Perkawinan Usia Dini
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia dalam proses perkembangannya membutuhkan pasangan
hidup yang dapat memberikan keturunan untuk meneruskan jenisnya. Perkawinan
sebagai jalan yang bisa ditempuh oleh manusia untuk membentuk suatu keluarga
atau rumah tangga bahagia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini
dimaksudkan bahwa perkawinan itu dilaksanakan sekali seumur hidup dan tidak
berakhir begitu saja.
Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena
dengan perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara
psikologis, sosial, maupun sosial biologis.Seseorang yang melangsungkan perkawinan, maka dengan sendirinya semua
kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi.
Kematangan emosi merupakan aspek yang sangat penting
untuk menjaga kelangsungan perkawinan. Keberhasilan suatu rumah tangga banyak
ditentukan oleh kematangan emosi baik suami maupun istri. Dengan
dilangsungkannya suatu perkawinan, maka status sosialnya diakui dalam kehidupan
bermasyarakat dan sah secara hukum.
Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan
tidak memandang profesi, suku bangsa, kaya atau miskin, dan sebagainya. Namun
tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik dari segi fisik
maupun mental akan mencari pasangan hidup sesuai kriteria yang diinginkannya.
Dalam kehidupan manusia, perkawinan seharusnya menjadi sesuatu yang bersifat
seumuru hidup. Tetapi tidak semua orang bisa memahami hakikat dan tujuan
perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam
kehidupan berumah tangga.
Batas usia dalam melaksanakan perkawinan sangatlah penting
karena didalam perkawinan menghendaki kematangan psikologis. Usia perkawinan
yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena
kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga. Perkawinan yang sukses sering ditandai dengan kesiapan
memikul tanggung jawab.
B. Identifikasi Masalah
1. Faktor-faktor apakah yang mendorong terjadinya
perkawinan usia dini?
2. Apa dampak yang dialami mereka yang
melangsungkan perkawinan pada usia muda?
3. Bagaimana bentuk pola asuh keluarga pasangan
usia muda?
C. Maksud dan Tujuan
Berdasarkan
permasalahan diatas maka maksud dan tujuan makalah ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong
terjadinya perkawinan usia dini.
2. Untuk mendeskripsikan dampak yang timbul dari mereka yang melangsungkan
perkawinan usia dini.
3. Untuk mendeskripsikan bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda.
D. Kerangka Pemikiran
E. Metodologi
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan metodologi
library research atau kajian kepustakaan. Riset kajian kepustakaan ini adalah
melakukan penelitian dari buku – buku atau kitab – kitab perpustakaan dan
sumber dari internet yang relevan dengan masalah yang dibahas.
Makalah ini merupakan hasil pengumpulkan data yang penulis
lakukan untuk mencari fakta yang berkaitan dengan masalah tersebut. Baik berupa
dokumen atau informasi yang valid dan dapat dipercaya.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan arah yang lebih jelas dan gambaran umum
tentang makalah ini, maka penulis membuat uraian singkat tentang isi setiap bab
dari makalah ini, sistematikanya adalah sebagai berikut :
BAB
I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah,
identifikasi masalah, maksud dan tujuan, kerangka pemikiran, metodologi, dan
sistematika penulisan.
BAB
II TEORI-TEORI TENTANG PERKAWINAN
Dalam bab ini berisi tentang teori-teori yang terdiri dari
pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat-syarat perkawinan dan
rukun-rukun perkawinan.
BAB
III PERKAWINAN USIA DINI
Dalam bab ini berisi tentang materi dari makalah yang
berjudul PERKAWINAN USIA DINI yang terdiri dari
BAB
IV ANALISA HUKUM
Bab ini berisi tentang analisa terhadap identifikasi
masalah
BAB
V PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
TEORI-TEORI TENTANG
PERKAWINAN
A. Pengertian
Perkawinan
Perkawinan[1] adalah
pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama. Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan
keperdataan, demikian menurut pasal 26 KUHPerdata[2].
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan menurut agama Islam,[3] Perkawinan
adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah
pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan
kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan
mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan
jalan hidup seseorang.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum islam
memandang bahwa perkawinan itu tudak hanya dilihat dari aspek formal
semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama
menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah
menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil.
