­

KAJIAN PSIKOLOGI KONSEP PANCA DHARMA

by - 11:16 PM

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah

Panca Dharma Wanita adalah salah satu text yang senantiasa dilafadzkan oleh kader penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) pada setiap pertemuan, disamping Mars PKK dan Mars KB yang senantiasa dilagukan. Secara literal, Panca Dharma Wanita berarti lima pengabdian perempuan yang isinya sebagai berikut:
1. Wanita sebagai istri pendamping suami
2. Wanita sebagai ibu penerus keturunan
3. Wanita sebagai pengurus rumah tangga
4. Wanita sebagai pencari nafkah tambahan
5. Wanita sebagai anggota warga negara

Kelima dharma tersebut menjadi suatu bentuk doktrin yang keberlangsungannya senantiasa dijaga dalam organisasi kewanitaan yang bersifat pendukung suami, seperti Dharma Wanita ataupun PKK(Rahayu, 2004). Menurut Rahayu(2004), Panca Dharma Wanita dirancang dan dijadikan landasan filosofi bagi organisasi-organisasi perempuan pendukung karir suami, seperti Dharma Pertiwi (organisasi istri TNI) dan Dharma Wanita (organisasi istri pegawai pemerintah). Kedua organisasi tersebut memang mendasarkan kegiatannya pada tiga prinsip utama, yaitu pengabdian sebagai istri, sebagai ibu rumah tangga, dan sebagai ibu bangsa. Tahun 1984, PKK dibentuk untuk mewadahi, memobilisasi, dan mengendalikan kaum perempuan yang bukan menjadi istri ABRI atau pegawai pemerintah.Ketika Panca Dharma Wanita dijadikan sebagai landasan filosofi PKK, maka sebenarnya PKK dijadikan sebagai organisasi yang sama dengan Dharma Pertiwi dan Dharma Wanita. Padahal, secara kontekstual ada sekian banyak perbedaan yang melatarbelakanginya – misalnya para wanita ini belum tentu bersuamikan laki-laki yang bekerja tetap – sehingga Panca Dharma wanita menjadi doktrin yang belum tentu sesuai untuk dijadikan landasan filosofinya. Dengan demikian, penulis berniat untuk melakukan kajian mengenai Panca Dharma Wanita dengan menggunakan Critical Discourse Analysis sebagai pendekatan. Lebih jauh lagi, satu hal yang juga penting adalah bagaimana para kader
PKK memahami konsep Panca Dharma Wanita tersebut. Selama lebih dari tiga dekade Panca Dharma ini menjadi landasan kegiatan mereka tanpa adanya resistansi yang berarti. Asumsinya adalah konsep ini dipahami selaras dengan kehidupan para kader dan oleh karenanya bisa diterima dengan baik. Dengan demikian, perlu kiranya untuk melihat apakah asumsi tersebut benar adanya melalui penelitian yang akan penulis lakukan ini.


B.  Perumusan Masalah

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan berikut:
1. Apakah konsep Panca Dharma Wanita merupakan alat dominansi ‘power’
    dalam konteks Critical Discourse Analysis?
2. Bagaimana pemahaman para kader penggerak PKK terhadap konsep
    Panca Dharma Wanita?




BAB II

PEMBAHASAN



A. Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita

1. Wanita Sebagai Istri Pendamping Suami

Wanita sebagai istri pendamping suami adalah dharma pertama yang tercantum dalam Panca Dharma Wanita.Penekanan kalimat ini adalah peran utama wanita sebagai istri dengan penambahan makna sebagai pendamping suami yang dikaitkan dengan hubungan relasi mereka sebagai suami-istri. Mengenai dharma yang pertama ini, semua kader setuju dengan maksud kalimat tersebut dengan alasan terutama yaitu “mendampingi suami adalah kewajiban istri”, “perempuan memang diciptakan untuk mendampingi suami”, dan “istri adalah bagian atau tulang rusuk suami”. Hanya ada dua orang kader – dari 15 kader – yang memiliki alasan yang lebih netral, yaitu dengan mengasosiasikan istri sebagai rekan dan teman bagi suami. Sementara itu para kader PKK mengartikan kata “pendamping” dengan makna “menemani, siap sedia, membantu, mengurus rumah tangga, dan pelengkap”. Hanya dua kader memaknai kata “pendamping” sebagai “teman” serta “mitra”, sedangkan empat orang kader menyatakan bahwa kata “pendamping” bisa diganti dengan kata “pasangan” atau “partner”. Sedangkan 11 kader lainnya menyatakan bahwa kata ‘pendamping’ lah kata yang paling tepat untuk memaknai fungsi wanita sebagai istri. Lebih jauh lagi, tidak ada kader yang setuju bila kalimat dharma pertama ini diubah menjadi “laki-laki sebagai suami pendamping istri”, dengan alasan utama: laki-laki adalah pemimpin keluarga.

