ALI ABD AL-RAZIQ DAN LIBERALISME ISLAM : ALTERNATIF YANG DITOLAK
Umat
sebagai Komunitas Politik.
Suatu
umat tidak selalu merupakan komunitas politik. Bukan rahasia lagi bahwa,
menurut fakta sejarah, kaum muslim tidaktersatukan dalam komunitas politik tinggal.
Para pakar mengakui bahwa kondisi sejarahlah yang menghalangi bersatunya umat
ke dalam suatu negara tuggal. Meski demikian, nilai-nilai tradisi yang ada
mengarah kepada kesatuan dalam perkara sosial politik, termasuk teologi.
Tradisis yang berlaku cukup kondusif bagi kekuasaan politik islam, atau
sebagaimana dikatakan seorang shaikh yang cukup disegani:”Islam berpijak pada
upaya mewujudkan dominasi dan kekuasaan”. Namun, pluralitas sejarah
aktualnegara-negara Muslim tidak lantas menjadikan keputusan yang diambil oleh
negara-negara itu tidak sah, asalkan
mereka menjadikan syari’ah sebagai pedoman. Praktek penerapan doktrin yang
menyebutkan bahwa umat Islam merupakan komunitas poitik belum ditujukan untuk
menekankan persatuan politik Islam.
Seperti
kedua penulis tersebut yaitu Ali Abd al-Ragiz dan Albert Hourani yang sama-sama
memperdebatkan konteks sejarah dari bukunya al-Rajiq (hlm. 192-194). Kita
dapati bahwa khalifah memperoleh kekuasaannya dari umat, namun umat bukanlah
unsur kekuasaan yang menjadi acuan dalam membuat undang-undang. Golongan syi’ah
percaya bahwa pemerintah Islam dapat diwujudkan di bawah kepemipinan sang Imam.
Kaum fundamentalis berpendapat bahwa pemerintah Islam ideal dapat dibentuk
dalam kondisi sejarah yang bagaimanapun. Pada kenyataannya, salah satu tujuan
pemerintah Islam adalah menanggulangi kondisi-kondisi historis.
Ali
Abd Raziq berpendapat bahwa kekhalifahan bukanlah rezim aama, bahwa lembaga ini
tidak disyaratkan dalam Islam, dan bahwa terlepas dari iat dari para khalifah
tidaklah mungkin ada pengganti, atau khalifah yan menggantikan, kedudukan
Rasulullah, karena “ rasul tidak pernah menjadi raja, dantidak perbah berusaha
mendirikan sebuah negara ataupun pemerintahan; dia adalah pembawa pesan yang
diutus oleh Allah, dan dia bukan pemimpin politik”. Tampaknya dia berkeyakinan
bahwa komunitas beragama yang memiliki kesamaan keyakinan berkat misi dakwah
Rasulullah tidak memiliki dimensi politik.
Argumen
Abd al-Raziq berikut bentuk retorikannya
tidak lepas dari pembahasan Ibn Khaldun mengenai kekhalifahan dan kerajaan
dalam Muqaddima. Pendapat doktrinal
yang relatif kompleks ini telah dibahas oleh sejumlah pakar, namun di antara
pembahasan itu yang layak dicatat adalah karya Muhsin Mahdi yang berjudul Ibn Khaldun’s Philosophy of History. Dia
menerangkan aspek-aspek yang relevan dengan doktrin Ibn Khaldun (hlm. 196-200).
Mahdi menyatakan bahwa rejim Qur’ani dikenal oleh Ibn Khaldun dalam kasus
tertentu, sebagai kekhalifahan. Berdasarkan metode analisis ini agaknya tidak diragukan
bila Ibn Khaldun percaya bahwa Rasulullah memang memainkan peranan politik.