B. Tujuan
Perkawinan[4]
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa
perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai diperlukan
syarat-syaratyang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-istri
membantu untuk mengembangkan diri. Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila
terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Yang
termasuk kebutuhan jasmaniah, seperti papan, sandang, pangan, kesehatan dan
pendidikan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, contohnya adanya seorang anak
yang berasal dari darah daging mereka sendiri.
C. Syarat-syarat
Perkawinan[5]
Yang dimaksud dengan syarat[6] adalah
segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma untuk
menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan. Syarat-syarat yang perlu
dipenuhi oleh seseorang sebelum melangsungkan perkawinan itu ada enam, yaitu
sebagai berikut :
a. Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan
Calon suami istri
mempunyai dorongan (motivasi) yang sama untuk membentuk suatu kehidupan
keluarga. Motivasi mereka itu sebagai persetujuan masing-masing yang diperoleh
dengan adanya saling mengerti dan berkeinginan lanjut berpartisipasi dalam
membentuk satu keluarga. Dan keinginan itu sebagai persetujuan kedua belah
pihak yang tidak dapat dipaksakan oleh pihak lain naik orang tua maupun orang
yang dituakan dalam keluarga masing-masing.
b. Dewasa[7]
Ukuran
kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usia melainkan dari kedewasaan fisik
dan psikis yang sekurang-kurangnya ada tanda-tanda kematangan diri. Hal ini
ditentukan dari mulai bekerjanya kelenjar kelamin seseorang. Dan tanda-tanda
itu bagi seorang pria sejak pertama kali mengasilkan sperma (baliqh) dan bagi
seorang wanita sejak menstruasi pertama. Tetapi ukuran itu tidak mutlak, karena
yang dimaksud dengan kedewasaan fisik yang ditempuh oleh hukum Islam sesuai
ilmu kesehatan bagi setiap bangsa yang mungkin ada perbedaanya. Sedangkan
kedewasaan psikis dimaksudkan bahwa bagi para pihak telah memiliki kesehatan
mental yang baik, mempunyai rasa tanggung jawab sebagai suami istri terutama
dalam mendidik anak-anaknya dengan wajar dan terhormat.
c. Kesamaan agama Islam
Kedua belah pihak
pemeluk agama islam yang sama. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam memelihara
keturunan yang sah tidak ada pertentangan memperebutkan atau mengalahnya salah
satu pihak untuk terwujudnya keagamaan keturunan mereka itu. Bagi seorang
wanita Islam dilarang melakukan perkawinan dengan seorang pria lain agama dan
hukumnya haram. Larangan itu dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara keturunan
yang sah sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan bagi seorang pria Islam yang kuat
imannya diperkenankan melakukan perkawinan dengan seorang wanita lain agama,
asalkan bukan wanita penyembah berhala kecuali bertobat dan bersedia memeluk
agama Islam.
d. Tidak dalam hubungan nasab
Yang
dimaksud dengan hubungan nasab,[8] adalah
hubungan keluarga dekat baik dari pihak ibu maupun bapak. Syarat ini diperlukan
karena hubungan darah yang dekat baik secara vertical maupun horizontal tidak
dikehendaki, sebab perkawinan dalam keturunan satu darah masih merupakan satu
keluarga besar. Dan kalau dilihat dari dunia kedokteran banyak terjadi
kemungkinan-kemungkinan kelainan perkembangan kesehatan dari keturunan itu,
sedangkan dari segi psikologis banyak terlihat adanya kelainan psikis dan
mental kalau sampai dilangsungkan perkawinan dalam satu hubungan darah.
e. Tidak ada hubungan rodhoah
Rodhoah
adalah sepersusuan, maksudnya bahwa antara pria dan wanita yang akan
melangsungkan perkawinan itu pernah mendapat air susu satu ibu ketika masih
bayi walaupun keduanya orang lain.Antara pria dan wanita itu haram hukumnya kalau melangsungkan
perkawinan. Dalam hubungan rodhoah ini haram juga hukumnya kalau yang menikah
saudara-saudara, suami, paman, bibi dan keponakan dari ibu, yang akan menikah
dengan anak sepersusuannya.
f. Tidak semenda[9] (mushoharoh)
Artinya kedua calon suami-istri tidak mempunyai hubungan
perkawinan seperti antara bapak/ibu, dan menantu, anak dan bapak/ibu tiri, anak
bawaan dalam perkawinan ibu/bapak.
