ANAK YANG BERESIKO KESULITAN BELAJAR
MAKALAH
ANAK YANG BERESIKO KESULITAN BELAJAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak
berkesulitan belajar adalah anak yang memiliki gangguan satu atau lebih Dari
proses dasar yang mencakup pemahan penggunaan bahasa lisan atau tulisan,
gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak
sempurna dalam mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja
atau menghitung. Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual,
luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan
pembelajaran disekolah, kita dihadapkan pada sejumlah karakteristik siswa yang
beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar
dan berhasil tanpa adanya kesulitan, namun disisi lain tidak sedikit pula siswa
yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar
siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil
belajar dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga
pada akhirnya dalam menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada dibawah
semestinya.
B. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kesulitan belajar pada anak
dan peneyebab dari kesulitan belajar tersebut serta cara mengatasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KESULITAN BELAJAR
Di Indonesia memang belum ada definisi yang baku mengenai berkesulitan
belajar dan klasifikasi seperti yang dijelaskan di atas. Meskipun demikian
dalam penerapan di lapangan Balitbang Dikbud (1997) merumuskan anak
berkesulitan belajar dapat didefinisikan sebagai berikut.
“Anak berkesulitan belajar adalah anak yang secara nyata mengalami
kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus maupun umum, baik disebabkan oleh
adanya pun disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun
sebab-sebab lain sehingga prestasi belajarnya rendah dan anak tersebut berisiko
tinggi tinggal kelas”.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Dikbud
(1996/1997) diketahui bahwa kesulitan belajar yang dialami anak pada umumnya
tidak hanya satu jenis saja. Hal ini dapat dijelaskan karena jika anak
mengalami kesulitan belajar pada salah satu dari kemampuan akademik utama,
yaitu membaca, menulis atau berhitung dan kesulitan tersebut jika tidak segera
diatasi, maka anak tersebut akan mengalami kesulitan dalam bidang yang lain.
Kesulitan belajar siswa mencangkup pengertian yang luas, diantaranya: (a)
learning disorder, (b) learning disfunction, (c) under achiever,
(d) slow learner, (e) learning disabilities.
Dibawah ini akan diuraikan dari
masing-masing pengertian tersebut.
1.
Learning Disorder atau kekacauan belajar
keadaan
dimana proses belajar seseorang terganggung karena timbulnya respon yang
bertetangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya
tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya
respon-respon yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dihasilnya lebih
rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh, siswa sudah terbiasa dengan olah
raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan
dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah gemulai.
2.
Learning
Disfunction
Merupakan
gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik,
meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya sub normalitas mental
atau gangguan psikologis lainnya. Contoh, siswa yang memiliki postur tubuh yang
tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola voly, namun karena tidak
pernah dilatih bermain bola voly, maka dia tidak dapat menguasai permainan voly
dengan baik.
3.
Under
Achiever
Mengacu pada
siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong
diatas normal, tetapi prestasi tergolong rendah. Contoh, siswa yang telah dites
kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ =
130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat
rendah.
4.
Slow Learner
atau lambat belajar
Adalah siswa
yang lambat dalam proses belajar, sehingga dia membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual
yang sama.
5.
Learning
Disabilities
Mengacu pada
gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga
belajar dibawah potensi intelektualnya . Siswa yang mengalami kesulitan belajar
seperti tergolong dalam pengertian diatas akan tampak dari berbagai gejala dan
dimanifestasikan dalam prilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, maupun
afektif.
Beberapa prilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar,
antara lain:
1.
menunjukkan
hasil belajar yang rendah dibawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya
atau dibawah potensi yang dimilikinya,
2.
hasil yang
dicapai tidak seimbang dengan uasah yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa
yang sudah berusaha giat belajar, tetapi nilai yang diperolehya selalu rendah,
3.
lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan
belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan,
4.
menunjukkan
sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura,
dusta dan sebagainya,
5.
menunjukkan
prilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan
PR, menggangu didalam ataupun diluar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak
teratur dalam kegiatan pembelajaran dan sebagainya,
6.
menunjukkan
gejala emosional yang kurang wajar seperti, pemurung, mudah tersinggung,
pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya
dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal
dan sebagainya.
