KAJIAN PSIKOLOGI KONSEP PANCA DHARMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Panca Dharma
Wanita adalah salah satu text yang senantiasa dilafadzkan oleh kader
penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) pada setiap pertemuan,
disamping Mars PKK dan Mars KB yang senantiasa dilagukan. Secara literal, Panca
Dharma Wanita berarti lima pengabdian perempuan yang isinya sebagai berikut:
1. Wanita sebagai istri pendamping
suami
2. Wanita sebagai ibu penerus
keturunan
3. Wanita sebagai pengurus rumah
tangga
4. Wanita sebagai pencari nafkah
tambahan
5. Wanita sebagai anggota warga
negara
Kelima dharma
tersebut menjadi suatu bentuk doktrin yang keberlangsungannya senantiasa dijaga
dalam organisasi kewanitaan yang bersifat pendukung suami, seperti Dharma
Wanita ataupun PKK(Rahayu, 2004). Menurut Rahayu(2004), Panca Dharma Wanita
dirancang dan dijadikan landasan filosofi bagi organisasi-organisasi perempuan
pendukung karir suami, seperti Dharma Pertiwi (organisasi istri TNI) dan Dharma
Wanita (organisasi istri pegawai pemerintah). Kedua organisasi tersebut memang
mendasarkan kegiatannya pada tiga prinsip utama, yaitu pengabdian sebagai
istri, sebagai ibu rumah tangga, dan sebagai ibu bangsa. Tahun 1984, PKK
dibentuk untuk mewadahi, memobilisasi, dan mengendalikan kaum perempuan yang bukan
menjadi istri ABRI atau pegawai pemerintah.Ketika Panca Dharma Wanita dijadikan
sebagai landasan filosofi PKK, maka sebenarnya PKK dijadikan sebagai organisasi
yang sama dengan Dharma Pertiwi dan Dharma Wanita. Padahal, secara kontekstual
ada sekian banyak perbedaan yang melatarbelakanginya – misalnya para wanita ini
belum tentu bersuamikan laki-laki yang bekerja tetap – sehingga Panca Dharma
wanita menjadi doktrin yang belum tentu sesuai untuk dijadikan landasan
filosofinya. Dengan demikian, penulis berniat untuk melakukan kajian mengenai
Panca Dharma Wanita dengan menggunakan Critical Discourse Analysis sebagai
pendekatan. Lebih jauh lagi, satu hal yang juga penting adalah bagaimana para
kader
PKK memahami konsep Panca Dharma
Wanita tersebut. Selama lebih dari tiga dekade Panca Dharma ini menjadi
landasan kegiatan mereka tanpa adanya resistansi yang berarti. Asumsinya adalah
konsep ini dipahami selaras dengan kehidupan para kader dan oleh karenanya bisa
diterima dengan baik. Dengan demikian, perlu kiranya untuk melihat apakah
asumsi tersebut benar adanya melalui penelitian yang akan penulis lakukan ini.
B. Perumusan Masalah
Penelitian ini dilakukan untuk
menjawab permasalahan berikut:
1. Apakah konsep Panca Dharma
Wanita merupakan alat dominansi ‘power’
dalam konteks Critical Discourse Analysis?
