akan menjadi
“dokter yang merakyat”.
Acara rutin macapatan selasa
kliwonan di pendapa itu berlangsung sejak tahun 1947, sesudah kemerdekaan, di
kala saya belum lahir, sampai tahun 60an. Distitu KHD “medar sabda”, memberikan
ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran ini kemudian dituturkan bapak kepada saya,
selain diajarkan pula oleh guru-guru saya di SD Taman Siswa, Taman Muda.
Ajaran ketamansiswaan yang tak
kumengerti benar. Seperti Panca Dharma, Sistem Among, inti falsafah mikul dawet
rengeng-rengeng, neng-ning-nung-nang, nglurug tanpa bala memang tanpa
ngasorake, ngeli ning ora keli, tut wuri handayani, dll.
Puluhan tahun kemudian, baru saya
sadar bahwa KHD, sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu kedokteran dan
psikologi, bahkan sampai ke negeri Belanda, telah mempelajari pula filsafat
barat dan timur. Filsafat timur inilah, khususnya India dan Jawa, yang
mendasari konsep-konsepnya dalam ilmu pendidikan untuk mendidik bangsanya yang
terjajah.
Di waktu itu tentu saja, dengan
konsep pendidikan bangsa ini KHD secara halus menentang dan melawan penjajah
Belanda.
Kemerdekaan individu sebagai hak
azasi manusia, persamaan derajat bangsa, kecintaan pada ilmu dan budaya bangsa,
sistem among untuk membebaskan murid-murid mengembangkan diri secara “mardika”,
adalah inti ajaran KHD. Tut wuri handayani, Ing madyo mangun karsa, Ing ngarso
sung tulada, kemudian menjadi motto dunia pendidikan kita sekarang.
Proses belajar-mengajar di alam
bebas, di bawah pohon beringin rindang, di tepi sungai, di pinggir sawah, gaya
tokoh pendidikan India, Rabindranath Tagore, kemudian ditiru KHD. Perguruan
Santiniketan yang didirikan Tagore di India, menginspirasi KHD untuk mendirikan
perguruan Taman Siswa nya.
Suatu areal luas dengan Pendapa di
bagian depan untuk olah seni budaya, halaman luas sekelilingnya untuk bermain,
kemudia deretan kelas kelas dari TK sampai Sekolah Guru dan Universitas, dengan
rumah-rumah pamong (guru) berjejer di belakang untuk mengawasi murid-muridnya,
adalah konsep Taman Siswa yang mirip Santiniketan.
Dan di salah satu rumah guru itulah,
di belakang pendapa Taman Siswa, di kampung Wirogunan Yogyakarta, saya
dilahirkan, delapan tahun sesudah kemerdekaan RI.
Kini setelah usia saya lewat
setengah abad, dan bapak telah tiada, tiba-tiba saya ingin mendokumentasikan,
dengan sedikit analisis, semua ajaran falsafah Jawa dalam khasanah
ketamansiswaan KHD yang diajarkan bapak tersebut. Saya cari dan teliti kembali
semua catatan bapak, buku-buku tua warisan bapak tentang falsafah Jawa, bundel
majalah bahasa Jawa (kalawarti) Mekar Sari dan Joko Lodang, tulisan-tulisan KHD
yang sudah dibukukan, dll.
Tapi seperti juga KHD, saya
mempelajari subyek studi falsafah Jawa ini seperti mempelajari ilmu kedokteran
barat , psikologi dan filsafat. Artinya dengan suatu distansi, jarak afektif,
antara siswa dengan bidang studinya. Tidak lalu menjadi “penghayat”.
Meski demikian, karena saya
dilahirkan di kompleks Taman Siswa, dengan kedua orangtua saya adalah guru
Taman Siswa, dengan sekolah TK dan SD di Taman Siswa, mau tidak mau unsur
“kejawen” dan “ketamansiswaan” sedikit banyak sudah membentuk diri saya.
“Sebagai anak Taman Siswa, sekian
persen falsafah Jawa, Kejawen dan ketamansiswaan sudah “built in” dalam dirimu,
nak” kata Ki Hadi Sukatno, guru saya kesenian, juga bapak dari sahabat saya
Priyo Mustiko, yang mashur dengan “gending-gending dolanan” ciptaannya yang
menjadi “trade-merck” Taman Siswa.