2. Wanita Sebagai Ibu Penerus Keturunan

Dharma kedua dari Panca Dharma Wanita menempatkan perempuan sebagai ibu dengan tambahan fungsi sebagai penerus keturunan.Mengenai dharma ini, hanya satu kader merasa tidak setuju dengan pernyataan bahwa perempuanadalah penerus keturunan, karena penerus keturunan, menurutnya, adalah suami dan istri. Sementara itu, kader-kader PKK yang lain menyetujui pernyataan dharma kedua ini; sebagian besar beralasan bahwa secara kodrat, meneruskan keturunan merupakan kewajiban perempuan. Para kader PKK memaknai frasa ‘penerus keturunan’ dengan makna “melahirkan, mendidik, suatu kebanggaan”, serta “memberi keturunan bagi suami”.Sedangkan kata ‘ibu’ dimaknai dengan penempatan perempuan pada kodratnya, yaitu perempuan sebagai panutan anak, mengasuh anak, serta melayani kebutuhan suami dan anak.Selain itu, sebagian besar kader menyatakan bahwa peran perempuan sebagai ibu bukanlah sebuah pilihan melainkan suatu keharusan. Oleh sebab itu, para kader ini menyatakan bahwa bila seorang perempuan tidak bisa mengandung dan melahirkan anak, maka ia dapat melakukan adopsi. Dengan kata lain, mereka harus tetap berfungsi mengasuh anak, meskipun mungkin tidak dari rahimnya sendiri. Sebagian besar kader juga berkomentar negatif terhadap perempuan yang tidak bersedia mengandung dan melahirkan anak.Salah seorang kader, misalnya, mengatakan bahwa perempuan yang tidak bersedia memiliki anak merupakan “korban globalisasi negatif”.

3. Wanita Sebagai Pengurus Rumah Tangga

Dharma ketiga dari Panca Dharma Wanita menempatkan wanita sebagai pengurus rumah tangga.Mengenai dharma ketiga ini semua kader PKK setuju bahwa perempuan-lah yang bertugas mengurus rumah tangga, dan suami hanya diposisikan untuk membantu. Bahkan jika istri bekerja sekalipun, istri tetap wajib mengurus rumah tangga, dan suami tetap diposisikan untuk membantu saja, tidak bias berlaku sebaliknya. “Mengurus rumah tangga” di sini dipahami oleh kader PKK sebagai “mengurus keuangan, memasak, mengasuh dan mendidik anak, menata rumah, melayani suami, serta “mencari nafkah tambahan”.

 4. Wanita Sebagai Pencari Nafkah Tambahan

Dharma keempat dari Panca Dharma Wanita menempatkan wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dengan penegasan makna pada kata ‘tambahan’ – sehingga bernegasi dengan kata ‘utama”. Mengenai Panca Dharma keempat ini, para kader PKK memiliki pendapat yang relatif tidak seragam.Salah seorang kader tidak sepakat dengan ide “wanita sebagai pencari nafkah tambahan”.Menurut pendapatnya, seorang istri bisa saja memiliki penghasilan yang lebih besar daripada penghasilan suami, sehingga frase “pencari nafkah tambahan” menjadi kurang tepat. Sebaliknya, seorang kader menolak dharma keempat ini sebab seorang istri tidak perlu mencari nafkah, dan kewajiban mencari nafkah sepenuhnya tanggung-jawab suami (laki-laki). Namun demikian, sebagian besar menyetujui dharma keempat ini, dengan penekanan bahwa seorang perempuan mesti mendapat izin suami untuk bekerja di luar rumah, dan memiliki keahlian atau kemampuan untuk menyelesaikan tanggung-jawab pekerjaan tersebut. “Pencari nafkah tambahan” diartikan oleh para kader PKK dengan makna “membantu suami”, bukan sebagai pencari nafkah utama.Namun, pada konteks penghasilan suami kurang atau tidak memadai, maka sebagian kader PKK berpendapat bahwa istri wajib membantu suami, dan sebagian lagi berpandangan bahwa istri tidak wajib membantu suami karena mencari nafkah bukanlah tanggung-jawab utama seorang istri. Sementara itu, dalam konteks seorang perempuan bekerja untuk eksistensi diri, para kader PKK berpendapat bahwa istri tetap harus mendapat izin suami untuk bekerja.Apabila penghasilan istri lebih besar daripada pendapatan suami, maka istri tetap wajib menghormati suami, tidak boleh sombong atau merasa lebih tinggi daripada suaminya. Meskipun penghasilan istri lebih besar, semua kader PKK menolak bila kemudian suami disebut sebagai pencari nafkah tambahan.

