Makna Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu kekuatan yang
dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi perkembangan
fisiknya, mentalnya, emosionalnya, sosialnya, dan etiknya. Dengan kata lain
pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi seluruh
aspek kepribadian dan kehidupan individu.secara umum dan sangat mendasar.
Driyarkara (1980) mengatakan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.
Pengangkatan manusia muda ke taraf insani itulah yang menjelma dalam semua
perbuatan mendidik. Pendidikan dipandang sebagai komunikasi keberadaan
(eksistensi) manusiawi yang otentik kepada manusia muda, agar dimiliki,
dilanjutkan dan disempurnakan. Komunikasi ini terlaksana dalam kesatuan antar
pribadi antara pendidik dan anak didik.
Pendidikan adalah upaya normatif yang membawa
manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Kemana
manusia mau dibawa melalui upaya pendidikan?Jawabannya harus ditemukan melalui
dan bermuara kepada pemahaman tentang hakikat manusia. Hakikat manusia tidak
akan terlepas dari pertanyaan-pertanyaan antropomorfik karena pandangan manusia
terhadap dunia dan dirinya tidak bisa lepas dari sudut pandang eksistensial
manusia itu sendiri. Pertanyaan yang berkenaan dengan ”Siapa saya?”, Apa dunia
ini?”, Apa yang harus saya perbuat?”, Apa yang dapat saya
harapkan?” merupakan pertanyaan di sekitar upaya memahami hakikat manusia.
Berbagai pandangan dan tafsiran telah mencoba berupaya menemukan jawaban atas
pertanyaan tersebut. Harold H.Titus (1959:141-145) menggolongkan tiga aliran
penafsiran terhadap hakikat manusia. Ketiga golongan itu ialah tafsiran klasik
atau rasionalistik, tafsiran teologis,dan tafsiran ilmiah.
Tafsiran klasik atau rasionalistik, yang
bersumber pada filsafat Yunani dan Romawi, yaitu Socrates, Plato, Aristoteles,
dan Kant memandang manusia sebagai mahluk rasional. Pandangan Socrates maupun
Plato, manusia yang cerdas itu adalah manusia yang berbudi atau manusia yang
saleh; (”...the intelligent man is the virtuoes man”) (Titus,1959:142). Demikian pula Aristoteles
memiliki pandangan yang sama dengan Plato bahwa:”...the reason (nous) is
man’s true self and indestructible essence.” (Comford,1945:342). Kulminasi pandangan
klasik ini terletak pada filsafat Kant yang juga memandang manusia sebagai
mahluk rasional (Fromm;Xirau,1968:4-5). Kant mengakui bahwa dengan kemampuan
rasio, manusia memperoleh pengalaman dan pengetahuan tetapi pengalaman dan
pengetahuan itu tidak dapat dijadikan dasar keyakinan yang absolut bagimanusia.
Jadi menurut pandangan klasisk(rasionalistik) manusia itu difahami terutama
dari segi hakikat dan keunikan pikirannya. Pandangan ini merupakan pandangan
optimistik,terutama mengenai keyakinan akan kemampuan pikiran manusia.
Tafsiran teologis, memandang manusia sebagai
mahluk ciptaan Tuhan, dan dibuat menurut aturan Tuhan. Manusia hanya akan
menemukan dirinya apabila dia mampu mentransendensikan kehidupan yang alami
kepada tingkatan yang paling tinggi, yaitu Tuhan. Manusia adalah mahluk yang
memiliki kemungkinan untuk berbuat baik atau jahat,dia memiliki kelemahan dan
keunggulan. Kelemahan manusia dapat membawa dirinya terperosok ke dalam tataran
kehidupan yang paling rendah (tingkat kehidupan hewani), tapi dengan
kekuatannya pula manusia dapat mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi.
Dalam tafsiran teologis perkembangan manusia terarah kepada upaya menemukan
nilai kehidupan instrinsik dan mengabdikan diri kepada Tuhan. Tafsiran teologis
ini bersumber dari ajaran agama (tertentu), sehingga dimungkinkan pula
keragaman pandangan tentang hakikat manusia meskipun ada hal-hal yang bersifat
universal.