2. Bagaimana pemahaman para kader
penggerak PKK terhadap konsep
Panca Dharma Wanita?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemahaman Kader PKK terhadap
Panca Dharma Wanita
1. Wanita Sebagai Istri Pendamping
Suami
Wanita sebagai
istri pendamping suami adalah dharma pertama yang tercantum dalam Panca Dharma
Wanita.Penekanan kalimat ini adalah peran utama wanita sebagai istri dengan penambahan
makna sebagai pendamping suami yang dikaitkan dengan hubungan relasi mereka
sebagai suami-istri. Mengenai dharma yang pertama ini, semua kader setuju
dengan maksud kalimat tersebut dengan alasan terutama yaitu “mendampingi suami
adalah kewajiban istri”, “perempuan memang diciptakan untuk mendampingi suami”,
dan “istri adalah bagian atau tulang rusuk suami”. Hanya ada dua orang kader – dari
15 kader – yang memiliki alasan yang lebih netral, yaitu dengan mengasosiasikan
istri sebagai rekan dan teman bagi suami. Sementara itu para kader PKK
mengartikan kata “pendamping” dengan makna “menemani, siap sedia, membantu,
mengurus rumah tangga, dan pelengkap”. Hanya dua kader memaknai kata
“pendamping” sebagai “teman” serta “mitra”, sedangkan empat orang kader
menyatakan bahwa kata “pendamping” bisa diganti dengan kata “pasangan” atau
“partner”. Sedangkan 11 kader lainnya menyatakan bahwa kata ‘pendamping’ lah
kata yang paling tepat untuk memaknai fungsi wanita sebagai istri. Lebih jauh
lagi, tidak ada kader yang setuju bila kalimat dharma pertama ini diubah
menjadi “laki-laki sebagai suami pendamping istri”, dengan alasan utama:
laki-laki adalah pemimpin keluarga.
2. Wanita Sebagai Ibu Penerus
Keturunan
Dharma kedua
dari Panca Dharma Wanita menempatkan perempuan sebagai ibu dengan tambahan
fungsi sebagai penerus keturunan.Mengenai dharma ini, hanya satu kader merasa
tidak setuju dengan pernyataan bahwa perempuanadalah penerus keturunan, karena
penerus keturunan, menurutnya, adalah suami dan istri. Sementara itu,
kader-kader PKK yang lain menyetujui pernyataan dharma kedua ini; sebagian
besar beralasan bahwa secara kodrat, meneruskan keturunan merupakan kewajiban
perempuan. Para kader PKK memaknai frasa ‘penerus keturunan’ dengan makna “melahirkan,
mendidik, suatu kebanggaan”, serta “memberi keturunan bagi suami”.Sedangkan
kata ‘ibu’ dimaknai dengan penempatan perempuan pada kodratnya, yaitu perempuan
sebagai panutan anak, mengasuh anak, serta melayani kebutuhan suami dan
anak.Selain itu, sebagian besar kader menyatakan bahwa peran perempuan sebagai
ibu bukanlah sebuah pilihan melainkan suatu keharusan. Oleh sebab itu, para
kader ini menyatakan bahwa bila seorang perempuan tidak bisa mengandung dan
melahirkan anak, maka ia dapat melakukan adopsi. Dengan kata lain, mereka harus
tetap berfungsi mengasuh anak, meskipun mungkin tidak dari rahimnya sendiri.
Sebagian besar kader juga berkomentar negatif terhadap perempuan yang tidak
bersedia mengandung dan melahirkan anak.Salah seorang kader, misalnya,
mengatakan bahwa perempuan yang tidak bersedia memiliki anak merupakan “korban
globalisasi negatif”.
3. Wanita Sebagai Pengurus Rumah
Tangga
Dharma ketiga
dari Panca Dharma Wanita menempatkan wanita sebagai pengurus rumah
tangga.Mengenai dharma ketiga ini semua kader PKK setuju bahwa perempuan-lah
yang bertugas mengurus rumah tangga, dan suami hanya diposisikan untuk
membantu. Bahkan jika istri bekerja sekalipun, istri tetap wajib mengurus rumah
tangga, dan suami tetap diposisikan untuk membantu saja, tidak bias berlaku
sebaliknya. “Mengurus rumah tangga” di sini dipahami oleh kader PKK sebagai “mengurus
keuangan, memasak, mengasuh dan mendidik anak, menata rumah, melayani suami,
serta “mencari nafkah tambahan”.