Jelas
sudah bahwa Abd al-Raziq tidak sependapat sengan Ibn Khaldun. IbnKhaldun tidak
menyangkal bahwa kekhalifahan merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan Islam
yang mungkin diwujudkan. Dia menegaskan bahwa kekhalifahan adalah “wajib”
hukumnya dengan catatan bahwa lembaga ini memberlakukan hukum Islam sebagai
tindak lanjut dari ijma (kesepakatan)
para sahabat Rasul, golongan salaf
(pemeluk Islam pertama) dan umat; dan lembaga ini “diperlukan” bagi
pemerintahan dalam arti bahwa ia memenuhi tuntutan alamiah dari semua komunitas
manusia.
Dalam
pembahasannya tentang sumber kekuasaan khalifah (hlm. 195), Abd al-Raziq
sepertinya terlalu melebih-lebihkan tingkat penerimaan kaum Muslim terhadap
klaim khalifah mengenai kekuasaannya. Seperti kita ketahui, Shaikh Bakhit tidak
keberatan untuk meneria gagasan bahwa kekuasaan khalifah bersumber dari
umat. Namun bentuk rekonsiliasi seperti
inilah yang hendak dicegah oleh Abd al-Raziq dengan caranya yang suka
melebih-lebikan.
Dengan
demikian, kita bisa membedakan tiga bentuk pemerintahan sebagai berikut: (1)
pemerintahan Rasulullah, yang sama dengan pemerintahan filsuf-raja, (2)
pemerintahan dengan hukum dan syari’ah
(Qur’an dan Sunnah), dan (3)
pemerintah denga nalar praktis yang berpijak pada hukum alam, atau hukum
kerajaan.
Di
bagian kedua dalam bukunya, Abd al-Raziq membahas fungsi politik Rasulullah
(hlm 208-212). Menurut Majelis Ulama, tujuh butir kesalahan yang dibuat oleh
Abd al-Raziq adalah sebagai berikut:
1. Menjadikan
Syari’ah Islam hanya sebagai hku agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan atau penatalaksanaan urusan
duniawi
2. Berpendapat
bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja dan
bukan untuk menyi’arkan agama ke seluruh dunia.
3. Menyatakan
bahwa lembaga pemerintahan di masa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau, tidak
komplit, dan membingungkan (bagi mereka yang mencoba memahaminya).
4. Berpendapat
bahwa tanggungjawab (Muhammad) Rasulllah hanya menyebarluaskan Syari’ah tanpa
menjadi penguasa.
5. Menganggap
sepi ijma (kesepakatan) para Sahabat rasul yang menetapkan baha uat musti
menunju seseorang untuk mengelola urusan keagamaan dan keduniaan, dan mengakui
adanya kewajiban untuk mengangkat seorang imam.
6. Mengingkari
gahwa quda (kehakiman) merupakan fungsi Syari’ah.
7. Berpendapat
bahwa emerintahan abu bakar dan Khulafa Rashidun merupakan pemerintahan
sekuler.
Al-Rayyis
berpendapat ahwa, karena alasan olitik dan budaya, waar jika Muslimin arab
merasa perlu memiliki dan membangun kembali kekhalifahan setelah digusur oleh
Kemal Ataturk. Dia menharai pernyataan resmi Raja Fuad bahwa dia tidak
berkeberatan memikulbeban baru di samping tugasnya sebagai pemimpin Mesir. Dia
memuji patriotsme bangsa Mesir yang ingin melihat dibangunnya kekhalifahan Arab
di Mesir. Dia condong kepada pandangan bahwa alim-ulama al-Azhar lebih antusias
ketimbang sang raja terhadap gagasanitu, namun dia juga mengakui bahwa sang
raja memeliki ambisi despotis (lalim) yang membuatnya menerima dengan senan
hati usulan untuk mejadi khalifah. Karenanya, menurut al-Rayyis, sah-sah saja
bila bangsa Mesir yang patriotik, yang termotivasi ole visi bangsa Aab dan
kebagkitan politik Islam yang diwariskan kepada bangsa Mesir, mesti beruaya
mengembalkan kekhalifahan ke Mesir yang konon telah dirbut oleh Otoman pada
tahun 1517.