D. Rukun-rukun
Perkawinan[10]
Yang dimaksud dengan rukun[11] adalah
segala sesuatu yang ditentukan menurut hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat
perkawinan dilangsungkan. Maksudnya bahwa kalau syarat-syarat perkawinannya
telah dipenuhi, maka sebelum melangsungkan perkawinan saat-saat untuk sahnya
harus ada rukun-rukun yang perlu dipenuhi. Adapun rukun perkawinan mewajibkan
adanya :
a. Calon pengantin pria dan wanita
Untuk melangsungkan suatu perkawinan diperlukan kehadiran
kedua calon suami-istri. Dan kedudukannya sebagai calon suami-istri baru,
disebut juga calon pengantin. Mereka sebagai calon pengantin diwajibkan hadir,
karena untuk pengukuhannya dalam membentuk keluarga baru. Tetapi dalam keadaan
berhalangan yang tidak mungkin kehadirannya saat itu seperti karena sakit keras
mendadak, berada di luar negeri atau tempat lain tanpa dapat meninggalkan tugas
dan tidak dapat hadir dengan alasan-alasan yang meyakinkan, maka dapat
diwakilkan untuk sementara itu kepada seseorang lain yang memenuhi
syarat-syarat perkawinannya.
b. Wali
Wali adalah orang
yang berhak menikahkan anak perempuan dengan pria pilihannya. Syarat-syarat
yang wajib dipenuhi untuk ,enjadi seorang wali adalah :
1) Islam,
2) Dewasa,
3) Berpikiran sehat,
4) Jujur,
5) Baik tingkah lakunya,
6) Mengetahui asas-asas dan tujuan perkawinan, dan
7) Mengetahuin dengan jelas asal-usul calon suami-istri
sebagai pengantin.
Di dalam hukum Islam walaupun seseorang telah memenuhi
syarat-syarat menjadi wali, tetapi belum tentu dapat menjadi wali perkawinan
kalau tidak termasuk pada macam-macam wali. Ada 3 macam wali dalam perkawinan
Islam adalah :
1) Wali Nasab
Wali nasab adalah wali yang mempunyai hubungan darah dengan
calon pengantin wanita baik vertical maupun horizontal.
2) Wali Hakim
Wali
hakim adalah wali yang ditugaskan oleh kepala negara[12] yang
beragama Islam untuk menikahkan seorang wanita dengan seorang laki-laki
pilihannya.
3) Wali Muhakkam
Wali
muhakkam adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercayakan oleh kedua belah pihak
(calon suami-istri) untuk menikahkan di tempat itu asal memenuhi syarat.
c. Saksi[13]
Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan
mendengarkan ijab[14]kabul[15].
Tugasnya dalam perkawinan hanya memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu
benar-benar dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas
tidaknya ijab kabul diucapkan.
d. Akad Nikah
Akad nikah adalah pengukuhan janji perkawinan (pernikahan)
sebagai suatu ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sah
yang diucapkan dengan jelas, meyakinkan dan tidak meragukan. Akad nikah itu
dilaksanakan dalam suasana hening dengan pihak wali menyatakan (ijab) dan
dijawab oleh calon suami secara tegas dan jelas dengan menerima (kabul).
Ijab
kabul itu sifatnya langsung (tidak ditunda-tunda) dan tidak meragukan para
saksi. Sedangkan jarak waktu antara ijab ke kabul sekitar 1-2 detik. Kalau
jarak waktu itu tidak dipenuhi atau calon pengantin pria diam, merenung atau
masih memikir-mikir, akibatnya akad nikah itu harus diulang. Pengulangan dapat
juga terjadi kalau kabul tidak sama bunyinya dengan ijab, pengantin pria
gemetar, gugup dan bergetar sebelum mengucapkan kabul. Dan untuk pengulangannya
calon pengantin pria harus ditenangkan dahulu supaya kabulnya diucapkan dengan
mantap dan meyakinkan.
BAB III
PERKAWINAN
USIA DINI
A. Perkawinan Usia Dini Dalam Perspektif Psikologi
Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya
persoalan-persoalan psikis[16] dan sosial telah dijawab dengan logis dan ilmiah
oleh M. Fauzil Adhim[17]dalam bukunya “Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh
Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya “Children Development Through”: bahwa
pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang
untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk
menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi
solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak
terkendali.
Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak
bukti empiris dan tidak perlu dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini
tidak menghambat studi, bahkan justru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak
prestasi yang lebih cemerlang (seperti tertera sederet nama orang sukses yang
melakukan pernikahan dini). Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya
sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan
emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang
puncak. Bahkan menurut Abraham M. Maslow,[18] yang
menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di usia dini lebih mungkin
mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan
mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya, menurut
Abraham M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang
sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang
pada gilirannya akan menjadikan manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan
kepribadian yang mengesankan.
Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota di
Yogya bahwa angka perceraian meningkat signifikan karena pernikahan dini?
Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah
pernikahan yang diakibatkan “kecelakaan” (yang disengaja). Hal ini bisa
dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan
kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat. Adapun urgensi
pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali tidak bisa
dibantah. Ngeri rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90%
mahasiswi di salah satu kota besar di negara muslim ini sudah tidak perawan
lagi. Pergaulan bebas atau free sex sama sekali bukan nama
yang asing di telinga kaum remaja saat ini. Akhirnya, kata Fauzil Adhim, kita
akan menyaksikan kehancuran yang berlangsung pelan-pelan, tapi sangat
mengerikan, para gadis (yang sudah tidak gadis lagi) hamil di luar nikah. Na
‘udzubillah! Untuk menanggulangi musibah kaum remaja ini hanya satu jawabnya:
nikah.
B. Perkawinan
Usia Dini Dalam Perspektif Agama
Jika
menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25,
maka bagaimana dengan agama? Rasulullah SAW. bersabda,
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).
Hadits
di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu?
Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah
mencap aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh
bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita)
atau telah mencapai usia limabelas tahun. Ada apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Rasulullah SAW, “perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad danAbu Dawud).
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Rasulullah SAW, “perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (Ahmad danAbu Dawud).
Pesan
Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan
sebuah isyarat bahwa pada usia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki
potensi menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Rasulullah SAW, 19 abad
yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi
(baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum
remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan
oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat
Abdullah bin Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda
yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang
shalihah. Salah satu faktor dominan yang
sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah kesiapan dari sisi
ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman, sebenarnya, Kita
tak perlu risih dengan yang urusan yang begitu krusial dalam sebuah rumah
tangga ini. Bukankah Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah,
seperti yang tersirat dalam suratal-Nur ayat 32 yang artinya, “dan jika mereka
miskin maka Allah akan membuatnya kaya dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya
juga menjamin kita dengan sabdanya, “Barang siapa yang ingin kaya, maka
kawinlah”.
C. Perkawinan
Usia Dini Dipandang dari Berbagai Sisi
Menurut Undang-Undang perkawinan, seorang laki-laki boleh
menikah kalau sudah mencapai usia minimal 19 tahun, sementara pihak perempuan
minimal 16 tahun. Kebijakan yang diatur negara
ini sudah melewati banyak pertimbangan sebelum disahkan. Secara fisik dan
psikologis, usia-usia itu adalah batas minimal seseorang bisa memikul sebuah
tanggung jawab yang lebih besar.
Sementara pertimbangan dari sisi medis, pernikahan usia
dini bisa merugikan pihak perempuan. Kondisi rahim perempuan usia dini masih
belum cukup kuat untuk melahirkan anak. Sementara menurut pakar sosiologi,
pernikahan usia dini bisa lebih memicu konflik keluarga. Ini disebabkan
usia pasangan suami istri yang masih labil, belum matang secara pikiran, dan
penuh emosi.
Dalam praktiknya, banyak ditemui praktik pernikahan dini di
pedesaan, dan kondisi mereka baik-baik saja. Para sosiolog berpendapat, itu
karena masalah kultur yang tertanam kuat dalam masyarakat desa, dan belum tentu
terjadi pada masyarakat perkotaan yang punya kultur berbeda.
BAB IV
ANALISA
HUKUM
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menjawab Identifikasi Masalah Pertanyaan No. 1
1. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari
perkawinan usia muda adalah:
a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota
keluarga.
b. Tidak adanya pengertian
mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri
maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang
dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu
mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.
2. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean
dalam Suryono disebabkan oleh:
a. Masalah ekonomi keluarga
b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga
laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka
dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi
tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992 :
65). Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya
perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :
1) Ekonomi
Perkawinan
usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk
meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang
dianggap mampu.