4. Wanita Sebagai Pencari Nafkah Tambahan
Dharma keempat
dari Panca Dharma Wanita menempatkan wanita sebagai pencari nafkah tambahan,
dengan penegasan makna pada kata ‘tambahan’ – sehingga bernegasi dengan kata
‘utama”. Mengenai Panca Dharma keempat ini, para kader PKK memiliki pendapat
yang relatif tidak seragam.Salah seorang kader tidak sepakat dengan ide “wanita
sebagai pencari nafkah tambahan”.Menurut pendapatnya, seorang istri bisa saja
memiliki penghasilan yang lebih besar daripada penghasilan suami, sehingga
frase “pencari nafkah tambahan” menjadi kurang tepat. Sebaliknya, seorang kader
menolak dharma keempat ini sebab seorang istri tidak perlu mencari nafkah, dan
kewajiban mencari nafkah sepenuhnya tanggung-jawab suami (laki-laki). Namun
demikian, sebagian besar menyetujui dharma keempat ini, dengan penekanan bahwa
seorang perempuan mesti mendapat izin suami untuk bekerja di luar rumah, dan
memiliki keahlian atau kemampuan untuk menyelesaikan tanggung-jawab pekerjaan
tersebut. “Pencari nafkah tambahan” diartikan oleh para kader PKK dengan makna “membantu
suami”, bukan sebagai pencari nafkah utama.Namun, pada konteks penghasilan
suami kurang atau tidak memadai, maka sebagian kader PKK berpendapat bahwa
istri wajib membantu suami, dan sebagian lagi berpandangan bahwa istri tidak
wajib membantu suami karena mencari nafkah bukanlah tanggung-jawab utama
seorang istri. Sementara itu, dalam konteks seorang perempuan bekerja untuk
eksistensi diri, para kader PKK berpendapat bahwa istri tetap harus mendapat
izin suami untuk bekerja.Apabila penghasilan istri lebih besar daripada
pendapatan suami, maka istri tetap wajib menghormati suami, tidak boleh sombong
atau merasa lebih tinggi daripada suaminya. Meskipun penghasilan istri lebih
besar, semua kader PKK menolak bila kemudian suami disebut sebagai pencari
nafkah tambahan.
5. Wanita Sebagai Anggota Warga
Negara
Dharma terakhir
dari Panca Dharma Wanita adalah wanita sebagai anggota warga negara. Mengenai
dharma ini, semua kader menyetujui pernyataan bahwa perempuan merupakan bagian
dari warga negara, meskipun pemaknaan anggota warga negara ini difahami dalam
konteks yang sedikit lebih sempit yakni dalam kaitannya sebagai WNI (Warga
Negara Indonesia), yang berhak mendapat kartu identitas warga negara seperti
KTP dan KK, dan yang bisa memberikan suaranya, baik dalam pemilu maupun sebagai
saksi. Pemaknaan anggota warga negara juga dikaitkan dengan adanya hak dan kewajiban
sebagai warga negara, dengan penekanan pada kepatuhan terhadap negara dan
peraturan yang dibuat oleh negara. Dalam kaitannya dengan peran yang sama
antara laki-laki dan wanita, tiga orang kader secara eksplisit menyatakan bahwa
dalam dharma kelima ini terkandung persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki
serta wanita Indonesia sebagai anggota warga negara, dan sebagian besar kader
PKK juga menyatakan hal senada meskipun tidak secara eksplisit.
B. Pemahaman terhadap Urutan Panca Dharma Wanita
Hampir semua
kader PKK sepakat dengan urutan Panca dharma wanita tersebut dengan alasan
utama: “mulai dari lingkup yang paling kecil”, “sesuai dengan kodrat penciptaan
wanita”, “sesuai dengan urutan kewajiban utama”, “di Indonesia, derajat wanita
lebih rendah dari pria”, dan “kondisinya sudah demikian dari dulu sampai
sekarang”. Namun, ada salah satu kader yang memiliki pandangan berbeda.Kader
ini berpendapat bahwa “wanita sebagai anggota warga negara” seharusnya diletakkan
dalam urutan pertama.