Sementara
itu, menurut Abin Syamsuddin (2003) mengidentifikasi siswa yang diduga
mengalami kesulian belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam
mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut Abin Syamsuddin (2003) bahwa siswa
dikatakan gagal dalam belajar apabila:
1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat
keberhasilan atau tingkat penguasaan materi minimal dalam pembelajaran tertentu
yang telah ditetapkan oleh guru.
2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat
berdasarkan tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa
ini dapat digolongkan kedalam under achiever
3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi yang diperlukan sebagai prasyarat
bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan
kedalam slow learner atau belum matang, sehingga harus menjadi
pengulang. Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa
yang mnegalami kesulitan belajar, maka diperlukan criteria sebagai batas atau
patokan, sehingga dengan criteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat
diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar
siswa,
(a) tujuan pendidikan,
(b) kedudukan dalam kelompok,
(c) tingkat pencapain hasil belajar dibandingkan dengan potensi dan,
(d) kepribadian.
B. KLASIFIKASI ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Mengenal anak berkesulitan belajar spesifik (specific learning
disability), juga dapat dibagi menjadi dua jenis, ialah kesulitan belajar
praakademik dan kesulitan belajar akademik.
1.
Kesulitan
Belajar Praakademik
Kesulitan belajar praakademik sering disebut juga sebagai kesulitan belajar
developmental. Ada tiga jenis anak dengan kesulitan belajar developmental
yaitu sebagai berikut.
a. Gangguan Motorik dan Persepsi Gangguan perkembangan motorik disebut dispraksia, mencakup gangguan
pada motorik kasar, penghayatan tubuh, dan motorik halus. Gangguan persepsi
mencakup persepsi penglihatan atau persepsi visual, persepsi pendengaran atau
persepsi auditoris, persepsi heptik, dan intelegensi system persepsual.
Dispraksia atau sering disebut ‘clumsy’ adalah keadaan sebagai akibat
adanya gangguan dalam intelegensi auditori-motor. Manifestasinya dapat berupa
disfasia verbal (berbicara) dan non verbal (menulis, bahasa isyarat, dan
pantomim).
Ada beberapa
jenis dispraksia, yaitu sebagai berikut.
1)
Dispraksia
ideomotoris: ditandai kurangnya kemampuan dalam melakukan gerakan praktis
sederhana, seperti menggunting, menggosok gigi, atau menggunakan sendok makan.
Dispraksia ini sering merupakan kendala bagi perkembangan bicara.
2)
Dispraksia
ideosional: anak dapat melakukan gerakan kompleks tetapi tidak mampu
menyelesaikan secara keseluruhan terutama dalam kondisi lingkungan yang tidak tenang.
Anak sering bingung mengawali suatu aktivitas.
3)
konstruksional:
anak mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan-gerakan kompleks yang
berkaitan dengan bentuk, seperti menyusun balok dan menggambar. Kondisi ini
dapat mempengaruhi gangguan menulis (disgrafia).
4)
Dispraksia
oral: sering ditemukan pada anak yang mengalami disfasia perkembangan. Anak
mempunyai gangguan dalan bicara karena adanya gangguan dalam konsep gerakan
motorik di dalam mulut.
b.
Kesulitan
Belajar Kognitif
Pengertian kognitif mencakup berbagai aspek struktur intelek yang
dipergunakan untuk mengetahui sesuatu. Dengan demikian, kognitif merupakan
fungsi mental yang mencakup persepsi, pikiran, simbolisasi, penalaran, dan
pemecahan masalah. Perwujudan fungsi kognitif dapat dilihat dari kemampuan anak
dalam penggunaan bahasa dan penyelesaian soal-soal matematika. Gangguan
kognitif hendaknya ditangani sejak anak masih berada pada usia prasekolah.
c.