2) Pendidikan
Rendahnya
tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat,
menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
3) Faktor orang tua
Orang
tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang
sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
4) Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan
remaja modern kian Permisif terhadap seks.
5) Faktor adat
Perkawinan
usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua
sehingga segera dikawinkan.
2. Menjawab Identifikasi Masalah Pertanyaan No. 2
Dampak perkawinan usia muda akan menimbulkan hak dan
kewajiban diantara kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka
sendiri, terhadap anak-anak, maupun terhadap keluarga mereka masing-masing.
1.
Dampak terhadap suami istri
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istrti yang
telah melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak
mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul
dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung keduanya
memiliki sifat keegoisan yang tinggi.
2.
Dampak terhadap anak-anaknya
Masyarakat yang telah melangsungkan perkawinan pada usia
muda atau di bawah umur akan membawa dampak. Selain berdampak pada pasangan
yang melangsungkan perkawinan pada usia muda, perkawinan usia muda juga
berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi wanita yang melangsungkan perkawinan
di bawah usia 20 tahun, bila hamil akan mengalami gangguan-gangguan pada
kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan anak.
3. Dampak terhadap masing-masing keluarga.
Selain berdampak pada pasangan suami-istri dan anak-anaknya
perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap masing-masing
keluarganya. Apabila perkawinan diantara anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu
akan menguntungkan orang tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan
rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya yang terjadi adalah perceraian.
Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan yang paling
parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua belah-pihak.
3. Menjawab Identifikasi Masalah Pertanyaan No. 3
1. Pengertian pola asuh
Pola asuh yaitu cara-cara atau bentuk pengasuhan anak
menurut Chabib Thoha (1997:109), bahwa pola asuh merupakan suatu cara yang
terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dan
rasa tanggung jawab kepada anak.
Khan dan Sulaieman (1997:116) menyatakan pola asuh
merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, sikap ini dapat
dilihat dari berbagai segi antara lain cara orang tua memberikan peraturan
kepada anak, cara memberikan hadiah, dan hukuman dan cara orang tua.
Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk
menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadapa anak agar dapat tum buh
kembang sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial (Soekirman, 2000).
Anak akan mengalami pertumbuhan secara alamiah dalam
kehidupannya, walaupun demikian anak masih sangat tergantung pada keberadaan
orang dewasa. Pola asuh akan sangat berpengaruh pada proses tumbuh kembangnya
anak yang hidup dalam keluarga yang penuh dengan kasih sayang dan yang selalu
di bawah tekanan akan berada dalam perkembangannya.
Pola pengasuhan anak dalam hal sikap dan perilaku ibu atau
pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak memberikan makanan, merawat
kebersihan, semuanya itu berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan
(fisik mental) status gizi, pendidikan umum keluarga dan masyarakat untuk
pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di
masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat
membagi kasih sayang dan sebagainya seibu atau pengasuhan anak.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
a. Pendidikan Ibu
Pendidikan
merupakan alat di masyarakat untuk memperbaharui dirinya dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat. Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang
berlangsung seumur hidupnya (Suharjo, 1999).
b.
Pengetahuan Ibu
Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi mempunyai hubungan
erat dengan pendidikan. Anak dan ibu dengan latar belakang pendidikan yang
tinggi akan memungkinkan akan mendapat kesempatan untuk hadir dan tumbuh dengan
baik (Kardyati dkk, 1987).
Membesarkan anak yang sehat tidak cukup dengan naluri kasih
sayang belaka, namun ibu perlu pengetahuan dan ketrampilan yang baik.
Peningkatan pengetahuan serta kemampuan dalam mengasuh anak merupakan hal yang
sangat penting dan harus diusahakan oleh para ibu dalam rangka membesarkan
anak-anaknya (Nadesul, 1996).
Pengetahuan tidak mutlak diperoleh
melalui pendidkan formal, namun juga informasi dimedia massa atau hasil dari
pengalaman orang lain (Alex Sobur, 1981).
c.