C. Pembahasan Pemahaman Kader PKK
dalam CDA
1. Analisis Umum
Secara umum ada
tiga hal yang menarik yang dapat di telaah dari konsep Panca Dharma Wanita ini,
yaitu penggunaan kata “Dharma”, penerapan panca dharma Wanita sebagai ideology
PKK, dan penggunaan kata Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga sebagai ‘nama’
untuk organisasi PKK Yang pertama adalah pemaknaan kata ‘dharma’.Secara makna
kata “dharma” memiliki makna yang terhormat karena kata tersebut mengandung makna
pengabdian yang agung secara symbolic. Dengan demikian kata dharma bermakna
mengabdi tetapi tidak pada konteks sebagai abdi tetapi lebih pada konteks untuk
memberi sehingga akan membuahkan kebaikan. Dengan kata lain, dengan berdharma
berarti si pendharma memberikan sesuatu yang dia miliki dengan penuh keikhlasan
dan hasil dari apa yang dia lakukan tersebut akan memberi kebaikan baik bagi
orang lain maupun untuk si pendharma itu sendiri. Penggunaan kata dharma dengan
konotasi makna yang positive tersebut lebih dipilih dibandingkan dengan kata
peran atau fungsi yang semata-mata hanya memberi makna tugas terkait
posisi.Karena makna kata dharma yang positive tersebut, maka penggunaanya juga
dapat diterima dengan lebih baik, karena mengisyaratkan posisi kader PKK yang
justru lebih positive. Yang kedua adalah penerapan Panca Dharma Wanita sebagai
ideologi dasar PKK.Secara historis, PKK terbentuk sebagai sebuah wadah kegiatan
wanita yang ide dasarnya berasal dari organisasi dharma wanita/dharma pertiwi.Sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, dharma wanita dan dharma pertiwi adalah organisasi
wanita pendukung karir suami; dharma wanita adalah organisasi istri pegawai
negeri, dan dharma pertiwi adalah organisasi istri TNI.Dua organisasi tersebut
mendasarkan fungsi dan peran anggotanya terutama pada sektor domestik; untuk
memastikan bahwa para suami tidak perlu memikirkan apalagi menangani urusan
domestik.Hal ini tercermin dari kegiatankegiatan mereka yang berbasis
kepentingan domestic seperti misalnya kursus memasak, atau merangkai bunga.Secara
ideologis, selama masa Orde Baru, dua organisasi tersebut cukup berpengaruh
dalam mengendalikan PNS dan TNI beserta keluarganya untuk senantiasa mendukung
ideologi dan pemikiran Orde Baru. Pada tahun 1984, pemerintah Orde Baru membentuk
PKK sebagai organisasi yang bersifat memobilisasi masa karena PKK dimaksudkan
sebagai organisasi yang beranggotakan setiap istri dari setiap keluarga.PKK
terbentuk mulai dari tingkat Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan, Kecamatan,
Kabupaten, Propinsi, hingga tingkat nasional. Dengan demikian, semua istri akan
menjadi anggota PKK, paling tidak pada tingkat RT – ada semacam seruan untuk
memastikan bahwa setiap istri aktif mengikuti kegiatan PKK tingkat RT. Kegiatan
utama dalam PKK bersifat senada dengan kegiatan pada dharma wanita atau dharma
pertiwi; dan oleh karenanya ideology yang dijadikan dasar kegiatan PKK adalah
Panca Dharma Wanita, dengan memfokuskan fungsi dan peran wanita pada sektor
domestik, yakni sebagai istri, ibu, dan pengurus rumah tangga – dengan kata
lain mempertahankan dominansi kekuasaan suami. Satu hal yang berbeda hanyalah
PKK sebenarnya bukan organisasi istri pendukung karir suami sehingga penggunaan
