­

ALI ABD AL-RAZIQ DAN LIBERALISME ISLAM : ALTERNATIF YANG DITOLAK

by - 11:21 PM


Umat sebagai Komunitas Politik.
Suatu umat tidak selalu merupakan komunitas politik. Bukan rahasia lagi bahwa, menurut fakta sejarah, kaum muslim tidaktersatukan dalam komunitas politik tinggal. Para pakar mengakui bahwa kondisi sejarahlah yang menghalangi bersatunya umat ke dalam suatu negara tuggal. Meski demikian, nilai-nilai tradisi yang ada mengarah kepada kesatuan dalam perkara sosial politik, termasuk teologi. Tradisis yang berlaku cukup kondusif bagi kekuasaan politik islam, atau sebagaimana dikatakan seorang shaikh yang cukup disegani:”Islam berpijak pada upaya mewujudkan dominasi dan kekuasaan”. Namun, pluralitas sejarah aktualnegara-negara Muslim tidak lantas menjadikan keputusan yang diambil oleh negara-negara itu tidak  sah, asalkan mereka menjadikan syari’ah sebagai pedoman. Praktek penerapan doktrin yang menyebutkan bahwa umat Islam merupakan komunitas poitik belum ditujukan untuk menekankan persatuan politik Islam.
Seperti kedua penulis tersebut yaitu Ali Abd al-Ragiz dan Albert Hourani yang sama-sama memperdebatkan konteks sejarah dari bukunya al-Rajiq (hlm. 192-194). Kita dapati bahwa khalifah memperoleh kekuasaannya dari umat, namun umat bukanlah unsur kekuasaan yang menjadi acuan dalam membuat undang-undang. Golongan syi’ah percaya bahwa pemerintah Islam dapat diwujudkan di bawah kepemipinan sang Imam. Kaum fundamentalis berpendapat bahwa pemerintah Islam ideal dapat dibentuk dalam kondisi sejarah yang bagaimanapun. Pada kenyataannya, salah satu tujuan pemerintah Islam adalah menanggulangi kondisi-kondisi historis.
Ali Abd Raziq berpendapat bahwa kekhalifahan bukanlah rezim aama, bahwa lembaga ini tidak disyaratkan dalam Islam, dan bahwa terlepas dari iat dari para khalifah tidaklah mungkin ada pengganti, atau khalifah yan menggantikan, kedudukan Rasulullah, karena “ rasul tidak pernah menjadi raja, dantidak perbah berusaha mendirikan sebuah negara ataupun pemerintahan; dia adalah pembawa pesan yang diutus oleh Allah, dan dia bukan pemimpin politik”. Tampaknya dia berkeyakinan bahwa komunitas beragama yang memiliki kesamaan keyakinan berkat misi dakwah Rasulullah tidak memiliki dimensi politik.
Argumen Abd al-Raziq  berikut bentuk retorikannya tidak lepas dari pembahasan Ibn Khaldun mengenai kekhalifahan dan kerajaan dalam Muqaddima. Pendapat doktrinal yang relatif kompleks ini telah dibahas oleh sejumlah pakar, namun di antara pembahasan itu yang layak dicatat adalah karya Muhsin Mahdi yang berjudul Ibn Khaldun’s Philosophy of History. Dia menerangkan aspek-aspek yang relevan dengan doktrin Ibn Khaldun (hlm. 196-200). Mahdi menyatakan bahwa rejim Qur’ani dikenal oleh Ibn Khaldun dalam kasus tertentu, sebagai kekhalifahan. Berdasarkan metode analisis ini agaknya tidak diragukan bila Ibn Khaldun percaya bahwa Rasulullah memang memainkan peranan politik.

Jelas sudah bahwa Abd al-Raziq tidak sependapat sengan Ibn Khaldun. IbnKhaldun tidak menyangkal bahwa kekhalifahan merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan Islam yang mungkin diwujudkan. Dia menegaskan bahwa kekhalifahan adalah “wajib” hukumnya dengan catatan bahwa lembaga ini memberlakukan hukum Islam sebagai tindak lanjut dari ijma (kesepakatan) para sahabat Rasul, golongan salaf (pemeluk Islam pertama) dan umat; dan lembaga ini “diperlukan” bagi pemerintahan dalam arti bahwa ia memenuhi tuntutan alamiah dari semua komunitas manusia.