Aktivitas ibu
Kebutuhan
wanita terhadap tugas dan di luar tugas sebagai ibu adalah berbeda-beda. Ada beberapa wanita yang merasa bahagia dengan peran
khususnya sebagai ibu rumah tangga. Baginya tidak ada hal yang menyenangkan
dari pada masa-masa kecil dan remaja yang penuh kebahagiaan kepada anak-anaknya
(Alex Sobur, 1991).
Dewasa ini mungkin banyaknya ibu berperan ganda selain
sebagai ibu rumah tangga juga sebagai wanita karier. Semua kitu guna
menciptakan keadaan ekonomi keluarga yang lebih mapan tapi juga menimbulkan
pengaruh terhadap hubungan dengan anggota keluarga terutama anaknya. Pada
mulanya ibu bisa membagi waktu, namun lama kelamaan tugas makin menantang
sehingga menantang sang ayah untuk ikut terjun mengasuh anaknya (Soelaeman,
1994). Apabila seorang ibu mendapat pekerjaan baik penuh atau paruh waktu maka
orang yang paling cocok untuk menggantikan tugasnya adalah orang yang
mengetahui kenbutuhan makan anaknya, mencintai dan harus sanggup dalam
memeliharan dan mengasuhnya. Ibu yang tidak bekerja dapat mengasuh anak-anaknya
dengan baik dan mencurahkan semua kasih sayangnya, macam dan menu makanan juga
lebih diperhatikan sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kurang gizi pada
anaknya (Nita Lestari, 1996).
d. Status Sosial Ekonomi
Status ekonomi dalam pengasuhan anak dipengaruhi pola oleh
gaya dan pengalaman yang dimiliki serta pengetahuan yang diterimanya.
Status ekonomi keluarga pasangan muda dikalangan menengah
dan bawah ibu lebih condong melakukan pengetahuan dengan yang lebih cocok
menurut dirinya yaitu cenderung demokratis.
3. Bentuk-bentuk pola asuh keluarga
Menurut Danny. I Yatin (1986:96) dalam membina anak
kita mengenal empat model pola asuh:
a.
Pola asuh demokrasi
Pada pola asuh keluarga ini orang tua mempunyai hubungan
yang dekat dengan anak-anaknya. Hubungan antara orang tua dengan anak terlihat hangat
dan orang tua sering melakukan kegiatan bersama-sama dengan anak-anak. Dalam
mengarahkan tingkah laku anak, orang tua tidak menekankan bahwa anak harus
patuh dan tidak boleh menentang orang tuanya, melainkan dengan memberikan
pengertian dan penjelasan yang logis tentang suatu hal pada anaknya.
Oleh sebab itu dalam membuat peraturan, orang tua selalu
mengajak anak-anaknya untuk terlibat langsung. Orang tua selalu mengarahkan
agar anak-anaknya bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam
lingkungan. (Danny I. Yatin, 1986:98).
b.
Pola pengasuhan penyabar atau pemanja
Segala sesuatu yang berpusat pada kepentingan anak. Orang
tua tidak mengendalikan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan perkembangan
kepribadian anak. Orang tua tidak penar menegur atau di luar kewajaran, hal itu
terkesan jangan sampai mengecewakan anak atau yang penting anak jangan sampai
menangis. Anak-anak dengan pola pengasuhan ini cenderung lebih energik dan
renponsif namun mereka cenderung manja, impulsif, mementingkan diri sendiri dan
kurang percaya diri, cengeng, agresif.
c.
Pola asuh otoriter
Antara orang tua dengan anak pada pola asu ini mempunyai
hubungan yang kurang hangat, artinya orang tua jarang melakukan kegiatan
bersama dengan anak-anaknya dan orang tua sangat menuntut kepatuhan dari
anak-anaknya. Orang tua biasanya menerapkan disiplin kepada anak-anaknya
dilakukan secara ketat dan apabila anak melakukan kesalahan atau melanggar
peraturan, maka orang tua pada pola asuh keluarga ini tidak segan-segan
memberikan hukuman.
d.
Pola asuh pemberian hadiah
Pola asuh pemberian hadiah atau penghargaan memiliki ciri
orang tua senantiasa memberikan hadiah yang menyenangkan, setelah melakukan
perbuatan yang menyenangkan itu bisa berwujud benda yang nyata seperti makanan,
uang dan mainan. Tidak nyata berupa pujian, perhatian maupun penghargaan.
(Danny I. Yatin, 1986:97).