Panca Dharma Wanita sebagai landasan ideologinya menjadi seperti dipaksakan
karena kehidupan yang dialami para wanita anggota PKK ini tentunya tidak sama
dengan kehidupan yang dijalani oleh para istri PNS atau TNI. Tentunya
penggunaan Panca Dharma sebagai ideologi PKK bukanlah tanpa alasan; mengingat keberhasilan
dharma wanita dan dharma pertiwi dalam mendukung Orde baru, maka PKK pun juga
diarahkan untuk tujuan serupa. Karena keanggotaan PKK jauh lebih luas, maka
pengaruh yang diharapkan tentunya juga akan jauh lebih luas. Yang ketiga, PKK
adalah Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga.Dari namanya, PKK diyakini bukanlah
merupakan sebuah organisasi.Ia di maknakan sebagai suatu wadah kegiatan para
wanita dengan suatu tujuan untuk pemberdayaan kesejahtaraan keluarga. Dengan
demikian, segala kegiatan yang dilakukan dimaksudkan untuk dua hal yakni
pemberdayaan dan kesejahteraan; bahwa apapun bentuk kegiatannya, itu merupakan
wujud pemberdayaan perempuan.Ide dasarnya yaitu pemberdayaan wanita, sebenarnya
adalah ide yang bagus, dengan kata lain, bahwa dengan PKK ada kesadaran bahwa
wanita dianggap belumlah berdaya dan ada kesadaran untuk membuat mereka lebih berdaya.Hanya
saja pemberdayaan yang dimaksudkan adalah demi kesejahteraan wanita pada batas
keluarga.Dengan demikian, tetap saja ruang gerak pemberdayaan itu diarahkan ke
ranah domestik. Selain itu, penggunaan kata kesejahteraan juga mengimplikasikan
bahwa pemberdayaan tersebut ditujukan untuk kesejahteraan keluarga, dan hanya
dengan pemberdayaan wanita pada ranah keluarga lah bias diraih kesejahteraan
tersebut. Dengan pemikiran tersebut, maka Panca Dharma Wanita dijadikan
landasan kegiatannya.
2. Domestifikasi Perempuan
Indonesia
Penggunaan Panca
Dharma Wanita sebagai landasan gerak PKK merupakan bukti terdomestifikasikannya
perempuan Indonesia yang diperjelas dengan penguatan butir butir dharma yang
‘mengharuskan’ wanita untuk berperan secara domestic terlebih dahulu, barulah
‘diperbolehkan’ untuk berperan di masyarakat. Hal ini tercermin dari dharma
yang secara berturut-turut menyebut peran wanita sebagai istri, ibu, pengurus rumah
tangga, pencari nafkah tambahan, dan yang terakhir adalah sebagai warga
masyarakat.Padahal, sebagai manusia seharusnya wanita dikenal terlebih dulu
sebagai warga masyarakat, bahkan hak dan kewajiban wanita sebagai anggota warga
negara sudah ada sebelum wanita menjadi istri. Pengurutan yang demikian
tersebut mengandung makna bahwa begitu wanita berumah tangga, maka peran
terutama mereka bukan lagi sebagai anggota masyarakat melainkan sebagai istri,
ibu (jika sudah memiliki anak – dan ‘dinormakan’ untuk punya anak), dan
pengurus rumah tangga; dengan kata lain ideology Housewifization (Mies,
1986) dan Ibuism (Djayadiningrat, 2004) ditanamkan. Sementara itu peran
lain yang terkait dengan eksistensi diri wanita sebagai manusia di akui hanya
selama ketiga peran yang sebelumnya telah dilakukan dengan baik – itu pun juga
dengan catatan, harus seijin suami dan tetap menghormati suami. Bahkan, wanita
yang mandiri dan kritis memandang peran dan posisinya justru dipertanyakan
(Hatley, 2002: 130) karena hal tersebut bertentangan dengan ideology gender
yang konservatif dan family-centered yang menjadi dasar ideology PKK.