***********
Dalam bukunya “Ilmu Slamet”,
Daldiyono (2010) menyebutkan bahwa pujangga besar Keraton Surakarta, Raden
Ngabehi Ranggawarsita, merumuskan keadaan masyarakat pada waktu tertentu
menjadi tiga zaman : Kalathida, Kalasubha, dan Kalabendhu. Pembagian ini dapat
diterapkan pada keadaan kehidupan setiap orang. Apakah nasib orang saat ini
dalam keadaan Kalathida, Kalasubha atau Kalabendhu.
Umumnya orang Jawa menggambarkan situasi
masyarakat Indonesia saat ini sebagai keadaan Kalathida yang lazim disebut
Zaman Edan atau zaman kacau, seperti yang tertulis pada Kidung Sinom diatas.
Kehidupan dalam situasi Kalathida
serba tidak menentu. Keadaan tiada aturan atau pedoman yang dapat dituruti.
Atau, dapat saja orang tahu aturan, tetapi hidup sesukanya sendiri. Aturan yang
ada tidak dituruti. Banyak pertengkaran terjadi karena orang lebih mengumbar
maunya sendiri.
Rakyat terlantar karena ulah para
pemimpin yang suka berselisih. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh siapa
pemenang pergolakan. Bila orang baik mampu mengalahkan orang jahat, masyarakat
akan baik, naik tingkat ke dalam keadaan sejahtera yang disebut zaman
Kalasubha.
Namun bila si jahat yang menang
(“orang jahat diberi hormat, orang pandai tiada terpakai”), masyarakat menjadi
rusak berantakan, dan itu disebut zaman Kalabendhu.
Daldiyono (2010) berpendapat, bahwa
puncak Zaman Kalatidha di Indonesia kira-kira terjadi pada periode Krisis
Moneter, 1997 – 1998. Tapi menurut Sutrisno Puspodikoro, bapak saya, Kidung
Sinom Ranggawarsita itu bersifat universal dan langgeng, abadi. Bisa berlaku
setiap dan sepanjang zaman. Karena setiap zaman, seperti zaman revolusi, zaman
proklamasi kemerdekaan, zaman Sukarno, zaman Suharto, dan zaman reformasi,
mempunyai “ke-edanannya” sendiri. “Itulah kejeniusan empu Sala Ranggawarsita
itu le”, kata bapak saya itu, yang diamini teman-temannya guru, Ki Sukirman dan
Ki Sasmo.
Sukatno Cr (2006) dalam bukunya
“Ramalan-Ramalan Edan Ronggowarsito” menterjemahkan dengan : mengalami di zaman
yang edan (gila), akan senantiasa kebingungan dalam menentukan sikap. Tapi
kalau tidak ikut arus, tak akan mendapat bagian (terakses segala kepentingan
sosial, ekonomi, politik dan budaya atau pergaulan), yang ujung-ujungnya hanya
akan kelaparan. Namun karena sudah menjadi kehendak (takdir) Tuhan, sungguh
sebahagia dan seberuntung-beruntungnya manusia yang lupa diri, masih akan
beruntung orang yang senantiasa eling (sadar) dan waspada.
Syair yang sangat indah dan alegoris
karya pujangga besar Kraton Surakarta ini melegenda dari zaman ke zaman. Kidung
Sinom ini menggambarkan kesemrawutan nilai “sosial, ekonomi, politik dan
budaya” – berikut nilai moral, etik, kesusilaan, dan nilai humanisme – yang
terjadi di lingkungan sosial, kultural dan politik makro yang mencoba
diidentifikasi dan mengidentifikasi dirinya di tengah arus “kesemrawutan tata
nilai” yang didesain dan sekaligus mendesain masyarakat pendukungnya.
Ia menjadi semacam sistem, tata laku
dan pola perilaku yang muaranya berdampak pada hancurnya kredibilitas nilai
manusia dan kemanusiaan kita. Sebagai manusia produks masyarakat dunia ketiga
dengan mentalitas urbannya – yakni mentalitas transisional terlepas dari sistem
kolonial menuju independensi, kebebasan dan demokrasi secara ideal yang
ternyata tak kunjung menampakkan wajah praksisnya – biasanya akan terjatuh pada
situasi nadir seperti itu.
Sistem nadir transisional dalam
ketegangan antara rusaknya “mentalitas masyarakat” dengan keinginan
terbentuknya sistem ideal yang tak kunjung dirasakan. Lewat syair diatas,
Ranggawarsita jelas menyuarakan kerusakan moral parah itu yang disebabkan
antara lain oleh penyakit sosial korupsi, kolusi dan nepotisme dari mentalitas
urban.