Namun
dukungan Islam leberal bersifat ambiu, karena ia tidak secara jelas membedakan
antara dua rumusan: yakni bahwa Islam adalah demokrasi dan ahwa demokrasi
adalah Islami. Ambiguitas inilah yang melandasi terjadinya kesepakatan antra
otorits keagamaan, gerakan fundamentalis, dan golongan liberal Islam. Namun
gagasan tentang otoritas keagamaan sebagai organisasi administratif khusus,
yang bertujuan melaksanakan kebijakan husus pula, merupakan susuatu ang tidak
dikenal dalam konsepsi fundamentalis tentang Islam seagai agama tanpadewan
agama (clergy), dan sebagai agama yang struktur reigiusnya tidak berbeda dengan
struktur-struktur kenegaraan.
Kecemadan
dan kebingungan begitu nyata trungkakan dalam buku yang ringkas sekaligus
memelukan di mana Shaikh Khalid Muhammad Khalid menarik kembali komitmen
awalnya terahadap pemisaa agama dari negara dalam konteks Islam. Tiga puluh
satu tahun setelah trbitan awal dari buku reformis sensasionalnya, Min Huna
Nabda’ (Dari sini kita memulai), Khalid dengan sangat menyesal mengakui
ekeliruannya dan secara tegas menyatakan bahwa Islam adala agama sekaligus
negara.
Dua
penjelasan atau pembenaran yang diberikan oleh Shaikh Khalid mengimbangi dua
tantangan terbesar masa kini terhadap liberalisme Islam: pengaruh budaya Barat
dan ekstrimisme fundementalis. Saya cnderung percaya bahwa pengakuan kekhilafan
Khalid bukan meruakan permohonan maaf, kendati susana dalamperdebatan yang
berlangsung acapkali terasa mengancam dirinya. Tidak perlu disangsikan bahwa
dia berupaya agar pendapatnya diperhatikan dan didengarkan. Bisa juga
diamemilih mengekspresikan diri denga cara yang mampu menarik perhatian mereka
yang terpengaruh oleh kaum fundamentalis. Namun dibatalkannya gagasan pemisahan
agama dari negara dalam konteks Islam bukan sekedar uaya mendramatisir sikapna
untuk menerima pendapat yang kini telah disepakati banyak orng. Jika ingin
berhasil, Liberalisme jangan lagi didasarkan pada argumen Ali Abd al-Raziq. Apa
yanng endak diupayakan oleh Shaikh Khalid adalah bergabung dengan para
koleganya dalam mencari cara baru yang lebih efektif untuk melgitimasi gagasan
tntang pemerintahan liberal dalam Islam
Karya
Profesor Mohammed Arkoun (hal 237-239), yang ditulis di Paris, mengkritik Ali
Abd al-Raziq dan Tha Husain atas kenaifan mereka yang merasa mampu menjabarkan
dua simbol budaya paling signifikan dalam Islam: peran politik Rasulullah dan
retorika Qur’an yang bersumber dari kalam Ilahi. Namun di balik kritikannya itu
Arkoun tidak menganjurkan dilakukannya kompromi denga tradisi ortokoks atau
disetujuinya, secara diam-diam kebijakan-kebiakan pemerintah yang mendukung
dibangunnya intuisi-intuisi Islam.