3. Dominasi Power dalam Kata Kunci
Panca Dharma Wanita
Ada beberapa
kata kunci yang menunjukkan dominasi power laki-laki dalam Panca Dharma Wanita,
yang menunjukkan tingginya budaya patriarkhi dalam masyarakat Indonesia.Kata –
kata tersebut diantaranya adalah penggunaan kata wanita dan bukannya
perempuan.Kata wanita diadopsi dari Bahasa Jawa yang seringkali di artikan dari
susunan kata wani di tata yang berarti berani atau mau untuk diatur. Kata
kunci yang kedua adalah penggunaan kata pendamping dalam Dharma pertama; wanita
sebagai istri pendamping suami.Secara harfiah, kata pendamping berarti
menemani, atau menyertai dekat-dekat. Kata pendamping juga mengimplikasikan
suatu maksud tambahan; bahwa seorang pendamping bukanlah pemegang peranan
sentral; ia bukanlah yang menjadi pelaku utamanya; ia hanya ada manakala yang
dia damping ada. Dengan demikian, sebagai seorang pendamping, istri bukanlah
pelaku utama dalam suatu keluarga.Keberadaannya dianggap bergantung pada
keberadaan suami, istri bukanlah penentu peran, dia hanyalah mendampingi suami
menentukan kebijakan keluarga. Dengan kata lain posisi seorang istri – wanita –
diletakkan dibawah posisi suami, dan keberadaannya hanya akan diakui dalam
kaitannya denngan keberadaan suami. Kata kunci berikutnya adalah kata ibu dan
frasa penerus keturunan dalam dharma wanita adalah ibu penerus keturunan.Kata
ibu sebenarnya bermakna luas; setiap wanita dewasa bisa disebut dengan ibu,
tetapi dengan menambahkan frasa penerus keturunan, maka kata ibu disempitkan
maknanya hanya sebagai ibu secara biologis, yakni ibu yang mengandung dan
melahirkan anaknya. Padahal, pada konteks biologis tidak semua wanita bias
menjadi ibu. Menjadi Ibu sebenarnya adalah gelar pilihan dari sekian banyak
gelar yang bias dimiliki wanita. Frasa penerus keturunan yang dibebankan pada
kata ibu juga mengandung makna pembebanan fungsi meneruskan keturunan pada
wanita, padahal jelas diketahui bahwa seorang wanita tidaklah mungkin bisa
meneruskan keturunan tanpa peran laki-laki. Sehingga jika pasangan suami istri
belum dikaruniai putra maka wanita yang akan secara psikologis terbebani.
Mereka lah yang akan mendapat stigma tidak bisa memberikan keturunan pada
suami, meskipun secara medis wanita tersebut terbukti tidak memiliki gangguan
reproduksi. Kata kunci yang lain adalah pada kata pengurus dalam dharma ketiga;
wanita sebagai pengurus rumah tangga. Kata pengurus memberikan makna pemberian
tanggung jawab.Pada dharma sebelumnya wanita tidak dimaknai sebagai seseorang
yang bisa diberi beban tanggung jawab. Dengan kata lain, wanita tidak dianggap
mampu untuk diberi beban tanggung jawab. Pada dharma ketiga ini wanita diberi
beban tanggung jawab, tetapi perlu dicatat bahwa beban yang diberikan dibatasi
pada sector domestic, dengan mempertegas bahwa yang diurusnya adalah urusan
rumah tangga. Kata kunci yang terakhir adalah kata tambahan pada dharma
keempat; wanita sebagai pencari nafkah tambahan. Penambahan kata tambahan pada kalimat
itu menunjuk peran wanita yang ter-subordinate, bahwa apa yang dilakukan wanita
untuk menafkahi keluarga adalah bersifat pelengkap saja. Implikasi lain dari
kata tambahan itu adalah, jika memang sudah mencukupi maka tidak perlu ada
tambahan lagi. Hal ini yang kemudian menjadi legitimasi untuk menafikkan
kemauan wanita untuk bekerja disektor publik, baik dibutuhkan atau tidak,
karena memang existensi wanita disektor itu tidak diakui.