Gangguan
Perkembangan Bahasa (disfasia)
Disfasia adalah ketidakmampuan atau keterbatasan kemampuan anak untuk
menggunakan symbol linguistik dalam rangka berkomunikasi verbal. Gangguan pada
anak yang terjadi pada frase perkembangan ketika anak belajar berbicara disebut
sebagai disfasia perkembangan (development dysphasia). Disfasia ada dua jenis, yaitu disfasia reseptif dan disfasia
ekspresif.
Pada disfasia reseptif anak mengalami gangguan pemahaman dalam penerimaan
bahasa. Anak dapat mendengar kata-kata yang diucapkan, tetapi tidak mengerti
apa yang didengar karena mengalami gangguan dalam memproses stimulus yang
masuk. Pada disfasia ekspresif, anak tidak mengalami gangguan pemahaman
bahasa, tetapi ia sulit mengekspresikan kata secara verbal.
d.
Kesulitan
dalam Penyesuaian Perilaku Sosial
Ada anak yang perilakunya tidak dapat diterima oleh lingkungan sosialnya,
ia ditolak karena sering mengganggu, tidak sopan, tidak tahu aturan, atau
berbagai perilaku negatif lainnya. Jika kesulitan penyesuaian perilaku sosial
ini tidak secepatnya ditangani maka tidak hanya menimbulkan kerugian bagi anak
itu sendiri, tetapi juga bagi lingkungannya.
2. Kesulitan Belajar Akademik
Meskipun sekolah mengajarkan berbagai mata pelajaran atau bidang studi,
klasifikasi belajar akademik tidak dikaitkan dengan semua mata pelajaran atau
bidang studi tersebut. Berbagai literatur yang mengkaji kesulitan belajar hanya
menyebutkan tiga jenis kesulitan belajar akademik sebagai berikut.
a. Kesulitan Belajar Membaca (Disleksisa) Kesulitan belajar membaca sering disebut disleksia. Kesulitan belajar
membaca yang berat dinamakan aleksia. Ada dua jenis pelajaran membaca, membaca
permulaan atau membaca lisan dan membaca pemahaman. Mengingat pentingnya
kemampuan membaca bagi kehidupan, kesulitan belajar membaca hendaknya ditangani
sedini mungkin. Ada dua tipe disleksia, yaitu disleksia auditoris dan disleksia
visual.
Gejala-gejala
disleksia auditoris sebagai berikut.
1)
Kesulitan
dalam diskriminasi auditoris dan persepsi sehingga mengalami kesulitan dalam
analisis fonetik.
Contoh: anak
tidak dapat membedakan kata ‘kakak, katak, kapak’.
2)
Kesulitan
analisis dan sintesis auditoris.
Contoh:
‘ibu’ tidak dapat diuraikan menjadi ‘I - bu’ atau problem sintesa ‘p – I – ta’
menjadi ‘pita’. Gangguan ini dapat menyebabkan kesulitan membaca dan mengeja.
3)
Kesulitan
re-auditoris bunyi atau kata.
Jika diberi
huruf tidak dapat mengingat bunyi huruf atau kata tersebut, atau kalau melihat
kata tidak dapat mengungkapkannya walaupun mengerti kata tersebut.
4)
Membaca
dalam hati lebih baik dari membaca lisan.
5)
Kadang-kadang
disertai gangguan urutan auditoris.
6)
Anak
cenderung melakukan aktivitas visual.