Namun dalam pemberian hadiah tersebut menjadi rangsangan
buat anak untuk berbuat, bukan maksud dan tujuan mengapa tindakan itu di
lakukan.
Pemberian hadiah atau penghargaan dapat merangsang anak
bertingkah laku yang baik dan memuaskan. Penghargaan menjadikan anak lebih
percaya diri bahwa yang dilakukannya mendapat dukungan. Namun pemberian hadiah
yang tidak bijaksana justru kurang mendukung jiwa anak, anak nanti melakukan
perbuatan atas dasar agar dapat hadiah.
Berdasarkan penelitian yang diperoleh dari observasi dan
wawancara dengan inporman pola asuh yang diterapkan oleh orang tua yang menikah
pada usia muda adalah pola asuh demokrasi yang berarti bahwa dalam membimbing
dan mendidik anak mereka memberikan kebebasan kepada anak untuk mengungkapkan
pendapat, keinginan dan perasaannya serta adanya keterbukaan orang tua dan
anak, adanya peraturan-peraturan yang dibuat bersama dan disepakati bersama.
Orang tua hanya bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan serta arahan
terhadap aktifitas anak.
Pola asuh yang demokratis yang diterapkan oleh orang tua
yang melakukan perkawinan usia muda, dalam mengembangkan disiplin anak umumnya
berdasar pada nilai-nilai moral dasar yaitu agama.
Ini terbukti bahwa peran orang tua selain menyekolahkan
anaknya pada sekolah umum, mereka juga menyekolahkan ke sekolah agama yaitu di
madrasah dan TPQ.
Jadi jelaslah bahwa dari masing-masing pola asuh orang tua
di atas akan mempunyai dampak yang berbeda-beda apabila diterapkan kepada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Syakur, Abdus. 2009. Undang-Undang
Dasar 1945 Lengkap. Surabaya: Indah Surabaya.
HS. Salim, 2001. Pengantar
Hukum Perdata Tertulis (BW). Yogyakarta: Sinar Grafika.
Subekti R., 1994. Pokok-pokok
Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa.
Djamali,
Abdul. 1992. Hukum
Islam. Bandung: Mandar Maju.
Subekti R., 2008. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
[1] Subekti R.,
1994, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, hlm. 23.
[2] Subekti R.,
2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya
Paramita, hlm. 8.
[3] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mangartikan ‘Islam’ adalah agama yang diajarkan Nabi Muhammad
SAW dengan berpedoman kepada kitab suci Alquran yang diturunkan ke dunia
melalui wahyu Allah SWT.
[4] HS Salim,
2001, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Yogyakarta: Sinar
Grafika, hlm. 62.
[5] Djamali Abdul,
1992, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, hlm. 79-81.
[6] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan ‘syarat’ adalah janji (sebagai tuntutan atau
permintaan yang harus dipenuhi).
[7] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan ‘dewasa’ adalah sampai umur; akil balig (bukan
kanak-kanak atau remaja lagi).
[8] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan ‘nasab’ adalah keturunan (terutama dari pihak
bapak); pertalian keluarga.
[9] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan ‘semenda’ adalah hubungan kekeluargaan karena
ikatan perkawinan.
[10] Djamali Abdul,
1992, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, hlm. 82-89.
[11] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan ‘rukun’ adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu pekerjaan.
[12] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan ‘kepala negara’ adalah orang yang mengepalai suatu
Negara (kerajaan).
[13] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan ‘saksi’ adalah orang yang melihat atau mengetahui
sendiri suatu peristiwa (kejadian).
[14] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan ‘ijab’ adalah kata-kata yang diucapkan oleh
mempelai perempuan pada waktu menikahkan mempelai perempuan.
[15] Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan ‘qabul’ adalah ucapan tanda setuju (terima) dari
pihak yang menerima suatu akad perjanjian atau kontrak.
[16] Kamus Besar Bahasa Indonesia menartikan ‘psikis’
adalah sesuatu yang berhubungan dengan jiwa.
[17] Nama lengkapnya Muhammad Fauzil Adhim. Seorang
penulis yang menulis buku dengan judul ‘indahnya Pernikahan Dini’ pada tahun
2002.
[18] Nama lengkapnya Abraham Harold Maslow. Lahir di
Brooklyn, New York pada tanggal 1 April 1908. Seorang Pendiri Psikologi
Humanistik.
0 komentar