Tafsiran ilmiah tentang manusia bervariasi, bergantung
kepada sudut pandang ilmu yang digunakan. Ilmu-ilmu fisis memandang manusia
sebagai bagian dari keteraturan alam filsafat, oleh karena itu manusia harus
dipahami dari segi hukum-hukum fisis dan kimiawi (Titus,1959:143). Studi dan
tafsiran ilmiah tentang manusia ini pertama kali dilakukan oleh Freud (Fromm;
Xirau,1968:5), yang menerapkan hukum-hukum fisika dalam memahami dan
menjelaskan mekanisme perilaku manusia.
Pandangan eksistensialisme dan fenomenologis
memandang manusia sebagai mahluk yang memiliki kebebasan memilih dan
mengembangkan diri atas tanggung jawab sendiri. Pandangan eksistensialisme
menurut Core, (1977:340) menerangkan bahwa manusia adalah mahluk yang mampu
menyadari diri sendiri, unik, dan memiliki kapasitas tersendiri yang memungkinkan
dia berpikir dan mengambil keputusan. Pendapat lain menayatakan bahwa manusia
adalah mahluk yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi
(Titus,1959:294). Kekuatan manusia untuk memilih alternatif dalam mengambil
keputusan secara bebas di dalam keterbatasannya, adalah aspek esensial dari
keberadaan manusia. Kaum eksistensialis memandang bahwa manusia
bertanggungjawab atas keberadaan dan takdir dirinya. Manusia tidak dibentuk
oleh kekuatan pengkondisian yang deterministik.
Kebebasan yang dimiliki manusia bukanlah
sesuatu yang harus dibuktikan atau diperdebatkan, melainkan sesuatu kenyataan
yang harus dialami oleh manusia itu sendiri. (Titus,1954:294). Kebebasan itu
mengungkapkan tuntutan hakikat batiniah manusia dan menyatakan keadaan diri yang
sejati dan otentik, yakni menghadapi pilihan, membuat keputusan, dan menerima
tanggungjawab. Pandangan eksistensilis, manusia lahir dalam keadaan tidak
selesai dan oleh karena itu manusia bertanggungjawab atas keberadaan dirinya di
dunia ini.
Kaum eksistensialis memandang bahwa kehidupan
manusia terarah menuju keberadaan dirinya (being). Menurut faham Kierkegaard bahwa keberadaan
diri adalah suatu kondisi dimana manusia memahami dan menghayati sumber
keberadaannya, kehidupan jiwa yang lestari, takdir, dan kenyataan bahwa Tuhan
adalah kekuatan tertinggi yang mutlak (Titus,1959). Sedangkan faham Nietzsche
yang menyatakan doktrin bahwa ”Tuhan itu mati”, dan dia melihat keberadaan diri
itu sebagai suatu kondisi yang mengarah kepada ”Kehendak untuk Berkuasa” (Will to Power). Kehendak hidup menjadi kehendak untuk
berkuasa. Menurut Nietzsche manusia tidak menemukan nilai melainkan menciptakan
nilai dan memproyeksikan nilai itu ke dalam kehidupan dunia. Pemikiran faham
Nietzsche ini menghadapkan manusia kepada ketiadaan nilai dan tujuan yang
pasti, membawa kehidupan manusia ke dalam situasi nihilistik.
Kaum fenomologis mengartikan keberadaan diri
itu ”menjadi di sana” (”to be the there”) ”di sana” bukan dalam arti dunia
eksternal,melainkan pemahaman terhadap keterbukaan dunia (Hall &
Lindzey,1981:320). Heidegger menafsirkan keberadaan diri itu dalam tiga
persoalan pokok yang dia ajukan sebagai dasar pemahaman keberadaan manusia.
Ketiga persoalan itu ialah: kemahlukan manusia, keberadaan konkrit, dan
keberadaan transendensial.