Dalam pembahasannya tentang sumber kekuasaan khalifah (hlm. 195), Abd al-Raziq sepertinya terlalu melebih-lebihkan tingkat penerimaan kaum Muslim terhadap klaim khalifah mengenai kekuasaannya. Seperti kita ketahui, Shaikh Bakhit tidak keberatan untuk meneria gagasan bahwa kekuasaan khalifah bersumber dari umat.  Namun bentuk rekonsiliasi seperti inilah yang hendak dicegah oleh Abd al-Raziq dengan caranya yang suka melebih-lebikan.
Dengan demikian, kita bisa membedakan tiga bentuk pemerintahan sebagai berikut: (1) pemerintahan Rasulullah, yang sama dengan pemerintahan filsuf-raja, (2) pemerintahan dengan hukum dan syari’ah  (Qur’an dan Sunnah), dan  (3) pemerintah denga nalar praktis yang berpijak pada hukum alam, atau hukum kerajaan.
Di bagian kedua dalam bukunya, Abd al-Raziq membahas fungsi politik Rasulullah (hlm 208-212). Menurut Majelis Ulama, tujuh butir kesalahan yang dibuat oleh Abd al-Raziq adalah sebagai berikut:
1.      Menjadikan Syari’ah Islam hanya sebagai hku agama yang tidak ada kaitannya dengan  pengaturan atau penatalaksanaan urusan duniawi
2.      Berpendapat bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja dan bukan untuk menyi’arkan agama ke seluruh dunia.
3.      Menyatakan bahwa lembaga pemerintahan di masa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau, tidak komplit, dan membingungkan (bagi mereka yang mencoba memahaminya).
4.      Berpendapat bahwa tanggungjawab (Muhammad) Rasulllah hanya menyebarluaskan Syari’ah tanpa menjadi penguasa.
5.      Menganggap sepi ijma (kesepakatan) para Sahabat rasul yang menetapkan baha uat musti menunju seseorang untuk mengelola urusan keagamaan dan keduniaan, dan mengakui adanya kewajiban untuk mengangkat seorang imam.
6.      Mengingkari gahwa quda (kehakiman) merupakan fungsi Syari’ah.
7.      Berpendapat bahwa emerintahan abu bakar dan Khulafa Rashidun merupakan pemerintahan sekuler.

Al-Rayyis berpendapat ahwa, karena alasan olitik dan budaya, waar jika Muslimin arab merasa perlu memiliki dan membangun kembali kekhalifahan setelah digusur oleh Kemal Ataturk. Dia menharai pernyataan resmi Raja Fuad bahwa dia tidak berkeberatan memikulbeban baru di samping tugasnya sebagai pemimpin Mesir. Dia memuji patriotsme bangsa Mesir yang ingin melihat dibangunnya kekhalifahan Arab di Mesir. Dia condong kepada pandangan bahwa alim-ulama al-Azhar lebih antusias ketimbang sang raja terhadap gagasanitu, namun dia juga mengakui bahwa sang raja memeliki ambisi despotis (lalim) yang membuatnya menerima dengan senan hati usulan untuk mejadi khalifah. Karenanya, menurut al-Rayyis, sah-sah saja bila bangsa Mesir yang patriotik, yang termotivasi ole visi bangsa Aab dan kebagkitan politik Islam yang diwariskan kepada bangsa Mesir, mesti beruaya mengembalkan kekhalifahan ke Mesir yang konon telah dirbut oleh Otoman pada tahun 1517.
Namun dukungan Islam leberal bersifat ambiu, karena ia tidak secara jelas membedakan antara dua rumusan: yakni bahwa Islam adalah demokrasi dan ahwa demokrasi adalah Islami. Ambiguitas inilah yang melandasi terjadinya kesepakatan antra otorits keagamaan, gerakan fundamentalis, dan golongan liberal Islam. Namun gagasan tentang otoritas keagamaan sebagai organisasi administratif khusus, yang bertujuan melaksanakan kebijakan husus pula, merupakan susuatu ang tidak dikenal dalam konsepsi fundamentalis tentang Islam seagai agama tanpadewan agama (clergy), dan sebagai agama yang struktur reigiusnya tidak berbeda dengan struktur-struktur kenegaraan.