Gejala-gejala
disleksia visual sebagai berikut.
a)
Tendensi
terbalik: misalnya b dibaca d, p menjadi g, u menjadi n, dan sebagainya.
b)
Kesulitan diskriminasi, mengacaukan huruf atau
kata yang mirip.
c)
Kesulitan
mengikuti dan mengingat urutan visual.
d)
Memori
visual terganggu.
e)
Kecepatan persepsi
lambat.
f)
Kesulitan
analisis dan sintesis visual.
g)
Hasil tes
membaca buruk.
h)
Biasanya
lebih baik dalam kemampuan aktivitas auditorik.
b. Kesulitan Belajar Menulis (Disgrafia)
Kesulitan belajar menulis disebut juga disgrafia. Kesulitan belajar menulis
yang berat disebut agrafia. Ada tiga jenis pelajaran menulis, yaitu
(1) menulis permulaan,
(2) mengeja atau dikte, dan
(3) menulis ekspresif. Kegunaan
kemampuan menulis bagi seorang anak adalah untuk menyalin,
mencatat, dan mengerjakan sebagian besar tugas sekolah.
c. Kesulitan Belajar Berhitung (Diskalkulia)
Kesulitan belajar berhitung disebut juga diskalkulia. Kesulitan berhitung
yang berat disebut akalkulia. Ada tiga elemen pelajaran berhitung yang harus
dikuasai oleh anak. Ketiga elemen tersebut adalah (1) konsep, (2) komputasi,
dan (3) pemecahan masalah. Kesulitan berhitung hendaknya dideteksi dan
ditangani sejak dini agar tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam mempelajari
berbagai mata pelajaran lain di sekolah.
C. IDENTIFIKASI ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Keragaman definisi kesulitan belajar membawa keragaman pula dalam orientasi
filosofis tentang identifikasi dan pengajaran bagi anak berkesulitan belajar.
Jika kita yakin bahwa karakteristik utama kesulitan belajar itu ialah
hiperaktif dan masalah perseptual motorik maka prosedur identifikasi akan
diarahkan ke sana. Jika kita yakin bahwa masalah bahasa itu merupakan sentral
utama maka identifikasi kesulitan belajar akan difokuskan pada pengukuran
keterampilan berbahasa. Dengan demikian identifikasi anak berkesulitan belajar
akan sangat bergantung kepada definisi, orientasi, dan prosedur evaluasi yang
digunakan. Akibatnya banyak prosedur identifikasi dan metode pengajaran yang
digunakan untuk anak berkesulitan belajar.
Kendati pun demikian prinsip-prinsip dasar evaluasi bagi seluruh anak
berkesulitan belajar perlu diketahui dan dipahami. Prinsip-prinsip dasar
tersebut ialah:
1.
Tes atau
teknik evaluasi lain harus diberikan dalam bahasa anak, dapat dipahami oleh
anak.
2.
Evaluasi
harus dilakukan oleh tim dari berbagai disiplin, setidak-tidaknya terdiri atas
seorang guru atau ahli lain yang mengetahui masalah kesulitan belajar.
3.
Kriteria
penetapan kesulitan belajar hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut:
a.
Seorang anak
dikatakan mengalami kesulitan belajar jika anak tidak mampu mencapai prestasi
sesuai dengan usia dan tingkat kecakapan dalam satu atau lebih bidang:
1)
Ekspresi lisan.
2)
Mendengarkan pemahaman.
3)
Ekspresi tulisan.
4)
Keterampilan membaca dasar.
5)
Membaca pemahaman.
6)
Perhitungan matematis.
7)
Berpikir matematis.
b.
Seorang anak
tidak diidentifikasi sebagai anak yang mengalami kesulitan belajar jika
kesenjangan antara kecakapan dan prestasi disebabkan oleh:
1)
Hambatan
visual, pendengaran atau motorik.
2)
Keterbelakangan
mental.
3)
Gangguan
emosional.
4)
Ketidakberuntungan
lingkungan, budaya, atau ekonomi.
4.
Pelaporan
hasil identifikasi hendaknya menyatakan hal-hal sebagai berikut.
a.