5. Wanita Sebagai Anggota Warga Negara

Dharma terakhir dari Panca Dharma Wanita adalah wanita sebagai anggota warga negara. Mengenai dharma ini, semua kader menyetujui pernyataan bahwa perempuan merupakan bagian dari warga negara, meskipun pemaknaan anggota warga negara ini difahami dalam konteks yang sedikit lebih sempit yakni dalam kaitannya sebagai WNI (Warga Negara Indonesia), yang berhak mendapat kartu identitas warga negara seperti KTP dan KK, dan yang bisa memberikan suaranya, baik dalam pemilu maupun sebagai saksi. Pemaknaan anggota warga negara juga dikaitkan dengan adanya hak dan kewajiban sebagai warga negara, dengan penekanan pada kepatuhan terhadap negara dan peraturan yang dibuat oleh negara. Dalam kaitannya dengan peran yang sama antara laki-laki dan wanita, tiga orang kader secara eksplisit menyatakan bahwa dalam dharma kelima ini terkandung persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki serta wanita Indonesia sebagai anggota warga negara, dan sebagian besar kader PKK juga menyatakan hal senada meskipun tidak secara eksplisit.


B.  Pemahaman terhadap Urutan Panca Dharma Wanita


Hampir semua kader PKK sepakat dengan urutan Panca dharma wanita tersebut dengan alasan utama: “mulai dari lingkup yang paling kecil”, “sesuai dengan kodrat penciptaan wanita”, “sesuai dengan urutan kewajiban utama”, “di Indonesia, derajat wanita lebih rendah dari pria”, dan “kondisinya sudah demikian dari dulu sampai sekarang”. Namun, ada salah satu kader yang memiliki pandangan berbeda.Kader ini berpendapat bahwa “wanita sebagai anggota warga negara” seharusnya diletakkan dalam urutan pertama.