BAB III
KESIMPULAN
Panca Dharma
Wanita merupakan salah satu text yang senantiasa dilafazkan oleh para
kader PKK dalam hamper setiap kegiatan mereka. Teks Panca Dharma ini berisikan
semacam pedoman mengenai peran yang seharusnya dijalani wanita dengan
mengurutkannya dari dharma yang bersifat domestic ke dharma yang bersifat
publik. Dharma – dharma tersebut menunjukkan bahwa peran perempuan merupakan
peran penunjang dari peran suami, dengan kata lain, laki-laki lah yang menjadi
tokoh utama dalam sebuah rumah tangga dan wanita ‘hanyalah’ menjadi pendamping
saja. Konsep bahwa wanita hanyalah pendamping dan bukan pelaku utama dalam
keluarga, dan oleh karenanya menjadikan posisi mereka tersubordinasi sepertinya
tidak disadari oleh kader PKK dalam penelitian ini, meskipun mereka tahu persis
posisi, peran, dan fungsi mereka dalam keluarga. Posisi, peran, dan fungsi yang
tersubordinasi tersebut dianggap sebagai hal yang memang sudah seharusnya
karena memang mereka menganggap laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Dengan dimasukkannnya Panca dharma wanita sebagai ideologi kegiatan massa
mereka, maka anggapan laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi itu
menjadi semakin kuat, karena penggunaan kata dharma tersebut member konotasi
yang positif. Disamping itu, ada beberapa kata kunci yang menunjukkan peran
wanita yang tersubordinasi dalam Panca Dharma wanita yaitu kata pendamping,
penerus keturunan, pengurus rumah tangga, dan pencari nafkah tambahan.
DAFTAR PUSTAKA
Blackburn, S. (2004). Women and
the State in Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
Cameron, D. (2007). Book Review:
Feminist critical discourse analysis. Language in Society, 36(1),
111-115.
Ekomadyo, A. S. (2006). Prospek
Penerapan Metode Analisis Isi (Content Analysis) dalam Penelitian Media
Arsitektur. Jurnal Itenas, 2(10), 51-57.
Fairclough, N. (1995). Critical
Discourse Analysis: the Critical Study of Language. Singapore: Longman.
Fairclough, N. (2001). Language
and Power (2nd ed.). Harlow, England: Pearson Education Limited.
Hatley, B. (2002). Literature,
Mythology and Regime Change: Some Observations on Recent Indonesian Women's
Writing. In K. Robinson & S. Bessel (Eds.), Women in Indonesia: Equity
and Development (pp. 130- 143). Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies (ISEAS).
Hatley, B. (2008). Postkolonialitas
dan Perempuan Indonesia dalam Sastra Indonesia Modern (K. Soebagyo & M.
Soesman, Trans.). In K. Foulcher & T. Day (Eds.), Sastra Indonesia
Modern: Kritik Postkolonial (pp. 175- 225). Jakarta: KITLV Jakarta dan
Yayasan Obor Indonesia.
Marcoes, L. (2002). Women's
Grassroots Movements in Indonesia: A Case Study of the PKK and Islamic Women's
Organisations. In K. Robinson & S. Bessel (Eds.), Women in Indonesia:
Equity and Development (pp. 187- 197). Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies (ISEAS).
Mies, M. (1986). Patriarchy and
Capital Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of
Labour. London: Zed Books.
Oey-Gardiner, M. (2002). And the
winner is ... Indonesian Women in Public Life. In K. Robinson & S.
Bessel (Eds.), Women in Indonesia: Equity and Development (pp. 100-112).
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Philips, N., & Hardy, C.
(2002). Discourse Analysis: Investigating Processes of Social Construction (Vol.
50). Thousand Oaks, CA: Sage.
Rahayu, P. R. (2004). Militerisme
dan Ideologi Konco Wingking. Retrieved from http://www.kalyanamitra.or.id/kalyanamedia/1/2/opini.htm
Rahimi, F., & Riasati, M. J.
(2011). Critical Discourse Analysis: Scrutinizing
Ideologically - Driven Discourses. International
Journal of Humanities
and Social Science, 1(16),
107-112.
van Dijk, T. A. (1993). Principles
of Critical Discourse Analysis. Discourse and
Society, 4(2),
249-283.
van Dijk, T. A. (1998). Critical
Discourse Analysis. Retrieved from
http://www.hum.uva.nl/~teun/cda.htm
Wodak, R. (1991). Turning the
Tables: Anti-Semitic Discourse in Post War
Austria. Discourse and Society, 2(1),
63-83.
0 komentar