Kendati
Arkoun memperlihatkan pemahaman historis yang kuatmengnai kemajuan dan
kemunduran Islam, dan meski dia kerap membahas aspek politik dari kontroversi
intelektual, fokus interperatif utamanya tidak bersifat historis, meainkan
epistemologis. Fokus perhatiannya ini tergambar jelas dalam pendahuluan yang
dia tambahkan dalam kempulan makalahnya, yang dimaksudkan untuk mengubah
semuanya itu menjadi semacam kritik sistematik terhadap naar Islam. Analisis
skematik mengenai sejarah pemikiran islam ii diawali denga penyejajaran nalar
Islam (la raison vrai) dengan imajinasi sosia kaum Muslim; nalar Islam
diidentikkan dengan kekakuan penafsira da kekuatan politik, dan imajinasisosial
diidentikkan dengan kebeasan, spontanitas, perubaha, dan perbedaan dialektika
antara keduanya menjadi tema analisisnya. Seperti kita duga, imaginaire telah
tersingkir,dan ketersingkirkannya harus ditebus denga analisis kritis
interdisipiner baru mengenai nalar Islam, dengan menggunakan metode kontemporer
yang akan membebaskan kaum Muslim untuk berpikir tentang segala al yang
dianggap tak tpikirkan oleh logosenridme yang diterapkan oleh alim-ulama
ortodoks. Dalam pembahasannya tentang Al-Qur’an, Arkoun mengawali dengan
membdakan antara “tulisan” al-Qur’an dengan “penafsiran” ortodoks atas
al-Qur’an.
Dalam
andangannya, tulisan itu, terlepas dari adana rumusan politik yang kaku dan
keras, harus dipahami sebagai naskah yang mengatasi batas kebahasaan manusia
berikut kesejarahan situaional, sosial dan politikalnya. Tulisan dalam Qur’an
merupakan ungkapan, perasaan, dan ilham. Ia berada di luar jangkauanya upaya
untuk penjelasan naskah. Akan tetapi naska itu dibaca dengan cara yang
logosentris. Demikian pula, para Sahabat Rasul, yang notabene paling
tahutentang ajaran Islam, dijelaskan dalam hadits sebagai model ortodoksi dan
moralitas berdimensi-tunggal, bukannya sebagai manusia seutuhnya, lebih dari
itu, konflik antara Sunni dan Syi’ah dan Khariiah dianggap sebagai perdebatan
doktrin, bukannya sebagai konflik perebutan kekuasaan, kemungkinan meninjau
konflik ini dalam koteks makna kesejarahan terganjal oleh kefanatikan terhadap
pembedaan versi al-Qur’an antara msyrakat jahiliyahpra-Islam dengan karakte
masyarakat Islam.
Arkoun
menyebut fundamentalisme sebagai doktrin Islam klasik ortodoks, ang mengacu
kepada literatur yang membahas “sumber” atau “akar” (usul) teologi dan
yurisprudensi. Dia menggunakan istilah Perancis interiste untuk menyebut
gerakan-gerakan fundamentalis, misalnya Ikhwan al-Muslimin dan Hizbulla. Islam
fundamentalis-skripturalis ini harus dijelajahi menggunakan metodologi
penelitian dan analisis baru yang di tawarkan. Fundamentaisme ini tidak hanya
mendoninasi teologi pertngahan, namun juga menghambat perkembangan filsafat,
menghalangi ertumbuhan rasionalitas ilmiah, mengabaikan sejarah dan memunculkan
budaya non-tulis masyarakat Muslim.
Kritikan
Arkoun terhadap Ali Abd al-Raziq dan Taha Husain tidak didasarkan pada
keinginan luhur untuk mengkompromikan kebebasan intelektual kalangan terdidik
denga asumsi religius rakyat jelata. Arkoun menolak landasan epistemologis dan
kritik modernis dan dogma ortodoks. Dia bisa memahami gagasan bahwa Muhammad
dan para Sahabatnya berkuasa atas negara duniawi, bukan religi. Nyatanya dia
tidak berkebrata mengutip argumen Muhammad ‘Iara bahwa pembangunan kekhalifahan
merupakan upaya sekelompok elit politik, yang secara kesukuanmasih bertalian
darah, untuk mempertahankan kekuasaan politik yang baru saja mereka raih. Dia
tidak bersikukuh bahwa Islam sebaikna tidak berpolitik, tetapi bahwa Islam
selalu berpolitik dan harus dikaji serta dipahami secara demikian, terutama
jika hendak mengkritisi pemikiran Islam.