Kecemadan dan kebingungan begitu nyata trungkakan dalam buku yang ringkas sekaligus memelukan di mana Shaikh Khalid Muhammad Khalid menarik kembali komitmen awalnya terahadap pemisaa agama dari negara dalam konteks Islam. Tiga puluh satu tahun setelah trbitan awal dari buku reformis sensasionalnya, Min Huna Nabda’ (Dari sini kita memulai), Khalid dengan sangat menyesal mengakui ekeliruannya dan secara tegas menyatakan bahwa Islam adala agama sekaligus negara.
Dua penjelasan atau pembenaran yang diberikan oleh Shaikh Khalid mengimbangi dua tantangan terbesar masa kini terhadap liberalisme Islam: pengaruh budaya Barat dan ekstrimisme fundementalis. Saya cnderung percaya bahwa pengakuan kekhilafan Khalid bukan meruakan permohonan maaf, kendati susana dalamperdebatan yang berlangsung acapkali terasa mengancam dirinya. Tidak perlu disangsikan bahwa dia berupaya agar pendapatnya diperhatikan dan didengarkan. Bisa juga diamemilih mengekspresikan diri denga cara yang mampu menarik perhatian mereka yang terpengaruh oleh kaum fundamentalis. Namun dibatalkannya gagasan pemisahan agama dari negara dalam konteks Islam bukan sekedar uaya mendramatisir sikapna untuk menerima pendapat yang kini telah disepakati banyak orng. Jika ingin berhasil, Liberalisme jangan lagi didasarkan pada argumen Ali Abd al-Raziq. Apa yanng endak diupayakan oleh Shaikh Khalid adalah bergabung dengan para koleganya dalam mencari cara baru yang lebih efektif untuk melgitimasi gagasan tntang pemerintahan liberal dalam Islam
Karya Profesor Mohammed Arkoun (hal 237-239), yang ditulis di Paris, mengkritik Ali Abd al-Raziq dan Tha Husain atas kenaifan mereka yang merasa mampu menjabarkan dua simbol budaya paling signifikan dalam Islam: peran politik Rasulullah dan retorika Qur’an yang bersumber dari kalam Ilahi. Namun di balik kritikannya itu Arkoun tidak menganjurkan dilakukannya kompromi denga tradisi ortokoks atau disetujuinya, secara diam-diam kebijakan-kebiakan pemerintah yang mendukung dibangunnya intuisi-intuisi Islam.
Kendati Arkoun memperlihatkan pemahaman historis yang kuatmengnai kemajuan dan kemunduran Islam, dan meski dia kerap membahas aspek politik dari kontroversi intelektual, fokus interperatif utamanya tidak bersifat historis, meainkan epistemologis. Fokus perhatiannya ini tergambar jelas dalam pendahuluan yang dia tambahkan dalam kempulan makalahnya, yang dimaksudkan untuk mengubah semuanya itu menjadi semacam kritik sistematik terhadap naar Islam. Analisis skematik mengenai sejarah pemikiran islam ii diawali denga penyejajaran nalar Islam (la raison vrai) dengan imajinasi sosia kaum Muslim; nalar Islam diidentikkan dengan kekakuan penafsira da kekuatan politik, dan imajinasisosial diidentikkan dengan kebeasan, spontanitas, perubaha, dan perbedaan dialektika antara keduanya menjadi tema analisisnya. Seperti kita duga, imaginaire telah tersingkir,dan ketersingkirkannya harus ditebus denga analisis kritis interdisipiner baru mengenai nalar Islam, dengan menggunakan metode kontemporer yang akan membebaskan kaum Muslim untuk berpikir tentang segala al yang dianggap tak tpikirkan oleh logosenridme yang diterapkan oleh alim-ulama ortodoks. Dalam pembahasannya tentang Al-Qur’an, Arkoun mengawali dengan membdakan antara “tulisan” al-Qur’an dengan “penafsiran” ortodoks atas al-Qur’an.