Manusia sebagai mahluk ingin mengetahui
keberakhiran dirinya, kecemasan yang dialami manusia memungkinkan dia menjadi
sadar akan keberadaannnya. Manusia mampu mempertanyakan dirinya dan menembus
misteri keberadaannya. Keberadaan manusia di dunia merupakan ciri esensial
kehidupan. Akan tetapi keberadaan ini sering membawa manusia ke dalam
situasi kehidupan hampa tanpa pangkal tempat bertolak, karena dia kehilangan
kesadaran akan keberadaan dirinya dalam kenyataan akhir (ultimate reality). Oleh
karena itu, menurut Heidegger, keberadaan konkrit ini harus ditransendesikan
sehingga manusia menjadi terbuka terhadap totalitas keberadaan yang sudah ada
(being to such). Tanpa transendensi,apa yang diketahui dan dipelajari manusia
akan semata-mata menjadi kumpulan data positivistik. Persoalan manusia
ialah”...become existentially what he is esentially” (Titus,1959:301). Manusia dapat mengetahui
melalui wawasan tentang keberadaan diri sendiri. Untuk memahami keberadaan yang
telah ada itu, manusia dituntut untuk hidup dan berbuat melalui proses
pengambilan keputusan.
Pemikiran Jaspers (Titus,1959:301) juga sama
dengan pemikiran Heiddegger tentang penemuan makna yang tidak dapat dicapai
melalui pemikiran positivistik belaka, melainkan harus melalui spirit dan
penerimaan bentuk-bentuk idealisme dan pengujian keberadaan pribadi. Untuk
sampai kepada keberadaan pribadi ini, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang
harus dipertimbangkan manusia, yaitu kedirian, komunikasi dengan sesama dalam
kehidupan sosial, dan keragaman struktur kesejarahan masyarakat. Jasper pun
memandang bahwa kebermaknaan hidup itu akan diperoleh dari keberadaan diri yang
otentik, yakni diri yang bertransenden, dan proses transendensi itu dipandu
oleh cinta kasih, iman, dan wawasan.
Pandangan tentang manusia secara menyeluruh
merupakan hasil pemikiran yang tidak hanya berkisar pada kajian manusia dalam
kaitannya dengan diri sendiri dan lingkungan dunia yang masih terbatas,
melainkan menjangkau hakikat manusia secara menyeluruh dan utuh. Pandangan yang
menyeluruh dan utuh ini hendaknya mampu menjelaskan secara penuh arti dan
maknadari harkat dan martabat manusia. Harkat dan martabat manusia inilah yang
benar-benar membedakan manusia dari mahluk-mahluk lainnya di seluruh alam
semesta.
Prayitno (2009: 13-14) manusia mencerminkan
kebutuhan-kebutuhan dirinya, kemampuan berpikir dan merasanya, kehidupan dan
budayanya, kemampuan untuk menambah dan menuasai lingkungan serta menjangkau
daerah-daerah yang semakin luas, serta kemampuan spiritual sampai keimanan dan
ketakwaannya kepada Tuhan yang Maha Esa, dapat ditarik kesimpulan tentang
hakikat manusia yang didalamnya terkadung harkat dan martabat manusia,yaitu
bahwa manusia adalah: mahluk yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, mahluk yang paling indah dan sempurna dalam penciptaaan dan pencitraannya,
mahluk yang paling tinggi derajatnya, khalifah di muka bumi, dan pemilik
hak-hak asasi manusia (HAM).
Hakikat manusia itu merupakan inti dari
kemanusiaan manusia. Mulai dari awal penciptaannya, dalam kondisi
keberadaannya di atas bumi, sampai dengan perjalanannya kembali ke hadapan Sang
maha Pencipta, hakikat kemanusiaan yang terukir pada lima konsep dasar harkat
dan martabat manusia itu tetap melekat pada diri manusia. Manusia memperoleh kehormatan
dan kesempatan untuk mengaktualisasikan hakikat dirinya itu dalam keseluruhan
proses kehidupannya di dunia dan di akhirat. Berbekal hakikat yang selalu
melekat pada dirinya, manusia mengembangkanm kehidupannya di atas bumi.
Keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa ditunaikan melalui
peribatan yang tulus dan ikhlas; citra kesempurnaan dan keindahannya diwujudkan
melalui penampilan budaya dan peradaban yang terus berkembang; ketinggian
derajatnya ditampilkan melalui upaya menjaga kehormatan dan menolak hal-hal
yang merendahkan nilai-nilai kemanusiannya; kekhalifahan diselenggarakan
melalui penguasaan danpengelolaan atas sumber daya alam dan sumber daya manusia
untuk kehidupan damai dan sejahtera dalam alam yang nyaman dan tenteram; dan hak
asasi manusia dipenuhi melalui saling pengertian, saling memberi dan saling
menerima serta saling melindungi, mensejahterakan dan membahagiakan.
Teraktualisasikannya hakikat dirinya, manusia akan dapat menemukan kehidupan di
dunia dan di akhirat sesuai dengan tujuan penciptaan manusia,yaitu kehidupan
yang mulia, bermartabat dan membahagiakan. Kehidupan dmeikian itu diatur dengan
memenuhi hak-hak asasi masing-masing individu dalam keseluruhan kemanusiaannya.
Sebagai mahluk Tuhan yang memiliki kebebasan, manusia
patut mengembangkan diri atas dasar kemerdekaan pikiran dan kehendak yang
dilandasi iman dan takwa kepada penciptanya, dalam tatanan kehidupan bersama
yang tertuju kepada pencapaian kehidupan yang sejaln dengan fitrahnya. Kondisi
eksistensial manusia ini mengandung implikasi bahwa manusia berada dalam proses
menjadi menuju keberadaan diri sebagai mahluk pribadi, sosial, dan mahluk
Tuhan.
Upaya pendidikan hanya dikenal dalam kehidupan
manusia yang berlangsung dalam lintas generasi dan konteks kultural. Pendidikan
adalah upaya membawa manusia dari kondisi apa adanya (what it is) kepada kondisi bagaimana seharusnya (what should be). Pendidikan tidak akan terlepas dari dan
bahkan akan selalu terkait dengan manusia yang sedang berada dalam proses
berkembang dengan segala dimensi keunikannya. Terkandung makna disini bahwa
melalui proses pendidikan diharapkan manusia berkembang kearah bagaimana dia
harus menjadi dan berada. Jika pendidikan ini dipandang sebagai suatu upaya
untuk membantu manusia menjadi apa yang bisa diperbuat dan bagaimana dia harus
menjadi dan berada, maka pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang
hakikat manusia. Pendidik perlu memahami manusia dalam hal aktualisasinya,
kemungkinan (possibilities),dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang
dapat diharapkan terjadi dalam diri manusia (Sunaryo Kartadinata, 2011:9).
Dimensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan
melalui pendidikan adalah dimensi kefitrahan, dimensi keindividualan, dimensi
kesosialan, dimensi kesusilaan,dan dimensi keberagamaan. Kata kunci kandungan
dimensi kefitrahan adalah kebenaran dan keluhuran, dimensi keindividualan
adalah potensi dan perbedaan, dimensi kesosialan adalah komunikasi dan
kebersamaan, dimensi kesusilaan adalah nilai dan moral, dan dimensi keberagamaan
adalah iman dan takwa. Kelima dimensi kemanusiaan saling terkait. Dimensi
kefitrahan menduduki posisi sentral yang mendasar keempat dimensi lainnya.
Dimensi keindividualan, kesusilaan dan kesosialan saling terkait antara
ketiganya, dan ketiganya itu terkait dengan dimensi kefitrahan dan
keberagamaan; sedangkan dimensi keberagamaan merupakan bingkai dan sekaligus
wajah dan keseluruhan aktualisasi kehidupan individu dengan kelima dimensinya
(Prayitno, 2009:15-17).
Pelaksanaan pendidikan adalah upaya normatif.
Keajegan pandangan tentang hakikat manusia mutlak diperlukan di dalam
pendidikan, karena pandangan itu akan menjadi dasar arah normatif strategi
pendidikan. Pemikiran tentang hakikat manusia membawa implikasi imperatif bagi
pendidikan untuk tidak terpaku pada ke-kini-an dan ke-disini-an (here and now), walaupun aspek itu diakui cukup penting.