Arkoun
bisa menerima pendapat Ibn Khaldun bahwa kekhalifahan telah menjadi sekedar
kerajaan, namun pendapat itu juga dia terapkan kepada masa-masa awal Khulfa
Rashidun karenanya dia begitu kritis terhadap doktrin kekhalifahan Syi’ah
sebagaimana tersaji dalm karya-karya ahli fiqih Sunni.
Yang
menjadi tuuan Arkoun bukanlah pembentukannegara Islam, melainkan negara
demokrasi di mana pembedaan antara pemikiran Islam dengan pemikiran filsafat
akan ditiadakan. Dia hendak menghapus gaaan tentang kekuasaan turun-temurun
berdasarkan interpretasi skripturalis atas naskah al-Qur’an dan dari sudut
pandang inilah dia mengkritik revolusi Islam di Iran dan doktrin Ayatullah
Khomeini.
Prinsip
teokrasi yang melandasi wewenang politik, pribadi Khomeini adalah wilayat
al-faqih, yang biasanya diteremahkan sebagai wewenang ahli hukum. Doktrin
politik Syi’ah menyatakan bahwa imamat, atau penguasa yang sah dalam Islam
seharusnya mendapat pengesahan dari Rasulullah melalui keturunan beliau atas
persetujuan dua belas orang imam. Mungkin juga bimbingan religius dan politik
dari pihak lain, religius maupun politik atau kedua-duanya berkedudukan lebih
rendah dibanding bimibingan sang Imam lantaran penguasa yang lebih rendah tidak
dibekali dengan walaya sebagaimana dimiliki oleh sang Imam.
Arkoun
banyak melakukan pembedaan antara kata walaya dan wilaya. Kata yang kedua,
kendati digunakan bagi kekuasaan administratif gubernur, ditolak lantaran hanya
merujuk kepada divisi atau wilayah administratif. Namun istilah walaya memiliki
nakna yang demikian kaya dan sugestif dalam kontes teoriimamat Syi’ah.
sikapArkoun
yang antipati terhadap revolusi Iran mendorongnya menerapkan prinsip-prinsipnya
sediri mengenai kesejarahan doktrin dan simbol,keseimbangan antara
kebijaksanaan (savoirfaire) praktis
dan pengetahuan berwacana formal atau dogmatik, dengan kebutuhan
mempertimbangan tradisi pemikiran. Fakta istorisdan antropologisnya ialah bahwa
kebangkitan Islam tidak terjawantah secara sama di semua tempat. Juga
berdasarkan analisa sejarah yang jujur, sepertinya kita tidakbia memungkiri
kesejaraha atau keabsahan dari apa yang terjadi di Iran. Meningat karinya sama
halnya dengan menyatakan bahwa sejarah Islam seluruhnya bertentangan dengan
kenyataan. Arkoun mengajukan solusi intelektualis seolah-olah dengan kritik
epistemologis saja sudah dapat mengubah realita politik. Dalam hal ini, kendati
epistemologinya lebih meyakinkan, dia juga memiliki tradisi rasional dan
liberlnya Ali Ab al-Raziq dan Taha Husain.
ESTETIKA
RELEGIUS SAYYID QUTB :
SEBUAH
FUNDAMENTALISME NON-SKRIPTURAL
Fundamentalisme
Islam, kendati merupakan gerakan yang relatif modern, memiiki dokrin yang
berakar dari priode awal sejarah muslim. Modernisme Islam dan gerakan reformis
liberal, seperti halnya aliran ortodoks, mengagung-agungkan struktur formal
hukum Islam. Bahkan pandangan Ali al-Raziq yang memalukan itu dibangun atas
fobdasi skripturalis. Dalam batas tertentu kita sah-sah saja memandang kian
menguatnya pengaruh skripturalisme seputar cara mrnafsirkan naskah-naskah
al-quraan.