C. Pembahasan Pemahaman Kader PKK dalam CDA

1. Analisis Umum

Secara umum ada tiga hal yang menarik yang dapat di telaah dari konsep Panca Dharma Wanita ini, yaitu penggunaan kata “Dharma”, penerapan panca dharma Wanita sebagai ideology PKK, dan penggunaan kata Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga sebagai ‘nama’ untuk organisasi PKK Yang pertama adalah pemaknaan kata ‘dharma’.Secara makna kata “dharma” memiliki makna yang terhormat karena kata tersebut mengandung makna pengabdian yang agung secara symbolic. Dengan demikian kata dharma bermakna mengabdi tetapi tidak pada konteks sebagai abdi tetapi lebih pada konteks untuk memberi sehingga akan membuahkan kebaikan. Dengan kata lain, dengan berdharma berarti si pendharma memberikan sesuatu yang dia miliki dengan penuh keikhlasan dan hasil dari apa yang dia lakukan tersebut akan memberi kebaikan baik bagi orang lain maupun untuk si pendharma itu sendiri. Penggunaan kata dharma dengan konotasi makna yang positive tersebut lebih dipilih dibandingkan dengan kata peran atau fungsi yang semata-mata hanya memberi makna tugas terkait posisi.Karena makna kata dharma yang positive tersebut, maka penggunaanya juga dapat diterima dengan lebih baik, karena mengisyaratkan posisi kader PKK yang justru lebih positive. Yang kedua adalah penerapan Panca Dharma Wanita sebagai ideologi dasar PKK.Secara historis, PKK terbentuk sebagai sebuah wadah kegiatan wanita yang ide dasarnya berasal dari organisasi dharma wanita/dharma pertiwi.Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dharma wanita dan dharma pertiwi adalah organisasi wanita pendukung karir suami; dharma wanita adalah organisasi istri pegawai negeri, dan dharma pertiwi adalah organisasi istri TNI.Dua organisasi tersebut mendasarkan fungsi dan peran anggotanya terutama pada sektor domestik; untuk memastikan bahwa para suami tidak perlu memikirkan apalagi menangani urusan domestik.Hal ini tercermin dari kegiatankegiatan mereka yang berbasis kepentingan domestic seperti misalnya kursus memasak, atau merangkai bunga.Secara ideologis, selama masa Orde Baru, dua organisasi tersebut cukup berpengaruh dalam mengendalikan PNS dan TNI beserta keluarganya untuk senantiasa mendukung ideologi dan pemikiran Orde Baru. Pada tahun 1984, pemerintah Orde Baru membentuk PKK sebagai organisasi yang bersifat memobilisasi masa karena PKK dimaksudkan sebagai organisasi yang beranggotakan setiap istri dari setiap keluarga.PKK terbentuk mulai dari tingkat Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, hingga tingkat nasional. Dengan demikian, semua istri akan menjadi anggota PKK, paling tidak pada tingkat RT – ada semacam seruan untuk memastikan bahwa setiap istri aktif mengikuti kegiatan PKK tingkat RT. Kegiatan utama dalam PKK bersifat senada dengan kegiatan pada dharma wanita atau dharma pertiwi; dan oleh karenanya ideology yang dijadikan dasar kegiatan PKK adalah Panca Dharma Wanita, dengan memfokuskan fungsi dan peran wanita pada sektor domestik, yakni sebagai istri, ibu, dan pengurus rumah tangga – dengan kata lain mempertahankan dominansi kekuasaan suami. Satu hal yang berbeda hanyalah PKK sebenarnya bukan organisasi istri pendukung karir suami sehingga penggunaan Panca Dharma Wanita sebagai landasan ideologinya menjadi seperti dipaksakan karena kehidupan yang dialami para wanita anggota PKK ini tentunya tidak sama dengan kehidupan yang dijalani oleh para istri PNS atau TNI. Tentunya penggunaan Panca Dharma sebagai ideologi PKK bukanlah tanpa alasan; mengingat keberhasilan dharma wanita dan dharma pertiwi dalam mendukung Orde baru, maka PKK pun juga diarahkan untuk tujuan serupa. Karena keanggotaan PKK jauh lebih luas, maka pengaruh yang diharapkan tentunya juga akan jauh lebih luas. Yang ketiga, PKK adalah Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga.Dari namanya, PKK diyakini bukanlah merupakan sebuah organisasi.Ia di maknakan sebagai suatu wadah kegiatan para wanita dengan suatu tujuan untuk pemberdayaan kesejahtaraan keluarga. Dengan demikian, segala kegiatan yang dilakukan dimaksudkan untuk dua hal yakni pemberdayaan dan kesejahteraan; bahwa apapun bentuk kegiatannya, itu merupakan wujud pemberdayaan perempuan.Ide dasarnya yaitu pemberdayaan wanita, sebenarnya adalah ide yang bagus, dengan kata lain, bahwa dengan PKK ada kesadaran bahwa wanita dianggap belumlah berdaya dan ada kesadaran untuk membuat mereka lebih berdaya.Hanya saja pemberdayaan yang dimaksudkan adalah demi kesejahteraan wanita pada batas keluarga.Dengan demikian, tetap saja ruang gerak pemberdayaan itu diarahkan ke ranah domestik. Selain itu, penggunaan kata kesejahteraan juga mengimplikasikan bahwa pemberdayaan tersebut ditujukan untuk kesejahteraan keluarga, dan hanya dengan pemberdayaan wanita pada ranah keluarga lah bias diraih kesejahteraan tersebut. Dengan pemikiran tersebut, maka Panca Dharma Wanita dijadikan landasan kegiatannya.


2. Domestifikasi Perempuan Indonesia

Penggunaan Panca Dharma Wanita sebagai landasan gerak PKK merupakan bukti terdomestifikasikannya perempuan Indonesia yang diperjelas dengan penguatan butir butir dharma yang ‘mengharuskan’ wanita untuk berperan secara domestic terlebih dahulu, barulah ‘diperbolehkan’ untuk berperan di masyarakat. Hal ini tercermin dari dharma yang secara berturut-turut menyebut peran wanita sebagai istri, ibu, pengurus rumah tangga, pencari nafkah tambahan, dan yang terakhir adalah sebagai warga masyarakat.Padahal, sebagai manusia seharusnya wanita dikenal terlebih dulu sebagai warga masyarakat, bahkan hak dan kewajiban wanita sebagai anggota warga negara sudah ada sebelum wanita menjadi istri. Pengurutan yang demikian tersebut mengandung makna bahwa begitu wanita berumah tangga, maka peran terutama mereka bukan lagi sebagai anggota masyarakat melainkan sebagai istri, ibu (jika sudah memiliki anak – dan ‘dinormakan’ untuk punya anak), dan pengurus rumah tangga; dengan kata lain ideology Housewifization (Mies, 1986) dan Ibuism (Djayadiningrat, 2004) ditanamkan. Sementara itu peran lain yang terkait dengan eksistensi diri wanita sebagai manusia di akui hanya selama ketiga peran yang sebelumnya telah dilakukan dengan baik – itu pun juga dengan catatan, harus seijin suami dan tetap menghormati suami. Bahkan, wanita yang mandiri dan kritis memandang peran dan posisinya justru dipertanyakan (Hatley, 2002: 130) karena hal tersebut bertentangan dengan ideology gender yang konservatif dan family-centered yang menjadi dasar ideology PKK.