Fenomena itu ternyata menjadi
fenomena abadi yang terjadi tak hanya di masa Ranggawarsita hidup, tapi juga di
masa kini. Seperti dalam Kalatidha : Sinom:2, di mana Ranggawarsita menyatakan
:
“Ratune ratu utama, patihe patih
linuwih, pra nayaka tyas raharja, penekere becik-becik, parandene tak dadi paliyaseng
Kalabendhu, malah sangkin andadra, rubeda kang angribedi, beda-beda ardane wong
sanagara”
Raja atau kepala negaranya raja yang
utama, patih atau wakil dan menteri-menterinya sangat sakti dan utama (linuwih)
– para pejabatnya bagus-bagus, penekar (ulama dan intelektualnya) baik-baik.
Tapi kenyataannya tak dapat menjadi sarana untuk memperbaiki dan membendung
datangnya zaman Kalabendhu – zaman yang banyak bebendu, kelicikan, kebohongan,
dan kehancuran. Justru malah semakin menjadi-jadi, sangat merepotkan, karena
adanya berbagai macam keinginan yang tak jujur, kemunafikan, dan perilaku
serakah dari manusia di seluruh negeri tanpa kecuali.
Inilah sindiran tajam sang pujangga
Surakarta itu yang diungkap dalam Kalatidha, dalam metrim sinom. Para pemimpin
(raja), wakil dan menteri-menterinya serta seluruh jajaran aparat birokrasinya
orang-orang yang hebat-hebat. Intelektualnya profesor doktor semua, ulamanya
shalih-shalih. Tapi begitu masuk ke dalam sistem dan berbenturan dengan
kepentingan, lalu etika, kesantunan, kearifan, kejujuran dan moralitas
dikesampingkan demi keuntungan pribadi atau kelompok, tentu hanya akan menuai
kerusakan dan kehancuran nilai kehidupan.
Tapi R.Ng.Ranggawarsita, yang hidup
sejaman dengan Sigmund Freud di Wina (lebih dari 100 tahun lalu), juga
memberikan pedoman bagaimana menghadapi persoalan-persoalan berat dan kompleks
yang menyangkut sistem sosial-kultural dan politik makro yang dihadapi
bangsanya.
Prinsip utama yang ditawarkannya
adalah dengan selalu mengedepankan konsep eling lan waspada. Yaitu selalu
ingat, awas dan waspada. Selalu eling terhadap ketentuan yang Tuhan Yang Maha
Kuasa (Gusti Kang Murbeng Dumadi).
Selain itu harus selalu disertai
awas dan waspada dalam perilaku dan tindakan terhadap munculnya berbagai bentuk
perubahan, baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional (global). Juga
terhadap segala perubahan yang bergerak dari khasanah ekologi global.
Dengan bentuk ke-eling-an dan
kewaspadaan itulah kita akan dapat menentukan bagaimana ketika harus bertindak,
mengidentifikasi, mengapresiasi dan merepresentasikan diri kita, dihadapan
berbagai problem dan persoalan kehidupan sosial masyarakat kebangsaan makro
sekaligus global tersebut, secara lebih pas, jujur dan membumi sesuai dengan
kebutuhan, dan kepentingan seluruh masyarakat bangsa.
Di samping makna esensial dari “visi
moralitas bangsa” yang digagas oleh R.Ng.Ranggawarsita dalam serat-serat
Jangka/Ramalannya, pujangga itu juga meninggalkan “ramalan” tentang “hari
kematiannya sendiri”, tertulis dalam Serat Sabdajati yang sampai sekarang tetap
menjadi misteri dan kontroversi.
Ada pendapat peneliti yang
menyatakan bahwa kematian Sang Pujangga dikehendaki oleh penguasa atas desakan
dari penjajah Belanda waktu itu. Ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh pemikiran
Ranggawarsita terhadap nasib bangsanya yang, sedikit banyak mengancam
stabilitas kekuasan Belanda waktu itu. Artinya, saat Ranggawarsita menuliskan
Serat Sabdajati, yang diidentifikasi sebagai karyanya yang terakhir, ia berada
dalam tahanan dan sudah tahu kapan hari H eksekusinya akan dilaksanakan.
Yang jelas, jika kematian
Ranggawarsita memang benar dikehendaki penguasa dan pemerintah Hindia Belanda,
maka posisi Pujangga besar ini dalam perjuangan bangsa Indonesia menjadi sangat
strategis. Ia layak diangkat menjadi salah satu Pahlawan Bangsa.****
0 komentar