Penerapan
nalar deduktif oleh Maududi dalam penafsirannya terhadap syari’ah, terutama
dalam teori negara Islamnya, menunjukan kemenangan dokrin skripturalis, lentara
koherensi logisnya dan daya tariknya bagi intelektual Muslim generasi baru.
Kendati al-Banna memiliki kecendikian dan kemampuan organisasional, tulisan dan
pidato-pidatonya tidak memiliki pengaruh yang sepadan denan kepribadian
khrismwtik. Sebaliknya, tulisan dan ideologi sayyid Qutb menjadi sangat penting
di Mesir, kendati dianggap kontraversial dan dalam batas tertentu tidak
konsisten serap kerap disalahpahami.
Bab
ini akan menjelajahi karya Sayyid Qutb yang paling militan, Ma’alim fi’t-Tariq. Kendati pribadin Sayyid Qutb
secara umum bisa dianggap mencerminkan konsesus fundamentalis, anggapan ini
tidak mampu menjelaskan pengaruh yang membuatnya dituduh menyebarluaskan
pendapat idiolugis kaum ekstrimis fundamentalis Mesir. (hal. 252-256).
Maududi
dan Qutb sama-sama berkeyakinan bahwa Islam terlibat dalam pertikain dengan
imperialisme Barat, dan bahwa pada akhirnya tujuan dari modernisasi, atau
pembangunan, baik yang dinyataka sebagai kapitalisme ataupun komunisme, adalah
untuk memperkuat kolonialisasi material di dunia Islam dengan melakukan penjajahan
moral dan kultural. Kebangkitan Islam merupakan wujud penolakan terhadap
dominassi Barat, budaya Barat, dan identitas yang akan dilekatkan ole Barat
kepada kaum Muslim. Dari asumsi ii kita dapatkan implikasi penting tentang
perlu dibinanya hubungan poliyik antara teknokrat, biokrta, dan profesional
(termasuk militer) serta elit-elit budaya.
Argumen
Maududi dibuat dengan enarik logika dan premis pertamanya yang boleh dikatakan
agak primitif. Premis ini melibatkan prinsip hakimiyyah,atau kedaulatan , dalam bahasa hukum internasional
modern dan teori politik kekinian. Keaulatan ini menafsirkan dalam pengertian
kekuasaan yang menghendaki ketaatan absolut tanpa boleh dibantah, serupa dengan
seorang tuan yang menguasai budaknya. Landasan darikekuasaan ini adlah
kedudukan Tuhan sebagai pencipta, pemilik, dan penguasasegala sesuatu yang ada
di muka bumi. Pandangan Maududi ini dinyatakan sebagai kebenaran yang terbukti
dengan sendirinya (hal. 256-260).
Konsep
kedua yang digunakan oleh Qutb sepertinya juga diambil dari kata-kata Maududi.
Kata Jahiliyah, yang kerap diartikan
sebagai “kebodohan”, merupakan istilah khusus yang digunakan untuk memahami
kndisi budaya dan intelektual masyarakat Arab pra-Islam. Maududi memperluas
istilah itu untuk menyebut segala sesuatu yang tidak Islami atau berlawanan
dengan Islam, termasuk pengaruh negatif jaman modern yang menjauhkan kaum
Muslim dari agama mereka.
Konsep
terpenting ketiga ag dimiliki oleh Maududi dan Qutb adalah jihad, yang tujuan
utnmanya adalah memerangi kejahiliyahan. Permasalahan utamana yang dibahas
Maududi dan selanjutnya dikutip oleh Qutb adalah apakahjihad sifatnyadefinisif
belaka. Golongan pendukung Muslim modernis menamik penafsiran diktrin jihad semacam
itu dan mereka membangun teori lain yang meminimalkan bobot kemiliteran dalam
makna jihad.bukan Cuma itu, mereka berpendapat bahwamanakala kaum Muslim tidak
sedang siap tempur untuk membela agama, mereka selalu dalam keadaan defenisif.