Pendidikan adalah persoalan tujuan dan fokus
(Bereiter,1973:6). Mendidik anak berarti bertindak secara bertujuan dalam
mempengaruhi perkembangan peserta didik sebagai satu kesatuan pribadi. Apa yang
patut dilakukan dan diberikan pendidik kepada peserta didik dalam proses
pendidikan merupakan suatu pilihan moral yang mempunyai tujuan dan fokus yang
jelas. Hakikat manusia yang lahir dengan fitrahnya dan memiliki kemerdekaan
untuk berkembang,maka pendidikan harus dipandang sebagai upaya untuk
mengembangkan kemerdekaan manusia yang memungkinkan manusia bereksistensi dan
berekstensi menuju arah berinsistensi, sebagai titik puncak dari penduniaannya
(Driyarkara, 1980:57).
Pengembangan kemerdekaan manusia melalui
pendidikan,tidak lepas dariu dialektika kemerdekaan sebagai bagian dari hakikat
manusia. Diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara, 1962:4) bahwa ” Dalam pendidikan
harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan itu bersifat tiga macam: berdiri
sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri.
Beratlah kemerdekaan itu! Bukan hanya tidak terperintah saja,akan tetapi harus
dapat menegakkan dirinya dan mengatur perikehidupan dengan tertib. Hal ini
termasuklah juga mengatur tertibnya perhubungan dengan kemerdekaan orang lain.
Ki Hadjar Dewantara pada waktu mengembangkan
sistem pendidikan melalui perguruan Taman Siswa mengartikan pendidikan sebagai
usaha suatu bangsa untuk memelihara dan mengembangkan benih turunan bangsa
iktu. Manusia sebagai individu harus dikembangkan jiwa raganya dengan
mempergunakan segala alat pendidikan yang didasarkan adat istiadat bangsa itu.
Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara mengembangkan sistem among sebagai sistem pendidikan
yang mendasari asas kemerdekaan dan kodrat alam.
Sistem pendidikan itu dikembangkan berdasarkan
lima asas yang dikenal sabagai panca Darma Taman Siswa, Panca Darma ini
meliputi:
- Asas kemerdekaan yang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai hidup tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
- Asas kodrat alam,yang berartiu bahwa pada hakikatnya manusia itu, sebagai mahluk, adalah satu dengan kodrat alam ini. Ia tidak dapat lepas dari alam, tetapi ia akan berbahagia apabila dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan itu. Oleh karena itu, setiap individu harus berkembang dengan sewajarnya.
- Asas kebudayaan,yang berarti bahwa pendidikan harus membawa kebudayaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman, kemajuan dunia dan kepentingan rakyat lahir batin pada setiap zaman dan keadaan.
- Asas kebangsaan yang tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malah harus menjadi bentuk dan fiil kemanusiaan yang nyata, dan oleh karena itu tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju ke arah kebahagiaan hidup lahir batin seluruh bangsa.
- Asas kemanusiaan yang menyatrakan bahwa darma setiap manusia itu adalah perwujudan kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian batin dan adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap mahluk Tuhan seluruhnya (Rohman Natawidjaya,ed.,1978).
Ki Hajar dewantara memberikan gambaran
mengenai Pancadarma itu sebagai berikut: ”berikan kemerdekaan kepada anak-anak
kita; bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh
tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata, dan menuju kearah kebudayaan, yaitu
keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar kebudayaan itu dapat menyelematkan
dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, maka
perlulah dipakai dasar kebangsaan, akan tetapi jangan sekali-kali dasar ini
melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar
kemanusiaan. (KI Hajar Dewantara,1959).
J.J. Rousseau, mengartikan pendidikan itu
identik dengan kehidupan. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Pendidikan
adalah proses kehidupan dan bukan proses untuk mempersiapkan hidujp. Hidup yang
sewajarnya adalah hidup di mana manusia dapat mewujudkan diri sebagai individu
dan sebagai mahluk sosial. Pendidikan adalah proses perwujudan diri tersebut
(Wilds & Lotticj,1961:246). Rousseau berkeyakinan bahwa pendidikan itu
diselenggarakan oleh alam, manusia, dan benda. Lebih lanjut Rousseau
mengemukakan: Pendidikan datang kepada kita dari alam, dari manusia, atau dari
benda-benda. Pertumbuhan yang terjadi di dalam diri kita yang berupa
pertumbuhan organ dan kemampuan-kemampuan merupakan pendidikan dari alam,cara penggunaan
yang dipelajari untuk melangsungkan pertumbuhan ini merupakan pendidikan diri
manusia, dan hal-hal yang diperoleh melalui pengalaman dari sekitar kita adalah
pendidikan dari benda-benda (Rousseau,1950:6).