Kesulitan
belajar khusus apa yang dialami anak.
b.
Dasar yang
digunakan untuk menentukan jenis kesulitan.
c.
Perilaku-perilaku
yang relevan yang tercatat selama dilakukan pengamatan.
d.
Hubungan
antara perilakuk tersebut dengan keberfungsian akademik anak.
e.
Temuan-temuan
medis yang relevan dengan pendidikan.
f.
Kesenjangan
antara prestasi dan kecakapan yang tak dapat diatasi tanpa pendidikan dan
layanan khusus.
g.
Pertimbangan
tentang pengaruh ketakberuntungan lingkungan, budaya, dan ekonomi.
D. ANAK DENGAN TARAF INTELEGENSI TINGGI
Anak dengan taraf intelegensi tinggi atau kemampuan dan kecerdasan tinggi
di atas rata-rata sampai jenius bukan berarti tidak ada masalah dalam belajar.
Justru karena potensinya yang luar biasa, jika potensi tersebut tidak diberikan
kesempatan untuk dikembangkan secara optimal akan menjadi problema tersendiri
sendiri dalam belajar bagi anak yang bersangkutan.
Anak-anak dengan kemampuan intelektual unggul dan bahkan istimewa (istilah
lain dari “Gifted and Talented”) disebut sebagai anak yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa (UU No. 2/1989 Ps 8:2). Mereka adalah aset
bangsa yang apabila mendapatkan perhatian dan pelayanan yang sesuai dengan
bakat dan kemampuannya akan sangat dibutuhkan untuk pembangunan bangsa dan
negara di masa yang akan datang.
Renzuli dan Hartman (1971) melihat keberbakatan dapat diketahui dari segi
karakteristik tingkah laku yang menonjol pada diri yang bersangkutan
dibandingkan dengan kelompok sebayanya. Mereka mengembangkan skala penilaian
karakteristik tingkah laku anak berbakat berdasarkan 4 kategori, yaitu
karakteristik belajar, karakteristik motivasi, karakteristik kreativitas, dan
karakteristik kepemimpinan. Masing-masing kategori mempunyai ciri tingkah laku
yang lebih menonjol dibandingkan anak-anak yang tidak berbakat.
1.
Karakteristik
yang menonjol dalam belajar misalnya menguasai jumlah kosakata yang luar biasa,
memiliki pengetahuan yang luas, cepat memahami hubungan sebab akibat, mudah
menangkap isi pelajaran, banyak membaca sendiri, dan sebagainya.
2.
Karakteristik
yang menonjol dalam motivasi antara lain terlihat serius menghadapi topik
tertentu, mudah bosan dengan tugas rutin, tekun, ulet, tahan lama dalam
menghadapi tugas, selalu berusaha mencapai prestasi tinggi.
3.
Karakteristik
kepemimpinan yang menonjol adalah mudah bekerja sama dengan orang lain, rasa
tanggung jawab yang besar, dapat mempengaruhi teman-temannya, mudah
menyesuaikan diri sehingga dipilih untuk memimpin kegiatan dan sebagainya.
4.
Karakteristik
kreativitas yang menonjol adalah banyak mengemukakan gagasan, mudah
menyesuaikan gagasan dengan keadaan yang ada serta sering mempunyai gagasan
yang baru dan orisinil.
Anak-anak yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan
yang sesuai, dapat menyebabkan prestasi belajarnya berada di bawah potensinya
atau sering disebut under achiever. Untuk menentukan seseorang termasuk under
achiever atau bukan, dapat dilakukan secara profesional atau sekedar
mengamati ciri-ciri atau gejala yang tampak.
Menurut para ahli (Shaw, 1986;
Turner, 1977; Achir, 1990), ada tiga pendekatan/model untuk menentukan under
achiever secara profesional yaitu sebagai berikut.
1.