Dalam andangannya, tulisan itu, terlepas dari adana rumusan politik yang kaku dan keras, harus dipahami sebagai naskah yang mengatasi batas kebahasaan manusia berikut kesejarahan situaional, sosial dan politikalnya. Tulisan dalam Qur’an merupakan ungkapan, perasaan, dan ilham. Ia berada di luar jangkauanya upaya untuk penjelasan naskah. Akan tetapi naska itu dibaca dengan cara yang logosentris. Demikian pula, para Sahabat Rasul, yang notabene paling tahutentang ajaran Islam, dijelaskan dalam hadits sebagai model ortodoksi dan moralitas berdimensi-tunggal, bukannya sebagai manusia seutuhnya, lebih dari itu, konflik antara Sunni dan Syi’ah dan Khariiah dianggap sebagai perdebatan doktrin, bukannya sebagai konflik perebutan kekuasaan, kemungkinan meninjau konflik ini dalam koteks makna kesejarahan terganjal oleh kefanatikan terhadap pembedaan versi al-Qur’an antara msyrakat jahiliyahpra-Islam dengan karakte masyarakat Islam.
Arkoun menyebut fundamentalisme sebagai doktrin Islam klasik ortodoks, ang mengacu kepada literatur yang membahas “sumber” atau “akar” (usul) teologi dan yurisprudensi. Dia menggunakan istilah Perancis interiste untuk menyebut gerakan-gerakan fundamentalis, misalnya Ikhwan al-Muslimin dan Hizbulla. Islam fundamentalis-skripturalis ini harus dijelajahi menggunakan metodologi penelitian dan analisis baru yang di tawarkan. Fundamentaisme ini tidak hanya mendoninasi teologi pertngahan, namun juga menghambat perkembangan filsafat, menghalangi ertumbuhan rasionalitas ilmiah, mengabaikan sejarah dan memunculkan budaya non-tulis masyarakat Muslim.
Kritikan Arkoun terhadap Ali Abd al-Raziq dan Taha Husain tidak didasarkan pada keinginan luhur untuk mengkompromikan kebebasan intelektual kalangan terdidik denga asumsi religius rakyat jelata. Arkoun menolak landasan epistemologis dan kritik modernis dan dogma ortodoks. Dia bisa memahami gagasan bahwa Muhammad dan para Sahabatnya berkuasa atas negara duniawi, bukan religi. Nyatanya dia tidak berkebrata mengutip argumen Muhammad ‘Iara bahwa pembangunan kekhalifahan merupakan upaya sekelompok elit politik, yang secara kesukuanmasih bertalian darah, untuk mempertahankan kekuasaan politik yang baru saja mereka raih. Dia tidak bersikukuh bahwa Islam sebaikna tidak berpolitik, tetapi bahwa Islam selalu berpolitik dan harus dikaji serta dipahami secara demikian, terutama jika hendak mengkritisi pemikiran Islam.
Arkoun bisa menerima pendapat Ibn Khaldun bahwa kekhalifahan telah menjadi sekedar kerajaan, namun pendapat itu juga dia terapkan kepada masa-masa awal Khulfa Rashidun karenanya dia begitu kritis terhadap doktrin kekhalifahan Syi’ah sebagaimana tersaji dalm karya-karya ahli fiqih Sunni.
Yang menjadi tuuan Arkoun bukanlah pembentukannegara Islam, melainkan negara demokrasi di mana pembedaan antara pemikiran Islam dengan pemikiran filsafat akan ditiadakan. Dia hendak menghapus gaaan tentang kekuasaan turun-temurun berdasarkan interpretasi skripturalis atas naskah al-Qur’an dan dari sudut pandang inilah dia mengkritik revolusi Islam di Iran dan doktrin Ayatullah Khomeini.
Prinsip teokrasi yang melandasi wewenang politik, pribadi Khomeini adalah wilayat al-faqih, yang biasanya diteremahkan sebagai wewenang ahli hukum. Doktrin politik Syi’ah menyatakan bahwa imamat, atau penguasa yang sah dalam Islam seharusnya mendapat pengesahan dari Rasulullah melalui keturunan beliau atas persetujuan dua belas orang imam. Mungkin juga bimbingan religius dan politik dari pihak lain, religius maupun politik atau kedua-duanya berkedudukan lebih rendah dibanding bimibingan sang Imam lantaran penguasa yang lebih rendah tidak dibekali dengan walaya sebagaimana dimiliki oleh sang Imam.