Maududi
dan Qutb sama-sama menolak penafsiran seperti itu karena menurut mereka
penafsiranyang demikian menunjukkan tinkat kesadaran yang rendah. Golonga
pendukung Muslim modrnis terpedaya oleh gagasan yang tidak hanya selaras dengan
doktrin agama Kristen, namun juga merupakan gagasan yang sesuai dengan aspirasi
politik dari para penguasa non-Muslim.
Maududi
membantah bahwa kaum Muslim menggunakan kekuatan untuk memaksa siapa pun supaya
memelukIslam. Itu bukanlah tujuan jihad. Jihad hanya dilaukan melawan
pemerintahan atau penguasa yang menghalang-halangi da’wah Islam dan karena
penguasa kekaisaran Sassanid Iran dan Bisantium tidak mengijinkan para penerus
Muhammad mengajarkan keyakinan yang benar di wilayah mereka, maka mereka
diserang dan dilumpyuhkan. Dengan demikian tujuan jihad adalah diperolehnya
kebebasan menyebarkan agama.
Sekalipun
begitu, Maududi dan Qutb sama-sama berpendapat bahwa tidak ada pemerintahan
non-Muslim yang mengijinkan rakyatnya untuk secara bebas memeluk Islam, jihad
adalah perjuangan melawan kejahiliyahan dan karena semua pemerintahan
yango-Islam adalah jahil, maka semua kekuasaan non-Islam mau tidak mau harus
ditaklukan. Dengan emikian dominasi politik Islamlah yang harus diperluas
melalui jihad, sedangkan mau tidaknya orang memeluk Islam adalah persoalan
kesadaran masing-masing individu.
Maududi
dan Qutb memilikipersamaan perspektif umum tentang cara merealisir revolusi
Islam, atau cara membangun komunitas Islam untuk soal yang satu ini, hampir
semua pakar teori Islam mendapatkan ilhamnya dari sejarah kelompok Islam awal
di Mekah yang masing-masing anggotanya diIslamkan oleh Rasulullah. Apa yang
detekankan oleh Qutb sekali lagi berbeda dengan Maududi. Menurut heat kami Qutb
lebih memberi penkanan pada masing-masing penganut (269-271).
Reputasi
Qutb sebagai teoritisi fundamentalis-modernis diraih lewat buku awalnya
yang terkenal ‘al-‘Adala al-Ijtima’iyya
fi’l-Islam yang diterjemahkan menjadi Social Justice In Islam. Meski ia adalah
fundamentalis-modernis banyak pengamat Barat dan kaum Muslim liberal mendapati
bahwa gagasan-gagasannyaselalu cukup menentramkan hati. Bukunya itu dibagi
menjadi dua bagian utama dengan disisipi bebrapa bab tambahan. Dalam bagian
kesatu, Qutb membahas doktrin-doktrin Islam mengenai kebbasan, kesetaraan, dan
kedilan sosial. Metode pemaparannyatidak jauh berbeda dengan karya-karya
apologetik yang lain. Pendapat yang udah tidakasing lagi ini disertai dengan
sebuah penjelasan tentang “Metode keadilan sosial dalam Islam”. Islam memadukan
seruanuntuk berpegang teguh pada agama dan kesadaranserta untuk tunduk kepada
institusi hukum berikut aparatnya demi tercapainya tujuan. Bagian kedua dari
buku itu meruakan evaluasi tingkat kesesuaian antara yang dipraktekkan dengan
yang diidealkan atau dicita-citakan oleh Islam. Idealisme ii seperti kita
ketahui mamadukan kepercayaan dan kelembagaan atau emikiran dan perilaku
melalui sarana hukum Syari’ah.