Pendekatan/model
discrepancy
Pendekatan ini menggunakan perhitungan kesenjangan belajar antara skor yang
diperoleh dari tes prestasi belajar dengan skor yang diperoleh melalui
tes intelegensi. Jika terjadi kesenjangan antara hasil tes intelegensi dan
hasil tes prestasi belajar seperti hasil tes intelegensi lebih tinggi daripada
hasil tes prestasi belajar maka disebut under achiever.
2.
Pendekatan/model
regression
Pendekatan ini menghitung korelasi antara intelegensi dan hasil belajar.
Disebut under achiever jika terdapat korelasi yang rendah antara skor
prestasi belajar dengan skor intelegensi.
3.
Pendekatan/model
Indeks Prestasi
Pendekatan ini dilakukan dengan cara menetapkan suatu indeks atau batas
tertentu untuk dapat disebut under achiever.
Cara lain yang lebih sederhana
(yang dapat dilakukan oleh guru) adalah dengan mengamati tanda-tanda perilaku
atau sikap tertentu pada anak dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dicocokan
dengan hasil belajar. Dengan mengamati gejala-gejala seperti itu anak yang
bersangkutan dapat dikategorikan sebagai berindikasi under achiever.
E. ANAK DENGAN TARAF INTELEGENSI RENDAH
Anak dengan intelegensi rendah diketahui melalui tes intelegensi. Seseorang
yang memiliki IQ di bawah 70 (untuk skala Wechsler) disebut tunagrahita.
Menurut Grossman seperti dikutip Kirk dan Gallagher (1979) berdasarkan hasil
tes IQ (skala Wechsler) tunagrahita atau keterbelakangan mental dapat dibagi
menjadi 4 yaitu sebagai berikut.
a.
Keterbelakangan
mental ringan (IQ = 55-69)
b.
Keterbelakangan
mental sedang (IQ = 40-54)
c.
Keterbelakangan
mental berat (IQ = 25-39)
d.
Keterbelakangan
sangat berat (IQ = 24 ke bawah)
Di samping itu masih ada anak
yang ber-IQ antara 70-90, mereka termasuk kategori “border line” (garis
batas) yang secara pendidikan disebut “slow learner” (lamban belajar).
Gejala yang tampak pada anak seperti ini anatar lain prestasi belajar sebagian
besar atau seluruh mata pelajaran umumnya rendah, sering tidak naik kelas,
sulit menangkap pelajaran, dan sebagainya. Akibat lebih jauh dari kondisi ini
adalah putus sekolah.
F. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TARAF INTELEGENSI
Menurut Bayley, faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan intelektual individu
adalah sebagai berikut:
1.
Keturunan
Studi korelasi nilai-nilai tes intelegensi diantara anak dan orang tua,
atau dengan kakek-neneknya menunjukkan adanya pengaruh factor keturunan
terhadap tingkat kemampuan mental seseorang sampai pada tingkat tertentu.
2.
Latar
belakang
sosial ekonomi Pendapatan keluarga, pekerjaan orang tua dan faktor-faktor sosial
ekonomi lainnya berkorelasi positif dan cukup tinggi dengan taraf kecerdasan
individu mulai 3 tahun sampai dengan remaja.
3.
Lingkungan
hidup
Lingkungan yang kurang baik akan menghasilkan kemampuan intelektual yang
kurang baik pula. Lingkungan yang dinilai paling buruk bagi perkembangan
intelegensi adalah panti-panti asuhan serta institusi lainnya, terutama bila
anak ditempatkan di sana sejak awal kehidupannya.
4.
Kondisi
fisik
Keadaan gizi yang kurang baik, kesehatan yang buruk, perkembangan fisik
yang lambat, menyebabkan tingkat kemampuan mental yang rendah.
5.
Iklim
emosi
Iklim emosi dimana individu dibesarkan mempengaruhi perkembangan mental
individu yang bersangkutan.
Sebagaimana telah diuraikan
di atas, terdapat banyak factor yang mempengaruhi taraf intelegensi seseorang.