Arkoun banyak melakukan pembedaan antara kata walaya dan wilaya. Kata yang kedua, kendati digunakan bagi kekuasaan administratif gubernur, ditolak lantaran hanya merujuk kepada divisi atau wilayah administratif. Namun istilah walaya memiliki nakna yang demikian kaya dan sugestif dalam kontes teoriimamat Syi’ah.
sikapArkoun yang antipati terhadap revolusi Iran mendorongnya menerapkan prinsip-prinsipnya sediri mengenai kesejarahan doktrin dan simbol,keseimbangan antara kebijaksanaan (savoirfaire) praktis dan pengetahuan berwacana formal atau dogmatik, dengan kebutuhan mempertimbangan tradisi pemikiran. Fakta istorisdan antropologisnya ialah bahwa kebangkitan Islam tidak terjawantah secara sama di semua tempat. Juga berdasarkan analisa sejarah yang jujur, sepertinya kita tidakbia memungkiri kesejaraha atau keabsahan dari apa yang terjadi di Iran. Meningat karinya sama halnya dengan menyatakan bahwa sejarah Islam seluruhnya bertentangan dengan kenyataan. Arkoun mengajukan solusi intelektualis seolah-olah dengan kritik epistemologis saja sudah dapat mengubah realita politik. Dalam hal ini, kendati epistemologinya lebih meyakinkan, dia juga memiliki tradisi rasional dan liberlnya Ali Ab al-Raziq dan Taha Husain.



ESTETIKA RELEGIUS SAYYID QUTB :
SEBUAH FUNDAMENTALISME NON-SKRIPTURAL

Fundamentalisme Islam, kendati merupakan gerakan yang relatif modern, memiiki dokrin yang berakar dari priode awal sejarah muslim. Modernisme Islam dan gerakan reformis liberal, seperti halnya aliran ortodoks, mengagung-agungkan struktur formal hukum Islam. Bahkan pandangan Ali al-Raziq yang memalukan itu dibangun atas fobdasi skripturalis. Dalam batas tertentu kita sah-sah saja memandang kian menguatnya pengaruh skripturalisme seputar cara mrnafsirkan naskah-naskah al-quraan.
Penerapan nalar deduktif oleh Maududi dalam penafsirannya terhadap syari’ah, terutama dalam teori negara Islamnya, menunjukan kemenangan dokrin skripturalis, lentara koherensi logisnya dan daya tariknya bagi intelektual Muslim generasi baru. Kendati al-Banna memiliki kecendikian dan kemampuan organisasional, tulisan dan pidato-pidatonya tidak memiliki pengaruh yang sepadan denan kepribadian khrismwtik. Sebaliknya, tulisan dan ideologi sayyid Qutb menjadi sangat penting di Mesir, kendati dianggap kontraversial dan dalam batas tertentu tidak konsisten serap kerap disalahpahami.
Bab ini akan menjelajahi karya Sayyid Qutb yang paling militan, Ma’alim  fi’t-Tariq. Kendati pribadin Sayyid Qutb secara umum bisa dianggap mencerminkan konsesus fundamentalis, anggapan ini tidak mampu menjelaskan pengaruh yang membuatnya dituduh menyebarluaskan pendapat idiolugis kaum ekstrimis fundamentalis Mesir. (hal. 252-256).
Maududi dan Qutb sama-sama berkeyakinan bahwa Islam terlibat dalam pertikain dengan imperialisme Barat, dan bahwa pada akhirnya tujuan dari modernisasi, atau pembangunan, baik yang dinyataka sebagai kapitalisme ataupun komunisme, adalah untuk memperkuat kolonialisasi material di dunia Islam dengan melakukan penjajahan moral dan kultural. Kebangkitan Islam merupakan wujud penolakan terhadap dominassi Barat, budaya Barat, dan identitas yang akan dilekatkan ole Barat kepada kaum Muslim. Dari asumsi ii kita dapatkan implikasi penting tentang perlu dibinanya hubungan poliyik antara teknokrat, biokrta, dan profesional (termasuk militer) serta elit-elit budaya.
Argumen Maududi dibuat dengan enarik logika dan premis pertamanya yang boleh dikatakan agak primitif. Premis ini melibatkan prinsip hakimiyyah,atau kedaulatan , dalam bahasa hukum internasional modern dan teori politik kekinian. Keaulatan ini menafsirkan dalam pengertian kekuasaan yang menghendaki ketaatan absolut tanpa boleh dibantah, serupa dengan seorang tuan yang menguasai budaknya. Landasan darikekuasaan ini adlah kedudukan Tuhan sebagai pencipta, pemilik, dan penguasasegala sesuatu yang ada di muka bumi. Pandangan Maududi ini dinyatakan sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya (hal. 256-260).