R.J.Havighurst (1961:5) berpendapat bahwa
pendidikan harus dipandang sebagai upaya masyarakat, melalui sekolah,untuk
membantu individu mencapai tugas perkembangannya (developmental task). Havighurst (1961:2) mengartikan tugas
perkembangan itu sebagai ... suatu tugas yang muncul pada atau kira-kira pada
saat tertentu dalam jalan hidup individu, yang apabila tugas itu dapat
dilaksanakan dengan berhasil akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan dalam
melaksanakan tugas selanjutnya; sedangkan kegagalan melaksanakannya menyebabkan
ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, membawakan penolakan
masyarakat pada dirinya, dan kesulitan-kesulitan dalam melaksanakan tugas
berikutnya.
Dewey (1958:62) menekankan bahwa pendidikan
itu merupakan suatu proses pertumbuhan (growth). Dalam hal ini dia menulis:
Karena pertumbuhan merupakan ciri khas dari kehidupan, maka pendidikan menjadi
satu dengan pertumbuhan, tanpa akhir. Tolok ukur mutu pendidikan di sekoplah
adalah sampai dimana sekolah itu dapat menciptakan suasana untuk pertumbuhan
dan menyajikan cara-cara untuk membuat pertumbuhan itu terlaksana dengan baik.
Pendidikan dipandang bukan semata-mata sebagai
sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi juga untuk kehidupan
anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju tingkat kedewasaannya.
Pendidikan tidak dipandang hanya sebagai usaha pemberian informasi dan
pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk
mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola
hidup pribadi dan sosial yang memuaskan.
Pendidikan mengandung tujuan yang ingin
dicapai, yaitu individu yang kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehingga
bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang individu, maupun sebagai
warga negara atau warga masyarakat. Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha yang disengaja dan direncana dalam
memilih isi (materi) strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang sesuai.
Kegiatan tersebut dapat diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat, berupa pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan
nonformal. Apabila diarahkan dengan keberadaan dan hakikat kehidupan manusia,
kegiatan pendidikan diarahkan kepada empat aspek pembentukan kepribadian
manusia yaitu pengembangan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial,
mahluk susila, dan mahluk beragama (religius).
Pendidikan merupakan gejala yang universal,
dimana ada manusia, di sana ada pendidikan. Gejala yang universal ini bukanlah
hanya sekedar gejala yang melekat pada manusia saja, melainkan merupakan usaha
untuk memanusiakan manusia itu sendiri, yaitu untuk membudayakan manusia. Oleh
karenya pendidikan merupakan keharusan bagi manusia. Sesuai dengan perkembangan
kebudayaan manusia timbulah tuntutan akan adanya pendidikan yang terselenggara
dengan baik, lebih teratur dan didasarkan atas pemikiran yang matang. Disinilah
muncul keharusan adanya pemikiran teoritis tentang pendidikan.
Pendidikan bagi kehidupan umat manusia
merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa
pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang
sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep
pandangan hidup mereka. Pendidikan bagi bangsa yang sedang membangun seperti
bangsa Indonesia saat ini merupakan kebutuhan mutlak yang harus dikembangkan
sejalan dengan tuntutan pembangunan secara tahap demi tahap. Pendidikan yang
dikelola dengan tertib, teratur, efektif dan efisien akan mampu mempercepat
jalannya proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang.
Pendidikan sebagai salah satu sektor yang
paling penting dalam pembangunan nasional, dijadikan andalan utama untuk
berfungsi semaksimal mungkin dalam upaya meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia,
dimana iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi sumber kehidupan semua
bidang.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir (1) menegaskan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia,serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa,dan negara. Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnyapotensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
0 komentar