Dalam
Ma’alim Qutb melepaskan keyainan yang dapat dierbaiki tentang adanya titik temu
antara teori dan praktekdalam konteks kesejarahan. Dia menyerukan keaktifan,
jihad dan kesyahidan. Dia tidak menjanjikan adanya pahala di duni ini dan dia
pesimis tentang terlaksananya”pembaharuan Islam” segagaimana dia katakan dalam
“’Adala. Seruan melitansi dan kesyahidan ini berpijak pada struktur metafisik
yang diupayakan agar bersifat duniawi dan subyektif.
Dalam
‘Adala, Qutb menolag pragmatisme dan menyatakan bahwa Islam menykong doktrin
intelektualis dengan menambahkan ayat-ayat Qur’an untuk melengkapi
episeemologinya. Dia menyatakan bahwa hukum agama dan hukum alam memang
merupakan kesatuan, namun upaya mengaitkan keduanya didalam perilaku manusia
tidak dilakukan menggunaan perangkat epistemologis, melainkan dengan cara
pemaduan ontologis, yakni denga fitrah semua makhluk (termasuk manusia itu
sendiri). Akan tetapi, rasanya agak mengjutkan medapati bahwa Qutb begitu berai
mengambil resiko menerapkan bentuk kritik susastera terhadapQur’an dan terutama
dengan penafsiran humanistik (kalau bukan rasionalistik).
Perimbangkan
kedua yang perlu kita telaah guna menemkan makna interprestasi estetis Qutb
terhadapql-Qur’an adalah sifat dari teori estetikanya. Estetika Qutb mengarah
kepada pengaruh seni terhadap arus-internal kesadaran atau duree atau
pengalaman nonrefleksif seabagaimana ditulis oleh Bergson dan Schutz. Seni
tidak sekedar mereproduksi atau menggambarkan ulang kehidupan, ia juga
mereproduksi pengalam hidup. Karenanya seni bukan sekedar reproduksi dari apa
yang teramati secara empiris dan teralami secara obyektif.
Qutb
setuju dengan sejumlah pemikir yang berpendapat bahwa di bidan agama,
sebagaimana dalam ilmu komunikasi secara umum, kesadaranlah, bukannya
pengetahuan, yang melandasi kebenaran atau realitas atau keadaan. Pada taraf
tertentu, Qutb bisa disamakan dengan mereka yang berpendapat langsung maupun
tak langsung, bahwa estatika adalah bentuk wacana yang tepat mengenai materi
keagamaan, kemasyarakatan, dan kesejarahan. Bedanya Qutb tidak
menyinggung-nyinggung peran senimn sebagai penafsir kesadaran budaya pada era
tertentu. Dari sini kita semakin jelas mengetahui salah satu fungsi yang
menurut Qub harus dijalankan menggunakan prespektif estatika: dihilangkannya
kebutuhan dan pendekatan filosofi sistemik, seakan-akan fisi artistik tidak
lain adalah respon keterpesonaan jiwa terhadap rangsangan indrawi (bukannya
respon indrawi otentik yang menetukan bentuk dan kesan yang didapat dari
beraneka-ragam pengalaman).
Aspek
politik terpenting dalam perbedaan dualistik kuno antara teori dan praktek,
adalah gagasan bahwa kesempurnaan teori tidak akan pernah terwujudkan dalam
prakteknya.dalam pengertian agama, konsepsi ini engakibatakan terjadinya
penyetaraan antara wahyu ilahi dengan kesempurnaa teori, namun konsepsi ini jua
membenarkan toleransi dalam menerapkan ketentuan agama mengenai prilaku
manusia.
Dalam
‘Adala, Qutb, mengikuti Maududi, dan
dalam tradisi Islam, lebih memilih teori ketimbang praktek, dan mengemukakan
pilihannya ini sebagai kecondongan terhadap idealisme ketimbang pragmatisme.
Pedahal dalam Ma’alim, Qutb lebh
memilih praktek dibanding teori. Dengan membaca al-Qur’an dan mengamalkan
ajarannya akan terbentuk kesadaran Islam.
0 komentar