Konsep kedua yang digunakan oleh Qutb sepertinya juga diambil dari kata-kata Maududi. Kata Jahiliyah, yang kerap diartikan sebagai “kebodohan”, merupakan istilah khusus yang digunakan untuk memahami kndisi budaya dan intelektual masyarakat Arab pra-Islam. Maududi memperluas istilah itu untuk menyebut segala sesuatu yang tidak Islami atau berlawanan dengan Islam, termasuk pengaruh negatif jaman modern yang menjauhkan kaum Muslim dari agama mereka.
Konsep terpenting ketiga ag dimiliki oleh Maududi dan Qutb adalah jihad, yang tujuan utnmanya adalah memerangi kejahiliyahan. Permasalahan utamana yang dibahas Maududi dan selanjutnya dikutip oleh Qutb adalah apakahjihad sifatnyadefinisif belaka. Golongan pendukung Muslim modernis menamik penafsiran diktrin jihad semacam itu dan mereka membangun teori lain yang meminimalkan bobot kemiliteran dalam makna jihad.bukan Cuma itu, mereka berpendapat bahwamanakala kaum Muslim tidak sedang siap tempur untuk membela agama, mereka selalu dalam keadaan defenisif.
Maududi dan Qutb sama-sama menolak penafsiran seperti itu karena menurut mereka penafsiranyang demikian menunjukkan tinkat kesadaran yang rendah. Golonga pendukung Muslim modrnis terpedaya oleh gagasan yang tidak hanya selaras dengan doktrin agama Kristen, namun juga merupakan gagasan yang sesuai dengan aspirasi politik dari para penguasa non-Muslim.
Maududi membantah bahwa kaum Muslim menggunakan kekuatan untuk memaksa siapa pun supaya memelukIslam. Itu bukanlah tujuan jihad. Jihad hanya dilaukan melawan pemerintahan atau penguasa yang menghalang-halangi da’wah Islam dan karena penguasa kekaisaran Sassanid Iran dan Bisantium tidak mengijinkan para penerus Muhammad mengajarkan keyakinan yang benar di wilayah mereka, maka mereka diserang dan dilumpyuhkan. Dengan demikian tujuan jihad adalah diperolehnya kebebasan menyebarkan agama.
Sekalipun begitu, Maududi dan Qutb sama-sama berpendapat bahwa tidak ada pemerintahan non-Muslim yang mengijinkan rakyatnya untuk secara bebas memeluk Islam, jihad adalah perjuangan melawan kejahiliyahan dan karena semua pemerintahan yango-Islam adalah jahil, maka semua kekuasaan non-Islam mau tidak mau harus ditaklukan. Dengan emikian dominasi politik Islamlah yang harus diperluas melalui jihad, sedangkan mau tidaknya orang memeluk Islam adalah persoalan kesadaran masing-masing individu.
Maududi dan Qutb memilikipersamaan perspektif umum tentang cara merealisir revolusi Islam, atau cara membangun komunitas Islam untuk soal yang satu ini, hampir semua pakar teori Islam mendapatkan ilhamnya dari sejarah kelompok Islam awal di Mekah yang masing-masing anggotanya diIslamkan oleh Rasulullah. Apa yang detekankan oleh Qutb sekali lagi berbeda dengan Maududi. Menurut heat kami Qutb lebih memberi penkanan pada masing-masing penganut (269-271).
Reputasi Qutb sebagai teoritisi fundamentalis-modernis diraih lewat buku awalnya yang  terkenal ‘al-‘Adala al-Ijtima’iyya fi’l-Islam yang diterjemahkan menjadi Social Justice In Islam. Meski ia adalah fundamentalis-modernis banyak pengamat Barat dan kaum Muslim liberal mendapati bahwa gagasan-gagasannyaselalu cukup menentramkan hati. Bukunya itu dibagi menjadi dua bagian utama dengan disisipi bebrapa bab tambahan. Dalam bagian kesatu, Qutb membahas doktrin-doktrin Islam mengenai kebbasan, kesetaraan, dan kedilan sosial. Metode pemaparannyatidak jauh berbeda dengan karya-karya apologetik yang lain. Pendapat yang udah tidakasing lagi ini disertai dengan sebuah penjelasan tentang “Metode keadilan sosial dalam Islam”. Islam memadukan seruanuntuk berpegang teguh pada agama dan kesadaranserta untuk tunduk kepada institusi hukum berikut aparatnya demi tercapainya tujuan. Bagian kedua dari buku itu meruakan evaluasi tingkat kesesuaian antara yang dipraktekkan dengan yang diidealkan atau dicita-citakan oleh Islam. Idealisme ii seperti kita ketahui mamadukan kepercayaan dan kelembagaan atau emikiran dan perilaku melalui sarana hukum Syari’ah.