Maka sebagai seorang guru, salah satu tugas serta kewajiban yang harus dipenuhi
adalah membantu mempengaruhi kemampuan intelektual siswa agar dapat berfungsi
secara optimal dan mencoba melengkapi program pengajaran yang ditujukan bagi
mereka yang lambat dalam belajar.
Adapun
cara yang dapat dilakukan oleh guru yaitu dengan memperhatikan kondisi
kesehatan fisik siswa, membantu pengembangan sifat-sifat positif pada diri
siswa, memperbaiki kondisi motivasi siswa, menciptakan kesempatan belajar yang
lebih baik bagi siswa. Dalam membantu mengembangkan sifat-sifat positif pada
diri siswa seperti percaya diri, perasaan diri dihargai, guru dapat melakukan
dengan cara menaruh respect terhadap pertanyaan-pertanyaan serta
gagasan-gagasan yang diajukan siswa sehingga dapat membantu meningkatkan
keyakinan diri siswa serta perasaan bahwa dirinya dihargai. Selain itu agar
perasaan-perasaan cemas, rendah diri, tegang, konflik atau salah paham dapat
dihindari oleh siswa. Sedangkan untuk memperbaiki kondisi motivasi siswa, guru
dapat melakukannya dengan memberikan insentif atas keberhasilan yang diraih
siswa yaitu dapat berupa pujian atau nilai yang baik. Selain itu guru juga
dapat memberikan kesempatan melaksanakan tugas-tugas yang relevan, seperti di
dalam kelompok diskusi, di depan kelas, pembuatan karya tulis, dan lain-lain
untuk menciptakan kesempatan belajar yang lebih baik bagi siswa.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Balitbang Dikbud (1997) merumuskan anak
berkesulitan belajar dapat didefinisikan sebagai berikut.
“Anak berkesulitan belajar adalah anak yang
secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus maupun umum,
baik disebabkan oleh adanya pun disfungsi neurologis, proses psikologis
dasar maupun sebab-sebab lain sehingga prestasi belajarnya rendah dan anak
tersebut berisiko tinggi tinggal kelas”.
Kesulitan belajar siswa mencangkup pengertian
yang luas, diantaranya: (a) learning disorder, (b) learning
disfunction, (c) under achiever, (d) slow learner, (e) learning
disabilities.
Klasifikasi anak
berkesulitan belajar antara lain : 1. Kesulitan
belajar praakademik dan 2. Kesulitan
belajar akademik.
Anak dengan taraf
intelegensi tinggi atau kemampuan dan kecerdasan tinggi di atas rata-rata
sampai jenius bukan berarti tidak ada masalah dalam belajar. Anak dengan
intelegensi rendah diketahui melalui tes intelegensi. Seseorang yang memiliki
IQ di bawah 70 (untuk skala Wechsler) disebut tunagrahita.
Menurut Bayley, faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan intelektual individu adalah sebagai berikut:
1.
Keturunan
2.
Latar
belakang
3.
Lingkungan
hidup
4.
Kondisi
fisik
5.
Iklim
emosi
B.
SARAN
Maka sebagai seorang guru, salah satu tugas serta kewajiban yang harus
dipenuhi adalah membantu mempengaruhi kemampuan intelektual siswa agar dapat
berfungsi secara optimal dan mencoba melengkapi program pengajaran yang
ditujukan bagi mereka yang lambat dalam belajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Klein N, Hack M,
Gallagher J. Preschool performance of children with normal
intelligence
who were very low
Ramey CT, Bryant DM, Wasik BH. Infant
health anddevelopment program for low
birth weight,
prematureinfant : program elements, family participation, and child intelligence.
Pediatrics 1992; 89:454-65.
Halsey CL,
Collin MF, Anderson CL. Extremely lowbirth weight children and their
pears.
Arch Pediatr Adolesc Med. 1996;150:790-4.
0 komentar