3. Dominasi Power dalam Kata Kunci Panca Dharma Wanita

Ada beberapa kata kunci yang menunjukkan dominasi power laki-laki dalam Panca Dharma Wanita, yang menunjukkan tingginya budaya patriarkhi dalam masyarakat Indonesia.Kata – kata tersebut diantaranya adalah penggunaan kata wanita dan bukannya perempuan.Kata wanita diadopsi dari Bahasa Jawa yang seringkali di artikan dari susunan kata wani di tata yang berarti berani atau mau untuk diatur. Kata kunci yang kedua adalah penggunaan kata pendamping dalam Dharma pertama; wanita sebagai istri pendamping suami.Secara harfiah, kata pendamping berarti menemani, atau menyertai dekat-dekat. Kata pendamping juga mengimplikasikan suatu maksud tambahan; bahwa seorang pendamping bukanlah pemegang peranan sentral; ia bukanlah yang menjadi pelaku utamanya; ia hanya ada manakala yang dia damping ada. Dengan demikian, sebagai seorang pendamping, istri bukanlah pelaku utama dalam suatu keluarga.Keberadaannya dianggap bergantung pada keberadaan suami, istri bukanlah penentu peran, dia hanyalah mendampingi suami menentukan kebijakan keluarga. Dengan kata lain posisi seorang istri – wanita – diletakkan dibawah posisi suami, dan keberadaannya hanya akan diakui dalam kaitannya denngan keberadaan suami. Kata kunci berikutnya adalah kata ibu dan frasa penerus keturunan dalam dharma wanita adalah ibu penerus keturunan.Kata ibu sebenarnya bermakna luas; setiap wanita dewasa bisa disebut dengan ibu, tetapi dengan menambahkan frasa penerus keturunan, maka kata ibu disempitkan maknanya hanya sebagai ibu secara biologis, yakni ibu yang mengandung dan melahirkan anaknya. Padahal, pada konteks biologis tidak semua wanita bias menjadi ibu. Menjadi Ibu sebenarnya adalah gelar pilihan dari sekian banyak gelar yang bias dimiliki wanita. Frasa penerus keturunan yang dibebankan pada kata ibu juga mengandung makna pembebanan fungsi meneruskan keturunan pada wanita, padahal jelas diketahui bahwa seorang wanita tidaklah mungkin bisa meneruskan keturunan tanpa peran laki-laki. Sehingga jika pasangan suami istri belum dikaruniai putra maka wanita yang akan secara psikologis terbebani. Mereka lah yang akan mendapat stigma tidak bisa memberikan keturunan pada suami, meskipun secara medis wanita tersebut terbukti tidak memiliki gangguan reproduksi. Kata kunci yang lain adalah pada kata pengurus dalam dharma ketiga; wanita sebagai pengurus rumah tangga. Kata pengurus memberikan makna pemberian tanggung jawab.Pada dharma sebelumnya wanita tidak dimaknai sebagai seseorang yang bisa diberi beban tanggung jawab. Dengan kata lain, wanita tidak dianggap mampu untuk diberi beban tanggung jawab. Pada dharma ketiga ini wanita diberi beban tanggung jawab, tetapi perlu dicatat bahwa beban yang diberikan dibatasi pada sector domestic, dengan mempertegas bahwa yang diurusnya adalah urusan rumah tangga. Kata kunci yang terakhir adalah kata tambahan pada dharma keempat; wanita sebagai pencari nafkah tambahan. Penambahan kata tambahan pada kalimat itu menunjuk peran wanita yang ter-subordinate, bahwa apa yang dilakukan wanita untuk menafkahi keluarga adalah bersifat pelengkap saja. Implikasi lain dari kata tambahan itu adalah, jika memang sudah mencukupi maka tidak perlu ada tambahan lagi. Hal ini yang kemudian menjadi legitimasi untuk menafikkan kemauan wanita untuk bekerja disektor publik, baik dibutuhkan atau tidak, karena memang existensi wanita disektor itu tidak diakui.
  