Dalam Ma’alim Qutb melepaskan keyainan yang dapat dierbaiki tentang adanya titik temu antara teori dan praktekdalam konteks kesejarahan. Dia menyerukan keaktifan, jihad dan kesyahidan. Dia tidak menjanjikan adanya pahala di duni ini dan dia pesimis tentang terlaksananya”pembaharuan Islam” segagaimana dia katakan dalam “’Adala. Seruan melitansi dan kesyahidan ini berpijak pada struktur metafisik yang diupayakan agar bersifat duniawi dan subyektif.
Dalam ‘Adala, Qutb menolag pragmatisme dan menyatakan bahwa Islam menykong doktrin intelektualis dengan menambahkan ayat-ayat Qur’an untuk melengkapi episeemologinya. Dia menyatakan bahwa hukum agama dan hukum alam memang merupakan kesatuan, namun upaya mengaitkan keduanya didalam perilaku manusia tidak dilakukan menggunaan perangkat epistemologis, melainkan dengan cara pemaduan ontologis, yakni denga fitrah semua makhluk (termasuk manusia itu sendiri). Akan tetapi, rasanya agak mengjutkan medapati bahwa Qutb begitu berai mengambil resiko menerapkan bentuk kritik susastera terhadapQur’an dan terutama dengan penafsiran humanistik (kalau bukan rasionalistik).
Perimbangkan kedua yang perlu kita telaah guna menemkan makna interprestasi estetis Qutb terhadapql-Qur’an adalah sifat dari teori estetikanya. Estetika Qutb mengarah kepada pengaruh seni terhadap arus-internal kesadaran atau duree atau pengalaman nonrefleksif seabagaimana ditulis oleh Bergson dan Schutz. Seni tidak sekedar mereproduksi atau menggambarkan ulang kehidupan, ia juga mereproduksi pengalam hidup. Karenanya seni bukan sekedar reproduksi dari apa yang teramati secara empiris dan teralami secara obyektif.
Qutb setuju dengan sejumlah pemikir yang berpendapat bahwa di bidan agama, sebagaimana dalam ilmu komunikasi secara umum, kesadaranlah, bukannya pengetahuan, yang melandasi kebenaran atau realitas atau keadaan. Pada taraf tertentu, Qutb bisa disamakan dengan mereka yang berpendapat langsung maupun tak langsung, bahwa estatika adalah bentuk wacana yang tepat mengenai materi keagamaan, kemasyarakatan, dan kesejarahan. Bedanya Qutb tidak menyinggung-nyinggung peran senimn sebagai penafsir kesadaran budaya pada era tertentu. Dari sini kita semakin jelas mengetahui salah satu fungsi yang menurut Qub harus dijalankan menggunakan prespektif estatika: dihilangkannya kebutuhan dan pendekatan filosofi sistemik, seakan-akan fisi artistik tidak lain adalah respon keterpesonaan jiwa terhadap rangsangan indrawi (bukannya respon indrawi otentik yang menetukan bentuk dan kesan yang didapat dari beraneka-ragam pengalaman).
Aspek politik terpenting dalam perbedaan dualistik kuno antara teori dan praktek, adalah gagasan bahwa kesempurnaan teori tidak akan pernah terwujudkan dalam prakteknya.dalam pengertian agama, konsepsi ini engakibatakan terjadinya penyetaraan antara wahyu ilahi dengan kesempurnaa teori, namun konsepsi ini jua membenarkan toleransi dalam menerapkan ketentuan agama mengenai prilaku manusia.
Dalam ‘Adala, Qutb, mengikuti Maududi, dan dalam tradisi Islam, lebih memilih teori ketimbang praktek, dan mengemukakan pilihannya ini sebagai kecondongan terhadap idealisme ketimbang pragmatisme. Pedahal dalam Ma’alim, Qutb lebh memilih praktek dibanding teori. Dengan membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajarannya akan terbentuk kesadaran Islam.

You May Also Like

0 komentar