BAB III

KESIMPULAN


Panca Dharma Wanita merupakan salah satu text yang senantiasa dilafazkan oleh para kader PKK dalam hamper setiap kegiatan mereka. Teks Panca Dharma ini berisikan semacam pedoman mengenai peran yang seharusnya dijalani wanita dengan mengurutkannya dari dharma yang bersifat domestic ke dharma yang bersifat publik. Dharma – dharma tersebut menunjukkan bahwa peran perempuan merupakan peran penunjang dari peran suami, dengan kata lain, laki-laki lah yang menjadi tokoh utama dalam sebuah rumah tangga dan wanita ‘hanyalah’ menjadi pendamping saja. Konsep bahwa wanita hanyalah pendamping dan bukan pelaku utama dalam keluarga, dan oleh karenanya menjadikan posisi mereka tersubordinasi sepertinya tidak disadari oleh kader PKK dalam penelitian ini, meskipun mereka tahu persis posisi, peran, dan fungsi mereka dalam keluarga. Posisi, peran, dan fungsi yang tersubordinasi tersebut dianggap sebagai hal yang memang sudah seharusnya karena memang mereka menganggap laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Dengan dimasukkannnya Panca dharma wanita sebagai ideologi kegiatan massa mereka, maka anggapan laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi itu menjadi semakin kuat, karena penggunaan kata dharma tersebut member konotasi yang positif. Disamping itu, ada beberapa kata kunci yang menunjukkan peran wanita yang tersubordinasi dalam Panca Dharma wanita yaitu kata pendamping, penerus keturunan, pengurus rumah tangga, dan pencari nafkah tambahan.




DAFTAR PUSTAKA

Blackburn, S. (2004). Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
Cameron, D. (2007). Book Review: Feminist critical discourse analysis. Language in Society, 36(1), 111-115.
Ekomadyo, A. S. (2006). Prospek Penerapan Metode Analisis Isi (Content Analysis) dalam Penelitian Media Arsitektur. Jurnal Itenas, 2(10), 51-57.
Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis: the Critical Study of Language. Singapore: Longman.
Fairclough, N. (2001). Language and Power (2nd ed.). Harlow, England: Pearson Education Limited.
Hatley, B. (2002). Literature, Mythology and Regime Change: Some Observations on Recent Indonesian Women's Writing. In K. Robinson & S. Bessel (Eds.), Women in Indonesia: Equity and Development (pp. 130- 143). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Hatley, B. (2008). Postkolonialitas dan Perempuan Indonesia dalam Sastra Indonesia Modern (K. Soebagyo & M. Soesman, Trans.). In K. Foulcher & T. Day (Eds.), Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial (pp. 175- 225). Jakarta: KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia.
Marcoes, L. (2002). Women's Grassroots Movements in Indonesia: A Case Study of the PKK and Islamic Women's Organisations. In K. Robinson & S. Bessel (Eds.), Women in Indonesia: Equity and Development (pp. 187- 197). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Mies, M. (1986). Patriarchy and Capital Accumulation on a World Scale: Women in the International Division of Labour. London: Zed Books.
Oey-Gardiner, M. (2002). And the winner is ... Indonesian Women in Public Life. In K. Robinson & S. Bessel (Eds.), Women in Indonesia: Equity and Development (pp. 100-112). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Philips, N., & Hardy, C. (2002). Discourse Analysis: Investigating Processes of Social Construction (Vol. 50). Thousand Oaks, CA: Sage.
Rahayu, P. R. (2004). Militerisme dan Ideologi Konco Wingking. Retrieved from http://www.kalyanamitra.or.id/kalyanamedia/1/2/opini.htm
Rahimi, F., & Riasati, M. J. (2011). Critical Discourse Analysis: Scrutinizing
Ideologically - Driven Discourses. International Journal of Humanities
and Social Science, 1(16), 107-112.
van Dijk, T. A. (1993). Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and
Society, 4(2), 249-283.
van Dijk, T. A. (1998). Critical Discourse Analysis. Retrieved from
http://www.hum.uva.nl/~teun/cda.htm
Wodak, R. (1991). Turning the Tables: Anti-Semitic Discourse in Post War
Austria. Discourse and Society, 2(1), 63-83.


You May Also Like

0 komentar